PENDAHLUAN
Abad
ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot, terbelakang dan banyak negara muslimin yang
sedang menghadapi pendudukan asing.
Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin Al- Afghani, mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan Muslimin. Muridnya yang
pertama yang mengikuti jejaknya ialah Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip
dan pengertian Islam. Ia menghubungkan
ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan
bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan serta apa yang bernama kemajuan.
Muhammad
Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam
majalah Al-Manar. Hal itu sebagai langkah
pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang
diberi nama tafsir al-Manar, kitab tafsir yang
mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Qur’an
dengan kehidupan masyarakat, di samping
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan,
waktu dan tempat[1].
Tafsir
al-Manar yang berjumlah 12 jilid yang diterbitkan oleh Dar al- Manar di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini
bersumber dari perkuliahan Muhammad
Abduh tentang Tafsir
al-Qur’an yang disampaikan di
Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad
Rasyid Ridha dengan
judul Tafsir
al-Qur’an al-Hakim.
Kemudian kitab ini lebih popular dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.
Al-Manar terbit pertama kalinya pada
tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh
keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah
masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang
ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya
berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di
Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya,
juga sampai ke Eropa dan Indonesia[2].
Tafsir
Al-Manar yang bernama Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim memperkenalkan dirinya
sebagai Kitab Tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang
shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah syariah, serta
Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi
Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu dan
tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin
pada masa diterbitkannya yang berpaling dari petunjuk itu, serta
membandingkan dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang
mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga
dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi dapat diabaikan oleh orang-orang
khusus (cendekiawan). Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya 3
(tiga) orang Tokoh Islam, yaitu: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Rasyid Ridha[3].
Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh
Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari
Muhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu
dicerna, diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat
al-Qur'an dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang
disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
PEMBAHASAN
A. Biografi
Mufassir dan Karya-Karyanya
Tokoh
utama corak penafsiran ini yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Muhammad Abduh, dan kemudian di
kembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya,
Muhammad Rasyid Ridha.
1. Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia di lahirkan di desa Mahallat Nashr di
Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun
1849M[4]. Pada
tanggal 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal di Kairo Mesir[5]. Ia pernah diasingkan
ke Syuriah karena keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Arabi sebagai gerakan
pembaharuan. Dalam pemikirannya,
ia mengikuti Ibn Taimiyah yang mencela tahayul
dan bid’ah yang telah mencemari iman.
Kemerosotan kondisi Islam pada saat itu sangat mengganggu hati dan pikirannya. Gagasan-gagasannya meliputi
pembaharuan intelektual dan politik agama,
serta unifikasi politik di bawah satu pimpinan utama. Menurutnya bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara
Islam dengan ilmu pengetahuan. Bahkan
ia menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an secara rasional dan mengakui kekurangan skolastisisme[6]
Islam[7].
Karya-karyanya
:
1.
Ulasan ( syarah ) buku al- Bashairun Nasiriah, karangan al- Qadhi Zainuddin, tahun 1898.
2.
Risalah at-Tauhid (dalam Bidang teologi), tahun 1897.
4.
Risalah al-'Aridat (1837).
5.
Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid
adh-Adhudhiyah (1875).
6.
Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali bin Abi Thalib).
7.
Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia,
Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan).
8.
Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut
bahasa dan sastra Arab).
9.
Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan oleh Rasyid Ridha).
2. Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalmûn yang
terletak disisi laut Atlantik di bukit Libanon pada 27 Jumâd
al-Tsani tahun 1282 H/ 18 Oktober tahun 1865 M dan meninggal di
usia + 70 tahun karena kecelakaan dalam perjalanan ke Kairo pada malam Kamis
tanggal 23 Jumadil Ula 1354 H/22 Agustus 1935 M[10]. Dia adalah Muhammad Rasyid
Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad Bahâuddîn Ibn Manlâ Ali
Khalifah.
Dalam pembentukan intelektual dan keilmuan ia
lebih cenderung pada materi-materi klasik.
Setelah membaca buku Hujjat
al-Islam Abu Hâmid
al-Ghazali, Ihya Ulûmuddin yang membuat ia mengenal zuhud, tasawuf serta ubudiyah dan kemudian bergabung dalam suluk “Tarekat Naqsyabandiah.” Di tahun 1310 H/1892M
terjadi perubahan yang besar dalam orientasi
pemikirannya, setelah membaca
majalah Al Urwah al-Wustqa milik ayahnya yang diterbitkan di Paris (1301 H/1884 M) oleh Jamâluddin al-Afghâni (1254-1314
H/1838-1897M) dan Muhammad
Abduh (1265 1323 H/1849-1905 M).
Ia berubah dari sifat zuhud (Tarekat
Naqsyabandiyah) di dunia serta perbaikan politik dan kemasyarakatan menuju sifat
keislaman yang moderat yang di pelopori oleh al-Afghani dan muhammad Abduh
yaitu saling menyeimbangkan antara jiwa dan raga, dunia dan akhirat, antara
kebebasan pribadi dan kebebasan publik, antara kemuliaan manusia dan
kepentingan umat Islam dalam tatanan mondial[11],[12].
Karya-karyanya:
1.
Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi
Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah,
buku ini adalah awal kitab yang disusunnya
ketika beliau masih pelajar di
Tripoli negeri Syam. Dikarenakan sebagai
jawaban terhadap kitab yang
dikarang oleh Ali Abi al-Huda ash-Shayadi
yang mengemukakan Syaikh Sufi
Sayyed Abdul Qadir Jailani.
2. Majalah
al-Manar, yang pertama kali
terbit pada tahun 1315 H/1898 M dan
akhir terbitnya itu pada edisi 35 tanggal
29 Rabiuts Tsani 1354 H/1935 M. Di
tiap edisi banyak mencantumkan
pendapat-pendapat beliau dalam
pembaharuan agama dan politik.
3. Tarikh
al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh,
terdiri 3 jilid.
4. Nida al-Jins al-Latif (Huqûq
an-Nisâ fi al-Islâm).
5.
Al-Wahyu al-Muhammady
6.
Al-Manâr wa al-Azhar
7.
Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy
8.
Al-Wihdatu al-Islâmiyyah
9.
Yusru al-Islâm wa ushûl
al-Tasyri’ al-Âm
10. Al-Khilafatu au al-Imamah al
‘Udma
11. Al-Wahabiyyun
wa al-Hijaz
12. Haqiqatu
ar-Riba
13. Muswatu
ar-Rajul bi al-Mar’ah
14. As-Sunnah
wa asy-Syi’ah
15. Manasik
al-Haj, ahkamuhu wa Hukmuhu
16. Tafsir
al-Manar, terdiri 12 jilid
dan beliau hanya menafsirkan 12 juz kemudian
sisanya yang 5 juz di susun oleh Syaikh Muhammad Abduh.
17. Risalah
fi Hujjati al-Islam al-Ghazali
18. Al-Maqshuratu
ar-Rasyidiyyah”
19. Syubhatu
an-Nashara wa Hujjaju al-Islam
20. ‘Aqidatu
ash-Shulbi wa al-Fida
21. Al-Muslimun
wa al-Qibti wa al-Muktamar al-Mashry
B. Metode
dan Corak Penafsirannya
Pandangan Muhammad Abduh tentang kitab
tafsir dan penafsiran; 1) ia menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa
sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling
berbeda yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. 2)
untuk bidang penafsiran, ia menyatakan bahwa dialog Al-Qur’an bukan saja di
peruntukkan bagi masyarakat Arab yang tidak tahu baca tulis tetapi berlaku umum
untuk setiap masa dan generasi[14].
Jalan pikiran Muhammad Abduh itu
menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman dan penafsirannya terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu peranan akal dan peranan kondisi sosial. Menurutnya
ada masalah keagamaan yang tidak dapat di yakini kecuali melalui pembuktian
logika, ia pula mengakui bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar dipahami oleh
akal namun tidak bertentangan dengan akal. Wahyu harus dipahami dengan akal,
tetapi ia pun menyadari keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan
Nabi (wahyu) khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah
ibadah. Secara umum ajaran agama menurutnya terbagi
dalam dua bagian yaitu
rinci dan umum. Untuk yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak mengalami perubahan
atau perkembangan, sedangkan yang umum
merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan
kondisi sosial[15].
Ada
bermacam-macam metode dan corak penafsiran Al-Qur’an. Dr. Abdul-Hay Al-Faramawi dalam bukunya yang
berjudul Al-Bidayah
fi Al-tafsir Al- Mawdu’iy
membagi metode-metode yang dikenal selama
ini menjadi empat: analisis, komparatif, global, dan tematik (penetapan
topik). Metode analisis tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu di
antaranya adalah corak adabi ijma’i (budaya kemasyarakatan). Corak ini
menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an
pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan segi-segi petunjuk Al-Qur’an bagi
kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia tanpa
menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan[16].
C. Ciri-ciri
Penafsiran Muhammad Abduh
1.
Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
Dalam
pandangan ini Muhammad Abduh menjalin hubungan yang serasi antara satu ayat dengan ayat yang lain,
dalam satu surah. Menurutnya, pengertian
satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surah tadi secara keseluruhan, sebagai contoh adalah: z„—ª\Ä«½½zkŸ«[½ (demi fajar dan malam yang sepuluh). Kata layalin ‘Asyr (Al-Fajr:
2) misalnya, tidak mungkin terlepas pengertiannya dari
kata Wal-Fajr (Al-Fajr: 1). Kata Al-Fajr di sini tidak dibarengi dengan satu sifat
tertentu sehingga dipahami secara
umum. Bila bermaksud menjelaskan tentang hari atau waktu tertentu, maka hari dan waktu itu dijuluki dengan
sifat atau cirinya seperti Yaum
al-Qiyamah, Lailat al-Qadri, dan
sebagainya, tapi jika tidak maka bersifat umum.
Kata Al-Fajr di sini berarti umum, terjadi setiap hari
dan dalam arti bahwa fajar tersebut
adalah fajar ketika cahaya siang menjelma di tengahtengah kegelapan malam, cahaya yang kemudian
mengusik kegelapan tersebut.
Demi
keserasian ayat pertama dan kedua, maka layalin
‘Asyr harus ditafsirkan dengan malam-malam yang serasi
keadaannya dengan pengertian yang dikandung oleh kata Al-Fajr, yakni sepuluh malam
yang terjadi pada setiap bulan yang di dalamnya cahaya bulan mengusik kegelapan
malam. Maka terjadilah keserasian antara keduanya, yakni masing-masing mengusik
kegelapan walaupun yang pertama mengusiknya hingga terjadi terang yang merata,
dan yang kedua mengusik namun akhirnya terjadi kegelapan yang merata.
Sedangkan tokoh utama mufasir yang
berbicara tentang keserasian adalah Ibrahim bin Umar Al-Biqa’i (808 H) dalam
bukunya Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Sedangkan keistimewaan Abduh adalah ia menjadikan keserasian tersebut sebagai
salah satu faktor penetapan arti serta tolak
ukur dalam menilai pendapat yang berbeda. Dan juga banyak menerapkan ide ini dalam penafsiran hal-hal
yang kurang mendapat perhatian dari
pendahulunya.
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
Pada ciri ini berintikan bahwa petunjuk
ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula
ditujukan kepada orang-orang tertentu. Walaupun sejalan dengan kaidah ilmu
tafsir yang berbunyi `_~«[†½ˆs^×”Ÿ¬«[®½°˜^
ةz_˜«[
yang maknanya: Pemahaman arti suatu
ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum, bukan pada sebab
turunnya yang khusus, dalam hal ini ia memperluas pengertiannya sehingga selama
satu ayat dinilainya dapat bersifat umum, maka keumuman itu dinyatakannya,
walaupun terkadang bertentangan dengan kaidah bahasa. Misalnya pada surah Al-lail ayat 15-18,
yang terjemahannya: Tidak
ada yang masuk ke dalamnya (neraka) kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan
kebenaran dan berpaling dari iman. Dan kelak akan dijauhkan dari neraka orang yang paling bertakwa,
yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah untuk membersihkannya.
Kata
Asyqa dan Atqa dalam
kedua ayat ini olehnya di anggap mencakup semua
orang pada segala masa selama ia memiliki sifat-sifat tersebut. Sehingga
Al-Asyqa bukan ditujukan kepada Umayyah bin Khalaf sebagaimana petunjuk
sebab turunnya, tetapi ia mencakup orang-orang yang berdosa walaupun dia
berpredikat mukmin karena kelemahan imannya mengakibatkan ia melakukan dosa
yang tidak dilakukan oleh seorang mukmin. Sebaliknya, kata Al-Atqa yang disepakati oleh
ulama Asbab Al-Nuzul ditujukan pada Abu Bakar Al-Shiddiq, itu dinyatakan oleh
Abduh yaitu mencakup semua orang mukmin yang Istiqamah, bahkan juga mereka
yang pernah melakukan dosadosa tertentu.
Sedangkan menurut Al-Suyuthi dalam bukunya Al-Itqan fi ‘Ulum
Al-Qur’an menyatakan bahwa ayat 17 surah Al-Lail bersifat tidak umum
karena dalam ayat tersebut tidak ada redaksi yang bersifat umum, sebab Alim dan Lam hanya memberikan arti
umum bila ia maushulah atau ma’arrafah atau mufrad selama ia tidak
bersyarat dan alif-lam-nya (Al) bukan dalam arti
telah dikenal (Ahd). Sedangkan
Alif Lam dalam Al-Atqa buka maushulah, karena yang maushulah tidak dapat dirangkaikan dengan af’al tafdhil. Dengan demikian, kata Al-Atqa bukan jamak
sehingga tidak dapat diartikan
secara umum.
3.
Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
Penjelasan
Abduh yang dimaksud dengan ciri ini adalah: Al-Qur’an dijadikan sumber yang kepadanya disandarkan segala
mazhab dan pandangan keagamaan;
bukannya mazhab-mazhab tersebut menjadi pokok dan ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan penukung untuk
mazhab-mazhab tersebut. Misalnya pendapat
Abduh tentang tayamum di Surah Al-Nisa’ ayat 43 yang terjemahannya adalah:
”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Janganlah pula kamu
hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja,
sehingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu
tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.”
Menurutnya ini menunjukkan bahwa: 1)
seorang yang sakit atau 2) yang dalam perjalanan, sama hukumnya dengan 3)
seorang yang berhadats kecil atau 4) seorang yang berhadats besar yang tidak
mendapatkan air. Ini berarti bahwa perintah “... maka bertayamumlah kamu...”
bukan merupakan syarat bagi keempat macam keadaan di atas, tetapi ia berlaku
bagi keadaan ke-3 dan ke-4 dari yang tersebut di atas. Sedangkan Menurut
Muhammad Ali Al-Sais dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam bahwa seorang musafir
biasanya tidak memiliki air, atau sangat membutuhkannya sehingga perlu
disebutkan secara tegas seakan-akan ia tidak memiliki air.
Adapun
orang yang sakit, keadaan dan sifat penyakitnya
itulah yang merupakan penyebab dibolehkannya bertayamum. Dengan
demikian, ditegaskannya kedua kalimat itu lm ayat ini adalah untuk menggarisbawahi
bahwa tidak semua orang diperbolehkan bertayamum kecuali jika memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu.
4.
Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
Seperti
dalam menafsirkan ayat 255 Surah Al-Baqarah:
ª!$#
Iw
tm»s9Î)
wÎ)
uqèd
ÓyÕø9$#
ãPqs)ø9$#
4 w
¼çnäè{ù's?
×puZÅ
wur
×PöqtR
4 ¼çm©9
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
3 `tB
#s
Ï%©!$#
ßìxÿô±o
ÿ¼çnyYÏã
wÎ)
¾ÏmÏRøÎ*Î/
4 ãNn=÷èt
$tB
ú÷üt/
óOÎgÏ÷r&
$tBur
öNßgxÿù=yz
( wur
tbqäÜÅsã
&äóÓy´Î/
ô`ÏiB
ÿ¾ÏmÏJù=Ïã
wÎ)
$yJÎ/
uä!$x©
4 yìÅur
çmÅöä.
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur
( wur
¼çnßqä«t
$uKßgÝàøÿÏm
4 uqèdur
Í?yèø9$#
ÞOÏàyèø9$#
ÇËÎÎÈ
kesimpulan
bahwa arti, Tiada
Tuhan selain Dia, adalah
bahwa tiada dalam wujud
ini
pemilik kekuasaan yang sebenarnya terhadap jiwa (kecuali Dia) sehingga jiwa
terdorong untuk mengagungkan dan tunduk kepada-Nya serta meyakini bahwa
dalam genggaman kekuasaan- Nyalah
penganugerahan kebajikan atau keterhindaran dari
keburukan. Al-Hay, Maha hidup berarti Dia pemilik hidup dan sumber pengetahuan, kekuasaan dan kehendak.
Dalam menghadapi ayat-ayat yang
kelihatannya sukar di pahami maka seseorang, menurutnya dapat menakwilkan
ayat-ayat tersebut atau tidak membahasnya selain itu bagi ulama terdahulu yang
dilakukan yaitu menyerahkan pengertiannya kepada Allah. Sedangkan menurut
Sayyid Quthb dalam Tafsir Juz’ ‘Amma menyatakan bahwa
menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami nash-nash Al-Qur’an tentang
peristiwaperistiwa alam, sejarah kemanusiaan, dan hal-hal ghaib, berarti
menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah
yang Maha mutlak lagi Tidak terbatas. Sedangkan M. Quraish Shihab berpendapat
bahwa penggunaan akal secara bebas sering menjadikan seseorang mengabaikan
halhal yang bersifat supranatural atau melupakan bahwa akal itu sendiri mempunyai
keterbatasan-keterbatasan.
Dan seharusnya prinsip ini selalu dikaitkan
dengan prinsip ke-3 “Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum” bahkan sebagai
sumber segala sesuatu sehingga kita harus menerima nash Al-Qur’an sebagaimana
adanya, kemudian membentuk keyakinan dan pemahaman kita sesuai dengan nash,
bukannya menakwilkannya sesuai dengan jalan pikiran kita.
5. Menentang dan Memberantas Taqlid
Dalam hal ini muhammad Abduh menggunakan
setiap ayat yang mengecam taqlid, walaupun ayat itu menyangkut sikap kaum
musyrikin dan juga mengecam bagi yang berpengetahuan bahwa mengikut pendapat
ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujjahnya. Karena keinginan tersebut, ia mengecam
melalui penafsirannya terhadap ayat-ayat yang sama sekali tidak mempunyai
hubungan dengan taqlid misalnya dalam surah ‘Abasa ayat 38-42:
“Banyak
muka pada hari itu (kiamat) berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak (pula) muka pada hari
itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang yang kafir lagi durhaka”.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang
berseri-seri wajahnya adalah mereka yangmenuntut kebenaran dengan hujjah
sehingga tidak mempercayai sesuatu kecuali berdasarkan dalil bukan karena
pendapat terdahulu (kecuali pandapat Rasulullah saw.) kemudian keyakinan itu
diamalkan dengan sebenarnya.
Adapun yang mengecilkan akalnya dan rela
mengikuti orang-orang tuanya atau pemimpin-pemimpin pendahulunya, maka di hari
kemudian wajah-wajah mereka dipenuhi dengan debu serta ditutupi oleh kegelapan.
Apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh ini jelas merupakan suatu cara yang
terbaik guna mendapatkan hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan yang sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an, sekaligus sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Tapi sikap yang mengecam taqlid melalui ayatayat yang tidak mengandung kecaman
tersebut, bukanlah sesuatu yang wajaruntuk ditiru.
6.
Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara
Dalam
Al-Quran, sering ditemui lafal yang cukup jelas artinya walaupun tidak terperinci, seperti anjing yang Ash-habul Kahfi (Al-Kahfi ayat 18). Sementara mufasir menguraikannya dengan terperinci
dimana perincian yang pada umumnya
tidak mempunyai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, contohnya tafsir Ats-Tsa’labi, An-Naisabur,
Al-Baghawi dan Al-Khazin. Terkadang Muhammad Abduh tidak berusaha
menjelaskan arti suatu kata ayat Al-Qur’an apabila ia menganggap pembahasan
arti tersebut tidak banyak gunanya atau selama makna yang dikandung ayat itu
telah dipahami secara baik.
7.
Sangat Kritis Dalam Menerima Hadits-Hadits Nabi SAW.
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa sanad
(rangkaian perawi yang meriwayatkan/mengantarkan satu teks) belum
tentu dapat dipertanggung jawabkan.
Banyak hadits menurut ulama sebagai hadits Shahih tapi ditolak/ diabaikan olehnya karena dinilainya tidak
sesuai dengan pemikiran logis atau tidak
sejalan dengan redaksi ayat al-Qur’an. Tapi juga sebaliknya walaupun hadits tersebut dha’if menurut para ulama,
justru dikukuhkan oleh Abduh, hanya
karena kandungannya dinilai sejalan dengan pemikiran logis, sebagai contoh pengabaiannya terhadap hadits
Bukhari dan Muslim masalah wahyu pertama
turun (Iqra’) dan pengukuhannya terhadap riwayat-riwayat dhaif yang dinisbahkan kepada Ali Bin Abi Thalib yang
menyatakan bahwa Al-Fatihah adalah
wahyu pertama.
8.
Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat
Muhammad
Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat, tapi dengan kehati-hatiannnya
bukan berarti menolak semua tafsir sahabat
jika dianggapnya sejalan dengan pemikiran logis.
9.
Mengaitkan penafsiran Al-Qur’an dengan kehidupan sosial
Ulama-ulama
tafsir menilai Muhammad Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang bercorak adabi ijtima’i (budaya dan kemasyarakatan).
Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat Islam disebabkan oleh
kebodohan an kedangkalan pengetahuan
mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal. Dari segi ini pula Abduh berusaha untuk menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan penafsiran-penafsiran
ilmiah, baik yang berhubungan dengan ilmu alam maupun
dengan sosiologi. Selain itu juga mengarahkan pandangannya kepada perbaikan gaya bahasa Arab[17].
D. Ciri-ciri
Penafsiran Muhammad Rasyid Ridha
Bahwa
pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri
pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya
yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu
kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi
saw.
E. Perbedaan-perbedaan
antara Muhammad Rasyid Ridha dan Muhammad
Abduh
1.
Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan haditshadits
Nabi
Saw.
Misalnya
ketika Rashid Ridha menafsirkan ayat pertama surah Al-Ma’idah:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& Ïqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ uöxî Ìj?ÏtèC Ïø¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ßÌã ÇÊÈ
(Wahai orang-orang yang beriman, tunaikanlah secara sempurna akad akad(perjanjian)), ia mengutip pendapatpendapat para sahabat dan tabi’in tentang arti v¤˜«[ serta
macam-macamnya, lalu
dijelaskannya bahwa perintah menunaikan akad/perjanjian
dalam ayat tersebut
adalah secara umum dan mutlak sehingga segala macam perjanjian pada dasarnya mubah. Dalam hal ini ia tidak
menemukan dalil tetapi banyak hadits yang menukung kemutlakan tadi[19].
2.
Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan
masyarakat
Ada
4 hal yang menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat yaitu dalam bidang hukum, perbandingan agama,
hukum-hukum Allah dalam masyarakat
dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam bidang hukum yang dicontohkannya pada penafsiran misalnya tentang
makanan Ahlu Al-Kitab, pada
perbandingan agama juga di bahas panjang lebar dalam mengemukakan pandangan agama selain Islam. Di bidang
Sunnatullah menurutnya merupakan sebagian
dari hukum-hukum Allah yang berlaku di alam raya ini, agar pandangan kaum muslimin terarah kepada
dasar-dasar kebangkitan dan keruntuhan
suatu masyarakat[20].
3.
Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat
Didalam usaha menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur'an Muhammad Rasyid Ridha mengikuti jejak Ibnu Katsir yaitu menafsirkan
ayat-ayat al-Qur'an dengan ayat-ayat lainnya. Ada 2 bentuk penafsiran yang
ditempuhnya: a] menafsirkan kandungan suatu ayat dengan kandungan ayat-ayat
yang lain, misalnya pada ayat 165 surah Al-An’am yang kemudian ia menjelaskan
arti ayat tersebut dengan Al-A’raf 168, Hud 7, Al-Mulk 2, Al-Kahfi 7, Al-Furqan
20, Alu Imran 186, Al-Baqarah 155, Muhammad 31, Al-Ankabut 1-2, dan An-Naml 40.
Dan juga ia mengemukakan ayat-ayat yang mendukung uraiannya, ayatnya adalah Al-Jin
16-17, Al-Isra’ 20-21, Az-Zukhruf 32-35. b] menafsirkan arti satu kata dalam
rangkaian satu ayat dengan kata yang sama pada ayat-ayat yang lain.
Dalam hubungan keluasan pembahasan tentang
penafsiran ayat dengan ayat ini ada beberapa hal perlu digarisbawahi bahwa: a)
walaupun tidak sebanyak ayat yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir, namun jumlah
ayat-ayat yang dikemukakan sebagai penafsiran terhadap ayat yang ditafsirkan
lebih banyak dibandingkan dengan Ibnu Katsir. b) Apa yang dikemukakannya
menyangkut penjelasan arti satu kata dengan menelusuri kata-kata yang sama
dalam al-Qur'an merupakan cara yang terbaik untuk menetapkan pengertian kata
yang dimaksud.
4.
Keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Muhammad Rasyid Ridha
berusaha menjelaskan pengertian yang dikandung oleh satu kata, atau rahasia
yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan
redaksi ayat yang lain juga berbicara tentang persoalan yang sama[21].
KESIMPULAN
Al-Manar adalah salah satu kita tafsir yang
berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan yaitu suatu corak penafsiran
yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur’an pada segi-segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur’an yakni membawa
petunjuk dalam kehidupan kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan
hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia[22].
Dua tokoh Tafsir Al- Manar yaitu Muhammad
Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad Abduh bahwa gagasan dari
gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna, diterima dan diolah yang
disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan dari Muhammad Rasyid
Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan gurunya itu
dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
Dalam penulisan makalah tentang kajian
kitab Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, pada
metode, corak/aliran, keistimewaan dan kelemahan tafsirnya disajikan pada
ciri-ciri penafsirannya yang kami bahas di bagian sebelumnya. Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran Al-Qur’an,
yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan
keluar bagi problema-problema umat manusia. Karena itu ia tidak merinci hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh
akal, khususnya dalam bidang metafisika, sebagaimana
juga tidak merinci hal-hal yang tidak dibutuhkan oleh kaum Muslimin dalam kaitannya dengan kebahagiaan
hidup mereka di di dunia dan akhirat[23].
Setiap manusia yang memiliki kelebihan dan
kekurangandan di setiap hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang
pendidikan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial
masyarakatnya. Memahami hal tersebut adalah mutlak guna memahami
hasil pemikiran seseorang, dan pada gilirannya
dapat mengantar kepada penilaian pendapat yang dikemukakan itu, serta batas-batas kewajarannya untuk dianut
atau ditolak[24].
DAFTAR
PUSTAKA
Asy-Syirbashi, Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Qur’an. (Jakarta: Pustaka Firdous. 1985).
Bahasa,Tim penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. (Jakarta: Balai
Pustaka. 2002).
Hitti, Plihip K.. History of The Arabs (terj), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2006).
Muhammad Yasar dan Muhammad Hikam,
Al-Masyru’ al- Hadhari al-Islami:
(terj) Muhammad
Imarah,(Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005).
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan
Muhammad Rasyid
Ridha, cet.
I. (Bandung: Pustaka Hidayah. 1994).