Implikasi Teori Belajar Terhadap kurikulum


  PENDAHULUAN
Belajar mengajar merupakan proses yang sangat penting dalam pendidikan. Bahkan, tidak jarang hasil akhir dari pendidikan ditentukan oleh keberhasilan proses belajar mengajar ini. Hal ini membawa implikasi bagi pendidik agar memiliki kemampuan dalam hal proses belajar mengajar. Untuk mendukung proses tersebut, pendidik harus mempelajari teori-teori tentang belajar. Dengan mempelajari teori-teori belajar ini, pendidik akan dapat memahami hakikat belajar menurut berbagai aliran. Untuk selanjutnya, teori-teori tersebut dapat digunakan sebagai kerangka dalam proses belajar mengajar.
Pada makalah ini akan dibahas lebih mendalam tentang implikasi teori belajar dalam pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran sebagai elemen aplikatif dalam kurikulum. Selain membahas tentang teori belajar menurut berbagai tokoh, juga akan dijelaskan teori belajar menurut aliran pemikirannya

 PENBAHASAN

  1. Pengertian teori belajar menurut pandangan teori behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respons. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami anak didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai hasil belajarnya. Sebagai contoh dalam berhitung perkalian, walaupun seorang anak didik telah berusaha giat, gurupun sudah mengajarkan dengan tekun, namun apabila anak didik tersebut belum mampu mempraktekkan perhitungan perkalian, maka dia belum dianggap belajar. Karena dia belum bisa menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar.[1]
Teori behavioristik menekankan kajiannya terhadap input yang berupa stimulus dan output yang berbentuk respons. Dalam contoh di atas, stimulus adalah semua hal yang diberikan oleh guru kepada anak didik mislanya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk membantu belajar anak didik. Sedangkan respons adalah tanggapan atau reaksi terhadap stimulus tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan diukur. Behavioristik mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran adalah dasar untuk menilai ada tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon sakan semakin dikuatkan. Misalnya, ketika anak didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka dia akan semakin giat belajarnya. Maka hal tersebut adalah positive reinforcement dalam belajar. Namun apabila tugasnya dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan frekuensi belajarnya, maka hal itu merupakan negative reinforcement dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.
            Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa perbedaan di antara mereka. Secara singkat, akan dijelaskan mengenai tokoh tersebut dan pemikirannya terhadap teori belajar.
  1. Teori belajar menurut Thorndike
Menurut Thorndike belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Stimulus adalah apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui indera. Sedangkan respons yaitu reaksi yang dimunculkan anak didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, tindakan atau gerakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar dapat berwujud konkrit yang dapat diamati ataupun tidak konkrit yang oleh karenanya tidak dapat diamati. Meskipun aliran behavioristik sangat mengutamakan pengukuran, namun dia tidak dapat menjelaskan bagaimana mengukur  tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori  Thorndike ini disebut juga sebagai aliran koneksionisme.[2]
  1. Teori belajar menurut Watson
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang setelah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons, namun iteraksi tersebut harus bisa diamati (observable)  dan dapat diukur (measurable). Teori belajar Watson berorientasi kepada pengalaman empiris. Dia mengakui terhadap perubahan mental selama kegiatan belajar pada anak didik, namun dia beranggapan itu adalah faktor yang tidak perlu diperhitungkan, karena hal tersebut tidak dapat diamati sehingga tidak bisa menjelaskan apakah seorang anak didik telah mengalami proses belajar atau belum.[3]
  1. Teori belajar menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respons dalam menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun dia sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.[4]
Dalam kenyataanya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dewasa ini, terutama setelah Skiner memperkenalkan teorinya. Namn teori ini masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
  1. Teori belajar menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, dia menggunakan variabel hubungan stimulus dan respons untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun dia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark Hull. Dia menjelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respons cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan  tersebut menjadi relatif permanen. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skiner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcement) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
  1. Teori belajar menurut Skiner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skiner tentang belajar, mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para pakar behavioristik sebelumnya. Menurut Skiner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi  dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.  Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang  akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan mempengaruhi bentuk respons yang akan diberikan. Demikian juga dengan respons yang dimunculkan juga akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan dalam memunculkan sebuah perilaku.
Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami  hubungan antara satu stimulus dengan stimulus yang lainnya, serta memahami respons yang mungkin akan dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat  dari respons tersebut.
Pandangan teori belajar behavioristik cukup lama dianut oleh pelaksana pendidikan di banyak Negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skiner yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik. Program-program pembelajaran seperti teaching machine, pembelajaran berprogram, modul, serta program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan antara stimulus dan respons serta mementingkan faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal lain yang berkaitan dengan pendidikan atau proses belajar yang tidak dapat diganti dengan hanya sekedar hubungan stimulus dan respons. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan anak didik untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif.

  1. Pengertian teori belajar menurut pandangan teori kognitif
Pengertian teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar  behavioristik. Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Para penganut teori kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut teori belajar kognitif, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Membagi-bagi situasi/ materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil dan mempelajarinya secara terpisah akan menghilangkan maknanya yang utuh. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.[5] Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti; tahap-tahap perkembangan yang dikemukakan J Piaget, pemahaman konsep oleh Bruner, dan lain sebagainya.
  1. Teori perkembangan Piaget
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengarunya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang didefinisikan secara kuantitatif, dia menyimpulkan daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka alami dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang baru mereka lihat atau rasakan pada sisi yang lain. Butuh proses adaptasi guna menghubungkan kedua hal tersebut.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang, sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi baru, maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya. Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal itu disebut akomodasi.
Agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan, yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur. Hal ini biasanya ditampakkan pada cara berbicara yang tidak runtut, berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan lain sebagainya.[6]
Sebagaimana dijelaskan di atas, proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melaui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilaui berdasarkan urutan tertentu dan seeorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya.[7] Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;
1)      Tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.
2)      Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangan ini adalah pada penggunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intutif. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional awal dan intuitif. Preoperasional awal (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupu masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami objek.
Tahap intuitif (umur4-7/8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengaalaman luas.
3)      Tahap operasional konkrit (umur 7/8-11/12 tahun)
Ciri pokok perkembangan anak pada usia ini adalah anak sudah mulai menggunakan atura-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak sudah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkrit.
4)      Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipotetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa.
  1. Teori belajar menurut Bruner
Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khusunya dalam bidang perkembangan fungsi kognitif. Bruner berpendapat bahwasanya, perkembangan kognitif  seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran  dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melaui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan[8], yaitu;
Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinnya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan  dan perbandingan.
Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melaui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

  1. Pengertian teori belajar menurut pandangan teori Konstruktivistik
a)      Konstruksi pengetahuan
Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan, untuk memperbaiki pendidikan terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Manusia akan mencari dan menggunakan hal-hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Pada bagian ini akan dibahas teori belajar konstruktivistik kaitannya dengan pemahaman tentang apa pengetahuan itu, proses mengkonstruksi pengetahuan, serta hubungan antara pengetahuan, realitas, dan kebenaran.
            Apa pengetahuan itu? menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.
            Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada anak didik, pentransferan itu akan diinterpretasikan dan dikontruksikan oleh anak didik sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
            Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pembentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemahamannya akan objek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih rinci.
            Von Galserfeld mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan; 1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya.[9]
            Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.
  1. Proses belajar menurut teori konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan konstruktivistik, dan dari aspek-aspek si-belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evolusi belajar.
Proses belajar konstruktivistik. Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri anak didik, melainkan sebagai pemberian makna oleh anak didik kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya daripada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…. Constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual ai a complex network of increasing conceptual consistency…..” pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh anak didik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan anak didik dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Anak didik. Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh anak didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Paradigma konstruktivistik memandang anak didik sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru.
Evaluasi belajar. Evaluasi belajar pandangan konstruktivistik menggunakan goal free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan yang ketat pada pembelajaran. Bentuk-bentuk evaluasi kostruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik yang menkonstruksi pengetahuan dan menggambarkan proses berpikir yang dialami oleh setiap anak didik.

Aplikasi teori belajar dalam pembelajaran
  1. Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik anak didik, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan pada teori behavioristik  memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau anak didik. Anak didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh anak didik.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka anak didik harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sesuatu yang esensial dalam belajar. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan dinilai sebagai perilaku yang pantas untuk diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut anak didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian materi pelajaran menekankan kepada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan  dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar banyak menekankan kepada buku wajib dengan penekanan pada keterampilan menungkapkan kembali isi buku. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
       Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test . Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila anak didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa anak didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan anak didik secara individual.
         Secara umum, langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:[10]
  1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
  2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal (entry behavior) anak didik.
  3. Menentukan materi pelajaran
  4. Memecah materi pelajaran menjadi bagian-bagian kecil, meliputi pokok bahasan, sub pokok bahasan, topik, dsb.
  5. Menyajikan materi pelajaran.
  6. Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas.
  7. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan anak didik.
  8. Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negative), ataupun hukuman.
  9. Memberikan stimulus baru.
  10. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan anak didik.
  11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
  12. Evaluasi belajar.
2.    Aplikasi Teori Kognitif dalam Keegiatan Pembelajaran
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan anak didik secara aktif dalam proses belajar sangat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi anak didik. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:[11]
  1. Anak didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkenbangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
  2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
  3. Keterlibatan anak didik secara aktif secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan anak didik maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
  4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
  5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika meteri disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke komplek.
  6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dengan pengetahuan yang dimiliki anak didik. Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sudah dipelajari dengan apa yang sudah diketahui anak didik.
  7. Adanya perbedaan individual pada diri anak didik perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berfikir, pengetahuan awal, dan sebagainya.
Kedua tokoh aliran kognitif di atas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu mementingkan keterlibatan anak didik secara aktif dalam belajar.  Menurut Piaget, hanya dengan mengaktifkan anak didik secara optimal maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik. Sementara itu, Bruner lebih banyak memberikan kebebasan pada anak didik untuk belajar sendiri melalui aktivitas menemukan (discovery). Cara demikian akan mengarahkan anak didik pada bentuk belajar induktif, yang menutut banyak dilakukan pengulangan.
Dari pemahaman di atas, maka langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh masing-masing tokoh tersebut berbeda. Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan dapat digunakan. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:[12]
Langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget
1)      Menentukan tujuan pembelajaran
2)      Memilih materi pelajaran
3)      Menentukan topic-topik yang dapat dipelajari anak didik secara aktif
4)      Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topic tersebut, misalnya penelitian, memecahkan masalah, diskusi, simulasi, dan sebagainya
5)      Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreativitas dan cara berfikir anak didik
6)      Melakukan penilaian proses dan hasil belajar anak didik
Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner
1)      Menentukan tujuan pembelajaran
2)      Melakukan identifikasi karakteristik anak didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya)
3)      Memilih materi pelajaran
4)      Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari anak didik secara induktif (dari contoh-contoh ke generalisasi)
5)      Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk dipelajari anak didik
3.    Aplikasi teori konstruktivistik dalam pembelajaran
Pembelajaran konstruktivistik membantu anak didik menginternalisasi dan mentrasnformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan  baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Pendekatan konstruktivistik lebih luas dan sukar untuk dipahami. Pandangan ini tidak melihat pada apa yang diungkapkan kembali atau apa yang dapat iulang oleh anak didik terhadap pelajaran yang telah diajarkan dengan cara menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat dihasilkan anak didik, didemonstrasikan, dan ditunjukkannya.
Secara rici karakteristik pembelajaran konstruktivistik terjabarkan melalui kurikulum yag disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide anak didik. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer,  dan manipulasi bahan. Pengukuran proses dan hasil belajar anak didik terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan anak didik, serta melalui tugas-tugas pekerjaan. Anak didik banyak belajar dan bekerja di dalam grup proses.[13]


  Penutup
Dari sekian banyak teori yang dikeluarkan oleh para ilmuwan dan teoritikus pendidikan tentu kita harus arif dalam melihat perkembangan teori tersebut, sehingga kita pun harus bisa mengambil mana metode yang tepat untuk anak didik kita, sesuai dengan kondisi dan lingkunagn yang ada. Karena pada dasarnya teori-teori tersebut muncul tujuannya hanya satu, yaitu bagaimana menciptakan metode dan model pendidikan yang tepat bagi anak didik agar siap menghadapi tantangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Suciati & Prasetya Irawan, Teori belajar dan motivasi, Jakarta: Depdiknas-Dirjen PT, 2001
D H Jonassen, Objectivism Versus Constructivism: Do We Need a New Philoshopical Paradigm? (New York: ERT&D, 1990
 Mark K. smith, dkk, Teori dan pengajaran , Yogyakarta: Mirza Media Pusaka, 2009
B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, An Introduction Theories Of Learning Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010
 Baharudin & Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar & Pembelajaran  Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009
C Asri Budinigsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005


Postingan terkait: