Pendahuluan
Hadis atau sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki
posisi sangat signifikan, baik secara struktural maupun fungsional. Secara
struktural menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an, namun jika dilihat secara
fungsional, ia merupakan bayan (eksplanasi) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang
bersifat ‘am (umum), mujmal (global) atau mutlaq.1 Secara tersirat,
al-Qur’an-pun mendukung ide tersebut, antara lain firman Allah SWT:
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turunkan al-Qur’an
kepadamu (Muhammad) agar kamu menjelaskan kapada umat manusia apa yang telah
diturunkan untuk mereka, dan supaya mereka memikirkan.”. (QS. An-Nahl 44)
Adanya perintah agar Nabi SAW. Menjelaskan kapada umat manusia mengenai
al-Qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya, dapat diartikan bahwa
Hadis berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhadap al-Qur’an.
Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika kemudian Imam al-Auza’i
pernah berkesimpulan bahwa al-Qur’an sesungguhnya lebih membutuhkan kepada
al-Hadis daripada sebaliknya. Sebab secara tafshili (rinci) al-Qur’an masih
perlu dijelaskan dengan Hadis.2
Disamping sebagai bayan terhadap al-Qur’an, Hadis secara mandiri
sesungguhnya dapat menetapkan suatu ketetapan yang belum diatur dalam
al-Qur’an. Namun persoalannya adalah bahwa untuk memahami suatu Hadis dengan
“baik”, tidaklah mudah. Untuk itu, diperlukan seperangkat metodologi dalam
memahami Hadis.
1) Jumhur
ulama hadits menyamakan istilah hadits dengan sunnah. Lihat : Muhammad’Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa
Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm.25
2) Said
Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqin, 2001 Asbabul Wurud study kritis hadits
nabi pendekatan sosio/histories/-kontekstual Yogyakarta PT. Pustaka Pelajar
Hlm.05
Ketika kita mencoba memahami
suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat teks Hadisnya saja, khususnya ketika
Hadis itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan
lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu Hadis, perlu
memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi,
dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya.
Tanpa memperhatikan konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang
akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu Hadis, bahkan
ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru.3 Itulah mengapa
asbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu Hadis, seperti
pentingnya asbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an.4
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa tidak semua Hadis mempunyai
asbabul wurud. Sebagian Hadis mempunyai asbabul wurud khusus, tegas dan jelas,
namun sebagian yang lain tidak. Untuk katagori pertama, mengetahui asbabul
wurud mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (miss understanding)
dalam menangkap maksud suatu Hadis. Sedangkan untuk Hadis-Hadis yang tidak
mempunyai asbabul wurud khusus, sebagai alternatifnya, kita dapat menggunakan
pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau bahkan pendekatan psikologis
sebagai pisau analisis dalam memahami Hadis. Hal ini didasarkan pada suatu
asumsi bahwa Nabi SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis
dan hampa kultural.
B. Pengertian
Asbabul Wurud
Secara etimologis, “asbabul wurud” merupakan susunan idhafah yang berasal
dari kata asbab dan al-wurud. Kata “asbab” adalah bentuk jamak dari kata “sabab”.
Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya
dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda dengan benda lainnya.5
Sedangkan menurut istilah adalah :
كل
شيء يتوصل به الى غا يته
“Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”
Dan ada juga yang
mendifinisikan dengan : suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa
ada pengaruh apapun dalam hukum itu.
Sedangkan kata Wurud bisa berarti
sampai, muncul, dan mengalir seperti :
الماء الذي يورد
“Air yang memancar atau air yang
mengalir “6
Dengan demikian, secara
sederhana asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya sesuatu.
Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu hadis, maka asbabul
wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang (background )
munculnya suatu hadis.7
Menurut as-suyuthi, secara terminology asbabul wurud diartikan sebagai
berikut :
أنه
ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم أو حصوص أو إطلاق أوتقييد أونسخ
أونحو ذلك.
Sesuatu yang menjadi thoriq
(metode) untuk menentukan suatu Hadis yang bersifat umum, atau khusus, mutlak
atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan) dalam suatu
Hadis.
Jika dilihat secara kritis, sebenarnya difinisi yang dikemukakan
As-Suyuthi lebih mengacu kepada fungsi asbabul wurud , yakni untuk menentukan
takhsis (pengkususan) dari yang ‘am (umum), membatasi yang mutlak, serta untuk
menentukan ada tidaknya naskh mansukh dalam Hadis dan lain sebagainya.
Dengan demikian, nampaknya kurang tepat jika definisi itu dimaksudkan
untuk merumuskan pengertian asbabul wurud menurut Prof.Dr. Said Agil Husin
Munawwar untuk merumuskan pengertian asbabul wurud, kita perlu mengacu kepada
pendapat hasbi ash-shiddiqie. Beliau mendefinisikan asbabul wurud sebagai
berikut :
6) Munzier Suparta, 2008 Ilmu Hadits
Jakarta PT. Raja Grafindo Persada,
hlm. 38-.39
7) Said Agil Husin Munawwar
dan Abdul Mustaqin, ………………. Hlm.07
علم يعرف به
السبب الذي ورد لأجله الحديث والزمان الذي جاء به
“Ilmu yang menerangkan
sebab-sebab nabi SAW. Menuturkan
sabdanya dan masa-masa nabi SAW. Menuturkannya”.
Sementara itu, ada pula ulama’
yang memberikan definisi asbabul wurud, agak mirip dengan pengertian
asbabun-nuzul, yaitu :
ما ورد الحديث
أيام وقوعه
“Sesuatu (baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan)
yang terjadi pada waktu Hadis itu
disampaikan oleh nabi SAW.”
Dari ketiga definisi tersebut
di atas dapat ditarik benang merah bahwa asbabul wurud adalah konteks
historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya yang
terjadi pada saat Hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi
sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah Hadis itu bersifat umum atau
khusus, mutlaq atau muqayyad, naskh atau mansukh dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dalam
perspektif ini mengetahui asbabul wurud bukanlah tujuan (ghayah), melainkan
hanya sebagai sarana (washilah) untuk memperoleh ketepatan makna dalam memahami
pesan moral suatu Hadis.8
Sebagian ulama’ berpendapat
bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkannya hadis itu sudah
tercakup dalam pembahasan ilmu tarikh, karena itu tidak perlu dijadikan suatu
ilmu yang berdiri sendiri.
Akan tetapi karena ilmu ini
mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tercakup
dalam ilmu tarikh dan mempunyai faedah yang cukup besar dalam lapangan ilmu
hadits, maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu suatu ilu pengetahuan
tersendiri, sebagai cabang ilmu hadits dari jurusan matan.9
C. Macam-Macam Asbabul Wurud
Menurut imam as-Suyuthi asbabul
wurud itu dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu: 10
1. Sebab yang berupa ayat al-Qur’an.
2. Sebab yang
berupa Hadis itu sendiri.
3. Sebab yang
berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat.
Berikut ini akan dijelaskan
satu-persatu mengenai ketiga macam tersebut, yaitu:
Sebab yang
berupa ayat al-Qur’an.
Artinya di sini ayat al-Qur’an itu menjadi penyebab Nabi SAW.
Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara lain firman Allah SWT. yang berbunyi :
الذين أمنوا ولم
يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman, dan
mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapatkan
petunjuk” (Q.S. Al-An’am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “azh-zhulmu” dengan pengertian “jaur”
yang berarti berbuat aniaya atau melanggar aturan. Nabi SAW. Kemudian
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud “azh-zhulmu” dalam firman tersebut
adalah asy-syirku yakni perbuatan syirik, sebagaimana yang disebutkan dalam surat
al-Luqman:
إن الشرك لظلم عظيم
“sesungguhnya syirik itu
merupakan kezhaliman yang besar.” (Q.S al-Luqman: 13)
Sebab yang
berupa Hadis.
Artinya pada waktu itu terdapat
suatu Hadis, namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian
muncul Hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap Hadis tersebut. Contoh
adalah Hadis yang berbunyi:
إن لله تعالى
ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر
“sesungguhnya Allah SWT memiliki
para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai
kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim)
Dalam memahami Hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan,
maka mereka bertanya: Ya rasul !, bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi
SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadis yang diriwayatkan
oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang
membawa jenazah. Para sahabat kemudian
memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu
baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat” (pasti masuk
surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa
jenazah lain. Ternyata para
sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi
berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka).
Ketika mendengar komentar Nabi
SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap
jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut
mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga
kali. Nabi menjawab: iya benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu
Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut
merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang.
(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dengan demikian, yang dimaksud
dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan
seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah
ini baik dan jenazah itu jahat.
Sebab yang yang berkaitan dengan
para pendengar dikalangan sahabat.
Sebagai contoh adalah
persoalan yang berkaitan dengan sahabat Syuraid Bin Suwaid ats-Tsaqafi. Pada waktu Fath makkah (pembukaan kota
makkah) beliau pernah datang kepada nabi SAW seraya berkata: “Saya Bernazar
Akan Shalat Dibaitul Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut, lalu Nabi
bersabda: “Shalat Di Sini, yakni masjidil haram itu lebih utama”. Nabi SAW lalu
bersabda: “Demi Dzat yang Jiwaku Berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu
shalat disini (Masjid Al-Haram Makkah), maka sudah mencukupi bagimu untuk memenuhi
nazarmu”. Kemudian Nabi SAW, bersabda lagi: “Shalat Dimasjid Ini, Yaitu Masjid
Al-Haram Itu Lebih Utama Dari Pada 100 000 Kali Shalat Di Selain Masjid
Al-Haram”. (H.R. Abdurrazzaq Dalam Kitab Al-Mushannafnya).11
D. Urgensi Asbabul Wurud dan Cara
Mengetahuinya
Asbabul wurud mempunyai
peranan yang sangat penting dalam rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya
hadis yang disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, cultural, bahkan temporal.
Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas munculnya hadis sangat
penting, karena paling tidak akan menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap
maksud suatu hadis. Sedemikian rupa sehingga kita tidak terjebak pada teksnya
saja, sementara konteksnya kita abaikan atau kita ketepikan sama sekali.
Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbabul wurud akan cenderung bersfat
kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif terhadap
perkembangan zaman.
Adapun urgensi asbabul wurud
menurut imam as-Suyuthi antara lain untuk:
1. Menentukan adanya takhsish hadis yang bersifat
umum.
2. Membatasi
pengertian hadis yang masih mutlak.
3. Mentafshil
(memerinci) hadis yang masih bersifat global.
4. Menentukan
ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
5. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya
suatu hukum.
6. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih
musykil (sulit dapahami)
Sebagai ilustrasi, akan
diberikan beberapa contoh mengenai fungsi asbabul wurud hadis, yaitu untuk
menentukan adanya takhsish terhadap suatu hadis yang ‘am, misalnya hadis yang
berbunyi:
صلاة القاعد على
النصف من صلاة القائم
“shalat orang yang sambil duduk
pahalanya separoh dari orang yang sholat sambil berdiri.” (H.R. Ahmad) 12
Pengertian “shalat” dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya
dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri melalui asbabul
wurudnya, maka akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud “shalat” dalam hadis itu
adalah shalat sunnat, bukan shalat fardhu. Inilah yang dimaksud dengan
takhshish, yaitu menentukan kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan
memperhatikan konteks asbabul wurud.
Asbabul wurud hadis tersebut adalah bahwa ketika itu dimadinah dan
penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat lalu melakukan shalat
sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, nabi kebetulan datang dan tahu bahwa
mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka nabi kemudian
bersabda :” shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang
shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan nabi tersebut, akhirnya para
sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.
Dari penjelasan asbabul wurud
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “shalat” dalam
hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya adalah bahwa bagi orang yang
sesungguhnya mampu melakukan shalat sunnah sambil duduk, maka ia akan mendapat
pahala separoh dari orang shalat sunnat dengan berdiri.
Dengan demikian, apabila
seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena
sakit, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan
duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut.
Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan
orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at.
Adapun contoh mengenai asbabul
wurud yang berfungsi untuk membatasi pengertian yang mutlak adalah hadis yang
berbunyi:
من سن سنة حسنة عمل بها بعده كان له أجره مثل أجورهم من
غير أن ينقص من أجورهم شيئا و من سن سنة سيئة فعمل بها من بعده كان عليه وزره ومثل
أوزارهم من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا
“barang siapa melakukan suatu sunnah
hasanah (tradisi atau perilaku yang baik), lalu sunnah itu diamalkan
orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang
mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Demikian pula
sebaliknya, barang siapayang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku
yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan
dosa mereka, tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa yang mereka peroleh.” (H.R.
Muslim)
Kata “sunnah” masih bersifat mutlak, artinya belum dijelaskan oleh
pengertian tertentu. Ia dapat berarti sunnah hasanah (perilaku yang baik) dan
sunnah sayyi’ah (perilaku yang jelek). Sunnah merupakan kata yang mutlaq baik
yang mempunyai dasar pijakan agama atau tidak.
Asbabul wurud dari hadis tersebut adalah ketika itu Nabi SAW sedang
bersama-sama sahabat. Tiba tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan
sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin. Melihat
fenomena itu, Nabi SAW wajahnya menjadi merah, karena merasa empati, iba dan
kasihan. Beliau lalu memerintahkan kepada sahabat yang bernama bilal agar
mengumandangkan adzan dan iqamah untuk melakukan shalat jama’ah. Setelah selesai
jama’ah shalat, Nabi SAW keudian berpidato, yang inti pidatonya adalah
menganjurkan agar bertaqwa kepada Allah SWT dan mau menginfaqkan sebagian
hartanya untuk sekelompok orang-orang miskin tersebut.
Mendengar anjuran itu, maka salah seorang dari sahabat Anshar lalu keluar
membawa satu kantong bahan makanan dan diberikan kepada mereka. Ternyata yang dilakukan oleh Anshar itu kemudian
diikuti oleh para sahabat yang lain. Maka kemudian Nabi bersabda :
من سن سنة
حسنة … الحديث
Dari asbabul wurud tersebut,
as-Suyuthi menyimpulkan bahwa yang dimaksud sunnah dalam hadis tersebut adalah
sunnah yang baik.12
Adapun cara mengetahui asbabul
wurudnya sebuah hadis adalah dengan melihat aspek riwayat atau sejarah yang
berkaitan dengan peristiwa wurudnya hadis, sebab-sebab wurudnya hadis, ada yang
sudah tercantum pada matan hadis itu sendiri, ada yang tercantum pada matan hadis
lain. Dalam hal tidak tercantum, maka ditelusuri melalui riwayat atau sejarah
atas dasar pemberitaan para sahabat.13
E. Perintis Ilmu Asbabul Wurud dan Kitab-Kitab yang Membicarakan tentang
Asbabul Wurud
Ilmu mengenai
asbabul wurud al-hadis ini sebenarnya telah ada sejak zaman sahabat. Hanya
saja ilmu ini belum tersusun secara sistematis dalam suatu bentuk kitab-kitab.
Demikian kesimpulan as-Suyuthi dalam al-Luma’ fi Asbabi wurud al-hadis. Namun
kemudian, seiring dengan perkembangan dunia keilmuan waktu itu, ilmu asbab
al-wurud menjadi berkembang. Para ulama ahli
hadis rupanya merasakan perlunya disusun suatu kitab secara tersendiri mengenai
asbabul wurud.
Perintis ilmu Asbabul Wurud ialah Abu Hamid bin Kaznah Al-Jubary.
Kemudian disusul oleh Abu Hafs Umar bin Muhammad bin Raja’I Al-Ukhbary (380-458
H). Ia adalah salah seorang guru Abu yahya Muhammad bin Al-Husain Al-Farra’
Al-Hambaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal.
Al-Muhaddits As-sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin yang terkenal
dengan Kunyah ibnu Hamzah A- Husainy (1054-1120) mengarang pula kitab As-Sababi
Wurudi al Hadits dengan diberi nama Al-Bayan wat Ta’rif fi Asbabi Wurudil
Hadits as- Syarif. Kitab yang disusun secara alfabetis ini dicetak pada
tahun 1329 H. di Hallab dalam 2 juz besar-besar.
Adapun kitab-kitab lain yang banyak berbicara mengenai asbabul wurud
antara lain adalah:
- Asbabul wurud al-hadis karya Abu Hamid Abdul Jalil Al-Jabari.
- Al-Bayan wa at-Ta’rif karya Ibnu Hamzah Al-Husaini ad-Damasyqi
(w.1110 H.) 14
F.
Kesimpulan
Asbabul warud al-hadis merupakan konteks historisitas yang melatar
belakangi munculnya suatu hadis. Ia
dapat berupa peristiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadis itu di
sampaikan nabi SAW. Dengan lain ungkapan, asbabul wurud adalah faktor-faktor
yang melatar belakangi munculnya suatu hadis.
Sebagai salah satu disiplin
ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan
dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang
mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja
dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru.
Dari beberapa definisi asbabul
wurud yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat disimpulkan bahwa pengertian
asbabul wurud tersebut lebih mengacu pada asbabul wurud khas (asbabul wurud
mikro). Di antara fungsi dari mengetahui asbabul wurud adalah untuk menentukan
ada tidaknya takhsish dalam suatu hadis yang umum, membatasi kemutlakan suatu
hadis, merinci yang masih global, menentukan ada tidaknya nasikh mansukh dalam
hadis, mejelaskan ‘illat ditetapkannya suatu hukum, dan menjelaskan hadis yang
sulit dipahami (musykil).
Tampaknya perlu dikembangkan
asbabul wurud ‘am (asbabul wurud makro), yaitu situasi sosio-historis yang
lebih bersifat umum di mana dan kapan Nabi SAW menyampaikan sabdanya dan hal
ini memerlukan kajian sejarah yang sangat detail.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung :
PT Al-Ma’arif, 1974
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung Pustaka Setia, 1999.
Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Asbabul wurud Studi kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet 1
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Raja Grafindo,
2008, Cet ke 5
Soetari, Endang, Ilmu hadits, Bandung: Amal Bakti
Press, 1997, Cet ke 2