PENDAHULUAN
Al-jarh secara bahasa diambil dari isim masdar,
berarti luka yang mengalir darah atau cacat. Atau sesuatu yang dapat
menyebabkan seseorang gugur ke kedhalalahhannya, Diambil dari kata jaraha – yajrahu - [1]jarhu,
kalangan ahli bahasa arab membedakan konotasi dari bentuk masdar : al-jurhu
(huruf jim bersakal dommah) dan al-jarhu (huruf yang sama bersakal
fathah). Kata al-jurhu berarti luka yang menimpa bagian fisik manusia.
Sedangkan kata luka al-jarhu berarti luka non fisik atau mencela,
mengumpat atau mengakatan cacat
kepribadian seseorang. Menilai jarah terhadap kesaksian sesorang di pengadilan
berakibat menggugurkan keabsahan
kesaksian yang bersangkutan
Hadith nabi
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim wajib
mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena sifat
yang demikian, maka mempelajari hadith juga merupakan keharusan bagi setiap
muslim. Karena, untuk beramal dengan ajaran-ajaran nyang terdapat dalam
hadith-hadith nabi, sesorang harus mengetahui hal-hal yang diajarkan di
dalamnya. Di samping memahami dan mengkaji hadith, juga mempelajari ilmu hadith
juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihkwal yang terkait
dengan hadith nabi khususnya segi hujjah atau dalil agama Islam.
Berbeda
dengan al-qur’an yang seluruh ayatnya dijamin berasal dari Allah sehingga
bersifat qath i al-wurud (pasti berasal dari Allah), hadith nabi ada
yang dipastikan dari nabi, ada juga yang diragukan bahkan ada pula yang tidak
berasal darinya. Untuk mengetahui hal ihwal yang terkait tersebut, para ulama
hadith telah menyusun yang di kenal ulumul al-hadith yang disebut juga ilmu musthalah
al-hadith, ushul al-hadith, atau qawa’id al-hadith. Adapun salah
satu pembahasan dari ilmu hadith tersebut di atas adalah tentang al-jarh wa
al-ta’dil.
Berdasarkan
latar belakang yang penulis kemukakan di atas. Maka yang menjadi topik
pembahasan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a) Bagaimana Definisi al-jarh
wa al-ta’dil ?.
b) Ada berapa Tingkatan
dalam ilmu hadith al-jarh dan al-ta’dil ?.
PEMBAHASAN
A.
Definisi al-jarh wa al-ta’dil
Al-jarh secara bahasa diambil dari isim masdar, berarti
luka yang mengalir darah atau cacat. Atau sesuatu yang dapat menyebabkan
seseorang gugur ke kedhalalahhannya, Diambil
dari kata jaraha – yajrahu - [2]jarhu,
kalangan ahli bahasa arab membedakan konotasi dari bentuk masdar : al-jurhu
(huruf jim bersakal dommah) dan al-jarhu (huruf yang sama bersakal
fathah). Kata al-jurhu berarti luka yang menimpa bagian fisik manusia.
Sedangkan kata luka al-jarhu berarti luka non fisik atau mencela,
mengumpat atau mengakatan cacat
kepribadian seseorang. Menilai jarah terhadap kesaksian sesorang di pengadilan berakibat
menggugurkan keabsahan kesaksian yang
bersangkutan.
Sedangkan
secara istilah adalah ilmu yang
mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya,
para ahli hadith mendefinisikan al-jarh dengan :
الطعن في راوي الحديث بما يسلب او يخل بعدالته او ضبطه.
Artinya : kecacatan pada perawi hadith karena sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan.
Dalam pengertian istilah ilmu hadith al-jarah
berbentuk masdar dari jaraha dengan thulasi mujarrad diartikan
ظهور و صف في الراوي يثلم
عدالته اويخل بخفظه, صبطه, مما يترتب عليه سعوط رواتيه اوضعها وريها
Artinya : menampakkan sifat pada
diri perawi yang dapat merusak kesempurnaannya, atau mencederakan hafalannya
serta kecermatannya secara berturut-turut sehingga hadith yang diriwayatkan
menjadi gugur atau lemah dan dapat ditolak[3]
Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Manna’ Al-Qaththan
dalam mabahathu fi ulumi al-hadith yaitu terlihatnya sifat pada seorang
perawi yang dapat menjatuhkan
ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugurnya riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Dalam disiplin keilmuan, yakni ilmu jarh wa al-ta’dil
menunjukkan betapa ketercelaan pribadi para perawi hadith bukan dicari-cari
melainkan tampak dengan sendirinya pada perawi bersangkutan. Apabila
dipergunakan kata al-tarjih (bentuk muta’addi dari jaraha)
diartikan sebagai berikut :
B.
Tingkatan al-jarh dan
al-ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat
dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada
yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada
pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah;
serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya
ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena
itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang
menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu
pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).[4]
Tingkatan
At-Ta’dil
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan
bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala
dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak
ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan
ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
2.
Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan
sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan
periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah,
atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun),
atau tsiqah dan hafidh.[5]
3.
Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan
adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah,
tsabt, atau hafidh.
4.
Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan
adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan
dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu
ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak
mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi
adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid,
sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan
ketsqahan perawi tersebut).[6]
5.
Tingkatan Kelima
Yang tidak
menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh
(fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya
hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
6.
Tingkatan Keenam
Isyarat yang
mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan),
atau yuktabu hadiitsuhu. [7]
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
1.
Untuk tiga tingkatan
pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari
sebagian yang lain.
2.
Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak
bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji
kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para
tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan
hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3.
Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa
dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai
pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.[8]
Tingkatan Al-Jarh
- Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan
adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh
seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal
(dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
- Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan
adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah;
seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia
mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui
identitas/kondisinya).
- Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan
lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if
jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal
periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya).
(Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in
sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).[9]
- Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan
tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib
(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”,
atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan
orang yang terpercaya).
- Tingkatan Kelima
Yang menunjukkan
sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang
dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib
(dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).
- Tingkatan Keenam
Yang menunjukkan
adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan
orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau
“dia rukun kedustaan”.
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1.
Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis
untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah
kedudukannya daripada tingkatan pertama.
2.
Sedangkan empat tingkatan
terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak
dianggap sama sekali. (Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir
Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
C. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar
abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para
tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika
permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin
Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah
itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.[10] Para penyusun mempunyai metode yang berlainan:
1.
Sebagian di antara mereka
hanya menyebutkan orang-orang yangdla’if saja dalam karyanya.
2.
Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat
saja.
3.
dan sebagian lagi menggabungkan antara yang
dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan
nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini
karya-karya mereka yang sampai kepada mereka. dan adapun Kitab-kitab yang
membahas Jarh wa al-ta’dil. [11]
1.
Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin
Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2.
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya
beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan
Ash-Shaghiir[/I].
3.
Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan
Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4.
Kitab Adl-Dlu’afaa’
wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H),
manuskrip.
5.
Kitaab Adl-Dlu’afaa’
wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id
bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).
6.
Kitab Adl-Dlu’afaa’
wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di
India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7.
Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far
Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.[12]
8.
Kitab Ma’rifatul-Majruhiin
minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat
tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.
9.
Dan di antara karya-karya
mereka adalah tentang sejarah perawi ahdits secara umum, tidak hanya terbatas
pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau
para dlu’afaa’ saja; seperti :
10.
Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam
Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam
naskah yang dicetak dengan nomor.
11.
Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya
Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara
yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang
sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak
perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi
hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti
ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.
12.
Kemudian karya-karya
mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya,
sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain
mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.
13.
Kitab Asaami’ Man Rawa
‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani
(wafat tahun 360 H), manuskrip.
14.
Kitab Dzikri
Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat
‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H),
manuskrip.
15.
Kitab Al-Hidayah
wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad
bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam
Bukhari; manuskrip.[13]
16.
Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih
li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid
Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.
17.
Kitab At-Ta’rif bi Rijaal
Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H);
manuskrip.
18.
Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.
19.
Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya
Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.
20.
Kitab Rijaal Al-Bukhari wa
Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah
dicetak.
21.
Kitab Al-Jam’I baina
Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy
(wafat tahun 507 H); dicetak.
22.
Kitab Al-Kamal fi
Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily
(wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara
khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal
bagi orang setelahnya dalam bab ini.
Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.
23.
Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh
Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
24.
Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
25.
Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya
Adz-Dzahabi juga.
26.
Kitab Al-Kasyif fii
Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
27.
Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh
Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan
perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah
kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu
hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang
terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah
kitab paling baik dan paling detil.
28.
Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar
juga.
29.
Kitab Khulashah
Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).
30.
Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi
Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.
31.
Kitab Mizaanul-I’tidaal
fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan
termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.
32.
Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh
Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.
33.
Kitab At-Tadzkiratul
bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini
Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh
perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi
objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat
kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I,
Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin
Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah
ini.[14]
PENUTUP
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadist
disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi. Jadi
ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk para perawi hadits yang
meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadits. Ilmu
ta’dil adalah lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan
ketetapan, bahwa ia adil atau dabit. Pernyataan bahwa seorang perawi bersih
dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini
riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
al-khotib, Muhammad ajjad, Usul al-hadith , Ulumuhu al-Musthalahul,
Dar al-fikr ,tt,
Ma’lur, Lous, al-Munjid fi al-lughah al-a’lim, Beirut Dar Al-Masyriq, 1979
Manzur, Ibnu , lisan al arab, III, ad dar al-Masriyyah li al-ta’lif wa al-tarjamah 711
Suprata,. Munzier, H. Ilmu hadis Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtahalah Hadits Bandung: CV. Diponegoro, 1996
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushtahalah Hadits Bandung: CV. Diponegoro, 1996