AL-TAHAMMUL DAN AL-ADA’ DALAM PERIWAYATAN HADITH


PENDAHULUAN
Perawi menjadi bagian yang dinilai untuk s}ah}ih} tidaknya suatu hadith, sehingga perawi haruslah memiliki sifat-sifat khusus semisal: bukan pendusta, tidak banyak salahnya, tidak kurang ketelitiannya, bukan fa>siq, bukan orang yang banyak keraguan, bukan ahli bid’ah, dan lain sebagainya.
Adapun tentang sifat perawi-perawi hadith, para ulama ahli hadith yang sangat jenius dan istiqamah pada masing-masing zaman, mulai dari zaman sahabat hingga zaman (pembukuan) mudaw{w}in, telah mencatat perawi-perawi tersebut  termasuk kapan lahir dan wafatnya, serta sifat-sifatnya. Tidak ada perawi yang tidak tercatat dalam kitab-kitab mereka, sehingga perawi yang tidak ada dalam catatan mereka, disebut perawi yang majhul, yang akan didhaifkan, kalau meriwayatkan hadith. Perawi-perawi tersebut hendaklah dikenal setidaknya oleh 2 ahli hadith pada zamannya.
Diantara kitab-kitab yang menjelaskan tentang perawi-perawi ialah: Al-Durar al-Ka>minah (Ibn Hajar), Al-Badruththali’ (Al-Syauka>ni>), Al-Ta>rikh al-Khabi>r (Imam Bukha>ri>).
Selain itu, para perawi hadith berbeda satu dengan yang lainnya, dalam menerima dan meriwayatkan hadith. Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas secara panjang lebar, mengenai bagaimana seseorang menerima dan meriwayatkan hadith

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Tahammul Al-Hadith Wa Al-Ada>’.
Dalam istilah ilmu hadith, terdapat istilah al-Tahammul dan al-Ada>’. Al-Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Adapun yang dimaksud dengan al-Ada>’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadith kepada orang lain.[1]

B.     Syarat-Syarat Orang Yang Menerima dan Meriwayatkan Hadith
Pada permulaan munculnya Islam, sabda-sabda Nabi dilarang untuk ditulis, karena Nabi kuwatir sabda beliau bercampur dengan al-Qur’a>n dan derajatnya dianggap sama dengannya. Akan tetapi setelah Islam kuat, dan Nabi sudah tidak kuatir lagi, sebagaimana pada awal-awal munculnya Islam, maka beliau memperbolehkan para sahabat untuk menulisnya.
Oleh karena itu, para sahabat berlomba-lomba untuk menyebarkan hadith-hadith yang mereka ketahui, ke seluruh penjuru daerah kekuasaan Islam. Tetapi setelah Nabi SAW wafat, para sahabat tidak lagi tinggal di Madinah, mereka pergi ke kota-kota lain. Sejak itulah penduduk kota-kota lain mulai menerima hadith.
Pada perkembangan selanjutnya, hadith tersebar dikalangan umat, sehingga apabila ada seseorang yang lupa terhadap suatu hadith, tetap ada orang yang masih menghafalnya, namun mereka tetap behati-hati dalam menerima hadith. Mereka meneliti dulu tentang biografi pembawa hadith, syarat-ayarat pembawa hadith, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan hampir setiap orang meriwayatkan hadith dengan leluasa, sehingga para ulama membatasi orang-orang yang dapat menerima hadith dan meriwayatkannya.
Dari masalah ini, timbulah banyak pendapat tentang syarat orang yang menerima hadith dan orang yang meriwayatkannya, diantaranya adalah:[2]

1.      Syarat-syarat orang yang menerima hadith (dalam ilmu hadith dikenal dengan istilah Ahliyyat al-Tahammul):

a.        Tamyiz.

Jumhur ulama’ ahli hadith berpendapat bahwa penerimaan periwayatan suatu hadith oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf), dianggap sah apabila periwayatan hadith tersebut disampaikan kepada orang lain, ketika ia sudah mukallaf. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya, yang menerima periwayatan hadith, seperti Hasan, Husein, Abdullah bin Zubair, Anas bin Ma>lik, Ibn Abbas, dan lain-lain, tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh atau belum.[3]
Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama' menetapkan seseorang boleh menerima hadith dengan batasan usia. Misalnya Al-Qa>di> Iya>d menetapkan batas usia anak boleh menerima hadith adalah lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadith Nabi SAW.[4]
 Abu> Abdullah Al-Zubair mengatakan bahwa seorang anak boleh menerima hadith, jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya> bin Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.[5]
Kebanyakan ulama ahli hadith, tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan menerima hadith, tetapi lebih menitik beratkan pada ke-tamyizan-nya. Namun mereka juga berbeda pendapat tentang ke-tamyizan tersebut. Menurut Al-Ha>fiz} bin Mu>sa> bin Ha>ru>n Al-Hammal, seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah membedakan antara baqar dan himar.[6] Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz, adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.[7]

b.        Tidak harus Islam.

Jumhur ulama hadith menganggap sah penerimaan hadith bagi orang kafir dan orang fasik, asalkan hadith tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk Islam dan bertobat, juga diakui sebagai orang yang adil. Alasan mereka adalah banyaknya kejadian yang mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka masuk Islam. Diantaranya Jubair bin Muth’im, dia berkata:[8]
سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقرأ فى المغرب بالطور .(رواه البخاري)[9]

Saya mendengar Nabi Muhammad Membaca surat Al-T{u>r pada s}alat maghrib.

Jubair mendengar sabda Nabi tersebut, ketika ia tiba di Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan masih kafir. Yang kemudian ia memeluk agama Islam.

2.      Syarat-syarat orang yang meriwayatkan hadith (Ahliyyat al-ada>’I).
Jumhur Ulama ulama hadith, sepakat bahwa orang-orang yang bisa meriwayatkan hadith, baik laki-laki maupun perempuan, harus memenuhi beberapa kreteria, diantaranya:

a.         Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadith, seorang perawi harus muslim. Jumhur ulama berpendapat bahwa periwayatan orang kafir dianggap tidak sah. Hal itu didasari oleh firman Allah:
ياأيها الذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبأفتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين . (الحجرات : 6)

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa jika ada seorang fasik meriwayatkan atau menceritakan suatu berita, maka umat Islam disuruh berhati-hati dan memeriksan kebenarannya. Oleh karena itu, jika umat Islam dianjurkan untuk berhati-hati terhadap riwayat yang dibawa oleh orang fasik, apalagi terhadap perawi yang kafir.[10]

b.      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh adalah perawinya mempunyai akal dan cukup usia, ketika ia meriwayatkan hadith, walaupun penerimaannya sebelum baligh.[11]

c.       Ada>lah
Yang dimaksud dengan ‘ada>lah, yaitu suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang, sehingga ia tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuaop makanan, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang tergolong kurang baik, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, dan selalu menjaga kepribadiannya.[12]

d.      D}a>bit}
D}a>bit} ialah ingatan seorang perawi ketika ia mendengar hadith, dan memahami apa yang didengarnya serta yang ia hafal sejak ia menerima, hingga menyampaikan hadith tersebut.[13]
Selain syarat-syarat diatas, ada yang mengatakan masih ada persyaratan lain, yaitu antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadis yang disampaikannya itu tidak syadh, tidak ganjil, dan tidak bertentangan dengan hadith-hadith lain yang lebih kuat serta ayat-ayat Al-Qur’a>n.[14]

C.    Cara Penerimaan Hadith dan Si>ghah Periwayatannya
Dari sekian banyak hadith yang diriwayatkan oleh ribuan sahabat maupun tabi’in dan seterusnya, hingga sampai kepada kita, para ulama ahli hadith menggolongkan metode penerimaan serta periwayatan suatu hadith menjadi delapan macam berikut ini:[15]

1.      Al-Sima>’
Al-Sima> ialah salah satu metode penerimaan hadith dengan cara mendengarkan perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan maupun dengan cara yang lainnya, baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.[16]
Menurut jumhur ahli hadith, al-sima>’ merupakan cara penerimaan hadith yang paling tinggi tingkatannya.[17] Sebagian dari mereka mengatakan bahwa al-sima>’ yang dibarengi dengan al-kita>bah mempunyai nilai lebih tinggi, karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara-cara yang lainnya. Disamping itu, mayoritas para sahabat juga menerima hadith dari Nabi SAW dengan cara ini.[18]
Menurut Al-Qa>d}i> Iya>d}, para perawi yang menggunakan cara al-sima>’ dalam meriwayatkan hadithnya, biasanya menggunakan kata-kata: “seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami”, “seseorang telah bercerita kepadaku / kami”, “saya telah mendengar, kami telah mendengar”, “seseorang telah berkata kepada kami”,[19] “berbicara dihadapanku”. Seluruh hadith yang diriwayatkan dengan lafadz-lafadz tersebut, dipandang hujjah dengan tanpa khilaf.[20]

2.      Al-Qira>’ah Ala> Al-Syaikh atau disebut juga dengan Al-Arad}.
Al-Qira>’ah Ala> Al-Syaikh adalah penerimaan hadith dengan cara seorang murid membacakan hadith dihadapan guru, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, dan dia hanya mendengarkannya, baik sang guru hafal atau tidak, namun ia memegang atau mengetahui tulisannya atau tergolong thiqah.
Para ulama’ hadith sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah, namun mereka berbeda pendapat mengenai derajat al-qira>’ah. Al-Laith bin Sa’ad, Shu’ba>n, Ibn Juraih, Sufya>n Al-Thauri>, dan Abu> Hani>fah menganggap bahwa al-qira>’ah, lebih baik dibandingkan dengan al-sima>’, sebab dalam al-sima>’ bila bacaan guru salah, murid tidak leluasa untuk menolak kesalahan, sedangkan dalam al-qira>’ah, bila bacaan murid salah, guru dapat segera mengoreksinya. Imam Ma>lik, Bukha>ri>, mayoritas ulama Hija>z dan Ku>fah, menganggap bahwa al-qira>’ah dengan al-sima>’ memiliki derajat yang sama. Ibn Abba>s mengatakan (kepada muridnya), “Bacakanlah kepadaku, sebab bacaan kalian kepadaku sama dengan bacaanku kepada kalian”. Sementara itu, Ibn Al-S{alah dan beberapa ulama lainnya beranggapan, bahwa al-Sima>’ lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan cara al-qira>’ah.[21]
Para perawi yang menggunakan cara ini, dalam meriwayatkan hadithnya, biasanya menggunakan kata-kata: قرأت عليه  “Saya telah membaca di hadapan seseorang.” حدثنا أو أخبرنا قراءة عليه “telah mengabarkan / menceritakan padaku secara pembacaan di hadapannya (gurunya)”, قرئ على فلان وأنا أسمع “seseorang telah membaca di hadapan orang lain (guru) dan saya mendengarkannya.”[22]

3.      Al-Ija>zah
Adapun Al-Ija>zah Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya, untuk meriwayatkan hadith atau kitab kepada seseorang, atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: “aku mengizinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku”.
Para ulama berbeda pendapat tentang penggunaan al-ija>zah, sebagai cara untuk meriwayatkan hadith. Jumhur ulama, diantaranya: Hasan al-Bishry, Al-Zuhry, Yahya> bin Sa’i>d al-Ans}a>ry berpendapat bahwa periwayatan hadith melalui cara ini diperbolehkan. Sedangkan sebagian ulama yang lain, diantaranya: Syu’bah al-Hujjaj, Ibra>him bin Isha>q mengatakan bahwa cara ini tidak diperbolehkan.[23]
Adapun ulama yang memperbolehkan cara ini menetapkan beberapa syarat, yaitu:[24]
a.       Sang guru harus benar-benar mengerti tentang hadith atau kitab yang diberikan.
b.      Naskah muridnya harus sama dengan yang asli.
c.       Sang guru benar-benar ahli ilmu.
Qa>d}i> Iya>d} membagi al-ija>zah kepada enam macam, sedangkan Ibn Al-S{alah menambah satu macam lagi. Ketuju macam tersebut adalah:

a.       Seorang guru memberikan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu sebuah kitab yang ia sebutkan kepada mereka. Cara ini diperbolehkan menurut jumhur.
b.      Bentuk al-ija>zah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti, “Aku izinkan kepadamu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan.”[25] Cara ini tergolong diperbolehkan menurut jumhur.
c.       Bentuk al-ija>zah secara umum, seperti ungkapan Aku perbolehkan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang yang ada (hadir).”
d.      Bentuk al-ija>zah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Seperti: “aku perbolehkan kepada siapapun untuk meriwayatkan seluruh riwayatku.” Cara ini dianggap fa>sid.
e.       Bentuk al-ija>zah kepada orang yang tidak ada, seperti memberikan izin kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah ini tidak sah.
f.       Bentuk al-ija>zah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima ijazah, seperti ungkapan “Aku perbolehkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan ku dengarkan.” Cara ini dianggap batal.
g.      Bentuk al-ija>zah al-muja>z, seperti perkataan guru “Aku perbolehkan kepadamu meriwayatkan apa yang aku dapat.” Bentuk ini diperbolehkan.[26]

4.      Al-Muna>walah
Al-Muna>walah, Yaitu seorang guru memberikan sebuah hadith atau beberapa hadith atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al-muna>walah ialah seorang guru memberi kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau suatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “Inilah hadith-hadith yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadith itu dariku dan saya perbolehkan kepadamu untuk diriwayatkan.”[27] Al-Muna>walah itu ada dua bentuk, yaitu:
a.       Al-Muna>walah dibarengi dengan ija>zah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan: Riwayatkanlah dari saya ini. Atau naskah yang dibacakan seorang murid di hadapan gurunya, lalu dikatakan: Itu adalah periwayatan saya, karenanya riwayatkanlah.
Menurut al-Qa>d}i> Iya>d}, cara ini termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadith.
b.      Al-Muna>walah yang tidak dibarengi dengan ija>zah, seperti perkataan guru, “Ini hadith saya” dan tidak mengatakan “Riwayatkanlah dariku atau saya izinkan kepadamu”. Menurut kebanyakan ulama’, muna>walah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan.[28]

5.      Al-Muka>tabah.
Al-Muka>tabah ialah seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain, untuk menuliskan sebagian hadithnya guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya, atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.[29] Al-Muka>tabah ada dua macam, yaitu:
a.       Al-Muka>tabah yang dibarengi dengan ija>zah. Kedudukan muka>tabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al-muna>walah yang dibarengi dengan ija>zah, yaitu dapat diterima. Seperti: أجزت ما كتبت به اليك “kuizinkan apa-apa yang telah kutulis padamu”.
b.      Al-Muka>tabah yang tidak dibarengi dengan ija>zah. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat. Ayu>b, Mans}u>r, al-Laith, dan tidak sedikit ulama Sya>fi’iyah dan ulama ushu>l menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan al Mawardi> menganggap tidak sah.[30] Adapun sighah periwayatannya, seperti bila seorang guru mengirimkan tulisan / surat kepada muridnya: قال حدثنا فلان “telah memberitahukan seseorang kepadaku”.[31]

6.      Al-I’la>m
Al-I’la>m Yaitu pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa hadith atau kitab yang diriwayatkan, dia terima dari seseorang tanpa memberikan izin kepada muridnya, untuk meriwayatkan hadith tersebut, atau tanpa ada perintah untuk meriwayatkannya. Sebagian ulama ahli ushu>l dan Ibn Al-S}alah menetapkan bahwa meriwayatkan hadith dengan cara ini, adalah tidak sah, sedangkan ulama ahli hadith, ahli fiqh, dan ahli ushu>l membolehkannya.[32] Adapun lafadz yang digunakan meriwayatkan hadith-hadith ini adalah: أعلمني فلان (seseorang telah memberitahuku).[33]

7.      Al-Was}iyah
Al-Was}iyah, yakni seorang guru, ketika akan wafat atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadith atau kitabnya, apabila ia meninggal atau bepergian. Periwayatan hadith dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah.[34] Adapun lafadz yang digunakan meriwayatkan hadith-hadith ini adalah:أوصى الي فلان بكتاب قال فيه حدثنا الى أخره (seseorang telah mewasiatkan kitab ini kepadaku. Dia berkata dalam kitab ini:….)[35]

8.      Al-Waja>dah
Sedangkan Al-Waja>dah, ialah seseorang memperoleh hadith orang lain, dengan mempelajari kitab-kitab hadith, dengan tidak melalui cara al-sima>’, al-ija>zah, atau al muna>walah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Imam Sya>fi’I dan segolongan pengikutnya, memperbolehkan beramal dengan hadith yang periwayatannya melalui cara ini. Ibn Al-S}alah mengatakan bahwa sebagian ulama muhaqqiqi>n mewajibkan mengamalkannya bila diyakini kebenarannya.[36] Adapun lafadz yang digunakan meriwayatkan hadith-hadith ini adalah: قرأت بخط فلان /وجدت بخط فلان  “saya telah menemukan tulisan seseorang atau saya telah membaca tulisan seseorang”.[37]

KESIMPULAN

Sabda Nabi Muhammad adalah termasuk pilar dan pedoman agama, sehingga pelu dilestarikan dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu, salah satu diantara bentuk pelestarian itu, adalah memahami tentang cara penerimaan dan penyampaian hadith (اهلية التحمل واداء الحديث).
Al-Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Adapun yang dimaksud dengan al-Ada>’, adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadith kepada orang lain.
Ahli hadith sepakat bahwa orang yang menerima hadith, tidak harus orang Islam, tapi dia harus tamyiz, dengan syarat ketika menyampaikan hadith dia sudah Islam dan mukallah. Adapun orang yang meriwayatkan hadith, harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya harus Islam, baligh, ‘ada>lah, dan d}a>bit}.
Selain itu, para ulama menggolongkan metode penerimaan hadith dan sighah periwayatannya ke dalam beberapa hal, yaitu: al-sama>’, al-qira>’ah, al-Ija>zah, al-Muna>walah, al-Muka>tabah, al-I’la>m, al-Was}iyah, dan al-Waja>dah.

DAFTAR PUSTAKA

--------------, S{ahih Bukha>ri>, Vol. III…, Maktabat al-Syamilah.
Bukha>ri Al , S}ahih Bukha>ri>, Vol. I. Bairut: Dar Ibn Kathi>r. 1987
Jurja>ni Al>, Al-Syari>f. Muhtas}a>r Fi> Usu>l Al-Hadi>th. Vol. 1. Maktabat al-Sya>milah
Khati>b Al, Muhammad Ija>j. Usu>l al-Hadi>th. Bairut: Dar Al-Fikr. 1989
Qa>simi Al>, Muhammad Jamaluddin. Qawa>’id Al-Tahdi>thi>. t.th. Mesir: Dar Ihya’ Al-Sunnah
S{iddiqy Al, Muhammad Husein Hasbi>. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadi>th. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1999
Mas’udi, Hafid Hasan. Minhat Al-Mughi>th, t.th. Surabaya: Maktabah Al Hidayah.
Mudasir. Ilmu Hadi>th. Bandung: Pustaka Setia. 1999
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalah al-Hadi>th. Bandung: Al-Ma’a>rif. 1974
S}alah, Ibn. Ma’rifat Anwa>’I Ilm Al-Hadi>th. Vol. I. Bairut: Dar Al-Kutub Al-Alamiah. 2002
Suparca, Munzier. Ilmu Hadi>th. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996



Postingan terkait: