Periwayatan Hadith Secara Resmi


PENDAHULUAN
     Al-Qur’ân dan hadis merupakan sumber ajaran Islam. Dengan demikian muatan-muatan al-Qur’ân dan hadis mesti diamalkan oleh setiap muslim, demi kebahagian hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.
Sebagai yang kita ketahui bahwa hadis mencakup hal-hal yang bersumber dari Nabi saw., baik aqwâl, af’âl dan taqrîr. Aqwâl adalah sabda Nabi Saw., secara lisan dan tulisan, af’âl adalah perbuatan dan etika Nabi Saw., sedang taqrîr adalah moralitas sahabat yang direstui oleh Nabi Saw.
Setelah Nabi Saw., wafat (11 H / 632 M) sahabatlah yang membawa panji-panji Islam … mereka senantiasa menghafal hadis-hadis Nabi Saw. sehingga dapat dikatakan bahwa sahabatlah sebagai peletak awal proses pemeliharaan hadis. periode sahabat dimulai sejak kepemimpinan Abu Bakar sebagai khalifah, yang selanjutnya secara berturut-turut digantikan oleh Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah khulafa’ al-rasyidin di mana periodenya disebut sebagai sahabat besar, kemudian menyusul era sahabat kecil.
Sepeninggal sahabat para tabi’inlah, sebagai generasi pelanjut yang memelihara hadis. pemeliharaan hadis pada masa ini ditandai dengan antusias para tabi’in mengadakan perlawatan guna mencari hadis di beberapa tempat di mana berdiam ulama. Dan salah seorang ulama di antara mereka yang mengadakan perlawatan adalah Abu Hanifah.
Generasi berikutnya adalah atba’-al-tabi’in, pada masa inilah penghimpunan hadis dimulai secara resmi dan massal terjadi atas perintah Khalifah Umar bin Abd. al-Aziz (wafat 101 H/ 720 M). Dikatakan secara resmi karena kegiatan penghimpunan itu merupakan kebijaksanaan dari kepala negara, dan dikatakan massal karena perintah kepala negera itu ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada zaman itu. Instruksi kepala negara itu telah menjadikan sunnah diupayakan untuk dihimpun secara tertulis. Proses penghimpunan hadis itu ternyata harus memakan waktu yang cukup lama.
Jumlah ulama yang sengaja melakukan perlawatan ke ber-bagai daerah tidak terhitung banyaknya. Seiring dengan dihimpun-nya hadis-hadis pada generasi atba’ al-tabi’in yakni sekitar per-tengahan abad kedua hijriah, telah muncul karya-karya lain sebagai himpunan hadis di berbagai kota besar, misalnya di Mekkah, Madinah, Bashrah dan lain-lain. Berkaitan dengan hal ini pula M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan bahwa posisi hadis pada abad kedua hijriah ini merupakan ashr al-kitab wa al-tadwin (masa penulisan dan pembukuan hadis).Besarnya perhatian ulama hadis dan sikap kehati-hatian terhadap periwayatan hadis pada masa ini tidak jauh berbeda dengan perhatian dan sikap hati-hati para sahabat Nabi Saw. Namun tempat tinggal para periwayat yang terpencar luas seiring dengan luasnya wilayah Islam, dan keterbatasan alat transfortasi dan komunikasi merupakan sebagian dari kendala-kendala utama yang dihadapi oleh para penghimpun hadis. dan pada masa ini tampil ulama-ulama hadis, misalnya al-Syafi’i (wafat 206 H/ 820 M), dari generasi atba’ al-tabi’in, telah melawat mencari hadis yang ada pada Malik bin Anas, kemudian melawat ke Iraq, Ahmad bin Hanbal darti generasi atba’ al-tabi’in, telah melawat dan mengumpulkan hadis Nabi Saw., yang ada di Iraq, Yaman dan lain-lain.

PEMBAHASAN

A.    Periwayatan Hadis Secara Resmi
Proses memperoleh dan menyampaikan hadis Nabi pada zaman Nabi dan  zaman sahabat tidaklah sama. Demikiana pula proses memperoleh dan menyampaikan hadis Nabi pada zaman sesudah sahabat.
1.      Periwayatan Zaman nabi
Sahabat dalam mendapatkan hadis Nabi sangatlah antusias. Kegigihan mendapatkan hadis Nabi terlihat seperti yang dilakukan Umar ra dengan tetangga ansharnya. Ditengah-tengah kondisi kesibukan menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti berdagang, mengembala hewan dan usaha  yang lain-lainya. Para sahabat masih tetap menyempatkan diri dan bergantian menghadiri majlis tersebut menceritakan kepada sahabat yang tidak dapat menghadiri tersebut.[1] Melihat peristiwa diatas bahwasanya hadis yang diketahui oleh sahabat tidak seluruhnya didapatkan langsung dari Nabi, tapi ada juga yang melalui sahabat yang lain.
Menurut Syuhudi Ismail minat sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadis berdasarkan petunjuk Allah SWT. Al - Qur’an menyatakan bahwasanya Nabi  adalah uswatun hasanah panutan utama  yang harus diikuti dan ditaati bagi orang yang beriman.[2] Allah juga memberikan penghargaan yang tinggi bagi orang yang berpengetahuan.[3] Nabi memerintahkan para sahabat menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir, Nabi  menyatakan “ boleh jadi  orang  yang tidak hadir lebih paham daripada mereka yang hadir”, perintah nabi mendorong sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh.[4]
2.      Periwayatan Zaman Sahabat
Penerimaan dan periwayan hadis Nabi pada masa ini dilakukan oleh para sahabat dengan sangat selektif. Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran sahabat bahwa orang-orang yang banyak meriwayatkan hadis mudah tergelincir karena salah atau lupa, yang pada gilirannya mereka akan berdusta atas nama Rasullallah SAW dengan tanpa disadari. Lebih – lebih pada waktu itu para sahabat sangat besar perhatiannya dalam menghafal al-Qur’an dan tidak ingin perhatiannya terganggu oleh urusan lain.[5]
Kehati-hatian sahabat dalam meriwayatkan sebuah hadis ditunjukkan Khulafa’ ar-Rasyiddin dimana seseorang dilarang memperbanyak meriwayatkan hadis tujuannya agar periwayat berlaku selektif dalam meriwayatkan hadis, dimana seseorang yang meriwayatkan dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak di bebani kewajiban mengajukan saksi atau bersumpah.
Riwayat hadis yang diriwayatkna khalifah sebelum Ali seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya masa kekhalifahan Ali yang meriwayatkan hadis secara tulisan, disamping  secara lisan. Kehati-hatian menerima dan meriwayatkan hadis ini bukan hanya khusus pada sahabat  Khulafa’ al- Rasyidin. Tetapi  juga sahabat yang lainnya.[6]

3.      Periwayatan pasca sahabat
Sikap hati-hati dalam periwayatan hadis dari kalangan ulama pada masa setelah sahabat terlihat tidak jauh berbeda dengan sikap hati-hati para sahabat Nabi. Disamping itu kegiatan periwayatan hadis tampak semarak dimana-mana seperti halnya yang dilakukan oleh Sa’id bin al- Musayyab ( wafat 94 H/ 712 M ) tabiin besar dikota Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang - malam untuk mendapatkan sebuah hadis.
Begitu juga yang dilakukan Abu ‘Amr ‘Abd ar- Rahman al- Awzai ( wafat 234 H/ 848 M ) menyatakan, “ apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka hadis itu diteliti bersama. Apabila para ulama menyimpulkan bahwa riwayat itu memang hadis Nabi, maka al- Awzai mengambilnya dan apabila para ulama tersebut mengingkarinya, maka ditinggalkannya”.[7]
Sikap serius dan hati-hati generasi atba’ at- Tabi’in digambarkan oleh al-Bukhari, diamana al- Bukhari telah melawat untuk mencari dan meneliti hadis Nabi ke berbagai kota dan daerah – daerah, diantaranya Makkah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasith, Kufah, Bashrah, Mesir, Naysabur, Khurasan, dan lain-lain.
Al - Bukhari pernah secara mendadak diuji dimuka umum oleh ulama Baghdad, al- Bukhari  tanpa persiapan disodori seratus hadis yang ditukar - tukarkan sanad dan matannya. Lalu al - Bukhari diminta oleh hadirin yang telah sengaja ditukar - tukarkan itu. Pada saat itu juga tanpa dibantu oleh catatan dan orang lain, al-Bukahri mampu dengan lancar mengembalikan sanad dan matan yang telah ditukar – tukarkan tersebut ke persambungannya masing-masing secara benar. Hal ini menunjukkan betapa tinggi tingkat penguasaan dan hafalan al - Bukahari tentang matan dan sanad Hadis yang diriwayatkan.[8]

B.     Macam- Macam Periwayatan Hadis
Dalam sejarah perjalanan hadis diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. Periwayatan hadis itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi tetapai disandarkan kepada Nabi.[9] Dalam periwayatan sebuah hadis dikenal dua macam cara yaitu riwayah bil lafadz dan ririawayah bil makna. Cara yang pertama yaitu, perawi meriwayatkan uacapan Rasullallah Saw. Sesuai dengan yang ia dengar tanpa merubah redaksi matanya. Sedangkan cara yang kedua yaitu riwayah bil makna , perawi meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.[10]
1.      Periwayatan hadis dengan lafadz
Menurut Syuhudi Ismail ada beberapa faktor yang memberi peluang bagi para perawi untuk meriwayatkan sabda Nabi dengan cara lafadz yaitu:
1)      Nabi dikenal fasih dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot. Dimana bahasa (dialek) Nabi menyesuaikan kemampuan intelektual dan latar belakang orang yang mendengar. Contoh: ketika Ashim  al- Asy’ari  ( suku Asy’ari bertanya kepada nabi tentang hukum orang yang berpuasa dalam perjalanan, Nabi menjawab. 
 “ليس من ام بر ام صيا م في ام سفر [11]  “  
Dalam riwayat lain Nabi menyampaikan sabda yang sama dengan dialek yang baku ( fushhah)
ليس من البر الصيا م في السفر[12]
2)      Orang arab sejak dahulu hingga sekarang dikenal sangat kuat hafalanya, bahkan kalangan sahabat Nabi ada yang dikenal sungguh-sungguh dalam menghafal hadis Nabi seperti Abdullah bin Umar bin Khattab,
3)      Untuk sabda - sabda tertentu Nabi menyampaikannya dengan diulang-ulang tidak jarang pula diterangkan dengan rinci masalah yang diterangkannya.
4)      Tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawaami al-Kalim, yakni ungkapan pendek tetapi sarat makna misalnya.
 خد عه الحر ب [13]
2.      Periwayatan hadis dengan makna
Faktor yang mendukung adannya hadis Nabi yang diriwayatkan secara lafadz oleh para Ulama ahli hadis, hanyalah hadis dalam bentuk sabda. Sedangkan hadis Nabi yang berupa perbuatan, ketetapan, dan sifat -sifatnya, hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna. Hadis dalam bentuk sabdapun terkadang sulit seluruhnya diriwayatkan secara lafadz. Kesulitan periwayatan secara lafadz bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafalkan secara lafadz karena kemampuan hafalan dan tingkat kecerdasan sahabat Nabi tidak sama.

C.     Sertifikasi Akademik Tentang Periwayatan Hadis
Para Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi riwayat bil makna.  Sebagian dari mereka menolak periwayatan dengan makna, sedangkan mayoritas ulama yang lain membolehkannya dengan syarat - syarat tertentu. Mereka yang menolak periwayatan Hadis bil makna beralasan bahwa, riwayat bil makna dapat merubah makna hadis. Sebab perawi berusaha mencari lafadz - lafadz yang semakna dengan lafadz hadis, sedangkan makna lafadz-lafadz itu dapat berbeda - beda. Mungkin saja perawi  lupa akan sebagian makna yang samar serta terkadang menambah redaksi matan dan terjerumus pada kesalahan.[14]
Para ulama juga mengajukaan dalil-dalil yang membuktikan bahwa meriwayatkan hadis haruslah bil lafadz, yaitu:
1.      Sesungguhnya syari’at yang datang terhadap segala hal yang dimaksudkan adalah menyampaikan lafadz dan maknanya secara keseluruhan, seperti takbir, tasyhud, adzan, syahadat.
2.      Sabda Rasullallah SAW :
نضر اللله امرا سمع منا حديثا فبلغه كما سمع منا[15]
Dalam hadis tersebut ada kata-kata “ menyampaikan seperti apa yang di dengar”, sehingga berdasarkan hadis tersebut, periwayatan hadis redaksinya dituntut harus sama persis.[16]  Hadis dari Barro’ bin Azib yang menceritakan bahwa ia diajari do’a sebelum tidur oleh Rasulullah SAW. Dalam Hadis tersebut Barro’ mengganti kata Nabiyyika dengan kata Rasulika, dan Rasullullah menolaknya.[17]
قا ل النبي صلي الله وسلم ادا اتيت مضجعك فتوضاء وضوءك للصلا ة ثم اضطجع على شقك الا يمن ثم قل اللهم اسلمت وجهي اليك وفوضت امري اليك والجاء ت ظهري اليك رغبة ورهبة  اليك لا ملجاء ولا منجا منك الا اليك اللهم ا منت بكتا بك   
الذي انز لت وبنبيك الذي ارسلت فان مت من ليلتك فا نت على الفطرة واجعلهن اخر ما تتكلم به قال فرددتها على النبي صلى الله وسلم فلما بلغت اللهم ا منت بكتا بك الذي انزلت قلت ورسولك قال لا ونبيك الذي ارسلت .
Berdasarkan hadis tersebut dapatlah dipahami, bahwasannya mengganti lafadz yang semakna tidak diperbolehkan, dimana kata Nabiyyika dan lafadz Rasulika dapatlah menunjukkan arti yang sama secara etimologi.
3.      Sabda Rasulullah SAW. Yang menjelaskan tentang rukun Islam dan sabda tersebtu dirubah susunan lafadznya:
قال بني الاسلا معلى خمسة  على ان يوحد الله واقام الصلاة وايتا ء الز كاة وصيام رمضان والحج فقال رجل الحج وصيام ر مضان قال لا صيام رمضا ن والحج هكذا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم[18]
Ketika  susunan lafadz hadis tersebut dirubah oleh seseorang, dari lafadadz shiyam ramadlan  yang asal susunannya didahulukan lalu diakhirkan dan lafadz al-Haj asalnya di akhir lalu didahulukan, oleh Nabi hal tersebut tidak diperbolehkan.[19]
Sedangkan sebagian lain dari Ulama yang membolehkannya riwayat bil makna bertendensikan pada beberapa hujjah, yaitu:
1)      Hadis dari Ya’qub bin Abdillah:
قلنا لر سو ل الله صل الله عليه وسلم با ابينا انت و ا منا يا ر سو ل الله انا سمعنا الحد يث فلا نفد ر على تا ء ديته كما سمعنا ه قا ل : اذا  لم تحلو ا حرا ما و لا تحرموا حلا لا فلا باء س.      
Oleh as-Sakhawi hadis ini dinilai mudltharrib,[20] tidak shahih. Tanpa melihat dari kualitasnya bahwasannya hadis ini sering  di jadikan dasar periwayatan hadis dengan menggunakan makna oleh para Ulama hadis.
2)      Diperbolehkannya memindah hadis Nabi dengan bahasa selain bahasa arab bagi orang yang menguasainya, untuk disampaikan kepada umat-umat selain bangsa arab, dan hal itu telah disepakati. Maka mengganti lafadz hadis yang berbahasa Arab dengan lafadz selain berbahasa Arab tentu itu lebih utama.
3)      Yang dilarang menurut syara’ adalah berdusta kepada Nabi dan membelokkan hadis. Adapun memindahkan secara makna serta menjaga makna - maknanya, maka hal ini boleh. Hal ini didukung oleh kisah - kisah para Nabi dalam Al-Qur’an dengan bahasa Arab dengan susunan yang berubah - ubah pada bahasa kaum para Nabi yang dibicarakan.
Imam Syafi’i membolehkan riwayat bil makna  derdasarkan pada hadis yaitu:[21]
ان هذا القر ان انزل على سبعة احر ف فا قزءو ما تيسر منه
“ Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah menurut kalian yang aggap mudah”
Kebolehan membaca  Al-Qur’an dengan bacaan yang berbeda -beda tapi sama maknanya, itu menunjukkan bahwa selain al-Qur’an juga boleh diriwayatkan dengan menggunakan lafadz yang berbeda dengan makna yang sama.

KESIMPULAN
Usaha penulisan hadis sudah dimulai sejak masa Rasulullah SAW hidup, sekalipun  tidak seperti al-Qur’an yang sejak awal memperoleh perhatian lebih besar. Penulisan ini sempat terhenti sekalipun tidak secara keseluruhan pada masa Khulafa’ al –Rasyidin karena adanya kekhawatiran akan bercampur dengan al- Qur’an. Para sahabat dalam meriwayatkan hadis menempuh dua jalan, pertama dengan cara lafdzi dan yang kedua dengan cara maknawi.

DAFTAR PUSTAKA
Abdilah Abu, Shahih Bukhari,CD_Rom: Maktabah Syamilah II
Departemen Agama, “al-Qur’an dan terjemahan” Surabaya: Mahkota Surabaya 1989
Ismail M. Syuhudi, “Kaedah Kesehehan Sanad Hadis Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah”, Jakarta : Bulan Bintang,1995
Lukman Muhamma, “as- Salafi, Ihtimam al- Muhaddithin bi Naqd al-Nhad Hadis
Muhamamad Ajjal al-Khatib, Ushul al-Hadis,
Nurudin,” Ulumul Hadis I”, terj: Endang Soetari dan Mujiyo Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995
Rahman fathur, “Iktisar Musthalahul Hadis, Bandung: al-Ma’arif, 1974
Sanad Wa Matan”, tt: tp’1897
Suparta Munzier, “Ilmu hadis”, PT Raja Grafindo Persada, 2008
Zuhri M, “Hadis Nabi Telaah Historis Dan Metodelogis”, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003










Postingan terkait: