PENDAHULUAN
Konstruksi sejarah
keilmuan Isl}a>m tidak
bisa berpaling dari pertarungan politik internal Isl}a>m itu
sendiri, dimana hal itu dapat menggambarkan wajah kepentingan dan keilmuan,
entah dampak tersebut memberikan sumbangsih dari sisi positif ataupun negatif.
Napak tilas diatas realitas sejarah itu harus ditempuh melalui dua sisi, yaitu
subjektivitas dan objektifitas, yang nantinya para pembaca akan menemukan suatu
pandangan pengembalian nilai sejarah, entah rekonstruksi maupun dekonstruksi.
Imbas pertarungan kepentingan dan keilmuan yang digambarkan dalam
pertarungan politik di dunia Isl}a>m dalam beberapa periode tersebut membuat
teks hadis mengalami banyak distorsi, bahkan lebih jauh lagi mengalami
pemalsuan. Abad 14 H. hingga kontemporer ini adalah awal era kebangkitan studi
hadis, setelah mengalami pembekuan idea (statis) sekitar Abad 10 – 14 H.
selain memberikan respon negatif yang begitu ramai oleh beberapa pihak yang
menganggap gerakan ini sebagai aliran Inkar al-sunnah Modern, walaupun
ada juga yang memberikan respon positif. Gerakan
pembaharuan ini pertama kali di retas oleh
idea
Muh}a`mmad
‘Abduh.
Kemunculan Muh}ammad ‘Abduh (1266-132 H./ 1849-1905 M). sebagai pemikir
cerdas di bidang hadis sekaligus sebagai kritikus terhadap para pembawanya. Gerakan
pemikiran tersebut membawa perbincangan hangat baik oleh para sarjana muslim
maupun non muslim yang mendalami studi hadis. Akar pemikiran ‘Abdu>h
selanjutnya diteruskan oleh muridnya, yaitu Rid}a>. Tidak berhenti disana, pemikiran tersebut terus mengakar
seperti tetumbuhan dihutan hijau, dia adalah Abu> Rayyah, penerus pemikiran
‘Abdu>h dan Rid}a>>. Tulisan ini akan berupaya menyingkap beberapa
data yang berhasil dihimpun tentang kritik Mah}mu>d Abu> Rayyah dan
karyanya yang cukup kontroversial dan monumental, sekaligus otokritik dari
pemikir selanjutnya.
PEMBAHASAN
A. Mah}mu>d Abu> Rayyah Dan Abu> Hurayrah
- Biografi
singkat Abu> Rayyah
Nama
asli Rayyah ialah Mah}mūd Abū Rayyah, di
tahun 1887 H ia
dilahirkan kemudian
pada tahun 1970 M
ia wafat, tepatnya di
usia 83.
‘Abdu>h dan Ridlā merupakan
dua tokoh yang sangat dikagumi, terpesona dengan nalar pemikiran mereka, hingga
pesona gemilang pemikiran mereka terpancar dalam diri Abu> Rayyah, yang
meneruskan pembibitan pemikiran tersebut. Madrasah al-da’wah wa
al-irsha>d merupakan singgahan awal ilmu ke-Isl}a>man-nya, sebuah
lembaga dakwah muslim yang dirintis oleh Ridlā sendiri. Bermula dari gagasan ‘Abdūh dan Ridlā tentang penolakan keras terhadap taqli>d,
khususnya terhadap madhhab, membuat Abū Rayyah mengacuhkan teori para ulama dan sarjana yang
lebih berpengalaman dalam melakukan studi ke-Isl}a>man. Hingga akhirnya dia menyimpulkan
bahwa taqli>d sebagai penyumbat pengembangan idea, dan para
ulma serta sarjana dinilai bersikap jumud (pasif) hingga imajinasi dan
inspirasi meraka sendiri akhirnya mati.[1]
Pada saat melakukan studi kesusastraan Arab, dia
menemukan beberapa hadis riwayat Abū Hurayrah yang dinilai negatif. Salah satu hadisnya
berbunyi:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ
جَعْفَرٍ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُذِّنَ بِالصَّلَاةِ
أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا
سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ أَدْبَرَ فَإِذَا سَكَتَ أَقْبَلَ فَلَا
يَزَالُ بِالْمَرْءِ يَقُولُ لَهُ اذْكُرْ مَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى لَا يَدْرِيَ
كَمْ صَلَّى قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِذَا فَعَلَ أَحَدُكُمْ
ذَلِكَ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ وَهُوَ قَاعِدٌ وَسَمِعَهُ أَبُو سَلَمَةَ مِنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (رواه البخاري: الكتاب الجمعة – باب يفكر الرجلالشيئ
في الصلاة)[2]
................Abu Hurayrah berkata, bahwa Rasulullah
Saw. bersabda: jika adhan salat di kumandangkan, maka setan akan lari
terbirit-birit sambil terkentu-kentut..........
Abū Rayyah
menilai bahwa Nabi> saw tidak mungkin pernah mengungkapkan kata aneh dan
remeh seperti itu. Oleh karenanya, rasa keingin tahuan yang mendalam terarah
pada figur Abu> Hurayrah dan literatur hadisnya. Setelah beberapa lama fokus
konsentrasinya pada hal ini, akhirnya menemukan hipotesis bahwa setiap
literatur hadis harus diteliti kembali kekuatan tekstualnya. Keraguannya tetap
bertumpu pada ungkapan yang disandarkan pada Nabi> saw, dimana hadis
tersebut sedikitpun tidak memiliki retorika indah yang ada dalam berbagai
literatur hadis yang dibacanya. Dan masih banyak lagi hadis yang
dipermasalahkan retorikanya oleh Abu> Rayyah.
Abū
Rayyah beranggapan bahwa ulama al-Azhar selama beberapa abad terakhir tidak
lagi melakukan studi kritis terhadap literatur hadis seperti itu, mereka hanya
berseteru tentang gagasan sekilas Fiqh al-Madha>hib al-Arba’ah.
Sedangkan keharusan taqli>d dalam mempelajari fiqih tidak dapat
diterima oleh pengikut Muh}ammad Abdūh dan Rashīd Ridlā.
Mereka mengungkapkan bahwa para ulama lebih bersikap apatis terhadap aturan
fiqih yang terlampir dalam sebuah hadis dibanding dengan hadis itu sendiri,
seolah-olah kitab fiqih yang tersaji masih belum memuaskan. Abū Rayyah juga sering berkata,
bahwa mereka tidak kritis terhadap otentisitas ungkapan yang diatributkan pada
Nabi> saw, berabad-abad lamanya mereka berada pada kedunguan dalam mengikuti
ijma>’. Mereka hanya mempermasalahkan aspek-aspek hukum remeh yang
sudah tidak relevan lagi bagi umat muslim new era.”
Magnum opus Abu Rayyah ialah Ad}wa>’ ‘ala>
al-Sunnah al-Muh}ammadiyah yang diterbitkan Pada tahun 1958 H. Sebuah kitab
yang difokuskan dalam kajian hadis.[3]
Kerangka umum kitab tersebut bisa dikategorikan sebagai historiografy
hadis, karena sang writer sengaja menginginkan sejarah sebagai approach
dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri hadis. Akan tetapi keadaan
tersebut berbalik arah, dengan kemarahan para cendikiawan ortodoks karena
pemikiran Abu> Rayyah yang tertuang di dalam bukunya dinilai kontrofersial,
terutama pembahasan mengenai Abū Hurayrah, sehingga mereka tergerak untuk memberikan
respon kritis dan logis atas tuduhan-tuduhan di dalam tulisannya.[4]
Magnum opus Abu> Rayyah yang lain adalah Shaikh al-Mad}i>rah; Abū Hurayrah
al-Daws, yang merupakan transformasi dari satu bab khusus
mengenai Abū
Hurayrah dalam Ad}wa>’.[5]
- Menelusuri kehidupan Abu> Hurayrah
Nama asli Abu Hurayrah ra. sebelum masuk Isl}a>m ialah
‘Abd al-Shams yang dikenal dengan Abu> al-Aswad. Kemudian oleh Rasulullah
diberi nama ‘Abdullah setelah masuk Isl}a>m, yang lebih dikenal dengan
Abu> Hurayrah, sebuah julukan yang didapat saat menemukan seekor kucing
dengan memasukkan ke dalam lengan bajunya. Sebenarnya banyak fersi mengenai
nama asli Abu> Hurayrah setelah masuk Isl}a>m, namun nama yang paling
dikenal adalah ‘Abd al-Rahman bin S}akhr al-Dawsi> al-Yamani>, dengan
julukannya Abu> Hurayrah. Nama ibunya ialah Maymu>nah bint S}akhr. Dia
memeluk Isl}a>m pada tahun 7 H. saat Rasulullah berangkat menuju ke
Khaiba>r. Ketika itu ibunya masih belum mempercayai Isl}a>m, bahkan
menghina Rasulullah. Kemudian Abu Hurayrah ra. bertemu Rasulullah dan memintanya
untuk mendoakan ibunya agar masuk Isl}a>m. Abu> Hurayrah lahir pada 19
tahun sebelum Hijrah. Adapun pendapat tentang meninggalnya banyak fersi, namun
kebanyakan ulama hadis berpendapat bahwa Abu> Hurayrah wafat pada tahun 57
atau 58 H (676-678 M) pada usia 78 tahun di Al-Madi>nah al-Munawwarah
tepatnya di Aqiq.[6]
B. Transformasi pemikiran Abu Rayyah tentang hadis
Menelurusi pemikiran seorang tokoh tidak bisa lepas dari
magnum opusnya, sebab untuk melakukan dialog dan diskusi dengan metode komunikasi
satu arah dan satu langkah sudah di rasa tidak memungkinkan, begitu juga dengan
Abū Rayyah
saat melakukan kritik terhadap seorang tokoh. Adapun magnum opus Ad}wa>’
‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyah, merupakan awal kajian untuk menelusuri
akar pemikirannya.
Berawal dari kehausan tentang metode dan perkembangan
keilmuan yang ada pada masanya, Abū Rayyah menginginkan revolusi besar-besaran, khususnya
tentang metode berpikir. Sekali lagi perlu dipahami bahwa pijakan pemikirannnya
disebabkan kekaguman mendalam pada ‘Abdūh dan Ridlā. Adapun transformasi pemikirannya dalam keilmuan hadis
ialah:
1.
al-Sunnah wa Maka>nuha>
fi> al-Di>n
Abū
Rayyah dalam mendefinisikan al-sunnah tidak jauh beda dengan para muhaddithi>n
sebelumnya. Dia mengartikan al-Sunnah secara etimologi dengan al-t}a>riqah
dan al-si>rah. Adapun secara terminologi menurutnya:
َما
أُضِيْفَ إِلى َالنَّبِيِّ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi>, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
ketetapannya.
Abū
Rayyah memang tidak meletakkan pemaknaan kata al-hadi>th secara
terpisah, akan tetapi pemikirannya bisa terbaca bahwa dia memposisikan hadis
sebagai sesuatu yang baru. Sebelum meletakkan al-sunnah dalam
pemahamannya, dia mengawali pemahamannya dengan pembagian al-sunnah itu
sendiri menjadi dua macam, yaitu al-sunnah al-‘amaliyah dan al-sunnah
al-qawliyah. Keduanya memiliki bias pemahaman tersendiri, di mana al-sunnah
al’amaliyah memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan al-sunnah
al-qawliyah, meskipun dia secara general memposisikan al-sunnah pada
urutan kedua setelah al-Qur’an. Karna sudah ada penegasan pada penetapan
konklusi yang ditempatkan di akhir bab mengenai al-sunnah dan posisinya
dalam kitab tersebut.[7]
2.
Problem tadwi>n al-hadi>th
Abu Rayyah mengkritisi pembukuan hadis dengan melepaskan
metode yang disandarkan pada pakar hadis sebelumnya. Dia berpendapat bahwa
pencatatan tekstual literatur hadis tidak valid, sebab pencatatan hadis
dilakukan pasca Nabi> dan pembukuannya pasca sahabat. Hingga dia juga
meragukan kitab al-S}a>diqah karya ‘Abdullah bin ‘Amr, dengan
ungkapan bahwa karya tersebut sangat tidak berguna. Kemudian menuduh Ibnu Shiha>b
al-Zuhri> melakukan penulisan hadis karena usnsur paksaan dari Bani Umayyah
dengan mengutip ungkapan Ibnu ‘Abd al-Bar, bahwa al-Zuhri menolak untuk
mencatatkannya hingga para penguasa mendesaknya.[8]
Para pakar ke-Isl}a>m-an konservatif diera sekarang
menolak pemikiran Abu> Rayyah. Mereka memberikan statement, bahwa
periwayatan secara lisan didasarkan atas kecerdasan orang Arab yang luar biasa
dan semua pencatatannya selama berabad-abad lamanya, hingga menghasilkan
himpunan Bukha>ri> dan Muslim, inilah metode yang tidak bisa dipungkiri
atau diragukan sebagai transformasi khazanah keilmuan Isl}a>m. Al-Siba’i
menambahkan, sesungguhnya tidak ada kontradiksi antara hadis yang melarang
pencatatan dan yang membolehkan pencatatan hadis. Sebab pelarangan tersebut
hanya masalah pembuatan daftar resmi suatu hadis sedangkan izin untuk mencatat
hadis dizinkan. Sehingga larangan tersebut menunjukkan bahwa penulisan hadis
sudah dilakukan sejak Nabi> masih hidup.[9]
Adapun tuduhan terhadap al-Zuhri> sama sekali tidak menggugurkan keotentikan
hadis dan adanya indikasi dorongan untuk memalsukan hadis, tetapi justru
menunjukkan bahwa sejarah kehidupan
pemeliharaan dan transformasi hadis berjalan beriringan tanpa terputus,
sehingga sulit untuk memupuskan keyakinan akan validitasnya.[10]
3.
konsep ‘Ada>lah
al-S}aha>bah
Abu> Rayyah berkomentar tentang hadis yang berbunyi man
kadhaba. Dia menilai bahwa kata muta’ammidan (dengan sengaja) yang
dianggap ada dalam hadis, tidak ada dalam versi-versi yang sampai kepada
dirinya dari para pembesar sahabat, misalnya al-Khulafa>’
al-Ra>shidu>n. Yaitu para sahabat seperti Anas bin Ma>lik, Abu>
Hurayrah dan lainnya, yang meriwayatkan hadis tersebut dengan kata muta’ammidan.
Selanjutnya dia menilai bahwa kata itu bisa di-idra>j-kan, dengan
alasan untuk membersihkan para sahabat dari tuduhan negatif, karena secara
tidak disengaja mereka telah memalsukan sabda Nabi>> Muh}ammad saw, atau
memalsukannya dengan alasan untuk memajukan Isl}a>m.
Kritikannya diatas tidak lain ialah, bahwa al-kidhbu
telah terjadi dikalangan para sahabat. Kalau memang demikian, maka hadis secara
keseluruhan dari mereka harus dikaji ulang. Argumen yang lain dalam rangka
mengugurkan sistem ta’di>l kolektif para sahabat adalah adanya
perdebatan para sahabat yang terjadi karena terdapat kecurigaan terhadap pemalsuan
dan ikt}sa>r al-hadi>th.[11]
Abu> Rayyah kemudian menggugat integritas Abu>
Hurayrah sebagai perawi dengan berbagai tuduhan, diantaranya adalah
periwayatnnya yang terlalu over dalam waktu singkat, dengan meriwayatkan apa
yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Nabi>> saw. Dalam waktu kurang
lebih tiga tahun dia berhasil meriwayatkan lebih dari lima ribu hadis. Hal ini
dinyatakan Abu> Rayyah mengingat Abu> Hurayrah masuk Isl}a>m ketika
bergabung bersama Nabi>> saw. dalam peristiwa Khaiba>r pada tahun 7
H/629 M, hal ini dapat dibaca dalam banyak literatur, namun ada pula
sumber-sumber lain yang menyebutkan bahwa Abu> Hurayrah masuk Isl}a>m
sebelum hijrah atas dorongan Thufail bin ‘Amr.
Shaykh al-Madli>rah karya Abu>
Rayyah yang mencoba menggagalkan laporan Tufayl dengan menginformasikan bahwa
perawi riwayat itu Hisyam bin al-Siba’i> al-Kalabi> (w. 206 H/821M)
bukanlah sumber yang diragukan di mata para ahli biografi klasik. selain itu,
Abu> Hurayrah juga dituduh sebagai seorang pemalas yang tidak memiliki
pekerjaan tetap, dia mengikuti Nabi>> karna untuk materi duniawi saja.
Tuduhan terhadap Abu Hurayrah sebagai manusia pemalas
karena selalu mengikuti Nabi> saw malah justru sebaliknya. Apa yang
dilakukannya adalah mengais ilmu dari Nabi>> saw. dan kedekatan ini
justru menghapus keraguan kalau Abu> Hurayrah lebih banyak paham dibanding orang lain. Apa lagi dengan masa
yang cukup 3,5 tahun. Dan kalaupun dibandingkan dengan ‘Aishah, orang yang
cerdas dan dekat dengan Nabi> saw, masih tetap memungkinkan kalah banyak
riwayat dibanding Abu> Hurayrah dengan melihat beberapa faktor:
1) ‘Aishah adalah salah satu dari istri Nabi>>
2) Kegiatan kenegaraan hanya dapat diatur di luar rumah,
yaitu di masjid
3) Kehidupan Nabi>> diluar rumah, Abu> Hurayrah
justru lebih memungkinkan untuk mendengar hadis lebih banyak
4) jika diperhatikan, Abu> Hurayrah memiliki lebih banyak
sumber informasi hadis dan orang yang meriwayatkan hadis darinya
5) dan jika melihat kedudukan dan status sosial keduanya,
Abu. Hurayrah lebih memungkinkan untuk meriwayatkan banyak hadis, karena:
a) lebih sulit akses kepada ‘Aishah yang berstatus umm
al-mu’mini>n daripada Abu> Hurayrah sebagai orang biasa.
b) akses bagi non mahram, harus di belakang h}ija>b.
C. Kritik
Kelemahan Hafalan Abu> Hurayrah
Kritikan
Abu> Rayyah terhadap riwayat yang paling dikenal, yaitu hadis tentang
membentangkan jubah. Abu> Rayyah menduga keras bahwa Abu> Hurayrah
mengatakan:
….wahai Rasu>l
Allah, aku mendengar banyak hadis darimu, tapi setelah itu aku lupa. kemudian
Rasu>l berkata: Bentangkan jubahmu. Lalu dengan kedua tangannya, Rasu>l
seolah-olah meletakkan sesuatu dalam jubah Abu> Hurayrah, seraya berkata:
Satukan (ujung-ujung) jubah itu, Aku melakukan hal ini, dan aku tidak lupa
sesuatu pun semenjak itu…
Dugaan
itu sebenarnya terletak pada kelemahan Abu> Hurayrah dalam menghafal hadis,
sedangkan hadis tersebut dinilai tidak rasional bisa mencipta Abu> Hurayrah
sebagai orang yang cerdas, sebab hanya Abu> Hurayrah saja yang melakukannya,
sedangkan sahabat yang lain tidak. Nabi>> juga pernah mengamini do’anya
Abu> Hurayrah, dan hal itu juga sikap respon positif dari Nabi>> agar
dia menjadi seorang yang ‘a>lim dan jauh dari sikap pelupa.[13]
Dalam
Bida>yah wa al-Nihayah, Ibn Kathi>r mengatakan, bahwa Abu>
Hurayrah ra. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau
bukan yang paling utama. Imam Shafi’i> juga menyatakan, Abu> Hurayrah ra.
adalah orang yang memiliki hafalan paling cemerlang dalam meriwayatkan hadis
pada masanya. Al-Dhahabi> menandaskan, bahwa Abu> Hurayrah adalah
seorang Imam ahli fikih, mujtahid, dan ha>fidh.
D. Kritik
Jumlah Hadis Yang Diriwayatkan Abu> Hurayrah
Derasnya
jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Hurayrah mendapat kritikan pedas
dari Abu> Rayyah. Abu> Rayyah meragukan hadis-hadis yang bersumber
darinya, sebab dia hanya tinggal bersama Nabi>> kurang lebih selama tiga
tahun, dengan kemampuan meriwayatkan hadis yang begitu banyak. Imam Ah}mad
bin Hambal dalam musnad-nya, meriwayatkan 3.848 hadis, Imam Baqi> bin
Makhlad dalam musnad-nya meriwayatkan 5.374, hadis dan dalam S}ah}i>h}ayn
dimuat 325 hadis dan itu semuanya diriwayatkan dari Abu> Hurayrah, kemudian
Imam Bukha>ri> sendiri meriwayatkan 93 hadis serta Muslim meriwayatkan
189 hadis, itupun riwayat dari Abu> Hurayrah. Oleh karena itu, Abu>
Rayyah dalam bukunya mencurigai kenyataan bahwa jumlah hadis yang diriwayatkan
oleh Abu> Hurayrah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis yang
diriwayatkan oleh para sahabat yang disibukkan oleh persoalan-persoalan
pemerintahan dan politik. Kritikan Abu> Rayyah dalam hal ini, merupakan
respon langsung dari apa yang dipermasalahkannya sendiri. Sebab Abu>
Hurayrah senantiasa lebih mengutamakan untuk menemani Rasu>l dari pada
memuaskan kepentingan perutnya, dan tidak disibukkan dengan urusan yang
menyibukkan saudara-saudaranya dari kaum muha>jiri>n dan ansha>r. Dia
mendengarkan apa yang tidak didengar sahabat lain. Pikirannya yang kosong dari
berbagai kesibukan membuatnya merekam apa yang tidak mereka rekam. Para
sahabat, tabi’in dan ulama menjadi saksi kebenaran sejarah kekuatan hafalannya.[14]
Al-A’z}ami>
melakukan penelitian Tentang banyaknya hadis yang diriwayatkan Abu>
Hurayrah, bahwa riwayat hadisnya berjumlah 5.000-an, termasuk hadis yang di tikra>r.
Namun apabila tanpa hadis yang di tikra>r substansinya, maka
riwayatnya yang terhimpun dalam musnad dan kutub al-sittah
tersisa 1336. kadar ini, kata ‘Ali> al-Salu>s, bisa dihafal oleh pelajar
yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan
Abu> Hurayrah, yang merupakan bagian dari mu’jizat
keNabi>an?. Quraysh Shiha>b juga memberikan perhitungan matematis
untuk menyanggah kritik Abu> Rayyah, hampir sama dengan yang diungkap al-A’z}ami>.
Katakanlah, seseorang dapat menyampaikan informasi yang di dengar atau di lihat
menyangkut Nabi>>, rata-rata sebanyak lima informasi (hadis) dalam
sehari, berarti dalam setahun mampu menyampaikan 365 x 5 = 1825 hadis. Dan
dengan demikian, Abu> Hurayrah yang hidup bersama Nabi>> selama empat
tahun berpotensi untuk meriwayatkan hadis sebanyak 7300, jumlah ini jauh lebih
banyak dari yang dinisbahkan kepada Abu> Hurayrah yang dinyatakan 5374
hadis. Disamping itu, perlu diingat bahwa ada sekitar delapan ratus orang
perawi yang meriwayatkan dari Abu> Hurayrah. Tentu saja, kalau ada kelemahan
kecil atau besar dalam riwayat-riwayat itu, maka tidak semuanya harus
ditimpakan pada Abu> Hurayrah.
E. Tuduhan
Korupsi
Abu>
Hurayrah memang seorang sahabat miskin pada awalnya, setelah itu dia dipinang
oleh salah seorang majikannya yang kaya raya untuk putrinya, Bisrah binti
Gazwan itulah namanya. Ini menunjukkan betapa Isl}a>m telah mengubah
pandangan seseorang dari membedakan kelas kepada menyanjung keimanan. Abu>
Hurayrah dinilai mulia karena keilmuan dan kesalihannya. Perilaku Isl}a>mi
telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang
kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan. Sejak menikah, Abu>
Hurayrah. membagi malamnya pada tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk
tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadis. Dia dan keluarganya tetap
hidup sederhana walaupun telah menjadi orang kaya. Abu> Hurayrah suka
bersedekah, menjamu tamu, bahkan memberi sedekah rumahnya di Madinah untuk
pembantu-pembantunya.[15]
Sejak Abu> Hurayrah diamanahkan untuk
menjaga gudang zakat, dimana baru kali pertama Rasu>l memerintahkan Abu>
Hurayrah berdakwah ke Bahrayn bersama Al-‘Ala> bin ‘Abdillah
Al-Had}rami>, dia juga pernah diutus bersama Qudamah untuk mengutip jizyah
di Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munz}i>r ibn Sawa>
Al-Tamimi>. Karena kepercayaan dari Rasulullah itulah, kemudian Abu>
Hurayrah diangkat menjadi gubernur Bahrain oleh ‘Umar sang Ami>r
al-Mu’mini>n. Tapi pada tahun 23 H. ‘Umar memecatnya, karena Abu>
Hurayrah dituduh menyimpan uang yang banyak hingga 10,000 dinar. Ketika
disidang, Abu> Hurayrah berhasil membuktikan tuduhan itu, bahwa harta
tersebut diperoleh dari berternak kuda dan juga pemberian orang. Kemudian
khalifah ‘Umar menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu dia diminta
kembali untuk menjabat sebagai Gubernur, tapi Abu> Hurayrah menolak.
Penolakan itu diiringi lima alasan, sebagaimana berikut: Takut untuk berkata
tanpa pengetahuan, memutuskan hukum yang bertentangan dengan hukum (agama),
tidak mau didebat, dan tidak mau harta benda hasil kerja kerasnya disita, serta
takut nama baiknya tercemar. Dia lebih memilih untuk tinggal di Madinah menjadi
warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada ‘Umar, dan para pemimpin
sesudahnya.[16]
KESIMPULAN
A. Abu>
Rayyah dalam kehidupan studinya merasa haus dan tidak puas akan metode yang
melahirkan teori tentang kajian hadis, dimana menurutnya bahwa Isl}a>m
new era mengalami degradasi pemikiran, sebab kehidupan para tokoh Hadis
dimasanya dinilai statis dan sedikitpun tidak mencerminkan manusia muslim dinamis,
logis dan rasionalis untuk memajukan Isl}a>m. Hingga pada akhirnya dia
menulis sebuah karya kritis yang difokuskan pada kajian hadis, yaitu
Ad}wa>’ ‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyah, yang inti
kajiannya sebagai berikut:
a.
Al-Sunnah
Wa Maka>nuha> fi> al-Di>n
b. Problem tadwi>n al-h}adi>th
c. konsep ‘Ada>lah al-S}ah}a>bah
namun kemudian dari
ketiga sub bahasan tersebut dikembangkan untuk mengkritik Abu> Hurayrah, dan
akhirnya mamunculkan karya kedua, yaitu Shaykh
al-Mad}i>rah; Abu> Hurayrah al-Daws.
B. Abu>
Rayyah menilai bahwa kecerdasan Abu> Hurayrah di bawah standard, dan tidak
mungkin bisa menghafal hadis dengan cepat dan singkat, keadaan seperti itu bisa
menyebabkan adanya kerancuan dalam meriwayatkan hadis, hingga hadisnya harus
ditolak. Dan ternyata Abu> Rayyah melupakan kritik metode sosiologis, dimana
ketika seringnya terjadi komunikasi satu arah dan satu langkah bisa menyebabkan
kuatnya ingatan, inilah aspek sosiologis ilmiah. Dan apabila ditinjau dari sisi
agama, maka sudah dapat dipastikan bahwa do’a ataupun sikap yang direspon
positif oleh Nabi> juga direspon positif oleh Allah, hal itulah yang terjadi
pada Abu Hurayrah saat menjadi hawa>ri> Nabi>.
C. Abu>
Hurayrah dinilai tidak logis oleh Abu> Rayyah dengan keberadaannya sebagai
perawi hadis terbanyak, sebab Abu> Hurayrah dalam kurun waktu yang sangat
singkat bersama Nabi> bisa memiliki beribu-ribu hadis dibandingkan dengan
sahabat-sahabat yang lain yang lebih lama dengan Nabi>. Dan bagaimana
mungkin hal itu terjadi, kalu tidak direkayasa sendiri oleh Abu> Hurayrah.
Satu hal yang kurang kritis dari Abu> Rayyah, bahwa sosok Abu> Hurayrah
secara aspek sosiologis yang tidak cenderung over akan sikap politis dimasa itu
membuatnya fokus terhadap perekaman hadis, sedangkan sahabat yang lain disibukkan
dengan kehidupan kenegaraan. Dan seringnya Abu> Hurayrah berdialog dengan
Nabi> disetiap harinya dengan lebih banyak menemani Nabi> serta ketetapan
majlis ta’limnya di mesjid membuat dia banyak menghafal hadis. Walaupun secara
singkat bersama Nabi>, namun itulah realitanya.
D. Abu>
Hurayrah dituduh korupsi, dia dituduh menggelapkan uang sebanyak 10.000 dinar,
yang kemudian kemudian disidangkan. Dalam persidangan, Abu> Hurayrah
berhasil membersihkan dirinya akan tuduhan tersebut, bahwa dia mendapatkan uang
tersebut dari hasil beternak Kuda dan pemberian dari orang. Perlu di pahami
bahwa sebelum kasus ini, Abu> Hurayrah telah dipinang oleh perempuan dari
garis keturunan orang kaya, lalu bagaimana bisa Abu> Rayyah memeberikan
tuduhan tersebut. Itulah Mahmu>d Abu> Rayyah, dengan pemikirannya yang
melakukan kritik logis histori semu, harusnya dalam analisisnya itu lebih
ditekankan pada komparasi data-data lain, kemudian melakukan ferivikasi barulah
mengambil hipotesa.
DAFTAR PUSTAKA
Abu>
Rayyah, Mah}mu>d, Ad}wa>’ ‘ala> al-Sunnah al-Muh}ammadiyah.
Kairo: Dar al-Ma’a>rif, tt..
Al-‘Asqalani>, Shiha>buddi>n Abu> al-Fa>dh Ahmad bin 'Ali> bin
Hajar, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Vol.5. Libanon : Dar SADER,
1968.
Al-Siba’i>,
Must}afa>>, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Isl}a>m,
terj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Abu> Zahwi, Muh}ammad Muh}ammad,
Al-H{adi>th wa al-Muh}addithu>n. Libanon: Dar al-Kita>b
al-’Arabi>, 1984.
http://alhijrah.cidensw.net.
Juynboll, G.H.A., Kontroversi
Hadis Di Mesir 1890-1960, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Khat}i>b, Muh}ammad ‘Ajja>j, Abu> Hurayrah
Ra>wiyah al-Isla>m. Kairo: Dar Mis}r, 1962.
Program CD Kutub al-Tis’ah, Mawsu>’ah
al-H{adi>th al-Shari>f.