Berbicara dunia
pendidikan Islam dan kemajuan-kemajuannya, maka kita akan terbentur kepada
tokoh-tokoh pembaharunya. Dengan pemikiran para tokoh tersebut, sekarang kita
menikmati aktualisasi pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Demi reaktualisasi
pengetahuan kita seputar tokoh tersebut, maka perlu rasanya mengkaji ulang
pemikiran dari para tokoh dan mengambil buah pemikiran tersebut untuk kita
realisasikan serta aplikasikan dalam pendidikan Islam yang akan datang.
Perkembangan ilmu pengetahuan masa sekarang ini adalah merupakan sebuah
hasil dari berbagai polemik pemikiran-pemikiran baik itu dari kalangan
professional pendidikan atau pun dari pengkajian para filosuf yang tak
henti-hentinya mengembangkan pemikiran-pemikiran mengenai kemajuan dalam berfikir
kritis ataupun berpikir tentang segala hal yang ada di dunia dengan problemanya
yang sangat kompleks. Para tokoh-tokoh terdahulu tidak hanya
memandang segala sesuatu dengan pandangan dari satu segi atau dimensi akan
tetapi dengan pandangan yang multi dimensial sehingga segala permasalahan yang
terjadi ataupun pemikiran tentang kemajuan merupakan hasil dari olah pikir para
pemikir dan filosuf terdahulu.
Al-Ghazali adalah salah satu dari
sekian banyak tokoh dunia yang ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan
pendidikan Islam. Dengan partisipatifnya itu, dia menghasilkan banyak
karya-karya yang menjadi referensi dalam prosesi Studi Pendidikan Islam tentang
kebudayaan islam yang berkaitan dengan pemikiran islam klasik memperoleh
perhatian yang cukup besar bagi kalangan akademisi pada dekade terakhir.
Sedangkan Immanuel Kant bisa dikatakan sebagai filosof
terbesar abad modern. Kant hidup pada abad dimana kaum empiris Inggris semisal
Jhon Loke, Berkeley dan David Hume, mendominasi serta lambat laun menyebar ke
Jerman, dimana Immanuel Kant tinggal. Sebelum pengaruh empirisme terutama Hume
merasuk ke Jerman, Jerman lebih didominasi oleh kaum rasionalis Libniz,
lebih-lebih ketika faham tersebut disebarluaskan oleh Wolf dengan memasukkannya
dalam kurikulum wajib seluruh Universitas Jerman. Kant hidup pada zaman
pertempuran antara faham rasionalis dan kaum empirisme.
Dalam makalah ini penulis mencoba menjabarkan riwayat hidup, karya-karya,
pemikiran serta mengkomparasikan pemikiran Al-Ghazali dan Immanuel Kant.
PEMBAHASAN
A.
Al-Ghazali
1.
Riwayat Hidup
Al-Ghazali
Dalam buku yang ditulis sendiri oleh
al-Ghazali,[1]
dijelaskan bahwa nama lengkapnya adalah, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
Ath-Thusi An-Naysaburi. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah
Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M.
ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’[2] yang hanya
makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan
menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum
meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan
dan pendidikan.
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara
yang bernama Ahmad. ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melaksanakan
wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan, dan setelah
harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan
mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai
anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran,
maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah belajar dengan
sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh.[3] pada
ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus kemudian
belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus
lagi.[4]
Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu
pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus,
beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang kemudian
merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas
al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan
penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya,
karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung
didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga
mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin
mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya.
Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.[5]
Setelah belajar di Thus, ia lalu
melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam
Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[6] Dari beliau, dia
belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.[7] Pada
periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan
pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan
kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis
buku.[8]
Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta
kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran
yang jernih, Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut
yang dalam nan menenggelamkan).[9]
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M,
al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar[10] untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan
perdana menteri Sultan Bani Saljuk.[11] Dengan semakin mencuatnya
nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk
mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi
pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak
setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya
sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme.[12]
yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala
kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan
dirinya dengan ketakwaan.[13]
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju
Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah
dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan
ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul
Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar.[14] Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam
bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang
kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat
spesialis dalam bidang agama.[15]
Setelah mengajar diberbagai tempat
seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali
kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan
dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia
dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi
para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M,
Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia
55 tahun.[16]
2.
Karya-karya
Al-Ghazali
Imam al-Ghazali adalah seorang ulama
dan pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan
risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif
oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia memiliki 999
buah tulisan, ini memang sulit dipercaya, tapi siapapun yang mengenal dirinya
dan keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kemungkinan ia akan percaya.
Muhammad bin Al-Hasan din ‘Abdullah
Al-Husaini Al-Wasithi dalam Ath-Thabaqat Al-‘Aliyyah fi Manaqib
Al-Syafi’iyyah menyebutkan bahwa karya al-Ghazali berjumlah 98 karangan.
As-Subki dalam Thabaqat Al-Syafi’iyyah menyebutkan sebanyak 58 karangan.
Thasy Kubra Zadeh dalam Miftah Al-Sa’adah wa Mishbah Al-Siyadah menyebutkan
bahwa karyanya mencapai 80 buah.[17]
Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam
al-Ghazali meliputi berbagai macam bidang keilmuan, seperti al-Qur’an, akidah,
ilmu kalam, ushul fiqh, fiqh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan lain
sebagainya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya Mualafat Al-Ghazali (Kairo,
1961), membagi kitab yang berkaitan dengan al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri
sebanyak 72 kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya
sebanyak 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan karyanya
terdiri atas 31 kitab.
Dari sekian banyak kitab yang menjadi
karya Imam al-Ghazali, beberapa di antaranya yang banyak dibaca dan dijadikan
rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing adalah:
a.
Ihya’
‘Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b.
Tahafut
al-Falasifah (Keruntuhan para filosof)
c.
Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat
dari kesesatan)
d.
Ayyuha al-Walad
(Wahai anak)
e.
Bidayah
al-Hidayah
f.
Fayshal
al-Tafriqah bayna Al-Islam al-Zandaqah
g.
Al-Wajiz
Inilah sejumlah kecil dari sekian
banyak karya besar seorang ulama besar yang bergelar Hujjah al-Islam yang
tidak mungkin disebut secara keseluruhan. Maka tidaklah mengherankan, karena
keluasan dan keragaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya itulah, ia kemudian
diberi gelar sebagai Zayn al-Din (Hiasan Agama).
3.
Pemikiran Al-Ghazali
Mengenai pemikiran al Ghazali, para
ilmuwan banyak perbedaaan dalam menggolongkannya. Ada yang menyebut ia bukan
seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat. Tentangan yang dilontarkan
al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama
filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya
..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu
para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka
mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak
percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama
adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan
...”[18]
Jikalau melihat ungkapan di atas,
terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan
agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka
sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan
ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal
ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum
Ad-din.
Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan
pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru
menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan,
bahwa tujuan penyusunan kitab tersebut untuk menghancurkan filsafat dan
menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat
orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?
Sementara dalam karyanya pula yang
berjudul Munqiz min al-Dhalal,
al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1)
Filosof
Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan.
Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2)
Filosof
Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai
penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup
banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya
Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari
Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa
sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3)
Filosof
Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan
Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya
(Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari
sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang
kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran
ini di dunia Islam.
Hal lain tentang pandangannya juga al Ghazali sampaikan,
dalam Munqiz min al-Dhalal;
”... adalah
bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan
bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi
hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan
pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat
jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan
hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi
secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah
dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.”[19]
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof
Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah
perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog
al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085)
di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh
aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya
tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim
dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih
liberal dari al-Ghazali.
Pandangannya lain terhadap Ilmu pengetahuan sebagai modal
utama konsep pendidikan al Ghazali juga diutarakan. Ilmu merupakan sumber
kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak
mengetahui arah hidup dalam prikehidupan.
”…ilmu hati
merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni
alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir
dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan
ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan
sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir
adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan
bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa
kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk
mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui
penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi
tasawuf.”[20]
Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan
(teori al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama. Dalam kitab al-Munqid min ad-Dalal (Pembebas kesesatan). Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidup
al-Ghazali di waktu transisi yang merubah pandangannya tentang hidup dan
nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, al Ghazali menjelaskan bagaimana
iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu
dapat tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan
sejati (Ilmu Yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan
logika namun dengan cara ilham dan mukāsyafah (terbuka hijab) menurut ajaran
tasawuf.
Dalam analisa penulis, konsep
pendidikan al Ghazali dalam kitab al-Munqid min ad-Dalal tidak lain merupakan buah karyanya yang bisa
disebut sebagai inti dari pengembaraan intelektualnya. Al Ghazali menegaskan
bahwa pendidikan sejati adalah serangkaian proses pencarian nilai-nilai
kehidupan dalam rangka mencapai pengetahuan sejati.
a. Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih
cenderung bersifat empiris, Ia berpendapat bahwa pendidikan dialami seseorang (anak
didik) sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Melihat dan
memahami karyanya dalam al-Munqid
min ad-Dalal, dapat tarik benang simpul bahwa al-Ghazali merupakan
penganut asas kesetaraan dalam pendidikan, ia tidak membedakan gender, selama
dia islam maka hukumnya wajib menuntut ilmu, tidak terkecuali bagi siapa pun.
1)
Tujuan
Pendidikan
Menurut Nizar,[21] al-Ghazali menjadikan
transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan
merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa,
dan taqarrub ilaAllah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang
baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan
kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang
termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56.[22] Tujuan pendidikan ini dapat
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu
pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah
kepada Allah SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq
al-karimah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[23] Perumusan ketiga tujuan
pendidikan tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan
bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk
beribadah pada Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik
pada kedekatan diri dengan Allah Swt.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang
ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang
dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan
kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi
dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu
semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah Swt, Tuhan
semesta alam.
2)
Gagasan Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata
pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah
pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya.[24] Pandangan al-Ghazali
tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu
pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang
tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan
lain sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud) yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain
untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari.
(3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika
mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan
lain-lain.
Menurut Nata,[25] yang dimaksud dari
kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu
tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang
tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa
mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir
misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan
dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat
dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab),
dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly.[26] Tapi beliau masih memberi
toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum
untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan
peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian,
yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai
dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan
paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu
kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran
semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya,
jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi
jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka
tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar
tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena
dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan
antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu
filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya
tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa
orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan
akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat
dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya,
al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala
cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia
pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula
mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’.
Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu
agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat,
sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih
menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada
tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan
melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
B.
Immanuel Kant
1.
Riwayat Hihdup Immanuel Kant
Immanuel Kant
lahir pada tanggal 22 April 1724 di Koningsberg, Rusia Timur, Jerman. Kant
adalah anak ke empat dari keluarga pembuat pelana keturunan Skotlandia dan merupakan penganut yang taat kepada agama Kristen
Protesten sekte Pietis. Ajaran sekte yang lebih menekankan orientasi etis dari
pada teologi ini nantinya sangat kental dalam mempengaruhi corak pemikiran
filsafat Kant.[27]
Riwayat Kant pasca
kelahiran hingga masa keremajaannya tidak banyak dipublikasikan kecuali hanya sesekali karena keperluan mengajar di desa
tetangga.[28] Ketika
menginjak masa kuliah barulah terdapat keterangan bahwa Kant belajar filsafat,
matematika, dan teologi di Universitas Koningsberg.[29] Dalam
bidang filsafat Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang memang merajalela
di universitas universitas Jerman kala itu.[30]
Setelah
menyelesaikan kuliah, Kant menjadi tutor di beberapa keluarga Aristokrat dan
kemudian diangkat
menjadi dosen di almamaternya tersebut (universitas Koningberg). Ia menjadi
dosen selama lima belas tahun, ditengah kesibukannya mengajar Kant menyempatkan dirinya untuk menulis tentang metafisika, logika, etika,
dan sains alam. Dalam sains alam, sebenarnya Kant memberikan konstribusi yang
besar khususnya membahas tentang fisika, astronomi, geologi, dan meteorology,
namun ketika itu tidak banyak diketahui.[31]
Pada tahun 1770
Kant diangkat menjadi guru besar logika dan metafisika di Koningsberg. Kemudian pada tahun 1781 Kant menerbitkan karya
terpentingnya,Certique of Pure Reason. Karya ini, menurut Lewis White Beck
membuka bidang-bidang studi dan masalah-masalah baru pada masa ketika
kebanyakan orang bersiap untuk menikmati masa pensiun.Namun, bagi Kant
masa-masa ini ialah masa dimana masa kerja kerasnya dimulai dan pada akhirnya
mengantarkan Kant pada masa puncak prestasi yang tak tertandingi ketika itu.
2.
Perjalanan filsafat Kant
Perjalanan Kant
sebagai seorang filosof dibagi menjadi dua periode, yakni pra kritis dan
periode kritis. Ketika zaman kritis, Kant menganut pendirian
rasionalistis-dogmatisme yang yang dilancarkan oleh wolf dan kawan-kawannya. Hal ini tak heran, karena
di Universitas Koningsberg Kant didik dalam suasana rasionalisme dan memang
ketika itu rasionalisme merajalela dengan kuat di universitas-universitas di
Jerman. Rasionalisme-dogmatis ialah filsafat yang mempercayai secara
mentah-mentah terhadap kemampuan rasio.
Keadaan diatas berubah secara gradual ketika Kant bertemu dengan
pemikiran empirisme David Hume. Kant menyatakan sendiri bahwa Hume lah yang
membangunkannya dari tidur dogmatis. Namun ini tak berlansung lama, sebab ia
mendapat obat tidur kembali, bagi Kant, Hume adalah musuh yang harus ditentang,
disini pengaruh Rousseau terlihat dominan.[32]
Priode inilah yang kemudian disebut priode kritis. Pada masa priode kedua ini,
Kant justru merubah secara radikal wajah filsafat dengan gagasannya. Kritisme,
menurut Kant ialah filsafat yang memulai perjalanannya dengan menyelediki
kemampuan dan batasan-batasan rasio terlebih dahulu. Kritisme oleh Kant
dipertentangkan dengan rasionalisme-dogmatis sekaligus empirisme-skeptis.[33]
3.
Kritik Immanuel Kant terhadap Sistem
Pengetahuan
Immanuel Kant
(1724-1804) yang hidup di abad modern dalam sejarah filsafat mewarisi logika tradisional yunani yang telah dikembangkan secara kritis oleh
filosof-filosof sebelumnya.
Jika dalam filsafat abad tengah, Skolastisisme, logika lebih digunakan sebagai
instrument untuk menguatkan ajaran-ajaran agama dan tidak melakukan kritik
terhadap logika yang dipakainya tersebut, maka Kant, dengan mgnkritik bangunan
logika sejak Yunani, yakni dari rasionalisme eksterem Descartes sampai
empirisme Humean, menganggap logika sebagai bentuk kritik baik terhadap
pengetahuan maupun agama.[34]
Tujuan utama dari
filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal
budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum
yang bersifat apriori, yakni
hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis
tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan
hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum
moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang
empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa
sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal
budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan
adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi
Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk
sintesis filosofis yang sistematis.
4.
Sistem dan Metode Ilmu Yang Ditawarkan Immanuel
Kant
Filsafat Kant
diarahkan untuk mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan Empirisme. Pertama
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari rasio dengan mengabaikan pengalaman inderawi (apriori) sementara yang
kedua menyatakan sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya didapat dari pengalaman
inderawi dengan mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis
menganggap bahwa manusia bisa mendapat pengetahuan dengan analitis apriori
sementara kaum empirisme mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan
melalui sintesis aposteriori. Namun pemikiran Kant ialah diantara apriori dan
aposteriori, ia menawarkan adanya sintesis apriori atau pengetahuan manusia
diperoleh dengan proses sintesis antara apriori dan apesteriori.[35] seperti
yang dijelaskan diatas bahwa apriori adalahpengetahuan atau
unsure-unsur yang terlepas dari segala pengalaman, sementara aposteriori
adalah pengetahuan atau unsur-unsur yang berasal dari pengalaman,
baik inderawi sendiri atau inderawi orang lain.[36]
Immanuel Kant
menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak melebihi dari pengalaman inderawinya. Hali ini bukan berarti bahwa pengetahuan hanya dari
pengalaman, namun sintesis antara aperiori dan aposteriori. Sebab, menurutnya,
dalam setiap proses mengetahui kedua unsur tersebut muncul bersamaan. Indera
menangkap sensai dari objek sementara “ruang dan waktu” yang bersifat apriori
memberikan kemungkinan manusia untuk mengetahuinya.[37] Terkait
dengan objek Kant membaginya menjadi dua, yakni apa yang berada dibalik
objek (nomena) dan yang menampakkan diri kepada
kita (fenomena). Bagian yang terakhir inilah yang dapat diketahui
oleh manusia, bukannya “nomena” sebagaimana klaim para metafisis.[38]
Untuk memperoleh
pengetahuan rasional, Kant mengatakan rasio menempuh tiga tahap refleksi. Pertama ialah tahap pengetahuan inderawi, sebagaiman diutarakan
diatas, bahwa pada tahap inderawi sudah terdapat sintesis antara apriori dan
aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur apesteriori
memainkan peranan materi. Unsur apriori adalah ruang dan waktu sementara unsur
apeteriori ialah sense dari fenomena yang ditangkap indera.[39]
Tahap kedua ialah
tahap akal budi. Kant membedakan antara akal budi dan rasio. Akal budi bertugas
untuk menciptakan orde antara data-data yang didapat tahap inderawi. Bentuk
linguistis pengetahuan akal budi adalah proposisi-proposisi atau
keputusan-keputusan, disinilah proposisi analistis apriori dan sintesis
aposteriori muncul. Namun yang dipermasalahkan Kant ialah proposisi sintesis apriori, seperti dalam
kalimat “segala kejadian ada sebabnya”. Dalam kalimat itu, predikat menambah
hal baru pada subjek sehingga masuk kategori sintesis, sementara predikat itu
tidak didapat dari proses pengalaman dan tidak memerlukan analisis subjek.
Menurut Kant, sintesis apriori ini mungkin karena dalam akal budi kita terdapat
unsure-unsur apriori yang disebut `kategori-kategori` yang bersintesis dengan
data inderawi (aposteriori).[40]
Kategori-kategori
itu dibagi Kant menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari tiga kategori, yakni kuantitas: (1) Kesatuan (unity), kemajemukan (plurality), keseluruhan (totality). (2) Kualitas: realitas,
negesi, limitasi; (3) Relasi: substansi dan aksidensi, sebab akibat, timbal
balik; (4) Modalitas: kemungkinan (possibility), keberadaan (exsistence), kepastian (necessity). Kesemuanya ini bersifat
subjektif sebagaimana ruang dan waktu.[41]
Kedua belas kategori tersebut sejajar dengan dua belas putusan,
yakni; [42]
I
|
II
|
III
|
IV
|
Quantity
Universal
Particular
Singular
|
Quality
Affirmative
Negative
Infinite
|
Relation
Categorical
Hypothetical
Disjunctive
|
Modality
Prpblematical
Assertoric
Apodictical
|
Semua kategori tersebut, jika digunakan pada sesuatu yang tidak alami
menurut Kant kita akan
terkacaukan oleh ‘antinomi’ atau proposisi yang saling bertentangan yang
masing-masing jelas-jelas dapat dibuktikan. Kant menyajikan empat antitomi
tersebut yang masing masing terdiri dari tesis dan antitesis. Pertama, tesis
yang mengatakan “dunia memiliki permulaan waktu dan juga terbatas dalam ruang” Antitesisnya
mengatakan: “dunia memiliki permulaan waktu dan juga terbatas dalam ruang”, ia
tidak terbatas baik ruang maupun waktunya”. Kedua, Membuktikan bahwa setiap
substansi campuran ada yang terdiri dari bagian-bagian sederhana dan ada yang
tidak. Ketiga menyatakan ada dua jenis kausalitas, yang pertama menurut hukum
alam dan yang kediua hukum kebebasan; antitesisnya menyatakan bahwa hanya
ada satu yakni kausalitas hukum alam, ke empat, membuktikan adanya entitas
mutlak dan tidak mutlak.[43]
Tahap ketiga ialah
tahap rasio. Tugas rasio ialah menggabungkan putusan-putusan dari akal budi menjadi
pengetahuan. Jadi pengetahuan ialah hasil sintesis dari keputusan-keputusan
yang dihasilkan oleh tahap akal budi. Dari sini dihasilkan oleh orde
argumen-argumen. Pada tahap ini, unsur -unsur apesteriori tidak diterima secara
lansung, melainkan secara tidak langsung dari akal budi. Unsur apriori pada
tahap ini adalah ide-ide[44] yang
mengatur proposisi-proposisi menjadi argumentasi. Ide-ide ini hanyalah
cita-cita yang berguna untuk menjamin kesatuan dari segala bentuk pengetahuan
kita. Kita tidak akan puas dengan pengetahuan yang terpisah-pisah, maka
pengetahuan yang khusus akan memberi sumbangan dalam membentuk “gambaran”
tertentu tentang materi. Inilah pengetahuan teoritis murni.[45] Ide-ide
ini memang ide rasio namun mereka bukanlah garapan rasio, sebab rasio hanya
akan mendapatkan pengetahuan sebatas pengalaman inderawi, sementara ketiga ide
tersebut tidak. Ketiga ide tersebut oleh Kant dimasukkan pada kategori-kategori
kepercayaan :glaube” yang akan ia bahas dalm buku kedua
kritiknya, Critique of Practical Reason.[46]
Proses reflektif
diatas disebut dengan refleksi transendental, karena mencari syarat-syarat
terdalam atau syarat dari pengetahuan kita, sehingga syarat itu bersifat mutlak
dan perlu untuk mengetahui sesuatu. Selain itu dari sini juga kita bisa mengetahui
bahwa Kant lebih menekankan pada sisi subjek (pelaku/rasio) dari pada objek.
Subjek bersifat aktif sedangkan objek bersifat pasif. Disinilah perbedaan Kant
dengan filosof-filosof terdahulu (empirisme), dan dengan inilah Kant
menyatakan dirinya telah mengadakan “ Revolusi Covernican”.
Sejak munculnya
filsafat Kant ini, pengetahuan inderawi menjadi norma bagi segala kegiatan pengetahuan kita, dan sebaliknya sejak itu pula kesahihan metafisika
dipertanyakan sedang kesahihan ilmu-ilmu alam dipertegah secara filosofis.
C.
Komparasi Pemikiran Pendidikan Al Ghazali dan Immanuel
Kant
Jika diresapi dari
uraian singkat filasafat Kant, maka ditarik pemahaman bahwa filosafat kant
telah mengajarkan kita untuk mendistorsi pengetahuan yang hanya pada sesuatu
yang bisa di indera, maka berarti jelaslah bahwa pengetahuan islam yang
kita yakini saat ini merupakan pengetahuan dari apa yang hanya bias kita indera
ataupun berdasarkan hasil pengamatan indera orang lain. Seperti yang Kant
utarakan bahwa penoumena bukan merupakan objek pengetahauan dalam
pengalaman kita tapi ia menjadi dasar bagi semua pengetahuan kita, oleh karena
itu, Islam noumena tidak akan pernah bisa menjadi objek pengetahuan
keislaman, tetapi bukannya ia tanpa makna karena bagaimanapun ia menjadi dasar
bagi semua pengalaman keislaman.[47]
Pengetahuan
keislaman kita apabila mau dirujuk adalah merupakan pengetahuan yang kita
peroleh dari mensintesiskan data- data dan informasi dalam realitas
keislaman, kita tidak akan pernah tahu bagaimana sesungguhnya islam itu sendiri
atau bagaimana Allah menginginkan islam yang kita banggakan dan gembar
gemborkan sebagaimana Allah kehendaki, maka sangat ironislah kiranya apabila umat
islam yang pemahaman keagamaan kita hanya diperoleh dari pengetahuan sintesisme
dunia noumena dan fenomena ini lalu mengatakan bahwa ajaran (aliran) yang kita
yakini saat ini merupakan aliran yang paling benar dari aliran kepercayaan
sesama kaum muslim, aliran- aliran kepercayaan yang pada saat ini
berkembang telah menjadi kelompok yang mengatakan bahwa aliran mereka
paling benar dan paling tinggi diantara aliran kelompok lain, bahkan sering
terjadi upaya kafi mengkafirkan antara kelompok. Padahal apabila kita merunut
dari teori Kant ini bahwa yang kita pahami saat ini hanyalah hasil dari
menyintesiskan data- data keislaman. Maka sangatlah ironis mengatakan
aliran kepercayaanku (NU, Muhamadiyah, Salafiyah, Wahabiyah, Salafiyah, Sunni
Syi’ah, Ahmadiyah dll) lah yang paling benar. Dari sini pula kita bisa
mengetahui bahwa pemikiran Kant Berjalan bergandengan dengan apa yang Allah
ajarkan dalam Al-Qur`an dan yang sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SWA
bahwa Kedamaian merupakan salah satu dari ajaran Islam , tidak menganggap diri
paling benar dan masih banyak hal yang sangat relevan dari konsep Kant
ini yang telah ada dalam ajaran agama yang menurut kita membawa manusia pada
keselamatan di dunia dan di akhirat.
Sementara pokok
pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan Islam, dapai diuraikan sebagai berikut:
Pertama, tujuan Pendidikan Islam. Dari hasil studi terhadap
pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin
dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan insan
yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan yang
bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian, keberadaan pendidikan
bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi
kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia
didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan
oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan
yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
Kedua, materi Pendidikan Islam. Imam al-Ghazali telah
mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan
anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan
mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau
materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang
pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan
tingkatan anak didik
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali
dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan
bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun
secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak
diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang
dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah
yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan
demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak
perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak
tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga
dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat
yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan
umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
Ketiga, metode
pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode
barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya.
Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan
hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran
setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan
akidah, Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan
lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik
beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali
untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan
akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal
atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami
bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang
telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak
hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan
lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai
pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin
mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala
antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan
yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan
koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini.
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam
Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
KESIMPULAN
Pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan, lebih
dahulu kita harus mengetahui dan memahami pandangan al-Ghazali yang berkenaan
ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya, antara lain tujuan pendidikan,
kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam
didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai dengan
pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu dalam satu
pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi
tujuan hidup secara efektif dan efisien Selain mewariskan
nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas
masyarakat, pendidikan juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk
dirinya sendiri dan masyarakatnya
Sedangkan pemikiran
Kant diarahkan untuk mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan Empirisme.
Pertama menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari rasio dengan mengabaikan
pengalaman inderawi (apriori) sementara yang kedua menyatakan
sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya didapat dari pengalaman inderawi dengan
mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis menganggap
bahwa manusia bisa mendapat pengetahuan dengan analitis apriori sementara kaum
empirisme mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui sintesis
aposteriori. Namun pemikiran Kant ialah diantara apriori dan aposteriori, ia
menawarkan adanya sintesis apriori atau pengetahuan manusia diperoleh dengan
proses sintesis antara apriori dan apesterior
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.
Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan,
2002.
Al-Ghazali. Mutiara
Ihya’ ’Ulumuddin, Cet. XV. Terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 2003.
Azra,
Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1998.
Bertens, K., Ringkasan
Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. 15, 1998.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
Hardiman, Francis Budi, Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama
Kant, Immanuel, Critique of Pure
Reason, London: Macmillan and CO, Jil. I, 1881.
Nata, Abuddin. Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat
Pers, 2002.
Roswantoro, Alim “Logika Transendental Kant dan
Relevansinya bagi Humanitas
Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio- Politik
Shihab, Umar. Kontekstualitas
Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Cet. V.
Jakarta: Penamadani, 2008.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan
Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.
Syukur, Fatah
NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Tim Redaksi
Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.