Komparasi Pemikiran Al-Ghazali Dan Immanuel Kant Tentang Pendidikan


 PENDAHULUAN
Berbicara dunia pendidikan Islam dan kemajuan-kemajuannya, maka kita akan terbentur kepada tokoh-tokoh pembaharunya. Dengan pemikiran para tokoh tersebut, sekarang kita menikmati aktualisasi pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Demi reaktualisasi pengetahuan kita seputar tokoh tersebut, maka perlu rasanya mengkaji ulang pemikiran dari para tokoh dan mengambil buah pemikiran tersebut untuk kita realisasikan serta aplikasikan dalam pendidikan Islam yang akan datang.
Perkembangan ilmu pengetahuan masa sekarang ini adalah merupakan sebuah hasil dari berbagai polemik pemikiran-pemikiran  baik itu dari kalangan professional pendidikan atau pun dari pengkajian para filosuf yang tak henti-hentinya mengembangkan pemikiran-pemikiran mengenai kemajuan dalam berfikir kritis ataupun berpikir tentang segala hal yang ada di dunia dengan problemanya yang sangat kompleks. Para tokoh-tokoh terdahulu tidak hanya memandang segala sesuatu dengan pandangan dari satu segi atau dimensi akan tetapi dengan pandangan yang multi dimensial sehingga segala permasalahan yang terjadi ataupun pemikiran tentang kemajuan merupakan hasil dari olah pikir para pemikir dan filosuf terdahulu.
Al-Ghazali adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dunia yang ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan pendidikan Islam. Dengan partisipatifnya itu, dia menghasilkan banyak karya-karya yang menjadi referensi dalam prosesi Studi Pendidikan Islam tentang kebudayaan islam yang berkaitan dengan pemikiran islam klasik memperoleh perhatian yang cukup besar bagi kalangan akademisi pada dekade terakhir.
Sedangkan Immanuel Kant bisa dikatakan sebagai filosof  terbesar abad modern. Kant hidup pada abad dimana kaum empiris Inggris semisal Jhon Loke, Berkeley dan David Hume, mendominasi serta lambat laun menyebar ke Jerman, dimana Immanuel Kant tinggal. Sebelum pengaruh empirisme terutama Hume merasuk ke Jerman, Jerman lebih didominasi oleh kaum rasionalis Libniz, lebih-lebih ketika faham tersebut disebarluaskan oleh Wolf dengan memasukkannya dalam kurikulum wajib seluruh Universitas Jerman. Kant hidup pada zaman pertempuran antara faham rasionalis dan kaum empirisme.
Dalam makalah ini penulis mencoba menjabarkan riwayat hidup, karya-karya, pemikiran serta mengkomparasikan pemikiran Al-Ghazali dan Immanuel Kant.

PEMBAHASAN

A.    Al-Ghazali
1.    Riwayat Hidup Al-Ghazali
Dalam buku yang ditulis sendiri oleh al-Ghazali,[1] dijelaskan bahwa nama lengkapnya adalah, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi. Ia lahir dikota Thus, yang merupakan kota kedua setelah Naysabur yang terletak di wilayah Khurasan, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya adalah seorang sufi yang sangat wara’[2] yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Kerjanya adalah memintal wool dan menjualnya sendiri. Ia meninggal sewaktu anaknya itu masih kecil dan sebelum meninggal ia menitipkan anaknya pada seorang sufi lain untuk mendapat bimbingan dan pendidikan.
Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. ketika ayahnya meninggal, sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak ini dididik dan disekolahkan, dan setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran, maka tidaklah mengherankan jika sejak masa kanak-kanak ia telah belajar dengan sejumlah guru dari kota kelahirannya. Masa kecilnya dimulai dengan belajar Fiqh.[3] pada ulama terkenal yang bernama Ahmad Ibn Muhammad Ar-Razakani di Thus kemudian belajar kepada Abu Nashr al-Ismaili di Jurjan dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.[4]
Sebagai gambaran kecintaannya akan ilmu pengetahuan, dikisahkan pada suatu hari dalam perjalanan pulangnya ke Thus, beliau dan teman-temannya dihadang oleh sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas al-Ghazali yang berisi buku-buku yang ia senangi, kemudian ia meminta dengan penuh iba pada kawanan pembegal itu agar sudi kiranya mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya. Kawanan itupun merasa iba dan kasihan padanya sehingga mengembalikan tas itu. Dan setelah peristiwa itu, ia menjadi semakin rajin mempelajari dan memahami kandungan kitab-kitabnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menyimpan kitab-kitab itu disuatu tempat khusus yang aman.[5]
Setelah belajar di Thus, ia lalu melanjutkan belajar di Naysabur, tempat dimana ia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga gurunya itu wafat.[6] Dari beliau, dia belajar Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan Ilmu Pengetahuan Agama lainnya.[7] Pada periode ini, ia berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkan pelajarannya dengan singkat. Gurunya membanggakan dan mempercayakan kedudukannya padanya. Ia membimbing murid-murid mewakili gurunya sambil menulis buku.[8] Dengan kecerdasan dan kemauan belajarnya yang luar biasa serta kemampuannya dalam mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih, Al-Juwaini kemudian memberikan predikat bahrun mughriq (laut yang dalam nan menenggelamkan).[9]
Dari Naysabur, pada tahun 478 H/1085 M, al-Ghazali kemudian menuju Mu’askar[10] untuk bertemu dengan Nidzam al-Mulk, yang merupakan perdana menteri Sultan Bani Saljuk.[11] Dengan semakin mencuatnya nama al-Ghazali, Nidzam al-Mulk kemudian memerintahkannya pergi ke Bagdad untuk mengajar di Al-Madrasah An-Nidzamiyyah, dimana semua orang mengagumi pandangan-pandangannya yang pada akhirnya ia menjadi Imam bagi penduduk Irak setelah sebelumnya menjadi Imam di Khurasan. Namun, ditengah ketenarannya sebagai seorang ulama, disisi lain pada saat ini ia mengalami fase skeptisisme.[12] yang membuat keadaannya terbalik. Ia kemudian meninggalkan Bagdad dengan segala kedudukan dan fasilitas kemewahan yang diberikan padanya untuk menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.[13]
Perjalanannya kemudian berlanjut menuju Damaskus dimana ia banyak menghabiskan waktunya untuk berkhalwah, beribadah dan beri’tikaf. Dari sini ia kemudian menuju Baitul Maqdis untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ia kemudian kembali ke Naysabur atas desakan Fakhrul Mulk, anak Nidzam Al-Mulk untuk kembali mengajar.[14] Hanya saja, ia menjadi guru besar dalam bidang studi lain, tidak seperti dahulu lagi. Selama periode mengajarnya yang kedua ini, ia juga menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.[15]
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Bagdad, Syam dan Naysaburi, Pada tahun 500 H/1107 M, al-Ghazali kemudian kembali kekampung halamannya, banyak bertafakkur, menanamkan ketakutan dalam kalbu sambil mengisi waktunya dengan mengajar pada madrasah yang ia dirikan disebelah rumahnya untuk para penuntut ilmu dan tempat khalwat bagi para sufi. Dan pada hari senin, 14 jumadal akhirah 505 H/18 desember 1111 M, Imam al-Ghazali berpulang ke rahmatullah ditanah kelahirannya, Thus dalam usia 55 tahun.[16]
2.    Karya-karya Al-Ghazali
Imam al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar yang sangat produktif dalam menulis. Jumlah kitab dan risalah-risalah yang ditulisnya sampai kini belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Hingga ada yang mengatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan, ini memang sulit dipercaya, tapi siapapun yang mengenal dirinya dan keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kemungkinan ia akan percaya.
Muhammad bin Al-Hasan din ‘Abdullah Al-Husaini Al-Wasithi dalam Ath-Thabaqat Al-‘Aliyyah fi Manaqib Al-Syafi’iyyah menyebutkan bahwa karya al-Ghazali berjumlah 98 karangan. As-Subki dalam Thabaqat Al-Syafi’iyyah menyebutkan sebanyak 58 karangan. Thasy Kubra Zadeh dalam Miftah Al-Sa’adah wa Mishbah Al-Siyadah menyebutkan bahwa karyanya mencapai 80 buah.[17]
Kitab-kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali meliputi berbagai macam bidang keilmuan, seperti al-Qur’an, akidah, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan dan lain sebagainya. Abdurrahman Badawi dalam bukunya Mualafat Al-Ghazali (Kairo, 1961), membagi kitab yang berkaitan dengan al-Ghazali kedalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan merupakan karangan al-Ghazali sendiri sebanyak 72 kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya sebanyak 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dipastikan bukan karyanya terdiri atas 31 kitab.
Dari sekian banyak kitab yang menjadi karya Imam al-Ghazali, beberapa di antaranya yang banyak dibaca dan dijadikan rujukan, bahkan diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa asing adalah:
a.         Ihya’ ‘Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b.        Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan para filosof)
c.          Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari kesesatan)
d.        Ayyuha al-Walad (Wahai anak)
e.         Bidayah al-Hidayah
f.         Fayshal al-Tafriqah bayna Al-Islam al-Zandaqah
g.         Al-Wajiz
Inilah sejumlah kecil dari sekian banyak karya besar seorang ulama besar yang bergelar Hujjah al-Islam yang tidak mungkin disebut secara keseluruhan. Maka tidaklah mengherankan, karena keluasan dan keragaman ilmu pengetahuan yang dimilikinya itulah, ia kemudian diberi gelar sebagai Zayn al-Din (Hiasan Agama).
3.    Pemikiran Al-Ghazali
Mengenai pemikiran al Ghazali, para ilmuwan banyak perbedaaan dalam menggolongkannya. Ada yang menyebut ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat. Tentangan yang dilontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[18]

Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din.
Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan kitab tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?
Sementara dalam karyanya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1)      Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2)      Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3)      Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Hal lain tentang pandangannya juga al Ghazali sampaikan, dalam Munqiz min al-Dhalal;
”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”[19]
Sungguh pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali.
Pandangannya lain terhadap Ilmu pengetahuan sebagai modal utama konsep pendidikan al Ghazali juga diutarakan. Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan.
”…ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf.”[20]
Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori al Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama. Dalam kitab al-Munqid min ad-Dalal (Pembebas kesesatan). Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidup al-Ghazali di waktu transisi yang merubah pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, al Ghazali menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu Yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukāsyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.
Dalam analisa penulis, konsep pendidikan al Ghazali dalam kitab al-Munqid min ad-Dalal tidak lain merupakan buah karyanya yang bisa disebut sebagai inti dari pengembaraan intelektualnya. Al Ghazali menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah serangkaian proses pencarian nilai-nilai kehidupan dalam rangka mencapai pengetahuan sejati. 
a.      Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan
Konsep pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung bersifat empiris, Ia berpendapat bahwa pendidikan dialami seseorang (anak didik) sangat tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Melihat dan memahami karyanya dalam al-Munqid min ad-Dalal, dapat tarik benang simpul bahwa al-Ghazali merupakan penganut asas kesetaraan dalam pendidikan, ia tidak membedakan gender, selama dia islam maka hukumnya wajib menuntut ilmu, tidak terkecuali bagi siapa pun.
1)        Tujuan Pendidikan
Menurut Nizar,[21] al-Ghazali menjadikan transinternalisasi ilmu dan proses pendidikan  merupakan sarana utama untuk menyiarkan ajaran islam, memelihara jiwa, dan taqarrub ilaAllah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
Intinya, pendidikan menurut al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebagaimana tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam QS. Al-Dzariyat: 56.[22] Tujuan pendidikan ini dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT; (2) Tujuan utama pendidikan islam adalah pembentukan akhlaq al-karimah; (3) Tujuan pendidikan islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[23] Perumusan ketiga tujuan pendidikan tersebut dapat menjadikan program pendidikan yang dijalankan bersinergi dengan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi ini, yaitu untuk beribadah pada Allah sehingga pada gilirannya mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri dengan Allah Swt.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah memanfaatkan pengetahuan yang ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri yang dengannya dapat menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestarikan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, juga sekaligus sebagai sebuah aplikasi dari tugas penciptaan manusia di muka bumi. Pemanfaatan pengetahuan itu semata-mata adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam.
2)        Gagasan Kurikulum
Kurikulum, dalam pengertian sederhana berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya.[24] Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat diketahui berdasarkan pandangannya dalam membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga kategori besar, yaitu: (1) Ilmu yang tercela yang tidak pantas dipelajari (al-mazmum), seperti sihir, nujum, ramalan, dan lain sebagainya. (2) Ilmu yang terpuji yang pantas untuk dipelajari (al-mahmud)  yang meliputi ilmu yang fardlu ‘ain untuk dipelajari dan ilmu yang hanya fardlu kifayah untuk dipelajari. (3) Ilmu terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, seperti ilmu logika, filsafat, ilahiyyat dan lain-lain.
Menurut Nata,[25] yang dimaksud dari kategorisasi ketiga ilmu tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu tercela. Yang termasuk ilmu ini dalam pandangan al-Ghazali ialah ilmu yang tidak ada manfaatnya baik dunia maupun akhirat dan terkadang hanya membawa mudharat bagi orang yang memilikinya, maupun bagi orang lain. Ilmu sihir misalnya dapat memisahkan persahabatan antar sesama manusia, menimbulkan dendam, permusuhan dan kejahatan. Sementara ilmu nujum menurut al-Ghazali dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu nujum berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum berdasarkan istidlaly.[26] Tapi beliau masih memberi toleransi dengan mengatakan seperlunya saja demi kebaikan, seperti ilmu nujum untuk mengetahui letak kiblat.
Kedua, ilmu-ilmu terpuji. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini ialah ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya. Ia membagi jenis ilmu ini menjadi dua bagian, yaitu: yang fardlu ‘ain, yaitu ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat pokok, hingga ilmu syari’at yang dengannya ia akan paham apa yang harus ditinggalkan dan apa yang harus dilakukan. Sedangkan yang fardlu kifayah adalah semua ilmu yang tidak mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung dan lain-lain. Menurutnya, jika tidak ada yang mempelajari ilmu itu maka berdosalah seluruhnya, tetapi jika telah ada seseorang yang menguasainya dan dapat mempraktekkannya maka tuntutan wajibnyapun telah lepas dari yang lain.
Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu atau sedikit, dan tercela jika mempelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya dapat menyebabkan terjadinya kesemrawutan dan kekacauan antara keyakinan dan keraguan yang dapat membawa pada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Ilmu ini tidaklah wajib bagi setiap orang, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu itu dengan baik. Ia berpendapat bahwa orang yang mempelajari ilmu tersebut bagai anak kecil yang masih menyusu, dan akan sakit apabila diberikan makanan yang bermacam-macam yang belum dapat dicerna oleh perutnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada prinsipnya, al-Ghazali lebih menekankan pada muatan ilmu-ilmu keagamaan dengan segala cabangnya dan juga ilmu-ilmu yang erat kaitannya dengan kemaslahatan manusia pada umumnya. Sehingga menurut al-Ghazali, selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam pandangannya, karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia. Ia juga lebih menekankan pada segi pemanfaatan ilmu pengetahuan dengan berdasarkan pada tujuan iman dan taqarrub pada Allah SWT. Hal ini menjadi wajar dengan melihat latar belakang kehidupan beliau sebagai seorang sufi.
B.     Immanuel  Kant
1.    Riwayat Hihdup Immanuel  Kant
Immanuel Kant  lahir pada tanggal 22 April 1724 di Koningsberg, Rusia Timur, Jerman. Kant adalah anak ke empat dari keluarga pembuat pelana keturunan Skotlandia dan merupakan penganut yang taat kepada agama Kristen Protesten sekte Pietis. Ajaran sekte yang lebih menekankan orientasi etis dari pada teologi ini nantinya sangat kental dalam mempengaruhi corak pemikiran filsafat Kant.[27]
Riwayat Kant pasca kelahiran hingga masa keremajaannya tidak banyak dipublikasikan kecuali hanya sesekali karena keperluan mengajar di desa tetangga.[28] Ketika menginjak masa kuliah barulah terdapat keterangan bahwa Kant belajar filsafat, matematika, dan teologi di Universitas Koningsberg.[29] Dalam bidang filsafat Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang memang merajalela di universitas universitas Jerman kala itu.[30]
Setelah menyelesaikan kuliah, Kant menjadi tutor di beberapa keluarga Aristokrat dan kemudian diangkat menjadi dosen di almamaternya tersebut (universitas Koningberg). Ia menjadi dosen selama lima belas tahun, ditengah kesibukannya mengajar Kant menyempatkan dirinya untuk menulis tentang metafisika, logika, etika, dan sains alam. Dalam sains alam, sebenarnya Kant memberikan konstribusi yang besar khususnya membahas tentang fisika, astronomi, geologi, dan meteorology, namun ketika itu tidak banyak diketahui.[31]
Pada tahun 1770 Kant diangkat menjadi guru besar logika  dan metafisika di Koningsberg. Kemudian pada tahun 1781 Kant menerbitkan karya terpentingnya,Certique of Pure Reason. Karya ini, menurut Lewis White Beck membuka bidang-bidang studi dan masalah-masalah baru pada masa ketika kebanyakan orang bersiap untuk menikmati masa pensiun.Namun, bagi Kant masa-masa ini ialah masa dimana masa kerja kerasnya dimulai dan pada akhirnya mengantarkan Kant pada masa puncak prestasi yang tak tertandingi ketika itu.
2.      Perjalanan filsafat Kant
Perjalanan Kant sebagai seorang filosof dibagi menjadi dua periode, yakni pra kritis dan periode kritis. Ketika zaman kritis, Kant menganut pendirian rasionalistis-dogmatisme yang yang dilancarkan oleh wolf dan kawan-kawannya. Hal ini tak heran, karena di Universitas Koningsberg Kant didik dalam suasana rasionalisme dan memang ketika itu rasionalisme merajalela dengan kuat di universitas-universitas di Jerman. Rasionalisme-dogmatis ialah filsafat yang mempercayai secara mentah-mentah terhadap kemampuan rasio.
Keadaan diatas berubah secara gradual ketika Kant bertemu dengan pemikiran empirisme David Hume. Kant menyatakan sendiri bahwa Hume lah yang membangunkannya dari tidur dogmatis. Namun ini tak berlansung lama, sebab ia mendapat  obat tidur kembali, bagi Kant, Hume adalah musuh yang harus ditentang, disini pengaruh Rousseau terlihat dominan.[32] Priode inilah yang kemudian disebut priode kritis. Pada masa priode kedua ini, Kant justru merubah secara radikal wajah filsafat dengan gagasannya. Kritisme, menurut Kant ialah filsafat yang memulai perjalanannya dengan menyelediki kemampuan dan batasan-batasan rasio terlebih dahulu. Kritisme oleh Kant dipertentangkan dengan rasionalisme-dogmatis sekaligus empirisme-skeptis.[33]
3.      Kritik Immanuel  Kant  terhadap Sistem Pengetahuan
Immanuel Kant (1724-1804) yang hidup di abad modern dalam sejarah filsafat mewarisi logika tradisional yunani yang telah dikembangkan secara kritis oleh filosof-filosof sebelumnya. Jika dalam filsafat abad tengah, Skolastisisme, logika lebih digunakan sebagai instrument untuk menguatkan ajaran-ajaran agama dan tidak melakukan kritik terhadap logika yang dipakainya tersebut, maka Kant, dengan mgnkritik bangunan logika sejak Yunani, yakni dari rasionalisme eksterem Descartes sampai empirisme Humean, menganggap logika sebagai bentuk kritik baik terhadap pengetahuan maupun agama.[34]
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.
4.      Sistem dan Metode Ilmu Yang Ditawarkan Immanuel  Kant 
Filsafat Kant diarahkan untuk mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan Empirisme. Pertama menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari rasio dengan mengabaikan pengalaman inderawi (apriori) sementara yang kedua menyatakan sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya didapat dari pengalaman inderawi dengan mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis menganggap bahwa manusia bisa mendapat pengetahuan dengan analitis apriori sementara kaum empirisme mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui sintesis aposteriori. Namun pemikiran Kant ialah diantara apriori dan aposteriori, ia menawarkan adanya sintesis apriori atau pengetahuan manusia diperoleh dengan proses sintesis antara apriori dan apesteriori.[35]  seperti yang dijelaskan diatas bahwa apriori adalahpengetahuan atau unsure-unsur  yang terlepas dari segala pengalaman, sementara aposteriori adalah  pengetahuan atau unsur-unsur  yang berasal dari pengalaman, baik inderawi sendiri atau inderawi orang lain.[36]
Immanuel Kant menyatakan bahwa pengetahuan manusia tidak melebihi dari pengalaman inderawinya. Hali ini bukan berarti bahwa pengetahuan hanya dari pengalaman, namun sintesis antara aperiori dan aposteriori. Sebab, menurutnya, dalam setiap proses mengetahui kedua unsur tersebut muncul bersamaan. Indera menangkap sensai dari objek sementara “ruang dan waktu” yang bersifat apriori memberikan kemungkinan manusia untuk mengetahuinya.[37] Terkait dengan objek Kant membaginya menjadi dua, yakni apa yang berada dibalik objek (nomena) dan yang menampakkan diri kepada kita (fenomena). Bagian yang terakhir inilah yang dapat diketahui oleh manusia, bukannya “nomena” sebagaimana klaim para metafisis.[38]
Untuk memperoleh pengetahuan rasional, Kant mengatakan rasio menempuh tiga tahap refleksi. Pertama ialah tahap pengetahuan inderawi, sebagaiman diutarakan diatas, bahwa pada tahap inderawi sudah terdapat sintesis antara apriori dan aposteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur apesteriori memainkan peranan materi. Unsur apriori adalah ruang dan waktu sementara unsur apeteriori ialah sense dari fenomena yang ditangkap indera.[39]
Tahap kedua ialah tahap akal budi. Kant membedakan antara akal budi dan rasio. Akal budi bertugas untuk menciptakan orde antara data-data yang didapat tahap inderawi. Bentuk linguistis pengetahuan akal budi adalah proposisi-proposisi atau keputusan-keputusan, disinilah proposisi analistis apriori dan sintesis aposteriori muncul. Namun yang dipermasalahkan Kant ialah proposisi sintesis apriori, seperti dalam kalimat “segala kejadian ada sebabnya”. Dalam kalimat itu, predikat menambah hal baru pada subjek sehingga masuk kategori sintesis, sementara predikat itu tidak didapat dari proses pengalaman dan tidak memerlukan analisis subjek. Menurut Kant, sintesis apriori ini mungkin karena dalam akal budi kita terdapat unsure-unsur apriori yang disebut `kategori-kategori` yang bersintesis dengan data inderawi (aposteriori).[40] 
Kategori-kategori itu dibagi Kant menjadi empat bagian yang masing-masing terdiri dari tiga kategori, yakni kuantitas: (1) Kesatuan (unity), kemajemukan (plurality), keseluruhan (totality). (2) Kualitas: realitas, negesi, limitasi; (3) Relasi: substansi dan aksidensi, sebab akibat, timbal balik; (4) Modalitas: kemungkinan (possibility), keberadaan (exsistence), kepastian (necessity). Kesemuanya ini bersifat subjektif sebagaimana ruang dan waktu.[41]
Kedua belas kategori tersebut sejajar dengan dua belas putusan, yakni; [42]
I
II
III
IV
Quantity
Universal
Particular
Singular
Quality
Affirmative
Negative
Infinite
Relation
Categorical
Hypothetical
Disjunctive
Modality
Prpblematical
Assertoric
Apodictical

Semua kategori tersebut, jika digunakan pada sesuatu yang tidak alami menurut Kant kita akan terkacaukan oleh ‘antinomi’ atau proposisi yang saling bertentangan yang masing-masing jelas-jelas dapat dibuktikan. Kant menyajikan empat antitomi tersebut yang masing masing terdiri dari tesis dan antitesis. Pertama, tesis yang mengatakan “dunia memiliki permulaan waktu dan juga terbatas dalam ruang” Antitesisnya mengatakan: “dunia memiliki permulaan waktu dan juga terbatas dalam ruang”, ia tidak terbatas baik ruang maupun waktunya”. Kedua, Membuktikan bahwa setiap substansi campuran ada yang terdiri dari bagian-bagian sederhana dan ada yang tidak. Ketiga menyatakan ada dua jenis kausalitas, yang pertama menurut hukum alam dan yang kediua hukum kebebasan;  antitesisnya menyatakan bahwa hanya ada satu yakni kausalitas hukum alam, ke empat, membuktikan adanya entitas mutlak dan tidak mutlak.[43]
Tahap ketiga ialah tahap rasio. Tugas rasio ialah menggabungkan putusan-putusan dari akal budi menjadi pengetahuan. Jadi pengetahuan ialah hasil sintesis dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh tahap akal budi. Dari sini dihasilkan oleh orde argumen-argumen. Pada tahap ini, unsur -unsur apesteriori tidak diterima secara lansung, melainkan secara tidak langsung dari akal budi. Unsur apriori pada tahap ini adalah ide-ide[44]  yang mengatur proposisi-proposisi menjadi argumentasi. Ide-ide ini hanyalah cita-cita yang berguna untuk menjamin kesatuan dari segala bentuk pengetahuan kita. Kita tidak akan puas dengan pengetahuan yang terpisah-pisah, maka pengetahuan yang khusus akan memberi sumbangan dalam membentuk “gambaran” tertentu tentang materi. Inilah pengetahuan teoritis murni.[45]  Ide-ide ini memang ide rasio namun mereka bukanlah garapan rasio, sebab rasio hanya akan mendapatkan pengetahuan sebatas pengalaman inderawi, sementara ketiga ide tersebut tidak. Ketiga ide tersebut oleh Kant dimasukkan pada kategori-kategori kepercayaan :glaube” yang akan ia bahas dalm buku kedua kritiknya, Critique of Practical Reason.[46]
Proses reflektif diatas disebut dengan refleksi transendental, karena mencari syarat-syarat terdalam atau syarat dari pengetahuan kita, sehingga syarat itu bersifat mutlak dan perlu untuk mengetahui sesuatu. Selain itu dari sini juga kita bisa mengetahui bahwa Kant lebih menekankan pada sisi subjek (pelaku/rasio) dari pada objek. Subjek bersifat aktif sedangkan objek bersifat pasif. Disinilah perbedaan Kant dengan filosof-filosof terdahulu (empirisme), dan dengan inilah Kant menyatakan dirinya telah mengadakan “ Revolusi Covernican”.
Sejak munculnya filsafat Kant ini, pengetahuan inderawi menjadi norma bagi segala kegiatan pengetahuan kita, dan sebaliknya sejak itu pula kesahihan metafisika dipertanyakan sedang kesahihan ilmu-ilmu alam dipertegah secara filosofis.

C.    Komparasi Pemikiran Pendidikan Al Ghazali dan Immanuel Kant
Jika diresapi dari uraian singkat filasafat Kant, maka ditarik pemahaman bahwa filosafat kant telah mengajarkan kita untuk mendistorsi pengetahuan yang hanya pada sesuatu yang bisa di indera, maka berarti jelaslah bahwa pengetahuan islam  yang kita yakini saat ini merupakan pengetahuan dari apa yang hanya bias kita indera ataupun berdasarkan hasil pengamatan indera orang lain. Seperti yang Kant utarakan bahwa penoumena  bukan merupakan objek pengetahauan dalam pengalaman kita tapi ia menjadi dasar bagi semua pengetahuan kita, oleh karena itu, Islam noumena  tidak akan pernah bisa menjadi objek pengetahuan keislaman, tetapi bukannya ia tanpa makna karena bagaimanapun ia menjadi dasar bagi semua pengalaman keislaman.[47]
Pengetahuan keislaman kita apabila mau dirujuk adalah merupakan pengetahuan yang kita peroleh dari mensintesiskan data- data  dan informasi dalam realitas keislaman, kita tidak akan pernah tahu bagaimana sesungguhnya islam itu sendiri atau bagaimana Allah menginginkan islam yang kita banggakan dan gembar gemborkan sebagaimana Allah kehendaki, maka sangat ironislah kiranya apabila umat islam yang pemahaman keagamaan kita hanya diperoleh dari pengetahuan sintesisme dunia noumena dan fenomena ini lalu mengatakan bahwa ajaran (aliran) yang kita yakini saat ini merupakan aliran yang paling benar dari aliran kepercayaan sesama kaum muslim, aliran- aliran kepercayaan yang pada  saat ini berkembang  telah menjadi kelompok yang mengatakan bahwa aliran mereka paling benar dan paling tinggi diantara aliran kelompok lain, bahkan sering terjadi upaya kafi mengkafirkan antara kelompok. Padahal apabila kita merunut dari teori Kant ini bahwa yang kita pahami saat ini hanyalah hasil dari menyintesiskan data- data keislaman. Maka sangatlah ironis mengatakan  aliran kepercayaanku (NU, Muhamadiyah, Salafiyah, Wahabiyah, Salafiyah, Sunni Syi’ah, Ahmadiyah dll) lah yang paling benar. Dari sini pula kita bisa mengetahui bahwa pemikiran Kant Berjalan bergandengan dengan apa yang Allah ajarkan dalam Al-Qur`an dan yang sering dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SWA bahwa Kedamaian merupakan salah satu dari ajaran Islam , tidak menganggap diri paling benar  dan masih banyak hal yang sangat relevan dari konsep Kant ini yang telah ada dalam ajaran agama yang menurut kita membawa manusia pada keselamatan  di dunia dan di akhirat.
Sementara pokok pemikiran Al Ghazali tentang pendidikan Islam, dapai diuraikan sebagai berikut: Pertama, tujuan Pendidikan Islam. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
Kedua, materi Pendidikan Islam. Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
Ketiga, metode pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah, Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat di atas, dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses                 pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
 Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.


KESIMPULAN

Pemikiran al-Ghazali dalam bidang pendidikan, lebih dahulu kita harus mengetahui dan memahami pandangan al-Ghazali yang berkenaan ilmu pengetahuan dengan berbagai aspeknya, antara lain tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik dan murid.
Pendidikan, yang kata itu dilekatkan pada kata islam didefinisikan secara berbeda-beda oleh orang yang berbeda-beda sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Tetapi semua pendapat itu bertemu dalam satu pandangan, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien Selain mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi untuk memelihara identitas masyarakat, pendidikan juga bertugas mengembangkan potensi manusia untuk dirinya sendiri dan masyarakatnya
Sedangkan pemikiran Kant diarahkan untuk mengkombinasikan pandangan Rasionalime dan Empirisme. Pertama menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari rasio dengan mengabaikan pengalaman inderawi (apriori) sementara yang kedua menyatakan sebaiknya yakni ilmu pengetahuan hanya didapat dari pengalaman inderawi dengan mengabaikan rasio (aposteriori). Para rasionalis menganggap bahwa manusia bisa mendapat pengetahuan dengan analitis apriori sementara kaum empirisme mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui sintesis aposteriori. Namun pemikiran Kant ialah diantara apriori dan aposteriori, ia menawarkan adanya sintesis apriori atau pengetahuan manusia diperoleh dengan proses sintesis antara apriori dan apesterior


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Al-Ghazali. Mutiara Ihya’ ’Ulumuddin, Cet. XV. Terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 2003.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. 15, 1998.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: CV. Naladana, 2004.
Hardiman, Francis Budi, Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, London: Macmillan and CO, Jil. I, 1881.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Roswantoro, Alim “Logika Transendental Kant dan Relevansinya bagi Humanitas
Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio- Politik
Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum Dalam Al-Qur’an. Cet. V. Jakarta: Penamadani, 2008.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius,Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Kencana, 2005.
Syukur, Fatah NC. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Tim Redaksi Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.




Postingan terkait: