PENDAHULUAN
Saat ini terdapat
beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme.
Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa
antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan
persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda
konkret.
Seorang guru perlu
memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak
akan berhasilkan menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber
kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah
konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah,
dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk
konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan
tersebut, pemakalah tertarik melakukan penelitian konsep untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa
mengembangkan keaktifan siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri,
sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai
pembelajaran karena dihubungkan dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan
pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan kehidupannya sehari-hari.
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu:
1. Apakah Pengertian teori belajar
kontruktivisme? 2. Bagaimana Konsep Teori Belajar
Konstruktivisme bisa diaplikasikan kedalam Pembelajaran PAI ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivisme ini bertitik
tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner
yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap
berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari
tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran
Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan
ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal
sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima,
difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan
diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran
Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan
dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka.
Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu
dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.[1]
Pada dasarnya perspektif ini mempunyai
asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang
memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple perspektives) bukan hanya satu
perspektif saja. Hal ini berarti bahwa “pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman
individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain”[2].
Peranan kontribusi siswa terhadap makna, pemahaman, dan proses belajar melalui
kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting. Perspektif
konstruktivisme mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan
proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi
proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting.
Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. sebagai
upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan yang bersifat subyektif.[3]
Jadi, Konstruktivisme didefinisikan sebagai
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna
dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami
hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Von Glasersfeld mengatakan bahwa
konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu
dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan
lingkungannya.[4]
Menurut para penganut konstruktif,
pengetahuan dibina secara aktif oleh seseorang yang berfikir. Seseorang tidak
akan menyerap pengetahuan dengan pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru,
peserta didik akan menyesuaikan informasi baru atau pengalaman yang disampaikan
guru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimilikinya melalui
berintekrasi sosial dengan peserta didik lain atau dengan gurunya.[5]
Konsep teori belajar konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang
beragam. Belajar merupakan proses aktif untuk megkonstruksi pengetahuan dan
bukan proses menerima pengetahuan. Proses pembelajaran yang terjadi lebih
dimaksudkan untuk membantu atau mendukung proses belajar, bukan sekedar untuk
menyampaikan pengetahuan.
Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang
mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel
menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami
dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan
pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk
mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru membiarkan anak
mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup
memberi semangat dan arahan saja.
Sebagai orang yang beragama, Islam memiliki
ajaran yang diakui -minimal oleh pemeluknya- lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan
dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai
agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup
sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara
mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada
Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia. Untuk mewariskan nilai-nilai keagamaan ini, di antaranya adalah melalui
proses pendidikan.
Pendidikan (termasuk pendidikan agama
Islam) merupakan topik yang selalu aktual untuk dibicarakan dan diperdebatkan
dari zaman ke zaman. Namun demikian perbincangan dan perdebatan tentang
pendidikan tidak pernah selesai, dan tidak akan pernah selesai dibicarakan.
Minimal ada tiga alasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan
mengapa hal ini terjadi.
Pertama, fitrah setiap orang menginginkan
yang lebih baik, termasuk dalam masalah pendidikan. Kedua, teori pendidikan
-dan teori pada umumnya-selalu ketinggalan oleh kebutuhan masyarakat. Sebab
pada umumnya, teori pendidikan dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat pada
tempat dan waktu tertentu. Karena waktu berubah dan tempat selalu berubah,
kebutuhan masyarakat juga berubah. Bahkan perubahan tempat dan waktu itu ikut
pula mengubah sifat manusia. Karena adanya perubahan itu, masyarakat merasa
tidak puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, karena pengaruh pandangan
hidup. Pada suatu waktu mungkin seseorang telah puas dengan keadaan pendidikan
di tempatnya karena sudah sesuai dengan pandangan hidupnya. Suatu ketika ia
terpengaruh oleh pandangan hidup yang lain. Akibatnya, berubah pula pendapatnya
tentang pendidikan yang tadinya sudah memuaskannya.
Sebagai agama yang paripurna, Islam sangat
memperhatikan masalah pendidikan. Para peneliti sudah membuktikan bahwa
al-Qur'an sebagai sumber utama agama Islam menaruh perhatian yang amat besar
terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Hal ini terbukti bahwa wahyu yang
pertama turun adalah perintah untuk membaca yang mana membaca merupakan salah
satu proses utama untuk mendapat ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:
Artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan
2. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya.
Demikian pula dengan
al-Hadis, sumber kedua ajaran Islam, diakui memberikan perhatian
yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah
mencanangkan program wajib belajar kepada umatnya. Nabi SAW bersabda:
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SA
W bersabda: "mencari ilmu wajib bagi setiap muslim ". (HR. Ibnu
Majah).
Dari uraian di atas,
terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada
al-Qur'a’n dan al-Hadi’th sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang
pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al-Qur'a’n ini ternyata amat
strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan
jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari
keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari
ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Arah pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang
mempunyai kemampuan kognitif intelektual dan cerdas. Dengan kecerdasannya ia
dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup
bersama. Hidup bersama dalam artian mengetahui dan menghargai adanya perbedaan
serta menghargainya sebagai milik seluruh umat manusia dan bukan dasar untuk memecah
belah kehidupan. Kemampuan lain yang dikembangkan dalam pendidikan Islam adalah
afeksi dan psikomotor.
Di antara ke tiga
ranah tersebut, yang mendapatkan prioritas utama adalah pengembangan aspek
afeksi. Bahkan misi utama beliau adalah menyempurnakan aspek afeksi (akhlak)
umat manusia. Rasulullah SAW bersabda:..............................
Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan akhlak-akhlak mulia".
Pendidikan Islam
berfungsi mengembangkan seluruh potensi peserta didik secara bertahap (sesuai
tuntunan ajaran Islam). Potensi yang dikembangkan meliputi potensi beragama,
intelek, sosial, ekonomi, seni, persamaan, keadilan, pengembangan, harga diri,
cinta tanah air dan sebagainya. Tujuan pengembangannya ada yang bersifat
individual, yaitu berkaitan dengan individu-individu yang menyangkut tingkah
laku, aktivitas dan kehidupannya di dunian dan akhirat.
Ada yang bersifat
sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diinginkan, dan ada pula yang bersifat
profesional untuk memperoleh ilmu, seni, profesi, dan suatu aktivitas di antara
aktivitas-aktivitas masyarakat.
Ironisnya, di tengah
gencarnya usaha perbaikan di dunia pendidikan (termasuk pendidikan Islam),
suatu realita yang tidak dapat dipungkiri dalam dunia global ini adalah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan manusia dalam hidup.
Kerusakan moral di kalangan remaja, angka krimilalitas yang tinggi,
peyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dan tokoh-tokoh
agama.
Hal ini menunjukkan
bahwa pendidikan agama (Islam) yang selama ini diusahakan di berbagai lembaga
pendidikan baik formal maupun non-formal belum berhasil dengan baik. Masyarakat
kemudian bertanya, "mengapa pendidikan moral-keagamaan belum
berhasil", "apa yang salah di dunia pendidikan kita". Pertanyaan
ini sangat wajar sebab masyarakat sudah mempercayakan pendidikan anak-anaknya
di lembaga pendidikan yang ada. Tapi ironisnya dari lembaga-lembaga pendidikan
tersebut banyak lahir para koruptor, manipulator dan manusia-manusia yang
berperilaku kotor.[6]
Hal ini merupakan
bukti empiris kegagalan pendidikan agama Islam di oleh lembaga-lembaga
pendidikan baik formal maupun non-formal. Salah satu penyebabnya adalah
strategi dan pengelolaan pembelajaran yang cenderung tradisional normatif dan
dengan metode yang kurang senada dengan keinginan peserta didik.
Pembelajaran
pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih menekankan pengetahuan tentang sikap
yang terkesan normatif, kaku, dan kurang menarik. Pengajar sering menempatkan
diri sebagai pendakwah dengan memberi petunjuk, perintah, dan aturan yang
membuat peserta didik jenuh dan bosan. Pengajar juga jarang memberikan
keteladanan dengan sikap dan perilaku.[7]
B. Aplikasi Konsep Teori Belajar
Konstruktivisme terhadap Pembelajaran PAI
Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Akan tetapi siswa harus aktif
mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pendidik atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu
mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Dalam hal ini, hakikat
pembelajaran menurut teori Konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran
yang mengkondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru,
pengertian baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses
pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya menjadi pengetahuan yang bermakna.
Jadi, dalam konstruktivisme ini sangat penting peran siswa untuk membangun
constructive habits of mind. Agar siswa memiliki kebiasaan berpikir, maka
dibutuhkan kebebasan dan sikap belajar. Teori belajar yang mencerminkan siswa
memiliki kebebasan artinya siswa dapat memanfaatkan teknik belajar apa pun asal
tujuan belajar dapat tercapai.[8]
Selain itu, Nickson
mengatakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivime adalah membantu
siswa untuk membangun konsep-konsep dalam belajar dengan kemampuannya sendiri
melalui proses internalisasi sehingga konsep itu terbangun kembali melalui
transformasi informasi untuk menjadi konsep baru. Konstruk sebagai salah satu
paradigma dalam teori belajar telah banyak mempengaruhi proses belajar. Peran
guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan
mereka untuk membentuk pengetahuan.[9]
Sehubungan dengan hal
di atas, Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme
sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara
gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley mendukung
pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan
teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh
secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi
kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di
atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam
proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya.
Selain penekanan dan
tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu:[10]
1. Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan
cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2. Pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti,
3. Strategi siswa lebih bernilai,
4. Siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Bila aplikasi teori
konstruktivisme masuk kedalam pembelajaran PAI khususnya di bidang Fiqh, maka
para siswa akan membentuk :
1) Peserta didik akan membangun atau
mengkonstruksi pengetahuan tentang fiqh khususnya masalah shalat, dari hasil
yang mereka dapatkan ketika mereka duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah
2) Pembelajaran tentang ibadah shalat akan
menjadi lebih bermakna karena peserta didik sudah mengerti walaupun masih ada
juga yang belum tahu, namun dalam hal ini teori konstruktivisme yang
diaplikasikan kedalam pembelajaran dapat menumbuhkan respons yang positif
karena stimulus yang diberikan juga pengaruhnya lebih besar
3) Strategi pembelajaran hukum fiqh lebih
sempurna
4) Peserta didik dapat berinteraksi penuh
dengan metode pembelajaran ibadah shalat, karena ibadah shalat tidak cukup
hanya teoritis, tapi juga harus di praktekkan
Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa
saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, bila terapannya atau aplikasinya
dapat membentuk bahasa peserta didik sendiri dalam hal ibadah ‘amaliyah,
contohnya: peserta didik diajarkan untuk berwudhu terlebih dahulu kemudian baru
diajarkan tentang shalat, tentunya pelaksanaan yang demikian membuat peserta
didik dapat memberikan respons positif terhadap gaya bahasa yang dia akan
ungkapkan
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
contohnya dalam pembelajaran fiqh, peserta didik dapat diberikan kesempatan
atau rehat untuk berpikir karena dari segi pengalaman praktikum mereka juga
tahu, namun disini adalah bahwa selama apa yang peserta didik yakini, dan
lakukan adalah benar, tetapi pada kenyataannya masih banyak juga peserta didik
yang belum paham betul tentang rukun-rukun shalat, sunnat-sunnat dalam shalat
dan sebagainya.
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru, dalam hal ini pendidik atau guru pada bidang studi fiqh
dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam mencoba terhadap gagasan
yang baru.
4. Memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
5. Mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka,
6. Menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.[11]
Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa
lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi. Oleh Brooks & Brooks mengatakan bahwa pengetahuan
adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.
Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,
aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata
lingkungan agar si siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai
ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si siswa akan memiliki pemahaman yang
berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang
dipakai dalam menginterpretasikannya. Atas dasar ini, maka peran kunci pendidik
dalam interaksi pembelajaran konstruktivisme adalah pengendalian, yang
meliputi:
Ø Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil
keputusan dan bertindak; menumbuhkan kemandirian dalam melaksanakan praktek
ibadah shalat. Karena selain merupakan kewajiban shalat juga termasuk membangun
kesehatan di dalam tubuh kita
Ø Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa. Dalam hal ini peningkatan
pengetahuan tentang shalat-shalat sunnat, seperti Tahajjud, Dhuha dan sebagainya
Ø Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa
mempunyai peluang optimal untuk berlatih.[12]
Ada beberapa ciri-ciri dalam pembelajaran
model konstruktivisme, yaitu:
· Mencari tahu dan menghargai titik
pandang/pendapat siswa
· Pembelajaran dilakukan atas dasar
pengetahuan awal siswa
· Memunculkan masalah yang relevan dengan
siswa .
· Menyusun pembelajaran yang menantang
dugaan siswa
· Menilai hasil pembelajaran dalam konteks
pembelajaran sehari-hari
· Siswa lebih aktif dalam proses belajar
karena fokus belajar mereka pada proses pengintegrasian pengetahuan baru yang
diperoleh dengan pengalaman/pengetahuan lama yang mereka miliki
· Setiap pandangan sangat dihargai dan diperlukan.
Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara
terintegrasi
· Proses belajar harus mendorong adanya
kerjasama, tapi bukan untuk bersaing. Proses belajar melalui kerjasama
memungkinkan siswa untuk mengingat pelajaran lebih lama
· Kontrol kecepatan, dan fokus pembelajaran
ada pada siswa
· Pendekatan konstruktivis memberikan
pengalaman belajar yang tidak terlepas dengan apa yang dialami langsung oleh
siswa
Selanjutnya ada empat komponen dalam
pembelajaran konstruktivisme, yaitu:
1. Pengetahuan Awal (Prerequisite),
2. Fakta Dan Masalah,
3. Sistematika Berfikir,
4. Kemauan Dan Keberanian.
KESIMPULAN
Studi ini memiliki
implikasi teoretis dan praktis tentang pengembangan model belajar
konstruktivisme. Secara teoretik, studi ini berimplikasi bahwa siswa seharusnya
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi yang unik untuk berkembang,
bukan sebagai tong kosong yang hanya menunggu untuk diisi oleh orang dewasa
(guru). Secara praktis, studi ini berimplikasi bahwa model belajar
konstruktivisme dibutuhkan untuk mengembangkan kecakapan pribadi-sosial siswa
dalam mengembangkan potensi kreatifnya melalui pembelajaran di sekolah.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses mengkonstruksi pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan
seseorang yang telah ada, domain pengalaman, dan jaringan struktur kognitif
yang dimilikinya. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki
seseorang akan menjadi pembatas konstruksi pengetahuan yang akan datang.
Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan
mengembangkan pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal
juga akan membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah
dimiliki orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam
dirinya.
Maka dalam wawasan
ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar,
sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana diperlukan oleh
siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau
model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu
dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat tertentu guru
membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya,
guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
Implikasi
1. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa
suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa
yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa
dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha
keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik
pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para siswa sedirilah para
siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
2. Tugas setiap guru dalam memfasilitasi
siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para
siswa sendirian bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif
mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka
kognitifnya.
3. Untuk mengajar dengan baik, guru harus
memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia
mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk
mendukung model-model itu.
4. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman
yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam
mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk
memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang
membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang
diperlukan.
5. Kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadisituasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik.
6. Latihan memecahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
7. Peserta didik diharapkan selalu aktif
dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai
fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya
konstruksi engetahuan pada diri peserta didik
DAFTAR PUSTAKA
Brennan, James F.Sejarah dan Sistem
Psikologi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2006.
Budiningsih, Asri C. Belajar
Dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta, 2005
Donald R. Cruickshank, et.al. (2006). The
act of teaching, Fourth Edition. New York: McGraw-Hill
Ella Yulaelawati, Kurikulum dan
Pembelajaran; Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya,
2004.
Gino, dkk.1997. Belajar Dan
Pembelajaran,Surakarta:UNS Press
Paul Suparno, (1996). Konstruktivisme
dan Dampaknya terhadap Pendidikan. Kompas
Sarlito W. Sarwono, 2002, Berkenalan dengan
ALiran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, (PT Bulan Bintang: Jakarta)
Sukardjo & Ukim Komaruddin, Landasan
Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Trianto, S.Pd, M.Pd, Mendesain Pembelajaran Kontekstual di kelas. (Jakarta, Cerdas Pustaka, 2008)
Trianto, S.Pd, M.Pd, Mendesain Pembelajaran Kontekstual di kelas. (Jakarta, Cerdas Pustaka, 2008)