Home Schooling

PENDAHULUAN 

Kita yakini bahwa setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak yang menyenangkan. Namun kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang dinamakan“homeschooling” (sekolah rumah), “home education” (pendidikan rumah), “private education” (pendidikan swasta), “private schools” (sekolah swasta), atau home based learning (pembelajaran berbasis rumah).[1]
Sekolah rumah atau homeschooling tidak menjadi sebuah gerakan sampai tahun 1970-an, saat pendidik John Holt mulai menganjurkan system pendidikan ini pada public. Menurutnya system pembelajaran ini sangat diperlukan oleh anak, karena hakekat pembelajaran ini terpusat pada anak. Baginya pendidikan tanpa sekolah pada dasarnya merupakan masalah sikap dan pendekatan. Sederhananya, pendidikan tanpa sekolah menempatkan wewenang di tangan si pembelajar.[2]

Pendidikan tanpa sekolah menempatkan wewenang di tangan si pembelajar.
Sekolah rumah atau homeschooling juga gencar dibicarakan sejak adanya  deschooling society, atau yang kita kenal dengan istilah masyarakat tanpa sekolah, yang dimana istilah ini merupakan sebuah wacana pendidikan yang menginginkan normalisasi sistem pendidikan dengan tokoh legendarisnya “Ivan Illich”.[3]
 Melalui bukunya Deschooling Society, sang tokoh yang berasal dari Amerika Latin ini berusaha membongkar sistem penyelenggaraan pendidikan disekolah dewasa kita. Yang dinilai sebagai sistem yang mengasingkan peserta didik terhadap lingkungan disekitarnya, yang menyebabkan manusia terasing dari dunia nyata. Menurutnya sekolah tidak menjamin peserta didik untuk mendapat pendidikan secara bebas, dan kurang memberi ruang bagi berkembangnya kepribadian dan karakter peserta didik untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi masing-masing.
Illich berargumen, untuk memperoleh hasil belajar dari sebuah pendidikan cukup tumbuh berada disekeliling orang-orang yang mempunyai keterampilan dan nilai-nilai yang patut dijadikan contoh.[4] Anak-anak yang menghadapi kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing, bekerja sama dan memperoleh pengertian yang bisa menuntun kepada pencerahan tanpa embel-embel kurikulum yang mengekang. Benda-benda, contoh-contoh, kawan sebaya dan orang tua merupakan media utama yang bisa membimbing dan sekaligus dapat mengasah daya imajinasi dan kreativitas peserta didik.
Menurutnya, hadirnya kurikulum sekolah yang mengekang saat ini dapat membunuh kreativitas murid, karena penyelenggaraan sistem pendidikan secara formal yang dilengkapi dengan seperangkat kurikulum wajib yang harus disajikan oleh guru dengan berorientasi bahwa usia didik tertentu dapat menguasainya tidak diperlukan lagi. Dan hal ini hanya dapat mengakibatkan terbunuhnya kebebasan anak dalam belajar.

   PEMBAHASAN
a
Sebuah model pendidikan sekolah di rumah kini sedang ramai diselenggarakan, dan sistem ini bertumpu pada suasana kekeluargaan, di mana dalam proses belajarnya peran dari orangtua sangat dikedepankan.  Homeschooling atau sekolah rumah tidak menuntut orangtua menjadi guru layaknya guru dalam ruang kelas,[5] cukup para orang tua mendorong anaknya untuk menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan kehangatan keluarga.
1.      Pengertian Home Schooling
Istilah homeschooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti sekolah rumah. Homeschooling berakar dan tumbuh di Amerika Serikat.
Pengertian umum homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggung jawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah, tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar.[6]
2.      Sejarah Home Schooling dan Beberapa Faktor yang Mempengaruhinya
Konsep homeschooling pertama kali diperkenalkan oleh John Holt, salah seorang penulis dan pengajar dari Amerika. Holt pertama kali memperkenalkan homeschooling melalui buletin Growing Without Schooling (GWS) pada tahun 1977.[7] 
John Caldwell Holt, lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada tanggal 14 April 1923 di kota New York. Ia menghabiskan masa kecilnya di New England dan bersekolah di sebuah sekolah swasta yang tidak mau ia sebutkan namanya. Setelah lulus dari universitas, Holt bergabung dengan angkatan laut Amerika Serikat. Setelah tiga tahun bergabung, Holt kemudian bekerja di cabang World Federalist Movement di kota New York. Hanya dalam enam tahun, ia telah berhasil menjadi direktur eksekutif di sana.
Pada tahun 1952, John Holt mengundurkan diri dari jabatannya sebagai direktur eksekutif. Setelah itu, Holt menjadi guru di sebuah sekolah di Colorado, dan mengajar siswa kelas 5. Sepanjang karirnya sebagai guru, Holt kerap mengamati para siswanya di dalam kelas. Meskipun mereka berasal dari keluarga kaya dan memiliki IQ yang tinggi, mereka sering merasa ketakutan, suka menghindar, dan cenderung tertutup. Sementara anak-anak yang berada di rumah memiliki sifat yang cenderung lebih berani.
Setelah beberapa tahun mengajar di Colorado, ia pindah ke Boston. Disana, Holt mulai melakukan proyek observasi kelas bersama rekannya, Bill Hull. Catatan dan jurnal Holt selama sebelas tahun mengajar kemudian menjadi inti dari dua bukunya yang paling populer, yakni How Children Fail, dan How Children Learn. Selain itu, Holt juga menulis buku berjudul Escape from Childhood: The Rights and Needs of Children. Ketiga buku ini menjadi dasar filosofis John Holt yang mengatakan bahwa alasan bagi beberapa siswa yang tidak belajar di sekolah adalah karena katakutan. Takut jika salah menjawab pertanyaan, takut di ejek teman, guru, takut untuk tidak menjadi siswa yang baik. Karenanya, ia berpendapat tidak akan efektif jika memaksa anak untuk belajar dalam tempat dan bidang yang tidak menarik bagi mereka.[8]

Konsep homeschooling  tidak hanya sekedar memindahkan siswa dari sekolah ke rumah, namun juga mengajak para orang tua untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak.
Holt kemudian berfikir untuk mencari alternatif untuk lembaga sekolah yang lebih baik untuk anak-anak. Setelah mengamati banyak sistem pendidikan, Holt yakin bahwa mereformasi sistem dirasa tidak memungkinkan. Karenanya, Holt menganjurkan konsep homeschooling. Konsep homeschooling menurut Holt tidak hanya sekedar memindahkan siswa dari sekolah ke rumah, namun juga mengajak para orang tua untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak agar mampu belajar dengan baik. Holt juga percaya bahwa anak-anak tidak perlu dipaksa untuk belajar, mereka akan melakukannya secara alami jika diberi kebebasan untuk mengikuti keinginan belajar mereka sendiri.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut John Holt[9], filosofi berdirinya home schooling adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, dan tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar.”[10] Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.
Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dalam pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka.[11]
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooler di berbagai penjuru Amerika Serikat. Yang dilanjutkannnya pada tahun 1977, dengan menerbitkan majalah untuk pendidikan  rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, dan Ray. Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling.[12] Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Adapun factor-faktor pemicu dan pendukung home schooling, yaitu:[13]
1)      Kegagalan Sekolah Formal
Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal, mendorong para orangtua untuk mendidik anaknya di rumah. Namun kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih cerdas. Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.[14]
Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
2)      Sosok Home Schooling Terkenal
Ada beberapa tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling.[15]

“ Hidup bukanlah sebuah perlombaan, tp sebuah petualangan. “
Benyamin Franklin salah satunya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua yang tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
3)      Tersedianya Beragam Sarana

“Banyak sumber yang dipelajari anak-anak yg tdk pergi ke sekolah ada di sekitar kita, tergantung dimana dan bagaimana kita hidup.”
Perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh perkembangan sarana dan fasilitas. Fasilitas itu antara lain; fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, dan lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, dan jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, dan rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, dan perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audiovisual).
4)      Teori Inteligensi Ganda
Psikolog Howard Gardner[16] mengatakan bahwa kecerdasan manusia bukanlah unit kepemilikan tunggal, dia menegaskan keberadaan beberapa kompetensi unggul atau kecerdasan. Dia menyimpulkan, berdasarkan risetnya, bahwa sedikitnya ada tujuh jenis kecerdasan:
a.      Kecerdasan Linguistik, berkaitan dengan bahasa dan penggunaannya. Orang-orang yang berbakat dalam bidang ini mungkin senang bermain-main dengan bahasa, membaca dan menulis, dengan suara, arti dan narasi. Mereka seringkali pengeja yang baik dan mudah mengingat tanggal, tempat dan nama.
b.      Kecerdasan Musikal, berkaitan dengan music, ritme dan nada. Orang-orang ini mungkin pintar membuat music sendiri atau mungkin sensitif pada music dan melodi. Sebagian bisa berkonsentrasi dengan baik jika musik diperdengarkan; banyak dari mereka seringkali menyanyi atau bersenandung sendiri.
c.       Kecerdasan Logis-matematis, berhubungan dengan pola, hubungan, angka-ngka dan logika. Orang-orang ini cenderung pintar dalam teka-teki gambar, aritmatika, dan memecahkan solusi masalah mental; mereka seringkali menyukai computer dan pemrograman.
d.      Kecerdasan Spasial, berhubungan dengan bentuk, lokasi dan membayangkan hubungan di antaranya. Orang-orang ini biasanya menyukai perancangan dan bangunan, dan pintar membaca peta, diagram, dan bagan.
e.       Kecerdasan Tubuh-kinestetik, berhubungan dengan pergerakan dan keterampilan tubuh. Orang-orang ini adalah para penari dan actor, para pengrajin dan atlet. Mereka sering memiliki bakat mekanik dan pintar meniru mimic, dan sulit untuk hidup diam.
f.        Kecerdasan interpersonal, berhubungan dengan mengerti dan memahami orang lain. Orang-orang ini seringkali ahli komunikasi dan pintar mengorganisasi, dan sangat social. Mereka biasanya baik dalam memahami perasaan dan motif orang lain.
g.      Kecerdasan intrapersonal, berhubungan dengan mengerti diri sendiri, orang-orang ini seringkali mandiri, dan senang menekuni aktifitas sendirian. Mereka cenderung percaya diri dan punya pendapat, dan memilih pekerjaan di mana mereka bisa memiliki kendali mengenai cara mereka menghabiskan waktu.
Menurut Gardner, masing-masing dari kita memiliki sebuah kombinasi dari kecerdasan-kecerdasan ini, dan kekuatan relative dari setiap kecerdasan menentukan apa yang dapat kita lakukan dengan baik dan apa yang kita sukai.
Secara tradisional, sekolah nampak menekankan kecerdasan logis-matematis dan linguistik dan hampir mengesampingkan sisanya.[17] Orang-orang yang bakatnya berada di bidang lain seringkali merasa kesulitan berada di sekolah konvensional, bahkan sampai dinggap memiliki kesulitan belajar atau memiliki keterbatasan dalam beberapa sikap.
Oleh sebab itu, Gardner menyarankan agar sekolah-sekolah mutlak harus menawarkan instruksi yang dirancang untuk mengakomodir semua kecerdasan yang berbeda, sehingga dapat mengenali seluruh kisaran bakat intelektual manusia. 
Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal kerapkali memasung inteligensi anak.[18]
3.      Kurikulum, Materi, Strategi, Metode dan Tes Pembelajaran Home Schooling
Kurikulum pembelajaran homeschooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepada kurikulum nasional.[19] Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bryan Ray menunjukkan bahwa mayoritas home schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan kurikulum dari kurikulum yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner homeschooling) atau program khusus yang dijalankan oleh sekolah swasta setempat.
Kurikulum dalam homeschooling hanyalah peta pemandu untuk menentukan topik yang akan pelajari. Penjabarannya sangat beragam, setiap keluarga bisa menciptakan kegiatan belajar yang amat kaya dari sebuah kisi-kisi pelajaran. Salah satu keunikan homeschooling terletak pada keleluasaan untuk menentukan urutan prioritas. Materi pelajaran bagi homeschooling, dapat dipilih sendiri oleh para homeschoolers. Kalau kurikulum diknas memiliki urutan-urutan yang sudah baku, maka homeschooler bisa mengubahnya, mungkin istilah level-level kelas, seperti level 1, 2, 3, dan seterusnya tidaklah berlaku dalam homeschooling.[20]
Roy Kellen (1996) terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, pertama pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered approaches) kedua pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered approaches).[21] Dan dalam hal ini homeschooling adalah model/system pendidikan yang menguatkan pendekatannya pada siswa (student centered approaches), dengan strategi yang berbentuk discovery learning (baik dilakukan secara kelompok maupun per-individu), dan dengan metode pembelajaran yang bersifat praktek/dalam bentuk  portofolio.[22]
Adapun tes/evaluasi akhir bagi para homeschoolers dapat dilakukan dengan cara menginduk pada sekolah formal/konvensional. Hanya bedanya, ijazah bagi para homeschoolers langsung dikeluarkan dari Direktorat Pendidikan Masyarakat Ditjen PLSP (Pendidikan Luar Sekolah Pusat).[23]
Di Negara-negara bagian di mana tes terstandar secara periodik harus diberikan, anak-anak yang tidak bersekolah, rata-rata mengerjakannya sebaik atau lebih baik dari pada sekolah konvensional.[24] Seringkali hasil tes terstandar menciptakan pengharapan, baik positif maupun negatif yang harus diterima anak-anak.
Seorang anak yang melakukan tes itu dengan buruk, akan merasa bahwa dia tidak diharapkan untuk mencapai banyak hal. Sebaliknya, seseorang yang mengerjakan tes dengan baik harus hidup dengan pengharapan “jenius” atau “berbakat” yang tidak realistis.
Apapun arti kedua istilah tersebut, kebanyakan dari kita lebih suka melihat anak-anak kita sebagai diri mereka yang utuh, sebagai apa adanya mereka dengan apa yang mereka lakukan. Bukannya sebagai statistik yang diambil dari jawaban soal-soal pilihan ganda.        
4.      Landasan Hukum Home Schooling
Kebanyakan dari orang tua sangat meragukan legalitas homeschooling. Mereka sangat takut bila ijazah dari homeschooling tidak sah dimata hukum dan sekolah-sekolah pada umumnya. Namun, sekarang sudah ada Undang-undang yang dibuat pemerintah untuk memberikan legalitas bagi homeschooling.  Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan  Nasional, mengakomodasi homeschooling sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dalam pelaksanannya, homeschooling berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Kementerian Pendidikan Nasional. Menyatakan bahwa keberadaan homeschooling legal di mata hukum Indonesia.[25]
Seperti yang telah dicantumkan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 27, bahwa homeschooling termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (ayat 1). Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal, dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 2).
Sebagai lembaga pendidikan alternatif, persekolahan rumah atau homeschooling akan mendapat bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal.[26]
5.      Model Home Schooling
Klasifikasi bentuk persekolahan di rumah atau homeschooling ada tiga macam, antara lain:[27]
·         Home Schooling Tunggal:
Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa join dengan keluarga yang lainnya.
·         Home Schooling Majemuk:
Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh dua keluarga atau lebih untuk kegiatan kertentu, sedang kegiatan pokok tetep dilaksanakan oleh para orang tua di rumah masing-masing.
·         Home Schooling Komunitas:
Kegiatan pendidikan yang terdiri dari gabungan dari home schooling majemuk. Dalam jenis ketiga ini, beberapa perwakilan keluarga berembuk untuk menyusun dan menentukan silabus, RPP, bahan ajar, sarana dan prasarana serta jadwal pembelajaran.
Memang bagi keluarga yang supersibuk konsep homeschooling sangat tidak tepat, namun bagi keluarga yang punya waktu luang, ataupun keluarga yang mampu megintegrasikan antara beberapa aktivitas seperti pekerjaan mereka, maka homeschooling adalah alternatif yang tidak bisa disepelekan.
Namun ada beberapa orang yang menggunakan konsep secara terintegrasi; penerapan homeschooling part time/after school. Jadi mereka masih disekolahkan di sekolah formal namun sepulang sekolah, mereka di treatment dengan homeschooling. Jadi homeschooling di sini merupakan sebuah sarana untuk melengkapi segala apa yang tidak ada di sekolah, walau memang dalam implementasi riilnya terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan di dalamnya.
Seperti halnya sekolah formal, homeschooling juga memiliki kelebihan dan kekurangan, dan dalam kesempatan ini penulis akan memaparkannya, diantaranya yaitu:
KEKURANGAN:
·         Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari para orang tua
·         Tidak adanya suasana kompetitif sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusianya.
·         Keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah.
·         Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan.
·         Proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.
KELEBIHAN:
·         Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga
·         Memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum.
·         Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum.
·         Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
·         Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan harapan keluarga. Dan relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba, pornografi, mencontek, dan lain-lain).
·         Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua.[28]
Semua sistem pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena terkadang suatu sistem sesuai untuk kondisi tertentu, dan sistem yang lain lebih sesuai untuk kondisi yang berbeda. Dari pada mencari sistem yang super, lebih baik mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan kondisi orang tua.
Sebagai sosok yang bertanggung jawab untuk mengantarkan anak-anak pada masa depannya, orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus pilihan untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Dan homeschooling dapat menjadi alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua.
Menurut Seto Mulyadi,[29] ada beberapa tantangan bagi penyelenggaraan homeschooling, antara lain:
o  Sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya.
o  Kurangnya tempat sosialisasi, dan orang tua harus terampil memfasilitasi proses pembelajaran.
o  Dalam proses evaluasi dan penyetaraannya yang terkadang mengalami hambatan.
            Namun, dengan adanya asosiasi sekolah-rumah dan pendidikan alternatif, untuk mengkoordinasi berbagai kegiatan persekolahan di rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia, termasuk memberikan pelatihan dan informasi mengenai cara penyelenggaraannya, diharapkan kendala di atas dapat diatasi.
            Manfaat yang paling utama dari metode pembelajaran dengan sistem homeschooling adalah dapat terciptanya suasana belajar yang kondusif, ramah, nyaman dan bersahabat bagi anak, sehingga bagi mereka yang memiliki bakat-bakat terpendam atau menonjol akan dapat tergali dan terekspresikan dengan baik. Dan gaya belajar dengan sistem homeschooling ini sangat cocok untuk para anak-anak yang mengikuti orang tuanya yang sering berpindah-pindah tempat tinggal ke luar daerah.
Manfaat yang tak kalah penting lainnya dari homeschooling adalah terciptanya kondisi pergaulan yang aman dan tidak menyimpang dari peserta didik. Orang tua dapat lebih memantau perkembangan dan kondisi anak. Manfaat homeschooling diupayakan agar mampu menjawab kegalauan pada sekolah formal yang sangat rentan dengan berbagai resiko, yang menyangkut kebaikan anak-anak didik akibat adanya interaksi sosial yang salah.

HOME SCHOOLING VS SEKOLAH UMUM

            Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem sekolah dalam pendidikan formal, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih valid dan disukai. Namun bagi sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output pendidikan formal yang banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah yang memicu keluarga-keluarga untuk memilih sekolah rumah, alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.
Pada hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki beberapa perbedaan. Yakni pada sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.
Sistem di sekolah terstandarisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.
Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.

C.   PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM LINGKUP INSTITUSIONAL
Layanan pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat sebagai konsumen jasa pendidikan pada saat ini adalah layanan pendidikan dengan delapan ciri sebagai berikut :
1.       Membangun proses belajar yang berpusat pada anak
2.       Inovatif dan luwes
3.       Dipijakkan pada bakat dan minat anak yang beragam, dan unik, serta  multi-cerdas
4.       Mendorong kebiasaan belajar yang sehat
5.       Membangun kreatifitas, dan tanggung jawab
6.       Membangun toleransi
7.       Terjangkau secara finansial
8.       Relevan dengan kebutuhan peserta didik
Sistem persekolahan yang terbangun saat ini belum mampu menunjukkan ciri-ciri tersebut secara nyata, bahkan ada kecenderungan negatif atas ciri-ciri tersebut. Sekolah masih terjebak dalam formalisme yang luar biasa, dengan jadwal belajar yang sangat kaku, dan amat berorientasi pada kurikulum dan guru, bukan pada anak. Padahal, seharusnya kurikulum dan guru diorientasikan bagi kepentingan terbesar peserta didik sebagai konsumen dengan kebutuhan yang unik sekaligus beragam.
Homeschooling muncul sebagai alternatif jalur pendidikan bagi masyarakat Indonesia, dan berbagai alasan telah membuat orang tua Indonesia memilih jalur pendidikan non-formal ini untuk anak mereka. Homeschooling adalah suatu metode pendidikan alternatif diluar metode belajar formal di sekolah, yang diterapkan dalam lingkungan rumah dan dibimbing oleh orang tua atau dengan mendatangkan staf  pengajar.
Homeschooling pada umumnya diterapkan kepada anak yang memiliki prestasi menonjol dalam satu bidang tertentu, ataupun pada anak yang sering berpindah kota karena tuntutan profesi orang tua sehingga mengharuskan mereka memiliki waktu yang fleksibel. Selain itu, homeschooling juga membuka kesempatan kepada para orang tua untuk memastikan kualitas belajar anak dan memastikan anak mendapatkan perhatian cukup dari sang pengajar.
Dalam kasus tertentu, dimana anak sudah menunjukkan bakat mereka dengan jelas, homeschooling dapat membantu untuk menitikberatkan pelajaran yang berhubungan dengan bakat tersebut, atau dikenal sebagai customized curriculum. Selain itu, karena lingkup homeschooling berbasis rumah, maka kemungkinan anak untuk terpengaruh narkoba dari teman-temannya tentu lebih kecil.

   KESIMPULAN

Kecenderungan-kecenderungan penurunan kinerja Sistem Pendidikan Nasional saat ini dapat dikurangi dengan mengembangkan layanan pendidikan alternatif di luar layanan persekolahan saat ini yang cenderung tidak ramah anak, kaku, massal dan tidak relevan. Kelemahan ini dapat dikurangi dengan menerapkan strategi deschooling/Unschooling/Homeschooling. Sekolah rumah tidak dimaksudkan untuk mengganti layanan pendidikan berbasis sekolah, namun dimaksudkan sebagai complementary and supplementary education services, sekaligus untuk menjadi umpan-balik bagi sistem pendidikan Nasional kita.
 Peran orang tua dalam layanan sekolah rumah akan lebih menentukan, sehingga memerlukan layanan parent education untuk mendukung pelaksanaan sekolah rumah ini. Karena pada dasarnya pendidikan merupakan kebutuhan esensial bagi anak yang tentunya mempengaruhi masa depan si kecil.
Namun sebelumnya, ada beberapa pertimbangan-pertimbangan praktis yang perlu diperhatikan anda sebagai homeschoolers, yaitu pemikiran ulang mengenai alas an anda memilih sekolah rumah, cara yang akan digunakan, siapa saja yang akan mengambil keputusan, bagaimana perasaan anak anda, dan pikirkan juga jumlah waktu yang rencananya akan diluangkan bersama anak-anak anda. Hal ini tidak akan berhasil kecuali anda benar-benar menikmati berada di sekeliling anak anda di sebagian besar hari anda.
Tentukan pilihan anda dengan bijaksana, dengan mempertimbangkan kebutuhan si cilik. Semoga wacana ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan bagi kita semua, selaku pendidik dan orang tua terbaik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Gardner, Howard, Frames Of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. America: Basic Books, 1993.
Griffith, Mary, Home Schooling (Menjadikan Setiap Tempat sebagai Sarana Belajar). Bandung: Nuansa, 2012.
Gusman, Yorgi, “Home Schooling”, Kompas. 29 September 2006.
Hanaco, Indah, I love Homeschooling. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Holt John, Learning All The Time. America: Addison-Wesley, 1990.  
Kumpulan Tulisan Pendidikan, Home-schooling, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: Buku Kompas, 2009.
Naim, Ngainun, Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Suparno, Paul, Teori Inteligensi Ganda. Kanasius, 2003.
Rusman, Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Press, 2019.

Postingan terkait: