PENDAHULUAN
Kita
yakini bahwa setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan
bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar
anak yang menyenangkan. Namun kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para
orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk menyekolahkan
anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah lembaga sekolah yang dinamakan“homeschooling” (sekolah rumah), “home
education” (pendidikan
rumah), “private education” (pendidikan swasta), “private schools” (sekolah swasta), atau
home based learning (pembelajaran berbasis rumah).[1]
Sekolah rumah atau homeschooling tidak menjadi sebuah gerakan sampai tahun 1970-an, saat pendidik John
Holt mulai menganjurkan system pendidikan ini pada public. Menurutnya system
pembelajaran ini sangat diperlukan oleh anak, karena hakekat pembelajaran ini
terpusat pada anak. Baginya pendidikan tanpa sekolah pada dasarnya merupakan
masalah sikap dan pendekatan. Sederhananya, pendidikan tanpa sekolah menempatkan
wewenang di tangan si pembelajar.[2]
Pendidikan tanpa sekolah menempatkan wewenang di tangan si
pembelajar.
|
Melalui bukunya Deschooling Society, sang tokoh yang berasal dari
Amerika Latin ini berusaha membongkar sistem penyelenggaraan
pendidikan disekolah dewasa kita. Yang dinilai sebagai sistem yang mengasingkan
peserta didik terhadap lingkungan disekitarnya, yang menyebabkan manusia
terasing dari dunia nyata. Menurutnya sekolah tidak menjamin peserta didik
untuk mendapat pendidikan secara bebas, dan kurang memberi ruang bagi
berkembangnya kepribadian dan karakter peserta didik untuk tumbuh berkembang
sesuai dengan potensi masing-masing.
Illich
berargumen, untuk memperoleh hasil belajar dari sebuah pendidikan cukup tumbuh
berada disekeliling orang-orang yang mempunyai keterampilan dan nilai-nilai
yang patut dijadikan contoh.[4] Anak-anak
yang menghadapi kawan-kawan yang menantangnya untuk bernalar, bersaing, bekerja
sama dan memperoleh pengertian yang bisa menuntun kepada pencerahan tanpa
embel-embel kurikulum yang mengekang. Benda-benda, contoh-contoh, kawan sebaya
dan orang tua merupakan media utama yang bisa membimbing dan sekaligus dapat
mengasah daya imajinasi dan kreativitas peserta didik.
Menurutnya,
hadirnya kurikulum sekolah yang mengekang saat ini dapat membunuh
kreativitas murid, karena penyelenggaraan sistem pendidikan secara formal yang
dilengkapi dengan seperangkat kurikulum wajib yang harus disajikan oleh guru
dengan berorientasi bahwa usia didik tertentu dapat menguasainya tidak
diperlukan lagi. Dan hal ini hanya dapat mengakibatkan terbunuhnya kebebasan
anak dalam belajar.
PEMBAHASAN
a
1. Pengertian Home Schooling
Istilah
homeschooling berasal dari bahasa
Inggris yang berarti sekolah rumah. Homeschooling
berakar dan tumbuh di Amerika Serikat.
Pengertian
umum homeschooling adalah model
pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas
pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya.
Memilih untuk bertanggung jawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan
proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah, tujuan pendidikan,
nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum
dan materi, serta metode dan praktek belajar.[6]
2. Sejarah Home Schooling dan Beberapa Faktor
yang Mempengaruhinya
Konsep homeschooling
pertama kali diperkenalkan oleh John Holt, salah seorang penulis dan pengajar
dari Amerika. Holt pertama kali memperkenalkan homeschooling melalui buletin Growing
Without Schooling (GWS) pada tahun 1977.[7]
John
Caldwell Holt, lahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada tanggal 14
April 1923 di kota New York. Ia menghabiskan masa kecilnya di New England dan
bersekolah di sebuah sekolah swasta yang tidak mau ia sebutkan namanya. Setelah
lulus dari universitas, Holt bergabung dengan angkatan laut Amerika Serikat.
Setelah tiga tahun bergabung, Holt kemudian bekerja di cabang World
Federalist Movement di kota New York. Hanya dalam enam tahun, ia telah
berhasil menjadi direktur eksekutif di sana.
Pada
tahun 1952, John Holt mengundurkan diri dari jabatannya sebagai direktur
eksekutif. Setelah itu, Holt menjadi guru di sebuah sekolah di Colorado, dan
mengajar siswa kelas 5. Sepanjang karirnya sebagai guru, Holt kerap mengamati
para siswanya di dalam kelas. Meskipun mereka berasal dari keluarga kaya dan
memiliki IQ yang tinggi, mereka sering merasa ketakutan, suka menghindar, dan
cenderung tertutup. Sementara anak-anak yang berada di rumah memiliki sifat
yang cenderung lebih berani.
Setelah
beberapa tahun mengajar di Colorado, ia pindah ke Boston. Disana, Holt mulai
melakukan proyek observasi kelas bersama rekannya, Bill Hull. Catatan dan
jurnal Holt selama sebelas tahun mengajar kemudian menjadi inti dari dua
bukunya yang paling populer, yakni How Children Fail, dan How
Children Learn. Selain itu, Holt juga menulis buku berjudul Escape
from Childhood: The Rights and Needs of Children. Ketiga buku ini menjadi
dasar filosofis John Holt yang mengatakan bahwa alasan bagi beberapa siswa yang
tidak belajar di sekolah adalah karena katakutan. Takut jika salah menjawab
pertanyaan, takut di ejek teman, guru, takut untuk tidak menjadi siswa yang
baik. Karenanya, ia berpendapat tidak akan efektif jika memaksa anak untuk
belajar dalam tempat dan bidang yang tidak menarik bagi mereka.[8]
Konsep
homeschooling tidak
hanya sekedar memindahkan siswa dari sekolah ke rumah, namun juga mengajak para orang tua untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak.
|
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menurut
John Holt[9], filosofi
berdirinya home schooling adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan
senang belajar, dan tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar.”[10]
Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak,
mengatur, atau mengontrolnya.
Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an
terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan
sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dalam pendidikan, Holt
mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya
usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an
dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai
kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood
education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada
sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi
sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki
karena keterlambatan kedewasaan mereka.[11]
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah
mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead
of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun
mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooler
di berbagai penjuru Amerika Serikat. Yang dilanjutkannnya pada tahun 1977, dengan
menerbitkan majalah untuk pendidikan rumah yang diberi nama: Growing Without
Schooling.
Serupa dengan Holt, dan Ray. Dorothy Moore kemudian
menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling.[12]
Setelah itu, homeschooling terus
berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs),
pertumbuhan homeschooling juga banyak
dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Adapun factor-faktor pemicu dan pendukung home
schooling, yaitu:[13]
1) Kegagalan
Sekolah Formal
Banyaknya orangtua yang tidak puas dengan
hasil sekolah formal, mendorong para orangtua untuk mendidik anaknya di rumah. Namun
kerapkali sekolah formal berorientasi pada nilai rapor (kepentingan sekolah),
bukannya mengedepankan keterampilan hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan
moral). Di sekolah, banyak murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau
membeli ijazah palsu. Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang
diperhatikan. Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh
teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih cerdas. Keadaan
demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.[14]
Ketidakpuasan tersebut semakin memicu
orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan
banyak waktu dan tenaga. Homeschooling
menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak,
mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana
belajar yang menyenangkan.
2) Sosok
Home Schooling Terkenal
Ada
beberapa tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa
menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling.[15]
“ Hidup bukanlah sebuah perlombaan, tp sebuah petualangan. “
|
3) Tersedianya
Beragam Sarana
“Banyak sumber yang dipelajari anak-anak yg tdk pergi ke sekolah ada
di sekitar kita, tergantung dimana dan bagaimana kita hidup.”
|
4)
Teori Inteligensi Ganda
Psikolog
Howard Gardner[16]
mengatakan bahwa kecerdasan manusia bukanlah unit kepemilikan tunggal, dia
menegaskan keberadaan beberapa kompetensi unggul atau kecerdasan. Dia
menyimpulkan, berdasarkan risetnya, bahwa sedikitnya ada tujuh jenis
kecerdasan:
a.
Kecerdasan Linguistik,
berkaitan dengan bahasa dan penggunaannya. Orang-orang yang berbakat dalam
bidang ini mungkin senang bermain-main dengan bahasa, membaca dan menulis,
dengan suara, arti dan narasi. Mereka seringkali pengeja yang baik dan mudah
mengingat tanggal, tempat dan nama.
b.
Kecerdasan Musikal, berkaitan
dengan music, ritme dan nada. Orang-orang ini mungkin pintar membuat music
sendiri atau mungkin sensitif pada music dan melodi. Sebagian bisa
berkonsentrasi dengan baik jika musik diperdengarkan; banyak dari mereka
seringkali menyanyi atau bersenandung sendiri.
c.
Kecerdasan Logis-matematis,
berhubungan dengan pola, hubungan, angka-ngka dan logika. Orang-orang ini
cenderung pintar dalam teka-teki gambar, aritmatika, dan memecahkan solusi
masalah mental; mereka seringkali menyukai computer dan pemrograman.
d.
Kecerdasan Spasial, berhubungan
dengan bentuk, lokasi dan membayangkan hubungan di antaranya. Orang-orang ini
biasanya menyukai perancangan dan bangunan, dan pintar membaca peta, diagram,
dan bagan.
e.
Kecerdasan Tubuh-kinestetik, berhubungan
dengan pergerakan dan keterampilan tubuh. Orang-orang ini adalah para penari
dan actor, para pengrajin dan atlet. Mereka sering memiliki bakat mekanik dan
pintar meniru mimic, dan sulit untuk hidup diam.
f.
Kecerdasan interpersonal, berhubungan
dengan mengerti dan memahami orang lain. Orang-orang ini seringkali ahli
komunikasi dan pintar mengorganisasi, dan sangat social. Mereka biasanya baik
dalam memahami perasaan dan motif orang lain.
g.
Kecerdasan intrapersonal, berhubungan
dengan mengerti diri sendiri, orang-orang ini seringkali mandiri, dan senang
menekuni aktifitas sendirian. Mereka cenderung percaya diri dan punya pendapat,
dan memilih pekerjaan di mana mereka bisa memiliki kendali mengenai cara mereka
menghabiskan waktu.
Menurut
Gardner, masing-masing dari kita memiliki sebuah kombinasi dari
kecerdasan-kecerdasan ini, dan kekuatan relative dari setiap kecerdasan
menentukan apa yang dapat kita lakukan dengan baik dan apa yang kita sukai.
Secara
tradisional, sekolah nampak menekankan kecerdasan logis-matematis dan
linguistik dan hampir mengesampingkan sisanya.[17]
Orang-orang yang bakatnya berada di bidang lain seringkali merasa kesulitan
berada di sekolah konvensional, bahkan sampai dinggap memiliki kesulitan
belajar atau memiliki keterbatasan dalam beberapa sikap.
Oleh
sebab itu, Gardner menyarankan agar sekolah-sekolah mutlak harus menawarkan
instruksi yang dirancang untuk mengakomodir semua kecerdasan yang berbeda,
sehingga dapat mengenali seluruh kisaran bakat intelektual manusia.
Teori
Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi
inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu
mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal kerapkali memasung
inteligensi anak.[18]
3.
Kurikulum,
Materi, Strategi, Metode dan Tes Pembelajaran Home Schooling
Kurikulum
pembelajaran homeschooling adalah
kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepada kurikulum nasional.[19]
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bryan Ray menunjukkan bahwa mayoritas home
schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan kurikulum dari
kurikulum yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan
kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Selain itu, 24% diantaranya
menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum
dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner homeschooling) atau program khusus yang
dijalankan oleh sekolah swasta setempat.
Kurikulum
dalam homeschooling hanyalah peta pemandu untuk menentukan topik yang
akan pelajari. Penjabarannya sangat beragam, setiap keluarga bisa menciptakan
kegiatan belajar yang amat kaya dari sebuah kisi-kisi pelajaran. Salah satu
keunikan homeschooling terletak pada keleluasaan untuk menentukan urutan
prioritas. Materi pelajaran bagi homeschooling,
dapat dipilih sendiri oleh para homeschoolers.
Kalau kurikulum diknas memiliki urutan-urutan yang sudah baku, maka homeschooler
bisa mengubahnya, mungkin istilah level-level kelas, seperti level 1, 2, 3, dan
seterusnya tidaklah berlaku dalam homeschooling.[20]
Roy
Kellen (1996) terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran, pertama pembelajaran
yang berpusat pada guru (teacher centered approaches) kedua pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student centered approaches).[21]
Dan dalam hal ini homeschooling adalah model/system pendidikan yang
menguatkan pendekatannya pada siswa (student centered approaches),
dengan strategi yang berbentuk discovery learning (baik dilakukan secara
kelompok maupun per-individu), dan dengan metode pembelajaran yang bersifat
praktek/dalam bentuk portofolio.[22]
Adapun
tes/evaluasi akhir bagi para homeschoolers
dapat dilakukan dengan cara menginduk pada sekolah formal/konvensional.
Hanya bedanya,
ijazah bagi para homeschoolers
langsung dikeluarkan dari Direktorat Pendidikan Masyarakat Ditjen PLSP
(Pendidikan Luar Sekolah Pusat).[23]
Di
Negara-negara bagian di mana tes terstandar secara periodik harus diberikan,
anak-anak yang tidak bersekolah, rata-rata mengerjakannya sebaik atau lebih
baik dari pada sekolah konvensional.[24]
Seringkali hasil tes terstandar menciptakan pengharapan, baik positif maupun negatif
yang harus diterima anak-anak.
Seorang
anak yang melakukan tes itu dengan buruk, akan merasa bahwa dia tidak diharapkan
untuk mencapai banyak hal. Sebaliknya, seseorang yang mengerjakan tes dengan
baik harus hidup dengan pengharapan “jenius” atau “berbakat” yang tidak
realistis.
Apapun
arti kedua istilah tersebut, kebanyakan dari kita lebih suka melihat anak-anak
kita sebagai diri mereka yang utuh, sebagai apa adanya mereka dengan apa yang
mereka lakukan. Bukannya sebagai statistik yang diambil dari jawaban soal-soal
pilihan ganda.
4.
Landasan
Hukum Home Schooling
Kebanyakan
dari orang tua sangat meragukan legalitas homeschooling.
Mereka sangat takut bila ijazah dari homeschooling
tidak sah dimata hukum dan sekolah-sekolah pada umumnya. Namun, sekarang sudah
ada Undang-undang yang dibuat pemerintah untuk memberikan legalitas bagi homeschooling. Undang-undang No.
20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, mengakomodasi homeschooling sebagai salah satu
alternatif pembelajaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dalam
pelaksanannya, homeschooling berada
di bawah naungan Direktorat Pendidikan
Kesetaraan, Kementerian Pendidikan Nasional. Menyatakan bahwa keberadaan homeschooling
legal di mata hukum Indonesia.[25]
Seperti
yang telah dicantumkan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 27, bahwa homeschooling
termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri (ayat 1). Hasil pendidikan
informal diakui sama dengan pendidikan formal, dan nonformal setelah peserta
didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 2).
Sebagai
lembaga pendidikan alternatif, persekolahan rumah atau homeschooling akan mendapat bantuan operasional penyelenggaraan
(BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal.[26]
5.
Model
Home Schooling
Klasifikasi
bentuk persekolahan di rumah atau homeschooling ada tiga macam, antara lain:[27]
·
Home
Schooling Tunggal:
Kegiatan pendidikan yang dilakukan
oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa join dengan keluarga yang lainnya.
·
Home
Schooling Majemuk:
Kegiatan
pendidikan yang dilaksanakan
oleh dua keluarga atau lebih untuk kegiatan kertentu, sedang kegiatan pokok
tetep dilaksanakan oleh para orang tua di rumah masing-masing.
·
Home
Schooling Komunitas:
Kegiatan
pendidikan yang terdiri
dari gabungan dari home schooling majemuk. Dalam jenis ketiga ini, beberapa
perwakilan keluarga berembuk untuk menyusun dan menentukan silabus, RPP, bahan
ajar, sarana dan prasarana serta jadwal pembelajaran.
Memang bagi keluarga yang supersibuk
konsep homeschooling sangat tidak
tepat, namun bagi keluarga yang punya waktu luang, ataupun keluarga yang mampu
megintegrasikan antara beberapa aktivitas seperti pekerjaan mereka, maka homeschooling adalah alternatif yang
tidak bisa disepelekan.
Namun ada beberapa orang yang
menggunakan konsep secara terintegrasi; penerapan homeschooling part time/after school. Jadi mereka masih
disekolahkan di sekolah formal namun sepulang sekolah, mereka di treatment dengan homeschooling. Jadi homeschooling
di sini merupakan sebuah sarana untuk melengkapi segala apa yang tidak ada di
sekolah, walau memang dalam implementasi riilnya
terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan di dalamnya.
Seperti
halnya sekolah formal, homeschooling juga memiliki kelebihan dan
kekurangan, dan dalam kesempatan ini penulis akan
memaparkannya, diantaranya
yaitu:
KEKURANGAN:
·
Butuh komitmen dan keterlibatan
tinggi dari para orang tua
·
Tidak
adanya suasana kompetitif sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana
kemampuannya dibanding anak-anak lain seusianya.
·
Keterampilan
dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah.
·
Ada resiko kurangnya kemampuan
bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan.
·
Proteksi berlebihan dari orang tua
dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan
masalah yang kompleks yang tidak terprediksi.
KELEBIHAN:
·
Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi
keluarga
·
Memberi banyak keleluasaan bagi anak
untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban
yang terkondisi oleh target kurikulum.
·
Lebih memberikan peluang untuk
kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model
sekolah umum.
·
Memaksimalkan potensi anak sejak
usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah.
·
Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai
anak dengan harapan keluarga. Dan
relatif
terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba,
pornografi, mencontek, dan lain-lain).
Semua sistem
pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena terkadang suatu sistem
sesuai untuk kondisi tertentu, dan sistem yang lain lebih sesuai
untuk kondisi yang berbeda. Dari pada mencari sistem yang super, lebih baik
mencari sistem yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan kondisi orang tua.
Sebagai
sosok yang bertanggung jawab untuk mengantarkan anak-anak pada masa depannya,
orang tua memiliki tanggung jawab sekaligus pilihan untuk memberikan yang
terbaik bagi anak-anak. Dan homeschooling dapat
menjadi
alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua.
o Sulitnya
memperoleh dukungan atau tempat bertanya.
o Kurangnya
tempat sosialisasi, dan orang tua harus terampil
memfasilitasi proses pembelajaran.
o Dalam proses evaluasi dan penyetaraannya
yang terkadang mengalami hambatan.
Namun, dengan adanya asosiasi sekolah-rumah
dan pendidikan alternatif, untuk mengkoordinasi berbagai
kegiatan persekolahan di rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia, termasuk
memberikan pelatihan dan informasi mengenai cara penyelenggaraannya, diharapkan
kendala di atas dapat diatasi.
Manfaat yang paling utama dari metode pembelajaran dengan
sistem homeschooling adalah dapat
terciptanya suasana belajar yang kondusif, ramah, nyaman dan bersahabat bagi
anak, sehingga bagi mereka yang memiliki bakat-bakat terpendam atau menonjol
akan dapat tergali dan terekspresikan dengan baik. Dan gaya belajar dengan
sistem homeschooling ini sangat cocok
untuk para anak-anak yang mengikuti orang tuanya yang sering berpindah-pindah
tempat tinggal ke luar daerah.
Manfaat
yang tak kalah penting lainnya dari homeschooling
adalah terciptanya kondisi pergaulan yang aman dan tidak menyimpang dari
peserta didik. Orang tua dapat lebih memantau perkembangan dan kondisi anak.
Manfaat homeschooling diupayakan agar
mampu menjawab kegalauan pada sekolah formal yang sangat rentan dengan berbagai
resiko, yang menyangkut kebaikan anak-anak didik akibat adanya interaksi sosial
yang salah.
HOME SCHOOLING VS SEKOLAH UMUM
Model pendidikan yang paling terkenal dan diakui
masyarakat adalah sistem sekolah dalam pendidikan formal, baik yang
diselenggarakan pemerintah maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang
sebagian orang lebih valid dan disukai. Namun bagi sebagian orang, sistem
sekolah umum merupakan sekolah yang tidak memuaskan bagi perkembangan diri
anak. Sekolah umum menjadi kambing hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal
ini terlihat dari output pendidikan formal yang banyak menjadi koruptor, pelaku
mafia peradilan, politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan
itulah yang memicu keluarga-keluarga untuk memilih sekolah rumah, alias homeschooling sebagai pendidikan alternatif.
Pada
hakekatnya, baik homeschooling maupun
sekolah umum, sama-sama sebagai sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak
mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki beberapa perbedaan. Yakni pada
sistem sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua
kepada guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling,
tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.
Sistem
di sekolah terstandarisasi untuk memenuhi kebutuhan
anak secara umum, sementara sistem pada homeschooling
disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga. Pada sekolah, jadwal
belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh siswa. Pada homeschooling jadwal belajar
fleksibel, tergantung pada kesepakatan antara anak dan orang tua.
Pengelolaan di sekolah terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan
materi ajar. Pengelolaan pada homeschooling
terdesentralisasi pada keinginan keluarga homeschooling. Kurikulum dan materi
ajar dipilih dan ditentukan oleh orang tua.
C.
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM LINGKUP INSTITUSIONAL
Layanan pendidikan yang diharapkan
oleh masyarakat sebagai konsumen jasa pendidikan pada saat ini adalah layanan
pendidikan dengan delapan ciri sebagai berikut :
1.
Membangun proses belajar yang berpusat pada anak
2.
Inovatif dan luwes
3.
Dipijakkan pada bakat dan minat anak yang beragam, dan unik,
serta multi-cerdas
4.
Mendorong kebiasaan belajar yang sehat
5.
Membangun kreatifitas, dan tanggung jawab
6.
Membangun toleransi
7.
Terjangkau secara finansial
8.
Relevan dengan kebutuhan peserta didik
Sistem persekolahan yang terbangun
saat ini belum mampu menunjukkan ciri-ciri tersebut
secara nyata, bahkan
ada kecenderungan negatif atas ciri-ciri tersebut. Sekolah masih terjebak dalam
formalisme yang luar biasa, dengan jadwal belajar yang sangat kaku, dan amat
berorientasi pada kurikulum dan guru, bukan pada anak. Padahal, seharusnya
kurikulum dan guru diorientasikan bagi kepentingan terbesar peserta didik
sebagai konsumen dengan kebutuhan yang unik sekaligus beragam.
Homeschooling muncul
sebagai alternatif jalur pendidikan bagi masyarakat Indonesia, dan berbagai
alasan telah membuat orang tua Indonesia memilih jalur pendidikan non-formal
ini untuk anak mereka. Homeschooling
adalah suatu metode pendidikan alternatif diluar metode belajar formal di
sekolah, yang diterapkan dalam lingkungan rumah dan dibimbing oleh orang
tua atau dengan mendatangkan staf pengajar.
Homeschooling
pada umumnya diterapkan kepada anak yang memiliki prestasi menonjol dalam satu
bidang tertentu, ataupun pada anak yang sering berpindah kota karena tuntutan
profesi orang tua sehingga mengharuskan mereka memiliki waktu yang fleksibel.
Selain itu, homeschooling juga membuka kesempatan kepada para orang
tua untuk memastikan kualitas belajar anak dan memastikan anak mendapatkan
perhatian cukup dari sang pengajar.
Dalam kasus tertentu, dimana anak sudah menunjukkan
bakat mereka dengan jelas, homeschooling dapat membantu untuk
menitikberatkan pelajaran yang berhubungan dengan bakat tersebut, atau dikenal
sebagai customized curriculum. Selain
itu, karena lingkup homeschooling berbasis rumah, maka kemungkinan anak
untuk terpengaruh narkoba dari teman-temannya tentu lebih kecil.
KESIMPULAN
Kecenderungan-kecenderungan
penurunan kinerja Sistem Pendidikan Nasional saat ini dapat dikurangi dengan
mengembangkan layanan pendidikan alternatif di luar layanan persekolahan saat
ini yang cenderung tidak ramah anak, kaku, massal dan tidak relevan. Kelemahan
ini dapat dikurangi dengan menerapkan strategi deschooling/Unschooling/Homeschooling. Sekolah rumah tidak
dimaksudkan untuk mengganti layanan pendidikan berbasis sekolah, namun
dimaksudkan sebagai complementary and supplementary education services,
sekaligus untuk menjadi umpan-balik bagi sistem pendidikan Nasional kita.
Peran orang tua dalam layanan sekolah
rumah akan
lebih menentukan, sehingga memerlukan layanan parent education untuk mendukung pelaksanaan sekolah
rumah ini. Karena
pada dasarnya pendidikan merupakan kebutuhan esensial bagi anak yang tentunya
mempengaruhi masa depan si kecil.
Namun
sebelumnya, ada beberapa pertimbangan-pertimbangan praktis yang perlu
diperhatikan anda sebagai homeschoolers, yaitu
pemikiran ulang mengenai alas an anda memilih sekolah rumah, cara yang akan
digunakan, siapa saja yang akan mengambil keputusan, bagaimana perasaan anak
anda, dan pikirkan juga jumlah waktu yang rencananya akan diluangkan bersama
anak-anak anda. Hal ini tidak akan berhasil kecuali anda benar-benar menikmati
berada di sekeliling anak anda di sebagian besar hari anda.
Tentukan
pilihan anda dengan bijaksana, dengan mempertimbangkan kebutuhan si cilik. Semoga
wacana ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan bagi kita semua, selaku pendidik
dan orang tua terbaik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Gardner, Howard, Frames Of Mind: The Theory of Multiple
Intelligences. America: Basic Books, 1993.
Griffith, Mary, Home Schooling (Menjadikan Setiap Tempat
sebagai Sarana Belajar). Bandung: Nuansa, 2012.
Gusman, Yorgi, “Home
Schooling”, Kompas. 29 September 2006.
Hanaco, Indah, I love Homeschooling. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Holt John, Learning All The Time. America: Addison-Wesley, 1990.
Kumpulan
Tulisan Pendidikan, Home-schooling, Rumah
Kelasku, Dunia Sekolahku. Jakarta: Buku Kompas, 2009.
Naim, Ngainun, Menjadi Guru Inspiratif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Suparno, Paul, Teori Inteligensi
Ganda. Kanasius, 2003.
Rusman, Manajemen Kurikulum. Jakarta: Rajawali Press, 2019.