INTERAKSI PENELITI DAN
INFORMAN DALAM PENELITIAN KUANTITATIF MAUPUN KUALITATIF
A.
Pendahuluan
Suatu kegiatan
penelitian selalu dibimbing oleh kerangka berfikir atau paradigma tertentu.
Tanpa hal itu, suatu kegiatan penelitian bisa berubah menjadi kegiatan
pengumpulan data yang tanpa arah dan tidak sistematis. Kerangka berfikir
merupakan cara memandang suatu perspektif dunia. Membahas metode penelitian
secara tidak langsung berarti membahas
konsep teoritik yang mendasari berbagai karakteristik yang melandasi metode
penelitian. Secara garis besar ada dua pendekatan penelitian yang bisa
diterapkan, yaitu pendekatan penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
Penelitian kuantitatif
berlandaskan filosofi positivisme dan rasionalisme. Positivisme adalah satu
aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial.
Karena penolakannya terhadap unsur metafisis dan teologis, positivisme
kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian dari Materialisme (bila ini dikontraskan dengan Idealisme).
Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya
pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science),
yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience)
yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Secara epistemologis, dalam penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma
bahwa sumber pengetahuan paling utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi,
dan lebih khusus lagi hal-hal yang dapat ditangkap pancaindera (exposed to
sensory experience). Hal ini sekaligus mengindikasikan, bahwa secara
ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah fenomena dan
hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general relations between
phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah sejalan
dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external
appearance given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu
bersumber dari fakta yang diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan
harus didasarkan pada eksperimen, induksi dan observasi.[1]
Adapun penelitian kualitatif berdasarkan landasan falsafah fenomenologi,
antropologi, dan interaksi simbolik. Fenomenologi diartikan sebagai orientasi
teoritis dalam memahami tingkah laku manusia didasarkan pada kerangka acuan si
pelaku. Proses penelitian lebih menekankan pada usaha untuk memahami makna dari
suatu kejadian atau interaksi orang dalam suatu situasi tertentu. Proses
penelitian lebih menekankan pada usaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual
subjek penelitian di sekitar kejadian yang diteliti. Penelitian kualitatif
lebih menekankan pada usaha untuk menelaah suatu fenomena sosial secara wajar
dan alami, melalui pengamatan ,wawancara atau metode penggalian data kualitatif
lainnya secara mendalam. [2]
Paradigma kualitatif
meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan. Keteraturan itu
terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan
keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya
berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian
kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah –
bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis,
paradigma kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan
tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan
verifikasi.
Uraian di atas,
memberikan pemahaman kepada kita tentang garis pembeda antara landasan
pendekatan penlitian kuantitatif dan kualitatif. Selanjutnya pembahasan ini akan penulis lebih
pertajam lagi pada bab pembahsan selanjutnya. Sehingga, sampai pada focus
pembahasn yaitu sikap peneliti
menghadapi informan maupun responden dalam kerangka pendekatan kuantitatif
serta kualitatif guna memperoleh data yang benar dan akurat.
B.
Pebedaan
Paradigma Kuantitatif Kualitatif
Bertolak dari perbedaan-perbedaan landasan yang disebut
di atas, dapat dicatat berbagai perbedaan paradigma yang cukup signifikan
antara penelitian kuantitatif dengan kualitatif. Seperti dikemukakan
sebelumnya, penelitian kuantitatif memiliki perbedaan paradigmatik dengan
penelitian kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud mencakup beberapa
hal:
KUANTITATIF
1. Positivistik
2. Deduktif-Hipotetis
3. Partikularistik
4. Obyektif
5. Berorientasi kepada hasil
6. Menggunakan pandangan ilmu
pengetahuan alam
|
KUALITATIF
1. Fenomenologik
2. Induktif
3. Holistik
4. Subyektif
5. Berorientasi kepada proses
6. Menggunakan pandangan ilmu
sosial/antropological
|
Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian
ini dapat dielaborasi sebagai berikut:[3]
No
|
Paradigma
Kuantitatif
|
Paradigma
Kualitatif
|
1
|
Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam
pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel
|
Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam
pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.
|
2
|
Lebih menenkankan pada proses berpikir
positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau
sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari
individu di dalamnya.
|
Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian
dalam menangkap gejala (fenomenologis).
|
3
|
Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas
yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan
secara ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
|
Pendekatannya wajar, dengan
menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).
|
4
|
Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang
diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek
penelitiannya.
|
Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi
yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir
dari sudut pandang “orang dalam”.
|
5
|
Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk
mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.
|
Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan
secara deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan
untuk menguji teori atau hipotesis.
|
6
|
Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan
pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data
lapangan).
|
Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri
peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam
proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan
keputusan.
|
7
|
Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi
realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).
|
Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi
validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi
simbolik atau abstrak.
|
8
|
Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel),
namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.
|
Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada
kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan
pada segi otensitasnya.
|
9
|
Fokus yang diteliti sangat spesifik
(particularistik) berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat
holistik.
|
Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek
yang cukup luas (tidak dibatasi pada variabel tertentu).
|
C.
Sikap
Peneliti Menghadapi Informan Maupun Responden Dalam Pendekatan Kuantitatif
Serta Kualitatif
Telah kami singgung
dalam pengantar di atas, bahwa pertanyaan utama yang akan kami jawab dalam
makalah ini adalah; "bagaimanakah sikap peneliti terhadap informan atau
responden dalam penelitian kuantitatif dan kualitatif?" serta "adakah
pendekatan peneliti terhadap informan atau responden dalam penlitian kuantitatf
maupun penelitian kualitatif?"
Sebagaimana yang telah
kami jelaskan di atas, bahwa berangkat dari dua landasan filosofis yang
berbeda, maka pendekatan penlitian kuantitatif dan penelitian kualitatif juga
mengalami perbedaan dalam menyikapi
informan atau responden. Pendekatan kuantitatif yang melandaskan dirinya pada
falsafah positivisme berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi responden. Hal
ini dilakukan guna memperoleh sebuah tingkatan objektifitas yang tinggi serta
menghindari subjektifitas. Sehingga
penelitian yang dihasilkan diyakini sebagai potret tentang fakta yang biasa
dikenal dengan "bebas nilai" (value-free), yaitu tidak
mengandung interpretasi subjektif dari penelitinya.[4] Proses
alamiah yang terjadi dalam diri objek harus diteliti sampai ditemukan
kaitan-kaitan sebab akibat yang bersifat niscaya. Lalu ditarik kesimpulan
induktif, yaitu dari data khusus ditarik kesimpulan umum atau hukum umum, dan
kemudian kesimpulan deduktif, yaitu hukum umum itu diberlakukan pada data –data
khusus lainnya (generalisasi). Nah, dari hasil yang demikian ini penelitian
yang diperoleh dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, sebab
bersifat universal dan instrumental.[5]
Konsep objektifitas
dan bebas nilai yang menuntut distingsi
penuh terhadap responden ini secara nyata tercermin dalam proses pengumpulan
data. Dalam proses pengumpulan data pada pendekatan kuantitatif peneliti tidak
harus terjun langsung ke lapangan. Jadi peneliti bisa mewakilkan kepada salah
seorang yang ia percaya untuk menyebarkan kuisteoner yang telah ia susun. Atau juga peneliti dapat memanfaatkan
teknologi yang ada seperti pos maupun alat telekomunikasi seperti telpon dalam
mengirimkan lembar kuistioner maupun melakukan wawancara.[6]
Terkait distingsi penuh
atau sikap berjarak dalam pendekatan kuantitatif ini, Koentjaraningrat
berpendapat bahwa dalam kasus penelitian pada masyarakat tertentu sikap
berjarak sangat sulit untuk dilakukan (bahkan mustahil dilakukan). Hal ini
mengingat kompleksitas masyarakat/responden yang diteliti. Analisis statistika
(kuantitatif) hanya bisa menguji hepotesa-hipotesa secara baik apabila fakta
dan data yang diperoleh guna melandasi generalisasi induktif itu
sungguh-sungguh benar, tepat, dan teliti. Dalam suatu masyarakat yang sudah
maju dimana data sensusnya sudah cukup tepat dan teliti, tiap penghasilan dan
pengeluaran serta banyak unsur lain baik dalam berbagai sector kehidupan umum,
maupun dalam berbagai lapangan kehidupan sehari-hari dari warga masyarakat
dapat dicari dalam berbagai macam sistem catatan. Sehingga seorang peneliti
pada masyarakat seperti itu, dapat lebih yakin dan pasti akan kebenaran,
ketepatan dan ketelitian dari data dan fakta yang dikumpulkannya sebagai bahan
untuk analisa kuantitatifnya menuju ke arah generalisasi induktif. Sebaliknya
dalam masyarakat yang belum memiliki ketatanan hidup, sehingga banyak orang
yang belum biasa mencatat misalnya pemasukan dan pengualarannya tiap hari, dan
sistem sensus juga masih sedang berkembang. Maka seorang peneliti masyarakat
seperti ini sulit dapat mengharapkan adanya data dan fakta yang benar, tepat
dan teliti. Nah, satu-satunya jalan pada penelitian masyarakat semacam ini,
harus didampingi dulu dengan data kualitatif yang didapatkan oleh seorang
peneliti dengan berbagai macam metode kualitatif seperti wawancara, observasi,
dan partisipasi.[7]
Selain itu penelitian
kuantitatif supaya memenuhi syarat kuantitasnya, memang hanya bisa dilaksanakan
dengan metode kuestioner, dan kita tahu bahwa dalam mnyusun kuistioner
memerlukan terlebih dahulu suatu pengetahuan kualitatif yang cukup mendalam
tentang masalah yang dikaji. Hanya dengan itu bisa diajukan pertanyaan-pertanyaan
dalam kuestioner mengenai soal-soal yang mendalam secara efektif.
Berbagai metode
wawancara intensif, observasi, dan partisipasi membawa konsekuensi berbagai
kesulitan lain, karena menuntut adanya interaksi dengan para informan serta
responden. Mengingat mereka (informan dan responden) ikut memainkan peranan
sosial dalam masyarakat yang sedang diteliti itu. Dalam hal berinteraksi dengan
para informan dan responden peneliti menghadapi manusia yang mempunyai
perasaan, keyakinan, pandangan serta sikap tertentu. Bertambah pula bahwa
sebagai seorang yang memainkan suatu peranan sosial dalam masyarakat, peneliti
terikat kepada norma-norma, serta aturan tertentu dan langsung terkena keyakinan,
pandangan, serta sikap dari para informan serta responden. Semua hal itu dapat
langsung mempengaruhi perasaan, keyakinan, pandangan serta sikapnya sendiri dan
sebaliknya hal ini dapat mempengaruhi sifat dari data yang dikumpulkannya dan
fakta-fakta yang ditanyakannya.[8]
Hal lain yang perlu
dicermati adalah, dalam proses penggalian data (atau penyebaran koestioner)
peneliti nantinya akan menghadapi corak masyarakat yang berbeda-beda.
Adakalanya responden yang bersikap menolak memberikan informasi, bersikap acuh,
atau mungkin tidak jujur dalam mengisi koestioner, bahkan barangkali ada yang
bersikap memusuhi akibat pertanyaan yang kita sampaikan menyakiti perasaan
mereka. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah sikap baik serta suatu pendekatan
terhadap responden guna menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang kita
lakukan. Demikianlah aspek interaksi
yang dapat kami gali dari model penelitian kuantitatif.[9]
Pendekatan yang
berikut nya adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini seringkali dipertentangkan dengan pengamatan
kuantitatif. Pendekatan penelitian kualitatif didasarkan pada paradigma
filsafat fenomenologi, interaksi simbolik, dan antropologi. Oleh sebab itu, memandang suatu kenyataan sebagai sebuah
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisah.[10] Sebagai
sebuah kesatuan, maka kenyataan atau kegiatan manusia tidak hanya sekedar
dipahami sebagai objek belaka sebagaimana pandangan kuantitatif, akan tetapi
lebih dari itu suatu kenyataan dipahami sebagai sebuah objek yang didalamnya
terjadi interaksi dan komunikasi antar manusia, antar subjek sosial untuk
mencapai pemahaman timbal balik[11]. Karenanya,
proses penelitian lebih menekankan pada usaha untuk memahami makna dari suatu
kejadian atau interaksi orang dalam suatu situasi tertentu. Serta proses penelitian lebih menekankan pada
usaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual subjek penelitian disekitar
kejadian yang diteliti. Maka atas dasar ini, peneliti dalam penelitian
kualitatif berperan sebagai pengumpul data (instrument) yang paling utama.[12] Hal ini
mengingat bahwa manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan
informan atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan
kenyataan-kenyataan dilapangan. Hanya manusia sebagai instrument pulalah yang
dapat menilai apakah kehadirannya menjadi factor pengganggu sehingga apabila
terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.[13]
Oleh karena itu, pada
waktu mengumpulkan data di lapangan,
peneliti berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan. Peneliti memposisikan
dirinya sejajar dengan informan dilapangan. Disini terjadi interaksi yang cukup
intens antara penliti dengan informan yang diteliti. Sebagai manusia yang berasal dari suatu
masyarakat dengan nilai-nilai budaya dan norma tertentu, kemungkinan besar
seorang peneliti akan membawa serta pada waktu meneliti suatu masyarakat yang
biasanya mempunyai kebudayaan atau sub-keudayaan lain. Tetapi sebagai peneliti
yang menguasai kaidah ilmu sosial ia harus membawa serta nilai-nilai dan norma-norma
ilmiah dan juga berbagai macam teori dan kerangka acuan dari disiplin dan
bidang ilmu sosial yang dikuasainya. Pandangan yang dikuasai oleh nilai-nilai,
norma-norma dan teori-teori ilmiah yang sebenarnya merupakan pandangan dari
luar itu disebut pandanaga etic, sendang pandangan tentang kebudayaan sendiri
dari warga masyarakt yang bersangkutan, yang sebenarnaya merupakan pandangan
dari dalam merupakan pandangan emik.
Seorang peneliti yang
baik wajib mempertimbangkan pandangan emik itu. Seorang peneliti perlu
menguasai kemahiran untuk mengombinasikan pandangan etik dan pandangan emik
sesempurna mungkin. Mengenai soal pandangan si peneliti sendiri yang sebenarnya
merupakan pandangan subjektif, seharusnya dusahakan agar pengaruhnya hanya
sedikit saja. Namun, seorang peneliti pada hakekatnya juga hanya manusia biasa,
dan aspek manusia dari penelitian ilmiah dari dulu sampai sekarang tetap
merupakan masalah metodologi yang penting. [14]
Berikut ini hal-hal
yang harus diperhatikan bagi seorang peneliti dalam melakukan penelitian;[15]
1.
metode-metode
penelitian bukanlah sederetan aturan seragam yang berlaku di mana-mana, tinggal
diterapkan saja mentah-mentah di lapangan. Sehingga tidak bisa menjamin
keberhasilan suatu metode penelitian. Jadi ibaratnya metode penelitian iabarat
gembok yang terdiri dari banyak kunci,
yang ditangan orang tertentu bisa membuka gembok tertentu pula.
2.
keberhasilan
penelitian sosial memerlukan perkawinan antara sifat menusiawi dengan nilai
ilmiah, daya cipta seseorang serta rasanya yang peka terhadap lingkungan hendaknya
dipertajam denganketelitian serta ketepatan yang mantab.
3.
seorang
peneliti sebaiknya merencanakan tugas lapangan dengan seksama dulu, tetapi siap
mengubah rencana tersebut jika menghadapi hambatan atau kesempatan yang terduga
sebelumnya.
4.
metode
harus disesuaikan dengan topic dan bukan sebaliknya.
5.
metode
kuantitatif dan kualitatif dapat saling menunjang.
6.
meskipun
tidak diwajibkan, dianjurkan berhubungan dengan pejabat pemerintah atau meminta
surat izin pemerintah waktu memulai
tugas lapangan. Guna melindungi baik peneliti mauplun informannya dan
memudahkan komunikasi yang terbuka diantara mereka berdasar saling percaya.
7.
untuk
berhasil penelitian membutuhkan waktu yang sering melebihi perkiraan semula,
serta pilihan saat yang tepat dilihat irama hidup masyarakat setempat, saat
mana informan mudah didekati.
8.
akan
sangat membantu bila peneliti secara tertulis mencatat kelemahannya sendiri
agar dapt menyadari dan menguranginya selama dimanfaatkannay sebagai penyebab
tanggapan tertentu dari kalangan informan.
9.
sasaran
penelitian bukanlah agar disukai melainkan untuk memperoleh fakta dan
keterangan yang berguna.
10. hubungan terlampau erat diantara pewawancara
dengan yang diwawancarai karena mendorong mereka untuk saling setuju dan tidak
membicarakn hal yang dapat dopersoalkan, bisa merongrong keilmuan percakapannya
di lapangan
D.
Kesimpulan
Tujuan dalam setiap
penelitian dan observasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang
kenyataan. Bermacam-macam objek penelitian menentukan macam-macam pengetahuan
yang dihasilkan. Begitu juga bermacam-macam pendekatan, metode, prosedur, dan
seterusnya juga menentukan macam-macam pengetahuan yang diahasilkan. Secara
umum dapat dibedakan dua macam pendekatan penelitian, yaitu pendekatan
kuantitatif dan pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan kuantitatif
dilandasi oleh pandangan filsafat positivistic sementara pendekatan kualitatif
berlandaskan pada paradigma fenomenologik.
Menyikapi informan
ataupun responden, kedua pendekatan ini memiliki cara pandang yang berbeda.
Pendekatan kuantitatif lebih cenderung menjauhi responden semaksimal mungkin
guna memperoleh objektifitas data. Sebaliknya, pendekatan kualitatif cenderung
berusaha mendekati informan secara intens guna memperoleh makna yang
senyatanya.
Dalam tataran
praktisnya, pada ranah penggalian data ternyata tidak hanya penelitian
kualitatif yang memerlukan interaksi terhadap informan, tetapi penelitian
kuantitatif. Dan pada akhirnya juga metode menganalisa dan menginterpretasi
data kuantitatif pun tidak dapat menghindari pandangan emik dari para informan
dan responden yang ditelitinya. Sebaliknya si peneliti perlu berusaha untuk
menghindari pengaruh terlampau besar dari pandangan dirinya sendiri sebagai
manusia.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian,
(Yogyakarta: Rienka Cipta, 1992)
Hardiman, Budi, Melampaui
Positivisme Dan Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003)
Koentjaraningrat dan Donald K Emmerson, Aspek
Manusia dalam Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1985)
Moleong, Lexy, Metodologi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosda Karya, 2008)
Tarigan, Josep R dan Suparmoko, Metode
Pengumpulan Data, (Yogyakarta: BPFE, 1995)
Wiyono, Bambang Budi, Metodologi
Penelitian, (Malang: Univ Negeri Malang, 2005)
Wirjokusumo,
Iskandar dan Soemantri Ansori, Metode Penelitian Kualitatif, (Surabaya:
Unesa University Press, 2009)