Hukum Dalam Islam


Pendahuluan
Sudah menjadi kodrat manusia bahwa untuk survive dalam hidupnya dan untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya, ia harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia memang sering diidentifikasikan tidak hanya sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai mkhluk sosial. Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan semacam perintah alam. Karena ia senantiasa membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain.
Hidup bermasyarakat adalah pembawaan manusia agar dapat mewujudkan kehidupan manusiawi yang pantas sesuai dengan niali-nilai kemanusiaan, atau dengan kata lain, untuk mencapai kesejahteraan. Untuk yang terakhir ini perlu ketertiban dan keteraturan. Hal ini dapat terwujud apabila setiap orang mengenali kewajiban untuk melakukan berbagai perbuatan bagi kepentingan orang lain dan meninggalkan hal-hal yang dapat merugikan.

PEMBAHASAN

A.    Ketaatan Hukum
             Ketaatan hukum pada hakikatnya adalah “kesetiaan” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata, sedang “kesadaran hukum masyarakat” masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk perilaku yang nyata yang mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak di antara anggota masyarakat sebenarnya sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum baik secara instingtif maupun secara rasional, namun mereka cenderung tidak patuh terhadap hukum. Kebudayaan hukum yang berkembang di masyarakat kita ternyata lebih banyak mencerminkan bentuk perilaku oportunis yang dapat diibaratkan seperti orang yang berkendaraan berlalu-lintas di jalan raya, ketika lampu merah dan kebetulan tidak ada polisi yang jaga maka banyak di antara mereka yang tetap jalan terus tanpa mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang sedang menyala. Apakah dengan begitu mereka yang melanggar lampu merah itu kita katakan tidak sadar hukum dan/atau tidak mengerti apa sebenarnya fungsi keberadaan lampu pengatur lalu-lintas yang ada disimpang-simpang jalan.. ?, terlalu prematur kita katakan mereka tidak sadar hukum.. Mereka sebenarnya sadar tentang perlunya peraturan berlalu-lintas di jalan raya dan lebih dari itu mereka juga sadar juga telah melanggar lampu merah, tapi masalahnya mereka tidak patuh terhadap peraturan itu.
             Para ulama ushul fiqh telah bersepakat, bahwa umat manusia tidak dibebani perbuatan di luar kemampuannya.[1] Oleh karena itu, mereka tidak diperintah mengerjakan perbuatan yang mustahil dapat terjadi, baik menurut akal, atau menurut adat kebiasaan. Seperti dalam firman Allah:
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. al-Baqarah, 2: 286)
Firman Allah Swt. yang lain berbunyi:
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. al-Baqarah, 2: 185)

             Pada dasarnya, setiap beban (taklif) adalah mengandung keberatan (masyaqqat), yaitu minimal melatih jiwa untuk meninggalkan larangan atau melaksanakan perintah, lantaran setiap larangan cenderung dilanggar oleh manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi:
خفت الجنة بالمكاره وخفت النار بالشهوات
Surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan”.

             Pada umumnya, sebab-sebab timbulnya kedurhakaan adalah mengikuti hawa nafsu dan syahwat, serta memenuhi kehendak tanpa merasa bersalah dan berdosa. Sedang sebab-sebab timbulnya ketaatan adalah memutuskan nafsu dari segala keinginan, atau menghentikan nafsu syahwat pada batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’.[2]
             Efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan /atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis.
             Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum yang berfungsi dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
  1. Kaidah Hukum
             Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus sistematis, tidak bertentangan baik secara vertikal maupun horizontal, dan dalam pembuatannya harus disesuaikan dengan persyaratan yuridis yang telah ditentukan.
             Di dalam teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, yakni sebagai berikut:[3]
a.       Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Persyaratan ini untuk menjamin jangan sampai terjadi kesimpangsiuran atau tumpang tindih dalam peraturan, baik yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu maupun bidang lain yang saling berkaitan.
b.      Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
c.       Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
             Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga unsur kaidah di atas, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan.
  1. Penegak Hukum
             Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab, menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya harus memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup adalah tugasnya.
             Misalnya saja di beberapa ruas jalan raya yang jarang sekali terlihat diambilnya tindakan terhadap pengguna jalan yang melanggar peraturan lalu lintas. Contohnya saja yang ada di Jakarta yaitu para pelanggar yang menerobos jalur busway, yang jelas-jelas jalur busway diperuntukkan busway bukan mobil atau motor.
             Dari contoh di atas diketahui bahwa faktor petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas petugas baik, maka mungkin pula timbul masalah-masalah.
  1. Sarana / Fasilitas
             Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proposional. Kalau peralatan tersebut sudah ada, maka faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi, bahwa suatu peraturan sudah difungsikan padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan.
  1. Warga Masyarakat
             Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Warga masyarakat dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
             Sebagai contoh adalah derajat kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu lintas adalah tinggi, maka peraturan lalu lintas, pasti akan berfungsi yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu lalu lintas warna kuning menyala maka para pengemudi diharapkan pelan-pelan. Namun bila terjadi sebaliknya, yaitu semakin melaju kendaraan yang dikemudikan atau tancap gas maka besar kemungkinannya akan terjadi kecelakaan.
             Dari contoh di atas, maka hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat, adalah (1) penyuluhan hukum yang teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan terarah.
             Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang taat hukum adalah:[4]
a.       Seseorang taat kepada hukum karena penyesuaian diri terhadap kaidah-kaidah tersebut dengan mengharap imbalan tertentu, atau menghindari dari sanksi.
b.      Seseorang taat kepada hukum karena identifikasi, yaitu ingin memelihara hubungan baik dengan sesama warga masyarakat atau dengan pemimpin-pemimpin kelompok.
c.       Seseorang taat kepada hukum karena kepentingan-kepentingannya terpenuhi atau setidak-tidaknya terlindungi.
d.      Seseorang taat kepada hukum karena penjiwaan dari norma-norma yang dianggapnya sesuai dengan nial-nilai yang menjadi pegangan masyarakat.

B.     Fungsi Hukum
             Syariat Islam datang membawa rahmat bagi umat manusia. Firman Allah Swt.:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya>’, 21: 107)

Oleh karena itu, ada tiga sasaran hukum Islam:[5] Pertama, penyucian jiwa. Agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini ditempuh melalui berbagai ragam ibadah yang disyariatkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial. Ibadah-ibadah itu dapat membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran (penyakit) dengki yang melekat di hati manusia. Dengan demikian akan tercipta suasana saling kasih mengasihi, bukan saling berbuat lalim dan keji di antara sesama muslim. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
žcÎ) ... no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ...
“...Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain)....”. (QS. al-Ankabut, 29: 45)

             Ibadah shalat yang dikerjakan secara berjamaah memiliki fungsi membersihkan jiwa masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Begitu pula ibadah puasa dan haji. Ibadah haji dengan amat jelas mengandung implikasi ketertiban masyarakat (al-tanzhim al-ijtima’y). Sedang zakat dalam pengertiannya yang lebih dalam mengandung aspek ta’awun (kesetiakawanan sosial) antara si kaya dan si miskin. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. dalam memberikan instruksi kepada para petugas pengumpul zakat mengatakan:
خذ من أغنياءهم و ردوها على فقرائهم
Ambillah zakat dari orang-orang kaya, dan berikanlah kepada orang-orang fakir”.

             Kedua, menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam. Adil baik menyangkut urusan di antara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). Firman Allah Swt.:
Ÿwur... öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( ...
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. al-Ma>idah, 5: 8)

             Tujuan ditegakkannya keadilan dalam Islam amatlah luhur. Ia menyangkut berbagai aspek kehidupan, adil di bidang hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam bermuamalah (bergaul) dengan pihak lain. Bahwa setiap orang mempunyai hak-hak yang sama dengan dirinya. Dalam kaitan ini Nabi Muhammad Saw. memberikan penjelasan sangat gamblang, dengan sabdanya:
ما عامل الناس بما تحب ان يعاملوك به
Gaulilah sesama manusia dengan sikap dan perbuatan yang kalian suka”.

             Islam mengacu kepada keadilan sosial. Di dalam Islam, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan Undang-Undang dan pengadilan. Tidak dibeda-bedakan antara si kaya dan si miskin. Islam tidak mengenal stratifikasi sosial (kasta) dengan memberikan privelege kepada satu kelas tertentu. Sebab semua manusia adalah sama, berasal dari tanah liat yang satu, tidak bisa dibeda-bedakan oleh perbedaan warna kulit atau jenis/kebangsaannya. Mereka sama di depan hukum Islam.
كلكم لآدم وآدم من تراب لا فضل لعربي على اعجمى الا بالتقوى
Kamu sekalian adalah keturunan Adam. Dan Adam tercipta dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam (non Arab) kecuali dengan taqwa”.

             Usaha mewujudkan keadilan akan terhambat, kecuali apabila sifat-sifat utama (al-fadhilah) dan kasih sayang (al-mahabbah) telah berkembang merata di tengah masyarakat, dan kemaslahatan bagi satu anggota masyarakat juga telah dirasakan sebagai kemaslahatan bagi sesamanya. Ayat al-Qur'an yang dipandang menghimpun intisari hukum Islam, adalah firma Allah Swt.:
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. al-Nahl, 16: 90)

             Ketiga, ialah kemaslahatan. Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh Islam melalui al-Qur'an maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahat yang hakiki, walaupun maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya.
            Maslahat yang dikehendaki oleh Islam bukanlah maslahat yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu.
             Seperti yang sudah dibahas di atas bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal tersebut ada hubungannya dengan fungsi hukum. Berkaitan dengan hal tersebut Poerbacaraka dan Soekanto menyatakan bahwa fungsi hukum adalah memberikan kepastian dan kesebandingan bagi individu maupun masyarakat.[6]
             Dari pendapat di atas, dapat dilihat jelas bahwa antara tujuan dan fungsi hukum merupakan suatu rangkaian yang bertalian di antara keduanya. Hubungan antara tujuan hukum dan fungsi hukum terletak pada aspek pemberian kepastian hukum yang tertuju pada ketertiban dan pemberian kesebandingan hukum yang tertuju pada ketentraman dan ketenangan. Dengan kata lain, kehidupan bersama dapat tertib hanya jika ada kepastian dalam hubungan sesama manusia dan akan tercipta ketenangan jika dapat menerima apa yang sebanding dengan perilaku atau tindakannya.
             Berkaitan dengan fungsi hukum, Roscoe Pound yang terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh hukum:[7] (1) kepentingan akan kedamaian, (2) perlindungan lembaga-lembaga sosial, (3) pencegahan kemerosotan akhlak, (4) pencegahan pelanggaran hak, (5) kesejahteraan sosial.
             Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum selain memiliki fungsi sebagai alat untuk menciptakan kedamaian di masyarakat juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan masyarakat kepada suatu proses pembaharuan dan pembangunan nasional. Dengan demikian, hukum dapat mewujudkan terciptanya warga negara yang baik di masa depan.

C.    Pembangunan Karakter Manusia
             Maslahat Islamiyah yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara:[8] agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Ini disebabkan dunia, tempat manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima itu. Tanpa terpeliharanya lima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna. Oleh karena itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan terhadap lima hal tadi.
             Agama merupakan keharusan bagi manusia. Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya daripada derajat hewan. Sebab beragama adalah salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk suatu agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan damai, tanpa adanya intimidasi. Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama. Firman Allah Swt.:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 ....
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat....”. (QS. al-Baqarah, 2: 256)

             Memelihara jiwa ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai. Karena bila memasyarakatkan hukuman qishash dapat terpeliharanya jiwa manusia. Seperti yang sudah Allah sebutkan dalam al-Qur'an:
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2: 179)

             Dengan demikian artinya, qishash itu jika dilaksanakan maka akan menjamin kelangsungan hidup setiap manusia. Sepintas, hukum qishash nampak kejam, tidak manusiawi, primitif, barbar, atau ketinggalan zaman, bahkan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Hak hidup adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang.
             Memang qishash merupakan hukuman yang kejam, namun hal ini terjadi karena pelaku pembunuhan juga kejam, bahkan sangat kejam. Seseorang dianggap melanggar HAM ketika hukum qishash akan dijalankan, namun orang yang telah membunuh orang lain tidak terkena hukum HAM. Lihatlah, karena ambruknya wibawa dan penegakan hukum, nyawa manusia menjadi sangat murah. Bila kejahatan ini terus dibiarkan, eksistensi kehidupan manusia akan terancam.
             Dengan menyingkirkan para pembejat dan orang-orang perusak merupakan metode yang paling efektif untuk tercapainya pertumbuhan dan kesempurnaan masyarakat. Dalam hal ini, qishash merupakan sebuah jaminan kehidupan untuk kelestarian sebuah komunitas. Mungkin karena itulah qishash ditanamkan di dalam naluri manusia.
             Dalam hal ini, qishash merupakan mekanisme hukum dalam mencari keadilan yang diberikan Allah Swt. bagi manusia yang dirugikan dalam kasus pelanggaran hukum. Tanpa penegakan mekanisme ini, wajar saja hukum positif yang ada belum mampu memberikan efek keadilan bagi si korban.
             Selain itu, pelaksanaan hukum qishash akan menjadi pelajaran berharga bagi orang lain, yaitu menimbulkan rasa takut kepada setiap orang sehingga tidak berani melakukan kejahatan serupa. Mereka akan berpikir ribuan kali lipat sebelum melakukan pembunuhan atau pencederaan. Qishash, bila diterapkan, akan menjadi piranti efektif untuk menumbuhkan efek jera di kalangan masyarakat.
             Memelihara akal ialah menjaga akal agar tidak terkena bahaya (kerusakan) yang mengakibatkan orang yang bersangkutan tak berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber keburukan dan penyakit bagi orang lain.[9] Contohnya yaitu dengan mewajibkan hukuman had atas peminum minuman yang memabukkan, karena dengan demikian dapat terpelihara akal yang menjadi sendi taklif.
             Arti penting pemeliharaan akal dapat ditinjau dari beberapa segi:[10]
1.      Agar setiap anggota masyarakat Islam tidak terganggu, bahkan mendapat limpahan kebaikan dan kemanfaatan. Dengan melihat setiap individu sebagai bagian dari sebuah tatanan masyarakat, maka akal yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat tidak bisa diklaim sebagai hak murni pribadi, akan tetapi masyarakat juga ikut punya hak (fungsi sosial). Sebab dengan akalnya setiap individu ikut membentuk pola kehidupan masyarakat. Adalah menjadi hak masyarakat untuk diperhatikan keselamatannya.
2.      Orang yang membiarkan/mempertaruhkan akalnya dalam bahaya (kerusakan), akan menjadi beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Jika memang demikian halnya, maka terhadap orang itu harus diancam dengan hukuman-hukuman yang kiranya dapat mencegahnya dari perbuatan nekat, memperhadapkan akalnya menantang bahaya.
3.      Orang yang akalnya terkena bahaya (afat), akan menjadi sumber timbulnya kerawanan sosial. Masyarakat akan ikut menanggung resiko, menghadapi kejahatan dan pelanggaran. Maka adalah hak syari’ (pembuat Undang-Undang) untuk memelihara akal. Hal ini akan mencegah timbulnya perbuatan-perbuatan buruk dan dosa. Perlu ditegaskan, bahwa hukum Islam mengandung unsur tindakan preventif, di samping tindakan represif. Oleh karena itu, syariat Islam menghukum orang yang meminum khamr dan orang yang memakai sesuatu yang dapat menghilangkan ingatan, yang diqiyaskan dengan khamr.
             Memelihara keturunan ialah memelihara kelestarian manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesama umat manusia. Misalnya mewajibkan had zina dengan mencambuk seratus kali, seperti dalam firman Allah Swt.:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nu>r, 24: 2)

Karena dengan hukuman tersebut dapat terpelihara nasab (keturunan), selain itu untuk menjaga moralitas masyarakat. Maka dari itu, negara juga dituntut untuk diadakannya lembaga perkawinan yang teratur. Pencegahan terhadap perbuatan yang merusak citra diri, sebab hal tersebut menodai amanat yang dititipkan Allah kepada orang laki-laki dan perempuan agar melehirkan keturunan, sebab terhindar dari kepunahan dan hidup dalam suasana tentram dan sejahtera. Dengan demikian, anak keturunannya akan semakin banyak dan kuat serta mudah tercipta persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat. Dan dalam konteks itulah, adanya hukuman zina, qadzaf serta hukuman ta’zir lainnya yang ditetapkan dalam rangka menjaga kelangsungan keturunan. Dari uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa hukuman terhadap pelaku penzina adalah untuk memelihara keturunan dan terhindar dari penyakit kelamin.
             Memelihara harta dilakukan dengan mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya dengan hukuman potong tangan kepada pencuri. Seperti dalam firman Allah Swt.:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Ma>’idah, 5: 38)

Hukuman potong tangan bagi pencuri adalah untuk memelihara harta milik orang lain, karena dengan demikian dapat terpelihara harta yang menjadi sumber kehidupan di mana mereka sangat memerlukannya.
            Hukuman-hukuman itu semua dinilai sebagai usaha mengikis habis kejahatan sampai ke akar-akarnya, dan diberantasnya kejahatan itu dari buaiannya, sehingga manusia akan hidup dengan penuh keamanan, ketenangan, dan ketentraman. Tetapi musuh-musuh kemanusiaan menganggap besar dan berat atas pembunuhan terhadap pembunuh dan memotong tangan pencuri. Mereka beranggapan bahwa penjahat-penjahat itu menyandang sakit jiwa. Hukuman seperti itu tidak layak bagi masyarakat modern yang selalu berusaha untuk membentuk kehidupan yang bahagia dan terhormat. Mereka mengharapkan belas kasihan masyarakat kepada penjahat, tetapi tidak meminta kasih sayang dari penjahat terhadap masyarakat, yang justru penjahat itu telah merenggut nyawa manusia dan mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga masyarakat selalu dicekam oleh rasa takut, takut keamanan dirinya, hartanya, dan nyawanya.
             Dan secara keseluruhan hukuman atau sanksi dalam syari’at Islam, sebenarnya tidak mengedepankan hukuman, tetapi sebagai peringatan, pencegahan pendidikan/pengajaran supaya tidak melakukan suatu kejahatan.
             Konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat mengingatkan kita pada pemikiran Roscoe Pound, salah seorang pendukung Sociological Jurisprudence. Pound mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering), tidak sekedar melestarikan status quo.[11]
             Konsepsi dasar dari sociological jurisprudence adalah hukum positif yang baik dan afektif ialah hukum yang sesuai dengan living law sebagai inner order dari masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.[12]
             Pokok-pokok pikiran yang melandasi hukum sebagai sarana pembaruan atau sarana pembangunan adalah:
a.       Bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan dianggap perlu
b.      Bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan.
Harapan kedua fungsi hukum tersebut di atas dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.[13]
             Dengan teori yang diajukan oleh pemikiran Pound bahwa hukum bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik, maka jika kita menggunakan hukum syariat Islam (maqashid al-khamsah) tentu nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat akan lebih baik. Karena sesungguhnya mengambil manfaat dan menolak madharat adalah menjadi tujuan makhluk. Tidak hanya karena landasan dari agama itu sendiri tetapi juga akhlak dan moralitas masyarakat juga ikut terjaga. Yang tentu saja tidak hanya peraturan yang berjalan, tapi juga petugas dan masyarakat pun juga ikut menjalankan hukum itu dengan baik.

D.    Cita-cita Sosial Islam
             Melihat kondisi umat Islam yang saat ini bisa dikatakan dengan kebodohan, kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan kemudian banyak kalangan gerakan dan intelektual Islam yang mencoba membangun kembali semangat yang pernah hilang. Semangat dan cita-cita yang secara kaffah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semangat ini coba digali lagi dari kekuatan tauhid yang selama ini tidak banyak menyentuh dimensi praktis sosial keummatan.
1.      Tauhid sosial
Syafi’i Ma’arif menyebutkan tauhid sosial sebagai dimensi praksis dari resiko keimanan kepada Allah Swt. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan al-Qur’an, yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan tauhid sosial Syafi’i Ma’arif menggambarkan dua hal:[14]
Pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat Islam. Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip tauhid. Islam menolak pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai.
Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praktis persoalan keummatan. Artinya, kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amar ma’ruf nahi munkar’. Dalam al-Qur’an, doktrin ‘amar ma’ruf nahi munkar’ dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua makkiyah dan tiga madaniyyah. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Karena itulah Syafi’i Ma’arif mengatakan[15] kalau kita tidak mampu mencari penyelesaian secara Islam bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan, maka pilihan yang menunggu di hadapan kita adalah sekulerisme. Ini artinya secara tidak langsung kita membenarkan pendapat sementara orang bahwa Islam telah kehilangan relevansinya dengan nuansa zaman. Ungkapan Islam yang serba kaffah yang sering kita dengar di kalangan anak muda, sebenarnya mengandung kebenaran, tetapi masih terlalu jauh dari substansi permasalahannya.
2.      Islam dan ketidaksamaan sosial
Ketidaksamaan sosial (social inequality) terjadi di hampir semua komunitas masyarakat dunia. Adanya ketidaksamaan sosial ini pada umumnya melahirkan polarisasi sosial yang dalam banyak hal melahirkan kasus-kasus kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, penindasan bahkan perbudakan. Ketidaksamaan sosial ini kemudian dirumuskan dengan membaginya dalam istilah ‘kelas sosial’. Masyarakat Arab pada zaman nabi juga terbagi dalam dua kelas sosial, yakni kelas bangsawan dan kelas budak. Tapi, al-Qur’an juga merefleksikan adanya kenyataan sosial lain mengenai pembagian kelas sosial ini, seperti konsep golongan dhu’afa, mustadh’afin, kaum fakir, dan masakin.
Dalam Islam, Kuntowijoyo mencatat bahwa Islam mengakui adanya deferensiasi dan bahkan polarisasi sosial.[16] Al-Qur’an melihat fenomena ketidaksamaan sosial ini sebagai sunnatullah, sebagai hukum alam, sebagai realitas empiris yang ditakdirkan kepada dunia manusia. Banyak ayat al-Qur’an yang memaklumkan dilebihkannya derajat sosial, ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari sebagian orang atas sebagian yang lainnya.
Kendatipun demikian, ini tidak dapat diartikan bahwa al-Qur’an mentoleransi social-inequality. Mengakui jelas tidak sama dengan mentoleransi. Sebaliknya, Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk secara terus-menerus menegakkan egalitarianisme. Realitas sosial empiris yang dipenuhi oleh fenomena diferensiasi dan polarisasi sosial, oleh al-Qur’an dipandang sebagai ajang riel duniawi tempat setiap muslim akan memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya. Keterlibatannya dalam perjuangan inilah yang akan menentukan kualitasnya sebagai khalifatullah fil ‘ardh. Dengan demikian, Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi segenap lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang tertindas dan lemah seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin.
3.      Cita praktek sosial Islam
Persoalannya adalah tidak mudah mewujudkan cita-cita sosial Islam ini. Terlebih lagi dalam kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini. Proses ini memang harus dimulai dari transformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian dilakukan lompatan-lompatan dalam dataran praktis. Kuntowijoyo punya pandangan menarik dalam merumuskan proses transformasi ini. “Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif”, demikian Kuntowijoyo.[17] Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan praktis al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam prilaku. Pendekatan seperti ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem normatif.
Cara yang kedua adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode transformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam dimensi praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi-filsafat sosial-teori sosial-perubahan sosial. Sampai sekarang ini, kita belum melakukan usaha semacam itu.
Cita-cita sosial Islam untuk melahirkan keadilan sosial bagi seluruh alam memang masih jauh dari cita-cita. Tapi, juga tidak bijak kalau kita hanya menyimpannya dalam teks-teks suci.
Perjuangan ke arah itu memang tidak ringan. Tapi itulah tugas kita kalau kita mau menyumbangkan sesuatu yang anggun untuk kemanusiaan. Perjuangan umat Islam yang masih bergulat untuk bangun dari kemiskinan dan keterbelakangan, tentu akan sia-sia jika tak didukung oleh kerja-kerja intelektual yang menopang terbentuknya suatu tatanan sosial masyarakat seperti yang kita cita-citakan.

 Kesimpulan
   
             Ketaatan manusia kepada hukum harus dilakukan secara nyata (direalisasikan), tidak hanya tahu dan mengerti saja. Untuk merealisasikan kataatan hukum tersebut manusia harus memutuskan nafsu dari segala keinginan, atau menghentikan nafsu syahwat pada batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’.
             Tiga sasaran hukum Islam adalah: (1) penyucian jiwa, (2) menegakkan keadilan dalam masyarakat, (3) kemaslahatan. Dengan teori yang diajukan oleh pemikiran Pound bahwa hukum bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik, maka jika kita menggunakan hukum syariat Islam (maqashid al-khamsah) tentu nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat akan lebih baik. Karena sesungguhnya mengambil manfaat dan menolak madharat adalah menjadi tujuan makhluk. Tidak hanya karena landasan dari agama itu sendiri tetapi juga akhlak dan moralitas masyarakat juga ikut terjaga. Yang tentu saja tidak hanya peraturan yang berjalan, tapi juga petugas dan masyarakat pun juga ikut menjalankan hukum itu dengan baik.
            Adanya ketidaksamaan sosial dalam Islam, banyak melahirkan kasus-kasus kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, penindasan bahkan perbudakan. Dengan adanya keadaan seperti itu menyebabkan Islam justru memiliki cita-cita sosial untuk memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya. Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi segenap lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang tertindas dan lemah seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zinuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Darmodiharjo, Darji dan Sidharta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta, 1970.

--------. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta. 1976.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991

Ma’arif, Syafi’i. Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 24.

Poerbacaraka dan Soekanto. Renungan tentang Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali, 1982.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1982.

Supriyadi, “Fungsi Hukum dalam Masyarakat” dalam: Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya, penyunting: Lili Rasjidi dan Arief Sidharta. Bandung: Rosdakarya, 1994.

Zahra, Muhammad Abu>, Ushul Fiqh, Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, tt.




Postingan terkait: