Pendahuluan
Sudah menjadi kodrat manusia
bahwa untuk survive dalam hidupnya dan untuk mempermudah memenuhi kebutuhannya,
ia harus berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia memang sering
diidentifikasikan tidak hanya sebagai makhluk biologis, tetapi juga sebagai
mkhluk sosial. Bagi manusia, melakukan hubungan-hubungan sosial sudah merupakan
semacam perintah alam. Karena ia senantiasa membutuhkan bantuan dan kerja sama
dengan orang lain.
Hidup bermasyarakat adalah
pembawaan manusia agar dapat mewujudkan kehidupan manusiawi yang pantas sesuai
dengan niali-nilai kemanusiaan, atau dengan kata lain, untuk mencapai
kesejahteraan. Untuk yang terakhir ini perlu ketertiban dan keteraturan. Hal
ini dapat terwujud apabila setiap orang mengenali kewajiban untuk melakukan
berbagai perbuatan bagi kepentingan orang lain dan meninggalkan hal-hal yang
dapat merugikan.
PEMBAHASAN
A.
Ketaatan
Hukum
Ketaatan hukum pada hakikatnya
adalah “kesetiaan” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata, sedang “kesadaran hukum masyarakat”
masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk perilaku yang nyata yang
mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak di antara anggota masyarakat
sebenarnya sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum baik secara instingtif
maupun secara rasional, namun mereka cenderung tidak patuh terhadap hukum.
Kebudayaan hukum yang berkembang di masyarakat kita ternyata lebih banyak
mencerminkan bentuk perilaku oportunis yang dapat diibaratkan seperti orang
yang berkendaraan berlalu-lintas di jalan raya, ketika lampu merah dan
kebetulan tidak ada polisi yang jaga maka banyak di antara mereka yang tetap
jalan terus tanpa mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang sedang
menyala. Apakah dengan begitu mereka yang melanggar lampu merah itu kita
katakan tidak sadar hukum dan/atau tidak mengerti apa sebenarnya fungsi
keberadaan lampu pengatur lalu-lintas yang ada disimpang-simpang jalan.. ?,
terlalu prematur kita katakan mereka tidak sadar hukum.. Mereka sebenarnya
sadar tentang perlunya peraturan berlalu-lintas di jalan raya dan lebih dari
itu mereka juga sadar juga telah melanggar lampu merah, tapi masalahnya mereka
tidak patuh terhadap peraturan itu.
Para ulama ushul fiqh telah
bersepakat, bahwa umat manusia tidak dibebani perbuatan di luar kemampuannya.[1]
Oleh karena itu, mereka tidak diperintah mengerjakan perbuatan yang mustahil
dapat terjadi, baik menurut akal, atau menurut adat kebiasaan. Seperti dalam
firman Allah:
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya”. (QS. al-Baqarah, 2: 286)
Firman Allah Swt. yang lain
berbunyi:
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. al-Baqarah,
2: 185)
Pada dasarnya, setiap beban (taklif)
adalah mengandung keberatan (masyaqqat), yaitu minimal melatih jiwa
untuk meninggalkan larangan atau melaksanakan perintah, lantaran setiap
larangan cenderung dilanggar oleh manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
yang berbunyi:
خفت الجنة بالمكاره وخفت النار بالشهوات
“Surga
diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang
menyenangkan”.
Pada umumnya, sebab-sebab timbulnya
kedurhakaan adalah mengikuti hawa nafsu dan syahwat, serta memenuhi kehendak
tanpa merasa bersalah dan berdosa. Sedang sebab-sebab timbulnya ketaatan adalah
memutuskan nafsu dari segala keinginan, atau menghentikan nafsu syahwat pada
batas-batas yang telah ditentukan oleh syara’.[2]
Efektivitas hukum dalam masyarakat
Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan /atau
memaksa warga masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum berarti
mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis,
sosiologis dan filosofis.
Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hukum yang berfungsi dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
- Kaidah Hukum
Kaidah hukum atau peraturan itu
sendiri harus sistematis, tidak bertentangan baik secara vertikal maupun
horizontal, dan dalam pembuatannya harus disesuaikan dengan persyaratan yuridis
yang telah ditentukan.
Di dalam teori ilmu hukum, dapat
dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, yakni
sebagai berikut:[3]
a.
Kaidah hukum
berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih
tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
Persyaratan ini untuk menjamin jangan sampai terjadi kesimpangsiuran atau
tumpang tindih dalam peraturan, baik yang mengatur bidang-bidang kehidupan
tertentu maupun bidang lain yang saling berkaitan.
b.
Kaidah hukum
berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu
dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga
masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan
dari masyarakat.
c.
Kaidah hukum
berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif
yang tertinggi.
Kalau dikaji secara mendalam agar
hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga unsur kaidah
di atas, sebab (1) apabila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada
kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) kalau hanya berlaku secara
sosiologis dalam arti teori kekuasaan, kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3)
apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan.
- Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang yang
bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Sebab,
menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya, di dalam
melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya harus memiliki suatu
pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup
adalah tugasnya.
Misalnya saja di beberapa ruas
jalan raya yang jarang sekali terlihat diambilnya tindakan terhadap pengguna
jalan yang melanggar peraturan lalu lintas. Contohnya saja yang ada di Jakarta
yaitu para pelanggar yang menerobos jalur busway, yang jelas-jelas jalur busway
diperuntukkan busway bukan mobil atau motor.
Dari contoh di atas diketahui bahwa
faktor petugas memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada
masalah. Demikian pula, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas petugas baik,
maka mungkin pula timbul masalah-masalah.
- Sarana / Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting
untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud,
terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya
bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan
kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proposional. Kalau peralatan tersebut
sudah ada, maka faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting.
Memang sering terjadi, bahwa suatu peraturan sudah difungsikan padahal
fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk
memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan.
- Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang
mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Warga masyarakat
dimaksud, adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu peraturan
perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa
derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya
hukum yang bersangkutan.
Sebagai contoh adalah derajat
kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu lintas adalah tinggi, maka peraturan lalu
lintas, pasti akan berfungsi yaitu mengatur waktu penyeberangan pada
persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu lalu lintas warna kuning
menyala maka para pengemudi diharapkan pelan-pelan. Namun bila terjadi
sebaliknya, yaitu semakin melaju kendaraan yang dikemudikan atau tancap gas
maka besar kemungkinannya akan terjadi kecelakaan.
Dari contoh di atas, maka hal-hal
yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat, adalah (1) penyuluhan hukum yang
teratur; (2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam kepatuhan
terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) pelembagaan yang terencana dan
terarah.
Faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang taat hukum adalah:[4]
a. Seseorang taat kepada hukum karena penyesuaian
diri terhadap kaidah-kaidah tersebut dengan mengharap imbalan tertentu, atau
menghindari dari sanksi.
b. Seseorang taat kepada hukum karena identifikasi,
yaitu ingin memelihara hubungan baik dengan sesama warga masyarakat atau dengan
pemimpin-pemimpin kelompok.
c. Seseorang taat kepada hukum karena
kepentingan-kepentingannya terpenuhi atau setidak-tidaknya terlindungi.
d. Seseorang taat kepada hukum karena penjiwaan dari
norma-norma yang dianggapnya sesuai dengan nial-nilai yang menjadi pegangan
masyarakat.
B.
Fungsi
Hukum
Syariat Islam datang membawa rahmat
bagi umat manusia. Firman Allah Swt.:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tiadalah kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya>’, 21: 107)
Oleh karena
itu, ada tiga sasaran hukum Islam:[5]
Pertama, penyucian jiwa. Agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan
bagi masyarakat lingkungannya. Hal ini ditempuh melalui berbagai ragam ibadah
yang disyariatkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta
memperkokoh kesetiakawanan sosial. Ibadah-ibadah itu dapat membersihkan jiwa
dari kotoran-kotoran (penyakit) dengki yang melekat di hati manusia. Dengan
demikian akan tercipta suasana saling kasih mengasihi, bukan saling berbuat
lalim dan keji di antara sesama muslim. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:
cÎ) ... no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3
ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3
...
“...Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah
yang lain)....”. (QS. al-Ankabut, 29: 45)
Ibadah shalat yang dikerjakan secara
berjamaah memiliki fungsi membersihkan jiwa masyarakat, baik secara individual
maupun kelompok. Begitu pula ibadah puasa dan haji. Ibadah haji dengan amat
jelas mengandung implikasi ketertiban masyarakat (al-tanzhim al-ijtima’y).
Sedang zakat dalam pengertiannya yang lebih dalam mengandung aspek ta’awun
(kesetiakawanan sosial) antara si kaya dan si miskin. Karena itu, Nabi Muhammad
Saw. dalam memberikan instruksi kepada para petugas pengumpul zakat mengatakan:
خذ من أغنياءهم و ردوها على فقرائهم
“Ambillah
zakat dari orang-orang kaya, dan berikanlah kepada orang-orang fakir”.
Kedua, menegakkan keadilan
dalam masyarakat Islam. Adil baik menyangkut urusan di antara sesama kaum
muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). Firman Allah Swt.:
wur... öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4
(#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 (
...
“Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. al-Ma>idah, 5: 8)
Tujuan ditegakkannya keadilan dalam
Islam amatlah luhur. Ia menyangkut berbagai aspek kehidupan, adil di bidang
hukum, peradilan dan persaksian serta adil dalam bermuamalah (bergaul) dengan
pihak lain. Bahwa setiap orang mempunyai hak-hak yang sama dengan dirinya.
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad Saw. memberikan penjelasan sangat gamblang,
dengan sabdanya:
ما عامل الناس بما تحب ان يعاملوك به
“Gaulilah
sesama manusia dengan sikap dan perbuatan yang kalian suka”.
Islam mengacu kepada keadilan
sosial. Di dalam Islam, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan
Undang-Undang dan pengadilan. Tidak dibeda-bedakan antara si kaya dan si
miskin. Islam tidak mengenal stratifikasi sosial (kasta) dengan memberikan privelege
kepada satu kelas tertentu. Sebab semua manusia adalah sama, berasal dari tanah
liat yang satu, tidak bisa dibeda-bedakan oleh perbedaan warna kulit atau
jenis/kebangsaannya. Mereka sama di depan hukum Islam.
كلكم لآدم وآدم من تراب لا فضل لعربي على اعجمى الا بالتقوى
“Kamu
sekalian adalah keturunan Adam. Dan Adam tercipta dari tanah. Tidak ada
keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa Ajam (non Arab) kecuali dengan taqwa”.
Usaha mewujudkan keadilan akan
terhambat, kecuali apabila sifat-sifat utama (al-fadhilah) dan kasih
sayang (al-mahabbah) telah berkembang merata di tengah masyarakat, dan
kemaslahatan bagi satu anggota masyarakat juga telah dirasakan sebagai
kemaslahatan bagi sesamanya. Ayat al-Qur'an yang dipandang menghimpun intisari
hukum Islam, adalah firma Allah Swt.:
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4
öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs? ÇÒÉÈ
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS.
al-Nahl, 16: 90)
Ketiga, ialah kemaslahatan.
Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh Islam melalui al-Qur'an
maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahat yang hakiki, walaupun
maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya.
Maslahat yang dikehendaki oleh Islam
bukanlah maslahat yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi,
maslahat yang hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak
tertentu.
Seperti yang sudah dibahas di atas bahwa
tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian dalam kehidupan manusia baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Hal tersebut ada
hubungannya dengan fungsi hukum. Berkaitan dengan hal tersebut Poerbacaraka dan
Soekanto menyatakan bahwa fungsi hukum adalah memberikan kepastian dan
kesebandingan bagi individu maupun masyarakat.[6]
Dari pendapat di atas, dapat
dilihat jelas bahwa antara tujuan dan fungsi hukum merupakan suatu rangkaian
yang bertalian di antara keduanya. Hubungan antara tujuan hukum dan fungsi
hukum terletak pada aspek pemberian kepastian hukum yang tertuju pada
ketertiban dan pemberian kesebandingan hukum yang tertuju pada ketentraman dan
ketenangan. Dengan kata lain, kehidupan bersama dapat tertib hanya jika ada
kepastian dalam hubungan sesama manusia dan akan tercipta ketenangan jika dapat
menerima apa yang sebanding dengan perilaku atau tindakannya.
Berkaitan dengan fungsi hukum, Roscoe
Pound yang terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbarui
(merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engineering). Untuk
dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat
penggolongan atas kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh hukum:[7]
(1) kepentingan akan kedamaian, (2) perlindungan lembaga-lembaga sosial, (3)
pencegahan kemerosotan akhlak, (4) pencegahan pelanggaran hak, (5)
kesejahteraan sosial.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa hukum selain memiliki fungsi sebagai alat untuk
menciptakan kedamaian di masyarakat juga memiliki kemampuan untuk mengarahkan
masyarakat kepada suatu proses pembaharuan dan pembangunan nasional. Dengan
demikian, hukum dapat mewujudkan terciptanya warga negara yang baik di masa
depan.
C.
Pembangunan
Karakter Manusia
Maslahat Islamiyah yang diwujudkan
melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah
maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal,
yaitu memelihara:[8]
agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Ini disebabkan dunia, tempat manusia
hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima itu. Tanpa
terpeliharanya lima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur
secara sempurna. Oleh karena itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari
pemeliharaan terhadap lima hal tadi.
Agama merupakan keharusan bagi
manusia. Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia
menjadi lebih tinggi derajatnya daripada derajat hewan. Sebab beragama adalah
salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk suatu agama, manusia harus
memperoleh rasa aman dan damai, tanpa adanya intimidasi. Islam dengan
peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama. Firman Allah Swt.:
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# (
s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4
....
“Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat....”. (QS. al-Baqarah, 2: 256)
Memelihara jiwa ialah memelihara
hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari
tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun
tindakan melukai. Karena bila memasyarakatkan hukuman qishash dapat
terpeliharanya jiwa manusia. Seperti yang sudah Allah sebutkan dalam al-Qur'an:
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
“Dan dalam qishaash itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2: 179)
Dengan demikian artinya, qishash
itu jika dilaksanakan maka akan menjamin kelangsungan hidup setiap manusia. Sepintas,
hukum qishash nampak kejam, tidak manusiawi, primitif, barbar, atau
ketinggalan zaman, bahkan melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Hak hidup adalah
klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat
seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia
akan hilang.
Memang qishash merupakan
hukuman yang kejam, namun hal ini terjadi karena pelaku pembunuhan juga kejam,
bahkan sangat kejam. Seseorang dianggap melanggar HAM ketika hukum qishash
akan dijalankan, namun orang yang telah membunuh orang lain tidak terkena hukum
HAM. Lihatlah, karena ambruknya wibawa dan penegakan hukum, nyawa manusia
menjadi sangat murah. Bila kejahatan ini terus dibiarkan, eksistensi kehidupan
manusia akan terancam.
Dengan menyingkirkan para pembejat
dan orang-orang perusak merupakan metode yang paling efektif untuk tercapainya
pertumbuhan dan kesempurnaan masyarakat. Dalam hal ini, qishash
merupakan sebuah jaminan kehidupan untuk kelestarian sebuah komunitas. Mungkin
karena itulah qishash ditanamkan di dalam naluri manusia.
Dalam hal ini, qishash
merupakan mekanisme hukum dalam mencari keadilan yang diberikan Allah Swt. bagi
manusia yang dirugikan dalam kasus pelanggaran hukum. Tanpa penegakan mekanisme
ini, wajar saja hukum positif yang ada belum mampu memberikan efek keadilan
bagi si korban.
Selain itu, pelaksanaan hukum qishash
akan menjadi pelajaran berharga bagi orang lain, yaitu menimbulkan rasa takut
kepada setiap orang sehingga tidak berani melakukan kejahatan serupa. Mereka
akan berpikir ribuan kali lipat sebelum melakukan pembunuhan atau pencederaan. Qishash,
bila diterapkan, akan menjadi piranti efektif untuk menumbuhkan efek jera di
kalangan masyarakat.
Memelihara akal ialah menjaga akal
agar tidak terkena bahaya (kerusakan) yang mengakibatkan orang yang
bersangkutan tak berguna lagi di masyarakat, menjadi sumber keburukan dan
penyakit bagi orang lain.[9]
Contohnya yaitu dengan mewajibkan hukuman had atas peminum minuman yang
memabukkan, karena dengan demikian dapat terpelihara akal yang menjadi sendi taklif.
Arti penting pemeliharaan akal
dapat ditinjau dari beberapa segi:[10]
1. Agar setiap anggota masyarakat Islam tidak
terganggu, bahkan mendapat limpahan kebaikan dan kemanfaatan. Dengan melihat
setiap individu sebagai bagian dari sebuah tatanan masyarakat, maka akal yang
dimiliki oleh setiap anggota masyarakat tidak bisa diklaim sebagai hak murni
pribadi, akan tetapi masyarakat juga ikut punya hak (fungsi sosial). Sebab
dengan akalnya setiap individu ikut membentuk pola kehidupan masyarakat. Adalah
menjadi hak masyarakat untuk diperhatikan keselamatannya.
2. Orang yang membiarkan/mempertaruhkan akalnya dalam
bahaya (kerusakan), akan menjadi beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Jika
memang demikian halnya, maka terhadap orang itu harus diancam dengan
hukuman-hukuman yang kiranya dapat mencegahnya dari perbuatan nekat,
memperhadapkan akalnya menantang bahaya.
3. Orang yang akalnya terkena bahaya (afat),
akan menjadi sumber timbulnya kerawanan sosial. Masyarakat akan ikut menanggung
resiko, menghadapi kejahatan dan pelanggaran. Maka adalah hak syari’ (pembuat
Undang-Undang) untuk memelihara akal. Hal ini akan mencegah timbulnya
perbuatan-perbuatan buruk dan dosa. Perlu ditegaskan, bahwa hukum Islam
mengandung unsur tindakan preventif, di samping tindakan represif. Oleh karena
itu, syariat Islam menghukum orang yang meminum khamr dan orang yang memakai
sesuatu yang dapat menghilangkan ingatan, yang diqiyaskan dengan khamr.
Memelihara keturunan ialah
memelihara kelestarian manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar
terjalin rasa persahabatan dan persatuan di antara sesama umat manusia.
Misalnya mewajibkan had zina dengan mencambuk seratus kali, seperti
dalam firman Allah Swt.:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ (
wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# (
ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“Perempuan yang berzina
dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nu>r, 24: 2)
Karena dengan
hukuman tersebut dapat terpelihara nasab (keturunan), selain itu untuk
menjaga moralitas masyarakat. Maka dari itu, negara juga dituntut untuk diadakannya
lembaga perkawinan yang teratur. Pencegahan terhadap perbuatan yang merusak
citra diri, sebab hal tersebut menodai amanat yang dititipkan Allah kepada
orang laki-laki dan perempuan agar melehirkan keturunan, sebab terhindar dari
kepunahan dan hidup dalam suasana tentram dan sejahtera. Dengan demikian, anak
keturunannya akan semakin banyak dan kuat serta mudah tercipta persatuan dan
kesatuan di tengah masyarakat. Dan dalam konteks itulah, adanya hukuman zina, qadzaf
serta hukuman ta’zir lainnya yang ditetapkan dalam rangka menjaga
kelangsungan keturunan. Dari uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa hukuman
terhadap pelaku penzina adalah untuk memelihara keturunan dan terhindar dari
penyakit kelamin.
Memelihara harta dilakukan dengan
mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya dengan hukuman potong tangan
kepada pencuri. Seperti dalam firman Allah Swt.:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3
ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Ma>’idah, 5: 38)
Hukuman potong
tangan bagi pencuri adalah untuk memelihara harta milik orang lain, karena
dengan demikian dapat terpelihara harta yang menjadi sumber kehidupan di mana
mereka sangat memerlukannya.
Hukuman-hukuman itu semua dinilai
sebagai usaha mengikis habis kejahatan sampai ke akar-akarnya, dan
diberantasnya kejahatan itu dari buaiannya, sehingga manusia akan hidup dengan
penuh keamanan, ketenangan, dan ketentraman. Tetapi musuh-musuh kemanusiaan
menganggap besar dan berat atas pembunuhan terhadap pembunuh dan memotong
tangan pencuri. Mereka beranggapan bahwa penjahat-penjahat itu menyandang sakit
jiwa. Hukuman seperti itu tidak layak bagi masyarakat modern yang selalu
berusaha untuk membentuk kehidupan yang bahagia dan terhormat. Mereka
mengharapkan belas kasihan masyarakat kepada penjahat, tetapi tidak meminta kasih
sayang dari penjahat terhadap masyarakat, yang justru penjahat itu telah
merenggut nyawa manusia dan mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga
masyarakat selalu dicekam oleh rasa takut, takut keamanan dirinya, hartanya,
dan nyawanya.
Dan secara keseluruhan hukuman atau
sanksi dalam syari’at Islam, sebenarnya tidak mengedepankan hukuman, tetapi
sebagai peringatan, pencegahan pendidikan/pengajaran supaya tidak melakukan
suatu kejahatan.
Konsep hukum sebagai sarana
pembaruan masyarakat mengingatkan kita pada pemikiran Roscoe Pound, salah
seorang pendukung Sociological Jurisprudence. Pound mengatakan, hukum
dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social
engineering), tidak sekedar melestarikan status quo.[11]
Konsepsi dasar dari sociological
jurisprudence adalah hukum positif yang baik dan afektif ialah hukum yang
sesuai dengan living law sebagai inner order dari masyarakat yang
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.[12]
Pokok-pokok pikiran yang melandasi
hukum sebagai sarana pembaruan atau sarana pembangunan adalah:
a. Bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha
pembangunan dan pembaruan memang diinginkan, bahkan dianggap perlu
b. Bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum
diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaruan.
Harapan kedua
fungsi hukum tersebut di atas dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya
yang tradisional untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.[13]
Dengan teori yang diajukan oleh
pemikiran Pound bahwa hukum bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik, maka
jika kita menggunakan hukum syariat Islam (maqashid al-khamsah) tentu
nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat akan lebih baik. Karena sesungguhnya
mengambil manfaat dan menolak madharat adalah menjadi tujuan makhluk. Tidak
hanya karena landasan dari agama itu sendiri tetapi juga akhlak dan moralitas
masyarakat juga ikut terjaga. Yang tentu saja tidak hanya peraturan yang
berjalan, tapi juga petugas dan masyarakat pun juga ikut menjalankan hukum itu
dengan baik.
D.
Cita-cita
Sosial Islam
Melihat kondisi umat Islam yang
saat ini bisa dikatakan dengan kebodohan, kemunduran, keterbelakangan, dan
kemiskinan kemudian banyak kalangan gerakan dan intelektual Islam yang mencoba
membangun kembali semangat yang pernah hilang. Semangat dan cita-cita yang
secara kaffah untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semangat
ini coba digali lagi dari kekuatan tauhid yang selama ini tidak banyak menyentuh
dimensi praktis sosial keummatan.
1.
Tauhid
sosial
Syafi’i Ma’arif
menyebutkan tauhid sosial sebagai dimensi praksis dari resiko keimanan kepada
Allah Swt. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan al-Qur’an, yaitu pada
masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan tauhid sosial Syafi’i
Ma’arif menggambarkan dua hal:[14]
Pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat
Islam. Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan
terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip tauhid. Islam menolak
pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek
kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad
yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada
tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi
pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai.
Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praktis persoalan keummatan.
Artinya, kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan
dalam teks-teks suci. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amar
ma’ruf nahi munkar’. Dalam al-Qur’an, doktrin ‘amar ma’ruf nahi munkar’
dijumpai dalam delapan ayat, tersebar dalam lima surat, dua makkiyah dan tiga
madaniyyah. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman
secara keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik,
ekonomi dan budaya.
Karena
itulah Syafi’i Ma’arif mengatakan[15]
kalau kita tidak mampu mencari penyelesaian secara Islam bagi
persoalan-persoalan kemasyarakatan dan kemanusiaan, maka pilihan yang menunggu
di hadapan kita adalah sekulerisme. Ini artinya secara tidak langsung kita
membenarkan pendapat sementara orang bahwa Islam telah kehilangan relevansinya
dengan nuansa zaman. Ungkapan Islam yang serba kaffah yang sering kita dengar
di kalangan anak muda, sebenarnya mengandung kebenaran, tetapi masih terlalu
jauh dari substansi permasalahannya.
2. Islam dan ketidaksamaan sosial
Ketidaksamaan
sosial (social inequality) terjadi di hampir semua komunitas masyarakat
dunia. Adanya ketidaksamaan sosial ini pada umumnya melahirkan polarisasi
sosial yang dalam banyak hal melahirkan kasus-kasus kemiskinan, kesenjangan,
ketidakadilan, penindasan bahkan perbudakan. Ketidaksamaan sosial ini kemudian
dirumuskan dengan membaginya dalam istilah ‘kelas sosial’. Masyarakat Arab pada
zaman nabi juga terbagi dalam dua kelas sosial, yakni kelas bangsawan dan kelas
budak. Tapi, al-Qur’an juga merefleksikan adanya kenyataan sosial lain mengenai
pembagian kelas sosial ini, seperti konsep golongan dhu’afa, mustadh’afin,
kaum fakir, dan masakin.
Dalam Islam,
Kuntowijoyo mencatat bahwa Islam mengakui adanya deferensiasi dan bahkan
polarisasi sosial.[16]
Al-Qur’an melihat fenomena ketidaksamaan sosial ini sebagai sunnatullah,
sebagai hukum alam, sebagai realitas empiris yang ditakdirkan kepada dunia
manusia. Banyak ayat al-Qur’an yang memaklumkan dilebihkannya derajat sosial,
ekonomi, atau kapasitas-kapasitas lainnya dari sebagian orang atas sebagian
yang lainnya.
Kendatipun
demikian, ini tidak dapat diartikan bahwa al-Qur’an mentoleransi social-inequality.
Mengakui jelas tidak sama dengan mentoleransi. Sebaliknya, Islam justru
memiliki cita-cita sosial untuk secara terus-menerus menegakkan
egalitarianisme. Realitas sosial empiris yang dipenuhi oleh fenomena diferensiasi
dan polarisasi sosial, oleh al-Qur’an dipandang sebagai ajang riel duniawi
tempat setiap muslim akan memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya.
Keterlibatannya dalam perjuangan inilah yang akan menentukan kualitasnya
sebagai khalifatullah fil ‘ardh. Dengan demikian, Islam menghendaki
adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi segenap lapisan
sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga mengedepankan peran
untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang tertindas dan lemah
seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin.
3. Cita praktek sosial Islam
Persoalannya
adalah tidak mudah mewujudkan cita-cita sosial Islam ini. Terlebih lagi dalam
kondisi masyarakat yang dimanjakan oleh arus materialisme sekarang ini. Proses
ini memang harus dimulai dari transformasi nilai-nilai Islam, baru kemudian
dilakukan lompatan-lompatan dalam dataran praktis. Kuntowijoyo punya pandangan
menarik dalam merumuskan proses transformasi ini. “Pada dasarnya seluruh
kandungan nilai Islam bersifat normatif”, demikian Kuntowijoyo.[17]
Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif ini menjadi operasional dalam
kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai normatif ini diaktualkan langsung
menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan
praktis al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung
dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam prilaku. Pendekatan seperti ini
telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu ini cenderung menunjukkan secara
langsung, bagaimana secara legal prilaku harus sesuai dengan sistem normatif.
Cara yang kedua
adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif ini menjadi teori ilmu sebelum
diaktualisasikan ke dalam prilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan
pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat
Islam dalam konteks masyarakat industri, suatu restorasi yang membutuhkan
pendekatan yang lebih menyeluruh dari pada sekedar pendekatan legal. Metode
transformasi nilai melalui teori ilmu untuk kemudian diaktualisasikan dalam
dimensi praksis, memang membutuhkan beberapa fase formulasi: teologi-filsafat
sosial-teori sosial-perubahan sosial. Sampai sekarang ini, kita belum melakukan
usaha semacam itu.
Cita-cita
sosial Islam untuk melahirkan keadilan sosial bagi seluruh alam memang masih
jauh dari cita-cita. Tapi, juga tidak bijak kalau kita hanya menyimpannya dalam
teks-teks suci.
Perjuangan
ke arah itu memang tidak ringan. Tapi itulah tugas kita kalau kita mau
menyumbangkan sesuatu yang anggun untuk kemanusiaan. Perjuangan umat Islam yang
masih bergulat untuk bangun dari kemiskinan dan keterbelakangan, tentu akan
sia-sia jika tak didukung oleh kerja-kerja intelektual yang menopang
terbentuknya suatu tatanan sosial masyarakat seperti yang kita cita-citakan.
Kesimpulan
Ketaatan manusia kepada hukum harus
dilakukan secara nyata (direalisasikan), tidak hanya tahu dan mengerti saja.
Untuk merealisasikan kataatan hukum tersebut manusia harus memutuskan nafsu
dari segala keinginan, atau menghentikan nafsu syahwat pada batas-batas yang
telah ditentukan oleh syara’.
Tiga sasaran hukum Islam adalah:
(1) penyucian jiwa, (2) menegakkan keadilan dalam masyarakat, (3) kemaslahatan.
Dengan teori yang diajukan oleh pemikiran
Pound bahwa hukum bisa merubah masyarakat menjadi lebih baik, maka jika kita
menggunakan hukum syariat Islam (maqashid al-khamsah) tentu nilai-nilai
kehidupan dalam masyarakat akan lebih baik. Karena sesungguhnya mengambil
manfaat dan menolak madharat adalah menjadi tujuan makhluk. Tidak hanya
karena landasan dari agama itu sendiri tetapi juga akhlak dan moralitas
masyarakat juga ikut terjaga. Yang tentu saja tidak hanya peraturan yang
berjalan, tapi juga petugas dan masyarakat pun juga ikut menjalankan hukum itu
dengan baik.
Adanya ketidaksamaan sosial dalam
Islam, banyak melahirkan kasus-kasus kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan,
penindasan bahkan perbudakan. Dengan adanya keadaan seperti itu menyebabkan Islam
justru memiliki cita-cita sosial untuk memperjuangkan cita-cita keadilan sosialnya.
Islam menghendaki adanya distribusi kekayaan dan kekuasaan secara adil bagi
segenap lapisan sosial masyarakat. Dalam banyak perspektif, Islam juga
mengedepankan peran untuk mengutamakan dan membela gologan masyarakat yang
tertindas dan lemah seperti kaum dhu’afa dan mustadh’afin.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zinuddin. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Darmodiharjo, Darji dan
Sidharta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan
Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta,
1970.
--------. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional. Bandung: Binacipta. 1976.
Kuntowijoyo, Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991
Ma’arif, Syafi’i. Islam
Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
24.
Poerbacaraka dan Soekanto. Renungan
tentang Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali, 1982.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta:
Rajawali, 1982.
Supriyadi, “Fungsi Hukum
dalam Masyarakat” dalam: Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya,
penyunting: Lili Rasjidi dan Arief Sidharta. Bandung: Rosdakarya, 1994.
Zahra, Muhammad Abu>,
Ushul Fiqh, Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, tt.