Epistemologi Islam Progresif


Pendahuluan
Meskipun substansinya tidak jauh berbeda dengan terma-terma lain, seperti “Islam Inklusif”, “Islam Transformatif” dan “Islam Liberal”, istilah “Islam Progresif” (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan gender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme.
Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia disebut dengan istilah ‘Progresif’.
Pemikiran Progresif dalam wacana keislaman di Indonesia dalam satu dasa wasa terakhir merupakan fenomena penting untuk dicermati bersama. Hal ini tidak saja dikarenakan produk yang dihasilkan dari wacana tersebut, melainkan juga respons yang muncul terhadapnya. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas secara singkat seputar tentang Islam Progresif, yakni mengenai latar belakang, epistemologi, tantangan, dan masa depannya.

Pembahasan
A.    Latar Belakang Dan Tantangan Ilmiah Islam Progresif
Secara literal, Islam Progresif berarti Islam yang maju. Wikipedia Free Ensiklopedia menterjemahkannya sebagai al-Islam al-Mutaqaddimah dan al-Islam al-Ijtihadiyah. Dari segi kebahasaan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan ini merupakan gerakan yang mencoba memberi penafsiran baru kepada Islam agar ia lebih sesuai dan selaras dengan tuntuan kemajuan dan kemoderenan saat ini.[1]
Penggunaan kata "Islam" yang digandeng dengan kata "Progresif" ini berawal pada tahun 1983 ketika Suroosh Irfani mencoba mempopulerkan dalam tulisannya yang berjudul Revolutionary Islam in Iran: Popular Liberation or Religious Dictatorship. Dia mengatakan bahwa perkataan Progresif telah digunakan oleh aliran tokoh Islam kiri, seperti Sayyid Ahmad Khan dan Jamaluddin al-Afghani.[2]
Islam Progresif  adalah Islam yang menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran Islam yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Hal ini tentu berbeda dengan Islam militan dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan, seringkali untuk meneguhkan keyakinannya, mereka bertindak dengan mengklaim diri sebagai pemilik otoritas kebenaran untuk bertindak secara otoriter terhadap paham dan agama lain.[3]
Islam Progresif  (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis sejak beberapa tahun ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti pengembangan civil society, demokrasi, keadilan, kesetaraan gender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan pluralisme. Di satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, menurut Omid Safi, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal.[4]
Kenyataan inilah yang memberikan inspirasi terhadap munculnya pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah ia disebut dengan istilah ‘Progresif’. [5]
Menurut Ebrahim Moosa, seorang Muslim yang Progresif adalah orang Islam yang perduli terhadap ketidakadilan sosial, politik, dan juga sangat mungkin agama dengan tetap menjalankan ritualitas keislamannya, meskipun cara pelaksanaan ritual yang Progresif terkadang mengundang kontroversi dan kecaman.[6]
Label Progresif diberikan kepada orang atau kelompok yang menghidupkan dinamika evolusi sosial masyarakat dan tidak berpegang kepada ide lama secara taklid buta. Namun demikian, Islam Progresif mempersyaratkan kecenderungan kepada kemajuan. Progresif bukanlah bermakna suatu kategori atau label yang esensialis atau ontologis. Ia juga bukan suatu label untuk sekumpulan atau satu suku Muslim tertentu.[7]
Islam Progresif bukanlah Islam yang ide-ide asas dan fundamentalnya berubah, karena persoalan aqidah tidak timbul sama sekali. Apa yang maju dan berubah itu hanyalah ekspresi normatif dan aspek ritual sosial Islam, seperti cara Muslim berbusana, cara mereka menjalankan aktivitas sosial, dan cara mereka berhadapan dengan persoalan zaman mereka.[8]
Tidaklah mengherankan apabila perubahan-perubahan ini akhirnya mengarah kepada konflik dan antagonisme sosial-politik. Ini disebabkan wacana dan wawasan Islam yang murni itu sudah tentu tidak disenangi oleh mereka yang mendukung status quo. Pesan Islam yang menekankan pada hakikat persamarataan antara manusia, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebebasan berfikir dan bersuara, dan lain-lain, memang akan menggugat dominasi kedudukan kelompok yang berkuasa. Oleh karena itulah tokoh-tokoh Islam Progresif seperti Agus Salim Tjokroaminoto, Syed Syaikh al-Hady dan golongan kaum muda ditolak, diusir, disingkirkan, bahkan diancam oleh musuh-musuh mereka.[9] Selain itu, tokoh-tokoh Islam Progresif yang lainnya adalah Abdul Karim Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah), Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA).[10]
Farish A. Noor dan Omid Safi secara singkat memberikan ciri-ciri dari kelompok Islam Progresif, yaitu:[11]
a.       Mereka cukup kritis terhadap fenomena ketidakadilan, baik dalam perspektif lokal, nasional, dan global.
b.      Mereka memiliki concern untuk menegakkan keadilan di wilayah di mana mereka hidup dan bertempat tinggal.
c.       Mereka kritis terhadap modernisme atau fenomena modernisasi pada umumnya.
d.      Mereka cenderung mengapresiasi dan bahkan menggunakan postmodernisme sebagai alat analisis dan kesadaran dalam melihat fenomena perubahan.
e.       Memiliki kepedulian sebagai titik tolak dan sekaligus kritis terhadap tradisi Islam yang panjang.
f.       Mereka teguh memegangi keyakinan Islam dan apresiasi terhadap seluruh warisan dan tradisi Islam, tetapi dalam waktu yang sama mereka juga kritis terhadapnya ketika mereka dihadapkan dengan fenomena perubahan.
g.      Mereka tidak hanya bertengger di menara gading sebagai intelektual tetapi juga ikut terjun langsung dalam proses penyadaran dan menggerakkan masyarakat.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan antara Islam Progresif dan Islam liberal adalah terletak pada prinsip keterlibatannya. Islam liberal hanya bergerak pada tataran discourse, sementara Islam Progresif tidak hanya bergerak pada tataran discourse, tapi juga melakukan aksi untuk membumikan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, yang dibutuhkan bukan hanya liberalisasi pemikiran, namun juga pembebasan sosial.
Penafsiran ulang secara historis dan antropologis terhadap paham keagamaan terutama yang berkaitan dengan muamalah penting dilakukan untuk tetap mempertahankan fleksibelitas wahyu dengan konteks kekinian. Teks boleh berhenti pada suatu kurun waktu tertentu, tapi penafsiran ulang terhadap teks statis tersebut harus selalu diupayakan. Penafsiran ulang dilakukan dengan mempertahankan kaidah-kaidah yang ada dan memahami betul pesan-pesan moral dari teks keagamaan.[12]

B.     Sumber Kebenaran dan Metodologi Islam Progresif
Secara umum, sumber kebenaran Islam Progresif adalah sama dengan Islam Liberal, yaitu bertumpu pada akal dan realitas. Sedangkan metodologi yang dikonstruksikan adalah melalui pendekatan al-'Ashri, yaitu mengacu pada masa kini dan masa yang akan datang, bukan hanya terhenti dan beriorentasi pada masa lalu, dan bukan pula berhenti di masa kini. Sehingga hukum Islam yang memiliki semboyan Li Tahqi>q Mas}a>lih al-Na>s  dan Rahmatan Li al-'A>lami>n dapat dibuktikan secara nyata.[13]
Islam Progresif meyakini bahwa semua pembelajaran itu mempunyai dasar dan tradisi yang kuat dalam al-Qur'an dan hadis. Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang meneguhkan tentang pentingnya kepedulian sosial seperti tertera dalam surat al-Ma>'u>n. Begitu juga, sejarah kehidupan dan dakwah Nabi juga tampak membela terhadap hak-hak golongan mustad'afin, fakir miskin, dan anak yatim. Dari hal di atas nampak bahwa ciri khas Islam Progresif adalah pada aspek pembebasannya terhadap hak-hak kemanusiaan. Di samping itu, pemikiran Progresif mempunyai gagasan maju, bukan hanya sikap terbuka saja. Maksudnya, ide-ide itu benar-benar berarti. Dalam hal ini cendikiawan mempunyai peranan penting.[14]
Fleksibelitas perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia sangat  relevan dengan  memperkenalkan  etos progresivisme  dalam dinamika dan kristalisasi hukum Islam. Implikasi  dari corak pemikiran Progresif ini adalah  pembebasan manusia  dari hal-hal yang bersifat mitologis, pasif maupun agresif-konservatif.  Atas dasar  etos Progresif ini,  diakui kapasitas manusia  yang memiliki segenap kebebasan (free will, free act).[15]
Dalam gagasan pembaruan pemikiran hukum Islam di Indonesia,  secara substantif,  ada pembedaan pokok  antara ajaran Islam  yang bersifat qath’i (yang absolut) dan zhanni (yang relatif).  Distingsi  antara qath’i  dengan  zhanni  begitu  ditekankan,  karena  dalam hal inilah ruang untuk berijtihad itu terbuka.
Ditinjau isi kandungan al-Qur’an, sebenarnya al-Qur’an tidaklah mengandung segala-galanya.  Dalam QS Al-Maidah (5): 3 dikatakan bahwa  Allah telah menyempurnakan agama,  bukanlah dimaksudkan al-Qur’an telah lengkap dengan segala ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem kehidupan masyarakat  dalam segala seginya.  Konotasi ayat tersebut  khusus  dalam penyempurnaan dasar agama  dan batasan halal dan haram.  Dalam al-Qur’an terdapat 6236 ayat, hanya ada 650  ayat yang berisi tentang iman,  ibadah;   500 ayat  tentang kehidupan masyarakat;  150 ayat tentang ilmu pengetahuan.  Dari sekitar  650 ayat itu, tidak semuanya  bersifat  jelas, tanpa perlu penafsiran. [16]
Meskipun secara keseluruhan al-Qur’an  bersifat  qat’i al-wuru>d (absolut dari Allah), tetapi ada pengklasifikasian  kepada ayat-ayat yang jelas, absolut dan satu artinya (qat}’i al-dala>lah)  dan ayat yang bisa mengandung berbagai pengertian (z}anni al-dala>lah).  Klasifikasi ayat-ayat yang terakhir ini, yang menimbulkan  berbagai mazhab dan aliran  dalam Islam. Pembedaan ini, menuntut  sikap toleran  dalam menerima pluralitas aliran pemikiran keagamaan.  Porsi ini merupakan kavling  penafsiran sekaligus ruang ijtihad, dengan pemfungsian  rasio  secara optimal.
Penekanan pemikiran Progresif adalah memperjuangkan nilai-nilai humanis, termasuk di dalamnya keadilan, kesamaan, kebebasan yang bertanggungjawab, anti-kekerasan dan perhatian pada realitas kehidupan. Selain itu, pemikir-pemikir Progresif sepakat dalam hal perlunya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang tampak bertentangan nilai-nilai humanis tersebut.
Pemikiran hukum Islam Progresif ini  berupaya  menemukan pengetahuan yang mengakar  mengenai ilmu keislaman yang moderat dan adaptatif dengan perubahan sosial, untuk menghasilkan  kepercayaan atau keimanan yang puritan, yang selanjutnya terimplementasikan  dalam tingkah  laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis dengan mengacu pada hukum Islam yang dekonstruktif-elastis  atau amal yang aktif-Progresif. Dalam paradigma hukum Islam Progresif ini  menjadi betul-betul progress dengan semangat kepeloporan,  karena dalam progresivisme inklusif termuat sifat kritis,  yang kritisismenya   terlihat dalam  tekanan yang kuat  dalam membuat  distingsi-distingsi,  kategori-kategori, analisa, dan sebagainya dengan penghargaan yang besar pada peran rasio. Dengan demikian akan dapat ditampilkan hukum Islam yang aplikatif dalam realitas kehidupan sehari-hari, responsif terhadap dinamika perubahan dan kemajuan, tanpa perlu kemasan Islam mistis yang rumit, atau  perwujudan yang terlalu simbolik, melainkan mewujud secara substantif.

C.    Masa Depan Islam Progresif
Sampai sejauh ini, Islam Progresif tidak dapat menuai sebuah kesuksesan dengan alasan yang sederhana, yaitu Islam Progresif telah tersandra oleh politik dan agenda-agenda Negara. Jika ada bentuk Islam Progresif yang bermakna pada saat ini, ia haruslah organik, populer, berakar tidak hanya dalam pengalaman hidup Islam normativ, tetapi juga kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kasus Malaysia dan Indonesia, perjalanan panjang Islam Progresif terhambat oleh beberapa faktor, yaitu:[17]
a.       Tiadanya hubungan-hubungan organik dengan masyarakat.
b.      Tiadanya wacana metafisis-teologis yang setara.
c.       Hubungan dekatnya yang jelas dengan institusi-institusi dan pengendali kekuasaan Negara.
d.      Penyebarannya oleh pemerintah-pemerintah Muslim dan Barat sebagai senjata politik dalam peperangan untuk merebut hati dan pikiran berhadapan dengan kelompok-kelompok Islamis dan oposisi lokal.
e.       Pengasingan dirinya dari kerangka utama wacana dan teologi Islam ortodoks yang membiarkan dirinya menjadi sasaran kritik kelompok-kelompok Islamis dan oponen proyek Progresif.
Satu faktor yang mungkin menambah keseimbangan bagi kaum Islam Progresif adalah robohnya dikotomi oposisional Timur dan Barat, Islam dan Lainan konstitutifnya, yang mungkin datang lebih cepat daripada yang kita pikirkan. Hidup di era krisis dan ketidakpastian global menjadikan segala sesuatu menjadi persoalan dan memaksa masyarakat terlibat dalam otokritik identitas diri dan masa depan mereka. Globalisasi telah menjadikan semakin dekat membawa kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban dalam kedekatan yang tidak menyamakan dan mendislokasikan bagi banyak orang.
Islam yang benar-benar Progresif kini harus menunjukkan dirinya sendiri. Dalam konteks Malaysia dan Indonesia ini berarti mengembangkan suara baru Islam yang committed dengan prinsip-prinsip universalis dan humanitarian yang akan mengkritik penyalahgunaan kekuasaan, baik di dalam maupun di luar negeri. Ini berarti bahwa Islam Progresif haruslah merupakan sebuah madzhab pemikiran Islam yang siap untuk mengelola isu-isu dan persoalan-persoalan seperti demokrasi, masyarakat sipil, politik gender, dan keadilan ekonomi. Itu juga berarti harus menjaga madzhab pemikiran Islam yang secara konsisten mengutuk kasak-kusuk kekuasaan dalam pentas global, dan menguak bagaimana situasi geo-politik memiliki efek yang langsung dan mengganggu terhadap politik domestik.
Islam Progresif mungkin sedang memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi dirinya di beberapa belahan dunia Islam, tetapi masih belum meninggalkan medan pertempuran dan kontestasi. Mengutip pernyataan salah seorang tokoh pemuda Muhammadiyah "inilah saatnya bagi kelompok moderat untuk benar-benar menjadi moderat! Kita tak kehilangan apapun dan mempunyai segalanya untuk kita raih".[18]

PENUTUP

Islam Progresif  adalah Islam yang menawarkan sebuah kontekstualisasi penafsiran Islam yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Islam Progresif merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal dan sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal.
Di antara tokoh-tokoh Islam Progresif adalah Agus Salim Tjokroaminoto (Indonesia), Syed Syaikh al-Hady (Malaysia), Abdul Karim Soroush (Iran), Shirin Ebadi (Iran), Muhammad Shahrur (Suriah), Muhammad Habash (Suriah), Muhammad al-Talibi (Tunisia/Perancis), dan Fathullah Gülen (Turki/USA).
Secara umum, sumber kebenaran Islam Progresif adalah sama dengan Islam Liberal, yaitu bertumpu pada akal dan realitas. Sedangkan metodologi yang dikonstruksikan adalah melalui pendekatan Al-'Ashri, yaitu mengacu pada masa kini dan masa yang akan datang, bukan hanya terhenti dan beriorentasi pada masa lalu, dan bukan pula berhenti di masa kini.
Islam Progresif mungkin sedang memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi dirinya di beberapa belahan dunia Islam, tetapi masih belum meninggalkan medan pertempuran dan kontestasi.


Daftar Pustaka

Ma'arif, Samsul, dkk., Fiqih Progresif : Menjawab Tantangan Modernitas, Jakarta: FKKU Press, 2003.

Moosa, Ebrahim, Islam Progresif: Refleksi Dilematis Tentang HAM, Modernitas dan Hak-hak Perempuan di dalam Hukum Islam, (Jakarta: ICIP, 2004).

Noor, Farish A., Islam Progresif: Peluang, Tantangan, dan Masa Depannya di Asia Tenggara, Yogyakarta: SAMHA, 2006.

Safi, Omid, Progressive Muslims, Oxford: One Word Publication, 2005.

Setiawan, M. Nur Kholis, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Qur'an, Yogyakarta: Elsaq Press, 2008.

Postingan terkait: