Hukum Islam, Moralitas Dan Keadilan


Pendahuluan
Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, di mana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Di situlah membedakan halal dan haram, hak dan batil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.

Pembahasan
A.    Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Kata akhlak berasal dari bahasa arab “khuluq”. Menurut bahasa diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. [1]
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[2]
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.

B.     MORAL
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral diartikan dengan arti susila.[3]
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Ada juga yang mengartikan bahwa moral adalah sesuatu yang sesuai dengan ide-ide umum tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar sesuai dengan ukuran tindakan yang diterima umum.[4]
Berdasarkan kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Berdasarkan pada uraian di atas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketenteraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-Qur'an dan al-hadis.

C.    KORELASI AKHLAK DAN FIQH
Banyak perbedaan pendapat antara kaitan hukum dan moral. Ada yang menghubungkannya sebagaimana menurut para penganut hukum alam, ada juga yang memisahkan secara  tegas antara hukum dan moral sebagaimana diusung oleh para penganut mazhab positivis.
Menurut mazhab hukum alam, predikat negara hukum menggambarkan bahwa segala sesuatu harus berjalan menurut aturan yang jelas; masyarakat yang merupakan warga negara hidup dalam ketertiban, ketenangan, keamanan dan keadilan. Hukum dibuat sebagai salah satu sarana untuk menciptakan kondisi demikian. Sebagai sebuah sarana, dia lebih berjalan pada proses. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka proses harus berjalan secara maksimal pula. H.L.A. Hart (1965) mengatakan bahwa untuk menciptakan keadilan, hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral. Jadi apabila ingin menciptakan keadilan dalam masyarakat maka unsur moral harus dipenuhi. Belum terciptanya rasa keadilan atau dengan kata lain gagalnya penegakan hukum dalam masyarakat kita sampai saat ini karena belum adanya "pengawalan" moral dari aparat penegaknya.
Sedangkan menurut para pendukung mazhab hukum positivis seperti Jhon Austin, bahwa harus ada pembedaan yang jelas antara moral dan hukum. Sebuah realita bisa dianggap sesuai dengan hukum jika tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Negara dan berbentuk aturan yang jelas, walau dalam kenyataannya bertentangan dengan aturan moral yang berlaku di masyarakat.
Dalam ranah hukum Islam, ruang lingkupnya mencakup semua hubungan, baik kepada Tuhan maupun kepada manusia. Karena sumber, sifat, dan tujuannya, hukum secara ketat diikat oleh etika agama. Berdasarkan fungsi utama, hukum Islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan standart mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional. Karena tuhan sendirilah yang mengetahui apa yang benar benar baik dan buruk.[5]

Pokok pembicaraan mengenai hubungan akhlak dengan ilmu hukum adalah

perbuatan manusia. Tujuannya mengatur hubungan manusia untuk

kebahagiannya. Hubungan antara Akhlak dengan Hukum Islam adalah akhlak dapat
mendorong manusia untuk tidak berfikir dalam keburukan, tidak mengkhayal
yang tidak berguna, sedangkan hukum dapat menjaga hak milik manusia dan
mencegah orang untuk melanggar apa yang tidak boleh dikerjakan.
Selain itu, di dalam hukum terdapat sanksi-sanksi yang dapat memberi hukuman
bagi seorang yang memiliki akhlak buruk. Misalnya saja suatu ketika ada
seseorang yang berakhlak kurang baik melakukan suatu tindakan buruk contohnya
mencuri, dia akan mendapatkan sanksi, karena secara hukum dia telah melakukan
pelanggaran. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Sa>biq, pada sanksi pencurian ini ada hikmah yang terkadung didalamnya, diantaranya agar menjaga harta manusia.[6]

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antara akhlak dengan

hukum di sini adalah dalam hukum terdapat perintah dan larangan, jika

melaksanakan yang diperintahkan berarti dapat dikatakan berakhlak baik, namun
jika melanggar apa yang diperintahkan maka dapat dikatakan akhlaknya buruk,
dan hukum memberi balasan atas baik buruknya akhlak.
Hukum Islam berasal dari Allah sebagai sya>ri’, yang kadang dalam bentuk aplikatifnya manusia mempunyai andil dalam penetapan dan pelaksanaannya.[7] Hukum Islam berbeda dengan undang-undang pada umumnya, karena ia terpengaruh dengan tatanan moral, bahkan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammmad, bahwa Islam datang untuk menyempurnakan akhlak/moral manusia. Hal ini sangat berbeda dengan hukum positif buatan manusia yang hanya mengacu pada aspek manfaat, yaitu menjaga sistem dan stabilitas masyarakat meskipun kadang menghancurkan sebagian prinsip moral.
Adapun hukum Islam bertujuan menjaga keutamaan, idealitas dan tegaknya moralitas. Diharamkannya riba misalnya, dimaksudkan untuk menyebarkan semangat tolong-menolong (ruh ta'a>wun) kasih sayang di antara manusia dan melindungi orang-orang miskin dari keserakahan para pemilik harta. Demikian pula diharamkannya minuman keras yang dimaksudkan untuk menjaga akal yang salah satu fungsinya adalah sebagai tolak ukur baik dan buruk.[8]
Muhammad Sa’i>d al-‘Asymawi dalam kaitannya dengan undang-undang di Mesir menegaskan, bahwa untuk legislasi hukum Islam dan melaksanakannya di tengah-tengah masyarakat, diperlukan proses edukasi dan penanaman yang sangat mendalam kepada masyarakat tentang dasar-dasar Islam dan akhlak yang mulia. Jika hal ini tidak dilakukan, maka legislasi itu hanya berbuah sia-sia dan tidak berguna[9]
Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam sangat memerhatikan moral yang berlaku dan hidup di masyarakat, tidak hanya berpatokan pada tekstualitas nash. Hal ini sebagaimana yang diajarkan oleh mazhab hukum alam dengan mengidealkan aturan-aturan yang sifatnya abadi seperti keadilan dan moralitas.

D.    PRINSIP KEADILAN
Para ahli teologi mendefinisikan keadilan dalam dua pengertian: Pertama; “Keadilan berarti memberikan hak yang sama kepada orang lain”. Pengertian kedua; “Keadilan adalah menaruh segala sesuatu pada tempatnya”. Definisi pertama, tidak selamanya memberi hak sama adalah adil, akan tetapi harus disesuaikan kebutuhan dan fungsinya. Sedang definisi kedua, keadilan nyaris sama dengan pengertian sikap bijak.
Menurut Nurcholish Majid, untuk menjelaskan makna keadilan, selain kata “‘adl” sendiri, al-Qur’an juga menggunakan perkataan “qist” dan “wast”. Para ahli tafisr juga memasukkan sebagian dari pengertian kata-kata mi>za>n ke dalam pengertian ‘adl. Semua penertian berbagai kata-kata itu bertemu dalam suatu ide umum sekitar “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur”[10]. Walaupun mempunyai makna yang sama, ada yang membedakan antara ‘adl dan qist. ‘adl adalah keadilan hakiki mencakup keadilan zahiriah dan bat}iniyah, sedangkan qist adalah keadilan yang sifatnya lahiriah saja.
Salah seorang filusuf yunani, aristoteles mempunyai pandangan terkait keadilan dalam hukum. Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Dia  membedakan  keadilan  menjadi  jenis  keadilan distributif  dan keadilan korektif.  Yang pertama berlaku dalam  hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama -rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu  pelanggaran  dilanggar  atau  kesalahan  dilakukan,  maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka  hukuman  yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.
Hal ini berbeda dengan Mazhab Formalistis atau Aliran Positivisme yang secara tegas membedakan antara hukum dan keadilan. Menurut penganutnya, hukum adalah apa yang tertulis dalam undang-undang secara tekstual, terlepas apakah dalam aplikasinya bisa menciptakan akeadilan atau tidak bukan menjadi pembahasan yang urgen.
Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah al-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.[11]
Dalam al-Qur’an banyak sekali ditemukan ayat yang memerintah agar manusia berlaku adil. Di antaranya adalah surat al-Nisa’ ayat 58:
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (٥٨)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Surat al-Nahl ayat 90:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٩٠)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
            Al-Nisa’ ayat 135:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (١٣٥)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Lalu Jamaluddin ‘At}iyyah merinici keadilan itu dalam beberapa bidang, di antaranya:[12]
1.      Keadilan Allah terhadap hamba-hambanya. Hal ini tercermin dalam surat al-Anbiya’ ayat 47:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ (٤٧)
Artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.
2.      Keadilan hakim terhadap orang-orang yang dihakimi. Hal ini dijelaskan dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ” Hakim terdiri dari tiga golongan. Dua golongan hakim masuk neraka dan segolongan hakim lagi masuk surga. Yang masuk surga ialah yang mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Bila seorang hakim mengetahui yang haq tapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Yang segolongan lagi hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui yang haq dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, maka dia juga masuk neraka. (HR. Abu Dawud dan Ath-Thahawi)
3.      Keadilan peradilan terhadap orang-orang yang berperkara
4.      Keadilan individu kepada individu yang lain. Keadilan ini banyak dijelaskan dalam beberapa ayat, diantaranya surat al-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

E.     PRINSIP KEADILAN DALAM FIQH
Jamaluddin At}iyyah menjealskan secara singkat korelasi antara syari’ah (fiqh) dan keadilan. Dengan mengutip pendapat Ibnul Qayyim, Jamaluddin ‘Atiyyah menjelaskan bahwa jika ada tanda-tanda keadilan dengan berbagai cara yang ditemukan, maka di sanalah sebenarnya terdapat syaria’t dan agama Allah. [13]
Lebih lanjut Jamaluddin ‘Atiyyah menjelaskan bahwa jika manusia menegakkan dan merealisasikan keadilan dengan berbagai caranya, maka sebenarnya dia telah mengakkan agama Allah dan hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariat Allah.
Bahkan dengan nada yang lebih ekstrim Jamaluddin ‘Atiyyah– mengutip pendapat Ibnu Taimiyah- menjelaskan bahwa Allah akan menegakkan suatu Negara yang adil walaupun dipimpin oleh seorang kafir. Dan Allah tidak akan menegakkan seuatu negara yang zalim sekalipun dipimpin oleh pemimpin muslim.[14]
Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu :
أذا ضاق الأمر إتسع، إذا اتسع الأمر ضاق

Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit. [15]


Dalam contoh fiqh yang sangat jelas adalah pembahasan tentang poligami, dimana seorang laki-laki boleh berpoligami dengan salah syarat bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Dalam surat al-Nisa’ ayat 3 dijelaskan:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا (٣)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Al-Bukha>ri> dalam al-Ja>mi’ al-S}a>h}i>h} menjelaskan bahwa yang dimaksud adil adalah persamaan dan keseimbangan yang pantas diberikan kepada masing-masing istri. Oleh karena itu, jika suami sudah berlaku adil dalam pembagian nafkah dan urusan rumah tangga lainnya, maka bukan menjadi masalah jika suami tidak bisa berlaku adil dalam urusan hati dan cinta.[16]
Dalam hadis Abu Daud, juz 1 bab فِى الْقَسْمِ بَيْنَ النِّسَاءِ., nomor 2130 dijelaskan bagaiman Nabi Muhammad berlaku adil kepada para istrinya. Hadis nabi:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ - يَعْنِى ابْنَ أَبِى الزِّنَادِ - عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا ابْنَ أُخْتِى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِى الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلاَّ وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِى هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتُ عِنْدَهَا وَلْقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِى لِعَائِشَةَ. فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْهَا قَالَتْ نَقُولُ فِى ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِى أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ (وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا ).[17]
Lalu pada hadis lain, Nabi Muhammad memberi ancaman yang sangat jelas kepada suami yang tidak berlaku adil kepada dua istrinya. Dalam hadis Abu Daud, juz 1 bab فِى الْقَسْمِ بَيْنَ النِّسَاءِ., nomor hadis 2133 :
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِىُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنِ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ ».[18]
            Setiap negara menetapkan aturan sendiri untuk mengembangkan syarat adil dalam bentuk mempersempit terjadinya poligami dengan syarat yang lebih berat, seperti kemampuan membelanjai semua istri-istrinya yang dibuktikan dengan bukti penghasilannya dalam setahun atau sebulan umpamanya.[19]
            Dari beberapa penjelasan diatas sangat jelas bagaimana korelasi antara hukum Islam dan keadilan. Hukum Islam sangat menjunjung tinggi nila-nilai keadilan dalam aplikasi setiap aturan dalam kehidupan hukum masyarakat. Hal ini bernafaskan mazhab hukum alam jika kita tinjau dari aliran hukum umum, dimana para eksponennya berpendapat bahwa  hukum harus bertujuan untuk menciptakan nilai-nilai abadi seperti keadilan. Hukum bukanlah harga mati yang diaplikasikan tanpa mempertimbangkan keadilan bagi objek hukumnya, harus ada pertimbangan-pertimbangan yang logis dan rasional agar tercipta hukum yang mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat.

Kesimpulan
1.      Dari segi definitif, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Berbeda dengan akhlak, moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk
2.      Ada korelasi yang sangat jelas antara akhlak dan hukum Islam. Diantara korelasinya adalah dalam hukum terdapat perintah dan larangan, jika melaksanakan yang diperintahkan berarti dapat dikatakan berakhlak baik, namun jika melanggar apa yang diperintahkan maka dapat dikatakan akhlaknya buruk, dan hukum memberi balasan atas baik buruknya akhlak. Hukum Islam tidak boleh terlepas dari aturan moral.
3.      Para ahli teologi mendefinisikan keadilan dalam dua pengertian: Pertama; “Keadilan berarti memberikan hak yang sama kepada orang lain”. Pengertian kedua; “Keadilan adalah menaruh segala sesuatu pada tempatnya”. Definisi pertama, tidak selamanya memberi hak sama adalah adil, akan tetapi harus disesuaikan kebutuhan dan fungsinya. Sedang definisi kedua, keadilan nyaris sama dengan pengertian sikap bijak. Menurut Nur Kholis Majid, keadilan adalah sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur.
4.      Prinsip keadilan dalam hukum Islam tercermin dalam ungkapan “jika manusia menegakkan dan merealisasikan keadilan dengan berbagai caranya, maka sebenarnya dia telah mengakkan agama Allah dan hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariat Allah.” Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan. Jadi ada korelasi yang sangat erat antara hukum Islam dan keadilan. Hukum Islam disyariatkan dengan tujuan terciptanya keadilan ditengah-tengah masyarakat.

Daftar Pustaka

Zaidan, ‘Abdul Kari>m. al-Waji>z fi> Usu>l Fiqh, ‘Amma>n: Maktabah al-Batha>ir, 1994
Khallaf, ‘Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, Maktabah ad-Da'wah al-Islamiyyah, Mesir, 1956

Al-bukha>ri>, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. al-Ja>mi’ al-S}ahi>h, juz 3, kairo: al-Mat}ba’ah al-Salafiyah

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006

‘Abdurrahman, Jalaluddin. al-Asybah wa al-Naza>ir, Surabaya: Hidayah, 1965
‘Atiyyah, Jama>luddin. al-Naza>riyah al-‘A>mmah li al-Syari>ah al-Isla>miyah, tk: tp, 1988
Al-‘Asymawi, Muhammad sa’i>d. al-Syari>’ah al-Isla>miyah wa al- Qa>nu>n al-Mis}ri>, Kairo: Maktabah Madbu>li al-S}aghi>r, 1996

Coulson, Noel J. Conflics and tensions in Islamic jurisprudence, Chicago & London: The University of Chicagho Press, 1969

Majid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
Anwar, Rosihon. Akidah Akhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, juz 2, Kairo: Dar al-Fath, 1995
Al-Sajasta>ni>, Sulaiman bin al-Asy’ath. S}ah}i>h} Sunan Abi> Daud, jilid 1, Riyad}: Maktabah al-Ma’a>rif li al-Nasyri wa al-Tauzi>’, tt

Az-Zuhaili, Wahbah. Al-D}aru>rah Al-Syar’iyyah, Damaskus: Muasasah al-Risalah, , tt


Postingan terkait: