Postmodernisme dan Kritik Edeologis Terhadap Ilmu Pengetahuan



             
                                     PENDAHULUAN                        
Lintasan sejarah mencerminkan perkembangan peradaban manusia di muka bumi. Gelombang perubahan tersebut terejewantahkan dalam perkembangan kehidupan sosialnya. Manusia senantiasa merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembangan pengetahuan pada periode-periode sebelumnya. Secara teologis, pengetahuan animisme, bergeser menuju dinamisme dari dinamisme menuju ke politeisme, dan politeisme menuju konsep monoteisme. Menyangkut paradigma ilmu pengetahuan, dari teosentris, ke empirisme, dari empiris ke rasionalisme, dari rasionalisme ke positivisme, dari positivisme ke materialisme, dari materialisme ke idealisme dan pada tataran tertentu intuisionisme juga mendapat posisinya sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Berbagai simbol telah diciptakan manusia untuk dilekatkan mewakili bahasa manusia dalam menyebut pergeseran paradigma pemikiran dan pengetahuan manusia dari waktu ke waktu.
Kerangka pikir atas pergeseran pengetahuan manusia mengacu pada sebuah frame besar yakni masa kuno/klasik, masa pertengahan, masa modern dan postmodern. Secara siginifikan masa klasik dan pertengahan di barat, wacana pikir dan rasionalisme manusia, belum mendapatkan porsi yang signifikan. Pada masa modern rasio manusia seolah-olah sebuah kendaraan yang sangat daksyat mengantarkan manusia pada sebuah kehidupan yang seolah-olah nyaman dan penuh kemapanan. Dengan perkembangan teknologi yang terstruktur sedemikian rupa. Disinilah modernisme dicirikan dengan gerakan rasionalisme yang begitu gencar. Rasionalisme telah menggiring manusia pada sebuah masa pencerahan yang disebut dengan mainstream pemikiran modernisme dan fakta sosialnya disebut modernitas. Setelah berjalan sekian dekade kemapanan dan kenyamanan paham modernisme mendapat kritik dan pergeseran paradigma. Pergeseran pemikiran modernisme itu mendapat kritik yang cukup signifikan yang merupakan mainstream gerakan postmodernisme dengan segala lingkup dan permasalahannya. Disinilah  paper ini akan mencoba memberikan paparan yang komprehensip berkaitan dengan Postmodernisme dan kritik ilmu pengetahuan modern.

B. Tinjauan tentang Postmodernisme
Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi,[1] universalisasi tunggal dan kemajuan saints. Postmodern memiliki ide cita-cita, ingin meningkatkan kondisi sosial, budaya dan  kesadaran akan semua realitas serta perkembangan dalam berbagai bidang. Postmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah menyebabkan sentralisasi dan universalisasi ide di berbagai bidang ilmu dan teknologi, dengan pengaruhnya yang mencengkram  kokoh dalam bentuknya globalisasi dunia.
Prinsip  postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional.[2] Jadi, postmodern secara umum adalah proses dediferensiasi dan munculnya peleburan di segala bidang.[3]
Postmodernisme jika diperhadapkan dengan modernisme, memiliki posisi yang beragam. Disatu sisi modernisme  dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Bahkan mengantarkan manusia ke jurang ketimpangan.  Atas dasar kritik ini,  maka perlu gerakan dan ide-ide baru yang disebut dengan postmodernisme. Sedang sebagian lagi beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas.[4]
Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee pada tahun 1939. Sedangkan Charles Jencks,[5] menegaskan juga bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol  Frederico  de  Onis.  Dalam  tulisannya  Antologia  de  la  poesia  espanola  e hispanoamericana (1934),   Yang memperkenalkan   istilah   postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme.[6] Toynbee dianggap sebagai  pencetus istilah  tersebut  dibuktikan dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Pada tahun 1960, istilah postmodernisme berhasil menembus benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. Semisal  J. Francois Lyotard, adalah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul “The Post-Modern Condition” sebagai kritikan atas karya “The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil karya masa Modernitas.[7] Berdasar konseptualisasi ini jika disepakati maka dewasa ini “kita” berada dalam  zaman postmodern. Suatu zaman, di mana pramodern dan modern telah dilewati.
Kata “Post” dalam sebutan postmodernisme  bukan hanya berarti “setelah” (masa berikutnya), postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari nalar intelektual manusia yang terus bermetamorfosis. Disinilah postmodernisme muncul sebagai sebuah ide ke dalam kancah perdebatan dengan berbagai lingkup Diskursus dan dengan segala dimensinya.

C. Dimensi Postmodernisme
Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyakat kontemporer. Postmodern adalah suasana intelektual yang bersifat Ide atau ”isme” postmodernisme. Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernisme. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universalisme ilmu pengetahuan modern. Postmodem menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten yang merupakan bagian identitas dasar yang membuat kokoh dan tegaknya modernisme. Kaum postmodernis mengkritik dan menggantikan semua itu dengan sikap menghargai kepada perbedaan dan penghormatan kepada yang khusus (partikular dan lokal). Lalu membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains. Metode ilmiah ini merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang seolah-olah lebih baik pada masa-masa awal masa pencerahan. Metode ilmiah telah mengantarkan modernisme dalam bentuk praktisnya berbagai teknologi.
Dari paparan ini dimaksudkan bahwa ciri  dari postmodern adalah melingkupi hal-hal secara konseptual ide yang meliputi:[8] Pertama, Ide yang menghendaki penghargaan besar terhadap alam ini sebagai kritik atas gerakan modernisme yang mengeksploitasi alam. Kedua, Ide  yang menekankan pentingnya bahasa (Hermeneutik, Filologi)  dalam kehidupan manusia dengan segala konsep dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan. Ketiga, Ide besar untuk mengurangi kekaguman terhadap ilmu pengetahuan, kapitaslisme, dan teknologi yang muncul dari perkembangan modernisme. Dengan alasan bahwa semua itu telah melahirkan konstruksi manusia sebagai obyek yang mati dalam realitas kehidupannya. Sehingga menjauhkan manusia dari humanismenya itu sendiri. Keempat, ide pentingnya inklusivitas dalam menerima  tantangan agama lain atas agama dominant sehingga terbuka munculnya ruang dialogis. Ini muncul sebagai akibat menjamurnya dan tumbuhkembangnya realitas modernis yang menempatkan ideologi sebagai alat pembenar masing-masing. Kelima, sikap yang cenderung permisive dan menerima  terhadap ideologi dan juga agama lain dengan berbagai penafsiran. Keenam, secara kasuistik munculnya ide pergeseran dominasi kulit putih di dunia barat. Hal itu merupakan ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong  kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan. Ketujuh Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia secara menyeluruh.
Untuk itulah kehidupan dunia harus diselamatkan dari proses kolonialisasi ilmu pengetahuan. Postmodernisme dengan gerakan postkolonialismenya menggempur habis-habisan jerat kuasa pengetahun yang bersembunyi atas nama bendera modernisme. Disinilah bisa kita temukan watak menonjol dari era postmodernisme mengandung kecenderungan diantaranya; mengangkat konsep pluralisme, Mengacu nilai yang bersifat A Historis, penekanan pada konsepsi empiris dalam arti konsep fenomenologi dialektis, dan Penekanan pada nilai individualitas diri manusia sebagai sang otonom sehingga postmodernisme menolak nilai-nilai absolutisme, universalitas, dan homogenitas.[9] Watak utama postmodernisme tersimpul dalam konsep kritik ideologi besar atas ilmu pengetahuan yang disebut dengan dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida . Konsep dekonstruksi Derrida ini merupakan penyempurnaan dari ide destruksi yang dipelopori oleh Heidegger. Meski diantara derrida ada sejumlah persamaan dan perbedaannya dalam memandang realitas sebagai sebuah inspirasi pemikiran manusia.

D.  Problematika dalam Postmodernisme
Beberapa kecenderungan umum yang mendasari gerakan postmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka konseptualisasi, muculnya gerakan postmodernisme  adalah persoalan – persoalan yang menyangkut hal - hal sebagai berikut: pertama,  segala ‘realitas’ adalah konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis. Kedua, sikap Skeptis dan kritis diri terhadap segala bentuk keyakinan tentang ‘substansi’. Ketiga, Realitas bisa ditangkap dengan banyak cara (pluralisme). Keempat, segala  ‘sistem’ konotasi otonom dan tertutup, diganti dengan ‘jaringan’, ‘relasionalitas’ ataupun ‘proses’ yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis. Kelima, segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses dalam interelasinya dengan  bebagai aspek, tidak hanya sebagai oposisi biner (either-or ) dengan dua sisi saja. Keenam, segala hal harus dilihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya, emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dan sebagainya.  Ketujuh, segala hal dan pengalaman yang selalu dimarginalisasi oleh pola ilmu pengetahuan modern dikembalikan ke tengah menjadi fream pemikiran.[10] Misalnya, gender,  feminisme kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama.
Dalam diskusi lanjutan seringkali kata postmodernisme dan postmodernitas diperdebatkan. Walaupun sebenarnya konseptualisasi ini cukup bisa dimengerti bahwa modernisme berarti isme pemahaman tentang ranah ide kognitif. Sementara Postmodernitas, merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk menggambarkan realitas sosial masyarakat post-industri. Sedangkan postmodernisme dimengerti sebagai wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep (isme-isme) modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier.
Persoalan-persoalan postmodernisme muncul, merupakan gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek-aspek aesthetic reflection dari modernitas. Sementara itu postmodernitas dimengertinya sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi-institusi modernitas. Postmodernisme prinsipnya adalah sejajar dengan istilah “modernitas yang teradikalisasi” (radicalized modernity) untuk menggambarkan dunia kita yang mengalami perubahan hebat dan sedang melaju kencang tak bisa lagi dikendalikan. Suatu dunia yang mrucut (runaway world). Jadi apa yang terjadi sekarang ini adalah “modernitas yang sadar diri”.
Postmodernitas harus dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran, rasionalitas, identitas, obyektivitas, curiga terhadap ide kemajuan universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan. Berlawanan dengan norma-norma pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia sebagai yang kontigen, tak berdasar, tak seragam, tak stabil, tak dapat ditentukan, seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme terhadap obyektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang terberikan serta koherensi identitas. Postmodernisme juga dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan jaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai oleh ketakmendalaman, ketakterpusatan, ketakberdasaran; seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian. Demikian inilah segala aspek yang mennjadi persoalan-persoalan dalam mendiskusikan posmodernisme.

E. Teori-Teori  Postmodernisme
Terdapat sejumlah teori yang menjadi unsur pembangun dari kokohnya postmodernisme sebagai sebuah gerakan pemikiran dan ide gagasan di tengah-tengah masyarakat. Teori – teori tersebut adalah   yaitu pertama teori dekonstruksi (Derrida), Kedua, teori estetika resepsi (Jauzz), Ketiga, teori multikultural (Storey), Keempat, teori intertekstual (Kristeva), Kelima, teori hipersemiotik/hiperealitas (Baudrillard), Keenam teori hegemoni (Gramsci), dan ketujuh Teori konsep postkolonial (E.Said)[11]. Berikut penjelasan dari  masih-masing teori dan sejumlah tokohnya.
  1. Teori Dekonstruksi
            Teori dekonstruksi sebagai teori posmodernisme yang memandang realitas sebagai ciptaan, atau ciptaan kembali. Teori ini memposisikan realitas yang akan diketahui atau dipahami sebagai realitas hasil ciptaan atau hasil ciptaan kembali[12]. Disinilah dikatakan bahwa realitas itu sebagai realitas dekonstruksi, yang secara paradigmatis merupakan hasil dekonstruksi postmodernisme atas modernisme. Teori dekonstruksi Derrida berposisi sebagai teori utama dalam membentuk postmodernisme. Konsepsi  dasar pemikiran dekonstruktif ini adalah ide pemikiran yang menempatkan segala realitas sebagai  ditentukan oleh tanda. Tanda tidak memungkinkan untuk dapat menjelaskan segala suasana  nya secara utuh untuk itu perlu di gempur dan dipertanyakan kembali secara kritis.
2.      Teori Estetika
   Teori estetika yang mengabstraksikan keindahan yang bersifat konvensional mengenai estetika realisme (modernisme) Barat. Konsep teoretis estetika postmodernisme sampai saat ini yang pernah ada antara lain estetika parodi, simulasi atau duplikasi, kitsh, pastis (pastiche), camp, skizofrenia.         Secara teori, teori estetika yang selaras dengan konsep dekonstruksi adalah teori estetika resepsi Hans Robert Jauzz, yang sesungguhnya merupakan bentuk penerapan dari konsep estetika yang di dalam teori dekonstruksi Derrida baru muncul secara implisit mendiskusikan tentang flasafaj keindahan sangat kompleks. Mengandung nalar intersubyektif yang sangat luar biasa. Estetika senantiasa disusun dan ditentukan oleh sejumlah variabel yang sangat selaras dengan konsep-konsep konotasi,metaforis simbolis dan lain sebagainya.[13]
3.      Teori Multikultural
   Teori multikultural memuat konsep bahwa dalam hidup ini banyak kultur, dan juga kode budaya. Kode budaya multikultur itu tidak saja berupa keaanekaragaman kode budaya belaka, yang berdiri masing-masing kode budaya dan kultur, akan tetapi juga sebagai kode budaya yang—sebagai proses komunikasi sosial dalam konteks silang budaya—telah pula menjadi kode dan milik semua kultur. Kode budaya telah diterima, dipahami, dan telah menjadi milik semua kultur ini tidak lain merupakan kode multikultur. Teori multikultural ini hakekatnya merupakan bentuk penerapan dari konsep pemikiran utama dalam teori dekonstruksi yakni pluralisme.
4.      Teori Interteks
   Teori interteks Julia Kristeva memiliki pandangan bahwa teks (fakta) tidak otonom (berdiri sendiri) dan individual (terpisah, terisolir), akan tetapi ada dalam hubungan adanya teks-teks (fakta-fakta) lain. Sifat interteks itu tidak saja secara antarteks (berhubungan antara teks dengan teks yang di luar), tetapi juga intrateks (berhubungan antara teks dengan teks yang sama-sama berada dalam satu teks). Teori ini juga merupakan bentuk aplikasi dari konsep teori implisit yang terdapat dalam teori dekonstruksi Derrida, yaitu konsep teori trace (jejak, bekas, atau silsilah) dan present-abscent (kehadiran-ketidakhadiran).[14] Hal ini diterapkan dalam memandang dan memposisikan realitas postmodern.
5.      Teori Hipersemiotik
   Teori hipersemiotik atau disebut juga hiperealitas Baudrillard—dengan mendasarkan diri pada Umberto Eco—ini menegaskan bahwa realitas adalah palsu, bohong. Dalam hubungan dengan realitas yang diciptakan, hal itu berarti, realitas sengaja dipalsukan demi suatu kepentingan tertentu. Dalam konteks penelitian ini, pemalsuan realitas itu dipandang dalam dua dimensi. Pertama, realitas dipalsukan penguasa yaitu demi kepentingan politik kekuasaannya, dan kedua, realitas palsu itu wujud sebagai realitas palsu pula oleh pihak penentang rezim penguasa.
6.      Teori Hegemoni
Teori hegemoni (dan dominasi) Gramsci, juga merupakan bentuk penerapan dari salah satu konsep teoretis implisit dalam teori dekonstruksi Derrida, tepatnya konsep pemikirannya yang secara postmodernis menentang metanarasi[15] yang dimiliki modernisme sebagai realitas universe (semesta) yang menguasai realitas narasi-narasi kecil—karena dianggap the others. Teori hegemoni oleh Gramsci dirumuskan sebagai teori pelaksanaan politik kekuasaan otoritarianisme, totalisme, sentralisme suatu rezim penguasa secara konstitusional untuk mencapai tujuan pengukuhan kekuasaan di samping kelancaraan pelaksanaan kekuasaan.
7.      Teori Konflik
Konflik itu tidak lain adalah konflik postkolonial, yakni dekonstruksi kelompok inferior terhadap cara-cara kekuasaan kolonialisme modern pihak superior sebagai koloni penguasa modern, dengan tujuan membongkar dan menghentikan kolonialisme kekuasaan tersebut, dan menggantikannya dengan cara-cara kekuasaan demokratis postmodern (postdemokrasi). Didasarkan atas fenomena itu maka teori konflik yang dipergunakan dalam analisis teori konflik postkolonial yang dikembangkan oleh Edward Said (dan Foucault) terutama atas konsep teoretis konflik politik dan kekuasaannya. Sebab, pada hakekatnya konflik tersebut merupakan pertentangan antara postmodernisme dengan modernisme. Secara spesifik, teori konflik postkolonial ini mendukung teori dekonstruksi dalam mengungkap fenomena konflik wacana modernisme dan postmodern sebagai konflik postkolonial.[16]
Sebagai inti substansi dari paparan diatas kita bisa menemukan sebuah pemahaman yang lebih komprehensip. Diyakini bahwa awal kelahirannya postmodernisme merupakan kritik para teoritikus terhadap arus modernism yang semakin menggusur humanism dari manusia sendiri. Modernisme berbasis materialism dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan menguras semangat serta nilai masyarakat. Posmodernisme merespon terhadap inti pilsafat modernism. Nietzsche, mengkritik Modernism (sains) sebagai kecurangan yang mengklaim kebenaran yang tetap, netral dan objektif padahal sesuatu itu adalah tidak bisa dibenarkan. Penjelasan ilmiah bukan penjelasan yang sebenarnya; itu hanya menghasilakan deskripsi yang rumit. Sedangkan Foucault curiga bahwa sains bukan disiplin netral seperti diklaim kaum Modernis, ada banyak teori bersaing dan berkompetisi  dalam birokrasi kuasa pengetahuan.
Menurut kaum postmodernis semua fenomena modernisme adalah sebuah rekayasa penuh kepentingan dari agenda kapitalisme. Baudrillard melihat kapitalisme sebagai sesuatu yang mengubah manusia menjadi benda.[17] Demikian inilah kritik fundamental atas ideologi pengatahuan modern yang dilakukan oleh Postmodernisme.    Konsekuensi logis dari modernisme di antaranya, norma-norma religius dan moral di era modern tak lagi berdaya, membendung perilaku manusia, maka norma umum obyektif pun cenderung hilang juga. Akibatnya, kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal  ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya telah memporak porandakan peradaban manusia. Inilah fenomena masyarakat modern yang paling mengerikan.
       Maka disinilah posisi strategis semangat postmodernisme untuk menyelamatkan manusia dengan segala dunianya dari kekacauan dunia yang lebih parah. Meskipun juga pada tahap tertentu ide-ide besar tentang posmodernisme itu sendiri juga merupakan gaya pemikiran yang penuh kekacauan. Diakui  bahwa postmodenisme pada dasarnya mengalami absurditas secara definisi dan konseptual. Tetapi secara substansi postmodernisme secara umum mengajarkan sebuah dasar pemikiran yang menempatkan sensibilitas budaya secara proporsional dan tanpa nilai absolut.
Dengan memperhatikan bagaimana kata-kata yang penggunaan symbol bahasaa oleh modernisme bernuansa yang kuat akan kemampuan kuasa mekanistik birokratis subyek pemikir untuk menganalisa, menyusun, mengontrol dan menguasai. Sedangkan, yang berada di bawah kategori simbol-simbol posmodernisme berindikasi kekuatan yang sama diantara subyek ketidakmampuan (inability) dari subyek pemikir untuk menguasai atau mengontrol –sehingga mereka harus meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya dalam keberagaman. Demikian inilah titik perbandingan secara konseptual modernisme dan era posmodernisme.

F. Kritik Postmodernisme terhadap Ideologi Ilmu Modern
Postmodernisme merupakan suatu fenomena yang  menggejala dalam kancah ide dan pemikiran. Kelahiran postmodernisme merupakan akumulasi konkret atas kritik modernisme yang dirasakan kurang memenuhi tuntutan inteletual dalam menyelesaikan problem-problem sosial dan kemanusian. Di tengah pemikiran dan ide postmodernisme yang carut marut, minimal dapat dikemukakan sejumlah kritik ideologis yang diajukan oleh pemikir postmodernis atas gerakan modernisme,yang mencakup hal-hal sebagai berikut :[18]
Pertama, penafian atas ke-universal-an suatu pemikiran (totalism). Para penganut postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, perlu dirubah dengan cara berpikir dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala aspek kehidupan. Dari sini dapat diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis. Ini jelas sangat berbeda dengan konsep metode ilmiah dan gejala ilmu pengetahuan modern yang menitikberatkan pada konseptualisasi dan universalisasi teori.
Kedua, penekanan adanya pergolakan pada identitas personal maupun sosial secara terus-menerus yang tiada henti. Hal itu sebagai solusi dari konsep yang permanen dan mapan yang merupakan hasil dari kerja panjang modernisme. Postmodernis memberikan kritik bahwa hanya melalui proses berpikirlah  yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lain. Jika pemikiran manusia selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan dapat menjadi penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain.
Ketiga, semua jenis ideologi harus dikritisi dan ditolak. Selayaknya dalam konsep berideologi, ruang lingkup dan gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan prinsip yang permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh kalangan postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama sekalipun.
Keempat, setiap eksistensi obyektif dan permanen harus diingkari. Atas dasar pemikiran relativisme, manusia postmodernis ingin membuktikan tidak adanya  tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran,kebenaran agama sekaligus. Ini tentu sangat berbeda dengan paradigma modernisme pada ilmu pengetahuan modern yang sangat menekakan obyektifitas dalam prosesdur ilmiah untuk mendapatkan kebenaran. Ungkapan Nietzsche(1844-1900),  God is Dead[19]. Atau ungkapan lain seperti “The Christian God has ceased to be believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan di banyak negara Barat, Sebagai bukti atas usaha propaganda mereka yang mengusung tema konsep nihilisme dalam filsafat posmodernisme.[20]
Kelima, semua jenis epistemologi harus dibongkar. Kritik tajam secara terbuka merupakan asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat—yang bersifat prinsip—yang berkaitan dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dam sejenisnya akan diingkari.
Keenam, postmodernisme memiliki ide besar melakukan pengingkaran penggunaan metode permanen dan paten dalam menilai fakta dan realitas serta ilmu pengetahuan. Jika dilihat secara spintas, postmodernist cenderung menerapkan metodologi berpikir “asal comot” dengan mainstream pemikiran yang kurang jelas dan tidak beraturan.[21]
Demikian inilah poin-poin penting kritik ideologis ilmu pengetahuan modern yang digencarkan oleh kaum posmodernisme. Dari paparan tersebut tema besar yang diusung oleh kaum posmodernisme adalah kerangka dekonstruktif (perombakan total) atas kuasa ilmu pengetahuan modern yang berbasis rasionalisme, obyektivitas, strukturalis, sistematisasi, totalisasi, universalisasi dan mengenyampingkan nilai – nilai lain yang justru cukup siginifikan mempengaruhi realitas. Hal –hal lain inilah yang dipikirkan oleh postmodernisme sehingga menjadi isu sentral dalam merumuskan kerangka konseptual ide dan pemikirannya.

G. Kesimpulan
Postmodernisme memiliki pengertian yang cukup ambigu. Postmodernisme merupakan gabungan dan peleburan dari berbagaia gaya pemikiran filosofis. Yang kesemuanya dirangkum dan diikat oleh sebuah nalar unik dan seolah – olah tiada batasan  dengan rambu-rambu yang konkret dan jelas. Kerangka konseptual itu misalnya ruang diskursive yang dikaji, persoalan-persoalan yang dicoba ditemukan jawabannya oleh kaum posmodernisme dan teori-teori posmodernisme yang dilontarkan oleh para teoritikus ilmu pengetahuan. Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern. Zaman modern dicirikan dengan pengutamaan rasio, objektivitas, totalitas, strukturalisasi/ sistematisasi, universalisasi tunggal dan kemajuan saints.
Ciri  dari postmodern adalah melingkupi hal-hal secara konseptual ide melakukan kritik ideologi iolmu pengetahuan modern yang meliputi: pengangkatan derajad martaba manusi. bahasa semoitotik Hermeneutik, Filologi  sebagai language game.  merupakan ide-ide cemerlang yang menjadi daya dorong  kebangkitan golongan tertindas, seperti golongan ras, gender, kelas minoritas secara sosial yang tersisihkan. Ide tentang tumbuhnya kesadaran akan pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia sehingga hal- hal yang mapan dan permanen  harus di dekonstruksi.


DAFTAR PUSTAKA

Benhabib, Seyla, Epistemologies of Postmodernism:A Rejoinder to Jean - Francois Lyotard,Autum:Telos press, JSTOR,1984
Bertens,  Hans, The Idea Of The Postmodern Canada,USA:Routledge: 1995
Calhoun, Craig, Postmodernism as Pseudohistory:Continuitis In the Complexities of Social Action,Chapel Hill: University of North Carolina.1992
Derrida, Jacques , Writing and Difference, Translated, with an introduction and additional notes, by Alan Bass,London :Routledge, 2001
Djelantik, A.A.M, ESTITIKA:Sebuah Pengantar, Bandung:Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, 1999.
Habib, M. A. Rafey, A History of Literary Criticism From Plato to the Present; Main Street, Malden,USA: Blackwell Publishing, 2005
Hassan, Ihab, The Dismemberment of Orpheus: Toward a Postmodern Literature,New York: Oxford University Press, 1982
Jencks,Charles, The Language of Post-Modern Architecture, 4th ed. ,London: Academy Editions, 1984
Lash, Scoot , Sosiologi Postmodernisme, Jakarta:Kanisius,2004
Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri;sintesa filosofis makhluk paradoks,Jakarta: Gramedia, 1985
Lyotard, Jean , The Postmodernisme and Condition, A Report on Knowledge, Oxford:Manchester University press,1984
Norris, Christopher , Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, Yogyakarta:Arruss, 2003
O’Donnel, Kevin,  Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius,2009
Peterson, Nancy J. , History,Postmodernism, and Louise Erdrich's T racks , Autum;JSTOR,2008.
Richhard , Karua Harland,Superstrukturalisme;Pengantar komprehensip kepada semiotika, strukturalisme dan poststrukuralisme, Yogyarta;Jalasutra, 2006.
Rosenberg,Alex, Philosophy of Science;A Contemporary Introduction, New York:Routledge, 2005
Siswanto,Joko, Sistem- system Metafisika Barat,Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998
Slocombe, Will, Postmodern Nihilism: Theory and Literature New york: Routledge, 2006
Sugiharto, Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat.,Yogyakarta: Kanisius. Turner, Bryan S,. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas,Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2000.

Postingan terkait: