Epistemologi Islam Liberal



     Pendahuluan
Di akhir abad ke-20 M, Umat Islam dikejutkan dengan fenomena baru dalam pemikiran Islam. Golongan yang menggemparkan Dunia Islam ini bernama Islam Liberal. Isu-isu pemikiran yang ia angkat tergolong sangat kontroversial. Gerakan ini cukup populer di Indonesia, bahkan menjadi pembicaraan yang hangat di seluruh dunia Islam Timur maupun Barat. Isu-isu itu begitu akrab dengan negara Mesir, India, Pakistan, Bangladesh, Amerika, Perancis, Malaysia, Turki, Jordan, Sudan, Syria, Tunisia, Lebanon, Algeria, Negeria, dan Indonesia.[1]
Munculnya Islam Liberal itu, secara historis sebenarnya suatu aliran pemikiran yang hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pemikiran Islam yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, juga respons terhadap pemikiran yang berkembang di Barat.[2] Salah satu kelompok yang dikritik oleh para aliran Liberal adalah kelompok revivalis pra-modernis  yang merupakan gerakan Islam yang tumbuh dan berkembang pada abad ke-18 sebagai keprihatinan yang mendalam terhadap kemerosotan sosio-moral masyarakat Muslim yang terjadi saat itu.
Yang masuk kategori kelompok liberal adalah para pemikir Islam yang dibangkitkan oleh beberapa tokoh seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Said al-Ashmawi, Muhammed Arkoun, Abdullahi Ahmed al-Nai'im, Asghar Ali Engineer, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang masuk kategori ini.
Menurut isu-isu yang berkembang saat ini, bahwa Islam Liberal dianggap menolak pelaksanaan Shar>i‘ah Islam. Bahkan di Indonesia, Jaringan Islam Liberal dinilai berada dalam barisan terdepan dalam melakukan penolakan terhadap Shari’ah.[3] Di Amerika pula, banyak akademisi muslim yang berkeingian untuk merombak pemahaman orang Islam terhadap Shari’ah Islam. Shari’ah Islam itu dianggap tidak suci (divine),[4] mereka menyarankan agar Shari’ah diubah dan dirombak, kerana pelaksanaannya dianggap sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.[5] Hal ini yang akan banyak dibahas dalam makalah ini.


B.  Latar belakang dan tantangan Ilmiah Islam Liberal
Sebelum masuk pada inti persoalan, kiranya perlu untuk mengedepankan terminologi “Liberal”. Istilah “liberal” dalam Ensiklopedi Britannica (2001), menjelaskan bahwa kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free.[6] Pada awalnya, term liberal digunakan dalam konteks makna: "bebas dari batasan bersuara atau prilaku", seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas (liberal with the purse, or liberal tongue), dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu.[7] Sedangkan liberalisme secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya.[8]
Secara historis, liberalisme merupakan sejarah baru bagi kehidupan masyarakat Barat. Oleh karenanya, biasa juga disebut dengan periode pencerahan, (Western Enlightenment). Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali semasa zaman Renaissance di Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-pendukung negara kota yang bebas (free city states) melawan pendukung Paus. Namun sejak 1776-1788 oleh Edward Gibbon perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu "bebas dari prejudis dan bersifat toleran". Maka term liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah (intellectually independent, broad-minded, magnanimous, frank, open, and genial).[9]
Sedangkan kelahirannya bermula dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Perancis, sistem merkantilisme, feodalisme, dan Gereja. Sebagai satu ideologi, liberalisme bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan Gereja (Renaissance). Lebih populer pada masa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja; menentang sistem merkantilisme dan bentuk-bentuk agama kuno.[10] Demikianlah asal-muasal munculnya terminologi liberal, yaitu berawal dari sejarah barat. Lantas bagaimana dengan istilah liberal dalam pemikiran Islam?
Istilah "Islam Liberal", pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Binder menggunakan istilah 'Islamic Liberalism', sementara Kurzman memakai istilah 'Liberal Islam'.[11] Kuezman mempopuerkan istilah liberal melalui buku “Liberal Islam: A Sourcebook”. Buku ini semakin populer terutama dikalangan mahasiswa dan intelektual Muslim Indonesia setelah diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul: Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global.[12] Secara tersirat keduanya mempercayai bahwa Islam itu banyak; 'Islam Liberal' adalah salah satunya. Jadi istilah Islam Liberal yang dimaksudkan disini adalah "Pemikiran Islam Liberal" yang merupakan satu aliran berfikir baru di kalangan umat Islam.
Selain itu, dalam konteks Indonesia ada sebuah disertasi yang ditulis oleh Greg Barton pada tahun 1995 tentang munculnya pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia. Disertasi yang aslinya bertema: "The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Thought", yang kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia atas kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation pada tahun 1999.[13]
Lewat uraian di atas, kemunculan istilah Islam liberal sejatinya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan yang terjadi di negara-negara lain yang secara keseluruhan bergelut dengan perubahan besar terkait dengan masalah demokrasi; persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang diiringi dengan isu gender atau feminisme. Gerakan feminis ini pada akhirnya memberikan banyak dorongan kepada umat Islam internasional.[14]
Sedangkan Luthfi Assyaukanie (Pendiri JIL) menandai kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Era liberal baginya adalah awal era kebangkitan kesadaran kaum muslim, di mana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Sehingga sejak 1798, Islam liberal genap berusia 209 tahun.[15]
Sedangkan menurut Kurzman, Islam liberal muncul di antara gerakan-gerakan revivalis pada abad ke-18 dan berakar pada diri Syah Waliyullah (India, 1703-1762) dengan karyanya “Hujjah Allah al-Balighah”. Dalam karya ini ia bermaksud mengembalikan ilmu-ilmu Islam melalui studi Hadith.[16] Lebih lanjut Kurzman mengatakan, bahwa kelompok revivalis melihat, bahwa kemerosotan itu terjadi akibat Umat Islam telah menyimpang dari ajaran yang benar. Untuk mengatasi persoalan itu, mereka menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.[17] Sebagai antitesisnya, muncul gerakan medernisme klasik pertengahan abad ke-19 yang bersifat terbuka terhadap Barat. Golongan modenis pada masa tersebut berlatarbelakang pendidikan Barat yang dianggap memiliki segala kebaikan, bahkan dianggap suatu kerugian besar dan kekolotan jika umat Islam tidak tampil untuk memperolehnya.  
Golongan modenism Islam tersebut memperjuangkan pembaharuan dengan menentang taqlid. Salah satu tokoh yang dianggap tokoh utama modenis Islam adalah Muhammad Abduh, ia sebenarnya hanya menginginkan pembaharuan dalam bidang pendidikan, agar umat Islam tidak berfikiran jumud dan mundur. Tetapi ia kemudian menjadi satu aliran yang menjadikan rasionalisme sebagai prinsip dalam setiap pendekatan yang diambil.[18] Namun kelompok modernisme klasik ini, memiliki kelemahan mendasar. Pertama, kelompok ini belum mengolaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Kedua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah pada dan bagi dunia Barat. Hal itu meninggalkan kesan kuat bahwa kelompok modernis bersikap westernized (kebarat-baratan). Menurut Abd. A’la, bahwa pada sisi inilah yang memunculkan gerakan lain dengan nama neo-revivalisme.[19]
Gerakan neo-revivalisme tidak menerima metode dan semangat medernisme klasik. Meskipun realitasnya kelompok ini menerima masalah-masalah substantif yang diangkat gerakan modernis, misalnya ide demokrasi, tapi penerimaan mereka lebih bersifat keterpaksaan.[20] Namun kelompok ini tidak mampu mengembangkan metodologi apapun, bahkan sangat sulit diharapkan dapat menawarkan solusi yang muaskan dalam masalah-masalh aktual yang sedang dihadapi umat Islam. Oleh karena itu, kemundian muncul kelompok pembaharuan lain yang disebut neo-modernisme. Gerakan ini berbeda dengan degarakan-gerakan sebelumya_mereka mencoba untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obyektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan Barat.
Aliran neo-modernis tersebut menekankan perlunya penerapan kembali prinsip dan nilai-nilai Islam kedalam lingkungan sosial yang baru melalui reformulasi metodologi dan konsep. Dengan demikian, neo-modernisme merupakan liberalisme. Kelompok liberal ini, baru pada abad ke-19 Islam menegaskan identitasnya dari Islam revivalis.[21]
Sebenarnya pembaharuan pemikiran Islam itu berawal dari kalangan Islam liberal terutama yang berkebangsaan Mesir. Salah satu tokohnya adalah Rif’at at-Tahtawi (1803-1873 M) adalah pioner inspirator bagi kebangkitan Islam modern di Timur Tengah. Awal mulanya ia cenderung tradisionalis, namun setelah dikirim oleh Muhammad Ali (Presiden Mesir) ke Perancis, kemudian ia menjadi seorang reformis.[22] Puncak Islam liberal di Timur Tengah ada yang mengatakan terjadi pada masa Muhammad Abduh (1849-1905 M).[23] Muhammad Abduh sebagai seorang pendidik tentu memiliki banyak murid yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda; ada yang beraliran kanan (tradisionalis) dan ada yang lebih bercorak kiri (modernis). Berikut klasifikasi penerus Abduh berdasarkan dua corak pemikiran tersebut:[24]
Bercorak tradisional
Bercorak Modernis
1.     Muhammad Rasyid Ridha;
2.     Hasan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin);
3.     Sayyid Qutb.
1.     Qasim Amin;[25]
2.     Ali Abdul Raziq.[26]

Setelah itu, muncul para tokoh-tokoh Liberal dari Timur Tengah seperti Hasan Hanifi (Mesir), Mohammed Arkoun[27] (Maroko), Nasr Hamid Abu Zayd (Mesir), Muhammad Abed al-Jabiri (Maroko), Mahmud Thaha dan Abdullahi Ahmad an-Na‘im (Sudan), Muhammad Sa’id al-Asymawi (Mesir),[28] Khaled M. Abou El Fadl,[29] dan Farid Esack (Afrika). Selain itu adalah Muhammad Syahrur bin Daib, yang merupakan eksponen utama kelompok liberalis dan memiliki konsep pembaruan ilmu ushul fiqh paling revolusioner dan inovartif apabila dibandingkan dengan pemikir lain dalam kelompok liberal.[30] Berikutnya, yang muncul dengan gerakan feminisnya, yaitu Amina Wadud, Fatima Mernisi, Fif’at Hasan, dan Asghar Ali Engginer.[31]
Sedangkan popularitas Islam liberal di Indonesia, dipopulerkan oleh Jalaluddin Rahmad sejak tahun 1994 di Yayasan Paramadina jauh sebelum menjadi isu yang marak.[32] Selanjutnya muncul Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tokoh yang bernama Ulil Abshar Abdallah, Luthfi Assyaukanie, Ahmad Sahal dan lain-lain. Selain itu juga muncul Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dengan orangnya yang bernama Ahnad Fuad dkk, Paramadina, ICIP (International Center for Islam and Pluralism) tokohnya M. Syafi’i Anwar dan LKIS.[33]
Disamping itu, juga muncul dari kalangan Akademisi peteran seperti Nurcholish Madjid (alm), Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Taufik Adnan Amal dan lain-lain. Nurcholish Madjid telah menyinggung masalah Islam Liberal dalam artikelnya di panji masyarakat No. 472 tanggal 31 Juni 1985. JIL mengawali kegiatannya dari diskusi maya (milis) kemudian membuka website dan tolkshaw yang disiarkan tidak kurang dari 10 radio.[34]
Dengan uraian di atas, dapat diambil hipotesis bahwa pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan.

C.  Sumber Kebenaran dan Metodologi Islam Liberal
Secara umum, sumber kebenaran Islam Liberal bertumpu pada akal dan realitas, sedangkan metodologi yang dikonstruksikan adalah berdasarkan ilmu-ilmu modern yang berkembang pesat di Barat. Namun paling tidak gagasan umum aliran Liberal, dibangun dari premis-premis berikut:
1.    Sekularisasi dan privatisasi agama, yaitu tidak mencampuradukkan hal-hal yang bersifat imanen dan transendental. Artinya, negara tidak boleh mengatur telalu detail terhadap perilaku religius dan tidak boleh menghakimi aliran-aliran sektarian;
2.    Pluralisme agama, yaitu tidak ada monopoli kebenaran dalam  beragama bahkan dengan agama lain sekalipun. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah dibolehkannya pernikahan beda agama;
3.    Wahyu progressif, yaitu Islam tidak dipahami sebagai tatanan yang final tetapi sebagai sebuah proses yang harus selalu didialokkan dengan keadaan dan dikontekstualisasikan;
4.    Al-Qur’an adalah “Muntaj ast-tsaqafi” (produk budaya) dan “muntij ats-tsaqafi” (produsen budaya);
5.    Tiada syari’at Islam: syari’at yang ada sekarang adalah formulasi dari ulama terdahulu yang hanya kompatibel untuk masa dan tempat saat itu. Karena Islam Madinah adalah Islam ideal untuk zamannya, karena tantangan dan kondisi berbeda, maka perlu diformulasikan kembali Islam ideal kontemporer;
6.    Perlunya rekonstruksi sejarah al-Qur’an. Tidak ada dominasi mushaf Utsmani yang saat ini berada pada genggaman mayoritas umat Islam, karena pada kenyataannya mushaf itu beragam.[35]
Dari premis-premis di atas, setidaknya sudah ada gambaran bahwa pemikiran yang mereka bangun memiliki corak yang berbeda dengan produk pemikiran yang selama ini selalu dipertahankan oleh para aliran tradisionalis. Menurut penulis, pemikiran yang dibangun itu menggambarkan bahwa realitas teologis ingin dijadikan realitas kemanusiaan. Gagasan seperti itu secara esensi memiliki kesamaan dengan gagasan humanisme Barat yang merupakan produk modernitas, yaitu perubahan yang secara fundamental mengacu kepada subjectum atau manusia diyakini sebagai pusat realitas. Sedangkan epistemologi yang mereka bangun adalah cara membaca realitas keagamaan yang disandarkan pada konsepsi Barat.
Menurut sebagian pemikir kontemporer, pembaharuan di dalam fikih tidak akan menghasilkan hukum yang memadai selama tidak dilakukan pembaharuan dalam metodologinya.[36] Kelompok Liberal dalam membangun metodologinya ingin menghubungkan antara teks suci (nass) dengan realitas dunia modern lebih berpijak pada makna implisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luar dari teks.[37]
Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut mereka (kaum Liberal) perlu dilakukan dekonstruksi (al-qath’iyah al-Ma’rifah) kemudian melakukan rekonstruksi (at-tawashul al-ma’rafy) terhadap bangunan teori hukum atau ushul fiqh klasik.[38] Sebab metode ushul klasik itu telah membuat ijtihad menjadi stagnan. Oleh karenanya, menurut kalangan liberalis pembatasan yang telah dibakukan oleh ushuliyyun tidak relevan lagi bagi generasi berikutnya, khususnya gerasi sekarang.[39]
Untuk itu, perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap fenomena Qur’ani dan Islami. Al-Qur’an merupakan titik tolak yang utama dalam setiap studi sejarah kritis pemikiran Islam-Arab. Sedangkan problem yang muncul saat ini adalah masalah interaksi antara wahyu, kebenaran, dan sejarah yang berlangsung sejak 622 M hingga sekarang. Menuruh Arkoun dalam membaca sejarah, ia mengingatkan agar mempertanyakan tiga hal, yaitu al-mansiyyi (yang dilupakan), al-mutanakkar (yang dihapuskan), dan la mufakkar fih (yang tak terpikirkan).[40]
Dalam konteks ushul fiqh menurut Abu Sulaiman, bahwa ushul fiqh yang berkembang saat ini terdapat kelemahan karena terlalu tekstual dan terikat pada bahasa sehingga cenderung melupakan aspek historis teks, dimensi waktu dan tempat. Hasan al-Turabi (pembaharu dari Sudan) mengatakan, bahwa sekarang perlu metodologi integratif dalam ushul fiqh, yaitu metodologi yang berbasis pada prinsip musyawarah dan ijma’ untuk membangun formula universal, meskipun tetap mengakomudir perbedaan pendapat tentang kebenaran. Bahkan al-Turabi menegaskan, bahwa ushul fiqh tradisional sudah tidak relevan dalam memenuhi kebutuhan modern, sebab ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika saat itu.[41]
Namun gagasan yang lebih bersifat liberal adalah berasal dari tokoh Pakistan, yaitu Fazlur Rahman, ia adalah salah satu tokoh yang mengusung pembaharuan interpretasi dalam studi al-Qur’an.[42] Ia menawarkna teori double movement (gerakan ganda) dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sebagai basis dalam membangun ushul fiqh. Menurut teori ini, perlu pembacaan hubungan timbal-balik antara wahyu ketuhanan (devine revelation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang provan.[43] Gagasan Fazlur Rahman ini merupakan konstruksi teoritis dengan menggunakan hermeneutika al-Qur’an, namun sayangnya sampai ia meninggal dunia pun, ia belum menghasilkan metodologi yang utuh dan operasional.
Fazlur Rahman menyarankan agar sekularisme modern digabungkan dengan sumber-sumber Islam.[44] Bagi Fazlur Rahman tindakan membandingkan hukum Allah dengan hukum manusia adalah satu bentuk sekularisme, kerana menurut pandangan beliau, hukum Allah juga adalah hukum buatan para ulama. Sedangkan Nasr Hamid Abu Zayd dengan lebih berani mengatakan bahwa, Islam adalah agama sekular dan hanya sekularisme, yang menurut beliau berasal dari perkataan ilmu.[45]
Selain tokoh-tokoh di atas muncul juga ilmuan dari Syiria yang bernama Muhammad Syahrur, ia menjadi salah satu tokoh yang mampu membuat metodologi yang aplikatif dari pada tokoh seblumnya. Teori yang diperkanalkan adalah “nazhariyyah al-Hudud” (teori batas). Selain Syahrur adalah an-Na’im. Kedua tokoh inilah yang secara konsisten membicarakan pembaharuan dalam hukum Islam disamping al-Asymawi.
Menurut Wael B. Hallaq, Syahrur merupakan eksponen utama kelompok Liberalis yang memiliki konsep pembaharuan dalam bidang “Islamic Legal Theory” paling revolusioner dan inovatif.[46] Oleh karena itulah, pemikiran Syahrur ini akan diurai lebih jauh lagi oleh penulis dalam makalah ini. Karena Muhammad Syahrur berusaha menciptakan teori baru dalam bidang ilmu ushul fiqh yang menurutnya lebih sesuai dengan waktu, situasi dan kondisi masyarakat modern dewasa ini.[47] Menurut analisa syahrur, bahwa salah satu hal yang ironis adalah bahwa seseorang pada masa ini berusaha memperthankan pemehaman fiqh klasik, maka ia berarti mempertahankan Islam. Lebih dari itu ia mengira telah berpegang teguh pada Kitab Allah.[48] Sedangkan pada abad modern ini, di saat Barat telah memiliki teknik analitik seperti yang diciptakan oleh Descartes pada abad ke-17 M,[49] dan Matematika analitik yang diciptakan oleh Newton pada abad ke-18 M., sementara teori himpunan dikenal pada abad ke-20. Sementara, bangsa Arab telah dan masih tenggelam dalam tidurnya yang nyenyak dan ilmu pengetahuan mereka hanyalah ilmu tentang halal dan haram.[50]
Jika ulama ushul fiqh telah menetapkan secara teoritis prinsip “berubahnya hukum karena perubahan zaman,”[51] maka kita menetapkan secara historis dan praktis – dengan pertolongan Allah – bahwa hukum dapat berubah juga dengan berubahnya sistem ilmu pengetahuan. Maslahnya sama sekali bukan kecerdasan atau kandungan, dan bukan pula masalah takwa atau tidak. Ini semata-mata masalah problematika yang kita alami dan sistem ilmu pengetahuan yang kita miliki sehingga kita dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh para pendahulu kita.[52]
Untuk kepentingan tersebut, Syahrur membangun asumsi dasar, bahwa tata urutan sumber hukum hanyalah bentukan sejarah, maka harus dilakukan perumusan ulang sumber hukum Islam dalam upaya untuk membentuk sejarah baru. Syahrur merevisi pandangan para pakar terdahulu berkaitan dengan sumber hukum Islam. Bagi Syahrur, sumber hukum Islam terdiri dari tiga, yaitu: akal, realitas[53] (kealaman dan kemanusiaan), dan ayat-ayat muhkamat.
Sumber hukum di atas, digunakan untuk meletakkan dasar teorinya dalam konteks definisi kontemporer pada penetapan hukum syari’at atau legislasi hukum Islam (al-tasyri’ al-Islami), yaitu usaha pentapan hukum yang berperadaban dan humanis dalam lingkup batas-batas hukum Allah. Karena dalam kondisi tertentu hukum dapat diberlakukan tepat berada pada batas-batas tersebut. Meski demikian, mayoritas penetapan hukum akan berada di dalam atau di antara batas-batas hukum Allah. Kecenderungan inilah yang menjadikan legislasi Islami bersifat lentur (hanifi) atau selalu berkembang mengikuti kecenderungan, perilaku, dan adat-istiadat manusia serta tingkat peradaban mereka dalam sejarah, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun politik.[54] Apalagi situasi zaman modern cenderungan berubah secara cepat, bergerak dinamis. Disinilah teori hudud yang ditawarkan, dimana manusia diperkenankan bergerak dinamis di antara limit yang telah ditentukan Allah.[55]
Menurut Wael B. Hallaq, teori hudud Syahrur merupakan ketentuan suci yang dimuat dalam nass (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan mengumpulkan sebuah batas minimal dan maksimal bagi semua perbuatan manusia. Batasan minimal adalah batasan terrendah yang diisyaratkan oleh Syari’ dalam kasus tertentu, sedangkan batas maksimal adalah batasan tertinggi dari hukum syari’.[56]
Hudud Allah oleh Syahrur diibaratkan sebagai garis-garis yang lurus dan konstan (ats-tsawabit) sebagai poros Y, sementara pada saat yang sama memberi ruang kepada manusia untuk bergerak dinamis (at-taghayyur) dalam hukum sebagai poros X. Perpaduan antara yang konstan (Y) dan sesuatu yang berubah (X) inilah hakikat hukum Islam yang dirumuskan Syahrur.[57] 
Untuk itu, Syahrur menetapkan 6 (enam) prinsip batas, yang dibentuk dari perpaduan antara sumbu Y (hudud Allah) dan sumbu X (realitas historis manusia). Berikut keenam batas tersebut:[58]
1.    Batas minimal (al-hadd al-adna);[59]
2.    Batas maksimal (al-hadd al-a’la);[60]
3.    Batas minimal dan maksimal yang datang bersamaan, namun tidak menyatu dalam satu titik atau satu garis;[61]
4.    Batas maksimal dan batas minimal yang menyatu dalam satu titik atau satu garis;[62]
5.    Batas maksimal yang mendekati garis lurus, namun tidak ada persentuhan;[63]
6.    Batas maksimal positif yang tidak boleh dilampaui; batas minimal negatif yang boleh dilampaui.[64]
Berdasarkan enam macam batas di atas, Muhyar Fanani berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan hudud Allah ada dua tugas yang harus dilakukan seorang mujtahi: pertama, menemukan hudud Allah dalam ayat-ayat Umm al-Kitab;[65] Kedua, membentuk hukum yang tidak menyalahi hudud Allah, setelah hudud Allah tersebut ditemukan.[66]
Dengan demikian, teori hudud merupakan teori baru yang berpijak pada paradigma historis-ilmiah dalam hukum Islam yang memandang bahwa Syari’at Allah sesungguhnya hanyalah syari’at yang berupa batas-batas (hudud) dan bukan syari’at yang konkrit (‘ayni). Sedangkan mujtahid memiliki tugas menemukan hudud Allah, dan membentuk hukumnya sendiri sesuai dengan tuntutan realitas, namun tidak boleh menyalahi atau melampaui hudud Allah. Teori hudud inilah yang dimaksudkan pencetusnya untuk mewujudkan hukum Islam modern yang dinamis atau tidak statis, fleksibel, dan relevan atau sesuai dengan tututan zaman kontemporer.
Selain Syahrur, ada Abdullahi Ahmed An-Na‘im[67] , ia adalah salah satu pemikir Islam yang secara khusus memberikan perhatian terhadap pengembangan konsep HAM dalam pemahaman Islam.[68] Ia melakukan pembacaan secara fundamental dan melampaui batas penafsiran Islam konvensional. Tawaran konsep HAM melalui pembacaan kembali terhadap al-Qur’an inilah yang menjadi dasar gagasan pembaharuan hukum an-Na‘im dalam merespon HAM internasional. Tawaraan an-Na’im ini telah mendapatkan respons dari berbagai kalangan, ada yang bersimpati atau mendukung, dan ada pula yang antipati atau menentang gagasan an-Na’im tersebut.
Sedangkan gagasan an-Na’im tersebut, adalah Syari’at historis. Gagasan ini berasal dari gurunya “Mahmoud Muhammed Thaha” yang populer dengan gagasan “evolusi Syari’at,” dan salah satu karya Mahmoud Mohammed Thaha ini adalah “The Second Message of Islam”. Karya ini juga telah diterbitkan oleh Syracuse University Press, pada tahun 1987.
Menurut an-Na’im agenda umat Islam masa kini adalah bagaimana umat Islam dapat memformulasikan syari’at Islam (hukum Islam) modern dengan tetap terikat secara mutlak pada sumber-sumber suci agama Islam (Qur’an dan Hadith). Disisi lain, umat Islam harus memanfaatkan sekularisasi yang dialami umat Islam selama ini, agar Syariat Islam dapat teraktualisasi spenuhnya dengan menampung semua aspirasi-aspirasi kemanusiaan yang berlangsung di abad modern ini. Artinya, an-Na’im tidak menanggalkan dan menghilangkan produk ijtihadiyah ulama sebelumnya, ia mengakui khasanah ulama klasik tersebut, namun karena metodologi yang telah dibangun oleh ulama sebelumnya dianggapnya telah menjadi tidak relevan karena situasi terus berubah, sehingga diperlukan sebuah metodologi yang baru dan memadai. Begitulah ilustrasi umum dari Abdullahi an-Na’im.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, an-Na’im kemudian menetapkan agenda untuk mewarnai gkobalisasi dengan moralitas keagamaan.[69] Hal ini dibangun berdasarkan premis-premis berikut:[70]
v Doktrin dan praktik agama bersifat dinamis, dipengaruhi proses perubahan dan adaptasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal;
v Kekuatan dan proses globalisasi tak peduli pada isu lingkungan dan kesehatan publik; tidak responsif terhadap tuntutan keadilan sosial tanpa pengaruh suatu kerangka acuan moral;
v Suatu masyarakat sipil global baru sedang tumbuh, yang dimotifasi oleh agama dan difasilitasi oleh globalisasi. Kekuatan ini mampu menyusupkan batasan moral bagi globalisasi melalui solidaritas lintas-agama demi penegakan keadilan.
Atas dasar premis-premis tersebut, an-Na’im mengklaim bahwa ada keinginan umat Islam untuk menerapkan kembali syari’at Islam sebagai satu-satunya aturan hukum di dalam mengatur perilaku setiap umat Islam, baik dalam lapangan privat maupun publik. Disisi yang lain, umat Islam kini dihadapkan pada persoalan atau dilema penerapan syari’at dalam sistem kenegaraan modern. Sedangkan respon yang dimunculkan oleh akademisi muslim tidak bersesuaian dengan kondisi umat Islam saat ini. Apalagi konsep negara Islam klasik sangat diskriminatif, seperti dalam hal mengenai kedudukan warga negara non muslim dan perempuan dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam selalu dijadikan kelas nomor dua. Padahal, konsep negara bangsa (nation state) yang kini menguasai wacana dunia tentang sistem kenegaraan modern, yang telah menetapkan tentang kesamaan hak dan kewajiban setiap warga negara tanpa adanya diskriminasi, ras, etnis, jender, dan agama. Oleh karenanya, menurut an-Na’im perlu mewujudkan perubahan ke arah universal dan demokratis sesuai dengan tuntutan zaman ini, yang disebutnya pembaharuan yang memadai.[71]
Abdullah an-Na’im menyatakan, bahwa tahap yang pertama dalam perhatiaannya adalah untuk memperlihatkan bahwa hukum publik dari syari'ah, seperti yang dikembangkan oleh pendiri ahli-ahli hukum Islam tidak benar-benar memadai, dengan membuat kemungkinan untuk menggantikan aspek-aspek syari'ah tanpa melanggar perasaan religius dari setiap umat islam.[72] Oleh karenanya, umat Islam perlu mereformulasikan kembali hukum Islam berdasarkan sumber-sumber otoritatifnya.
Kelemahan yang terkandung dalam metode ulama terdahulu adalah adanya cara pandang (word view) yang kurang tepat terhadap Qur’an. Al-Qur’an dalam pemikiran hukum Islam–dalam sejarahnya–selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan. Cara pandang yang demikian pada gilirannya telah melahirkan pemisahan secara mekanis antar teks-teks yang berisi ketentuan hukum.[73] Teks hukum selalu didekati secara atomis dan harfiyah yang ditopang dengan Hadith dan ijma’ yang dipandang sebagai mashadir al-tasyri’ (sumber hukum) kedua dan ketiga.[74] Hal ini menunjukkan betapa terikatnya para ulama terhadap zahir nass tanpa perlu menengok gagasan-gasan lain dari al-Qur’an, seperti keadilan dan persamaan hak manusia. Disisi yang lain, pemahaman tersebut telah menjauhkan dari akar kesejarahannya.[75]
Untuk itu, an-Na’im melakukan penafsiran ulang terhadap ajaran Islam yang ramah HAM, maka ia melakukan pembedaan antara syari’ah hostoris dan prinsip Islam. Dengan pembedaan tersebut, ia meninggalkan pemikiran hukum Islam yang telah mapan dalam memandang status syari’at.[76] Menurut an-Na’im bahwa keberadaan Syari’at historis adalah untuk memperbaiki situasi yang ada saat itu. Ketika situasi   yang ingin diperbaiki sepenuhnya berubah, maka metodologi masa lalu tidak dapat dipaksakan lagi untuk diterapkan pada konteks yang sepenuhnya berbeda dengan konteks masa lalu itu.[77]
Dalam buku Tholhatul Choir, Ahwan Fanani (ed), yang berjudul: Islam dalam berbagai pembacaan kontemporer, bahwa ada tiga kasus yang menjadi perhatian an-Na’im ketika ia menilai relevansi syari’at historis dengan konteks sekarang, yaitu: Pertama, masalah perbudakan; Kedua, diskriminasi wanita; Ketiga, diskriminasi non muslim. Tiga kasus ini yang menjadi persoalan dalam mencari titik temu syari’at Islam dengan HAM internasional. Meskipun an-Na’im menyadari telah ada upaya dari penulis Islam kontemporer untuk merumuskan HAM versi Islam, ia tetap melihat usaha tersebut tidak memadai karena masih memandang rendah persoalan perbudakan dan diskriminasi terhadap wanita dan nonmuslim.[78]
Sedangkan bangunan Metodologi an-Na’im adalah menjadikan metode “naskh” sebagai metodologi pembaharuan yang memadai untuk membangun syari’at dimaksud. Ia memilih “naskh al-hukm du>na at-tila>wah”, sebagai satu-satunya jalan untuk mempertemukan sumber-sumber yang secara mencolok bertolak belakang.[79] Menurut an-Na’im mubah-nya menggunakan teori naskh yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya bukan hanya milik perintis. Umat Islam kontemporer pun juga memiliki hak yang sama untuk menggunakannya sesuai kebutuhan  zamannya.[80]
Metode naskh yang ditawarkan an-Na’im berbeda dengan teori naskh pada umumnya,[81] karena teori naskh yang dibangun oleh an-Na’im lewat pendekatan evolusi sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh gurunya, Mahmoud Muhammed Thaha.[82] Menurut mereka berdua bahwa teori  naskh[83] lebih menekankan pada hakikat dan kondisi pewahyuan, sehingga pemberlakuan ayat-ayat al-Qur’an sangat kondisional dan kontekstual. Menurutnya, ayat-ayat yang telah mansukh pada waktu tertentu dapat dipergunakan lagi apabila kondisinya menghendeki, sehingga memiliki relevansi. Artinya, setiap ayat-ayat al-Qur’an mengandung validitas dan aplikabilitasnya sendiri.
Oleh karena itu, umat Islam bebas memilih ayat yang mana yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Seperti dimasa lalu, umat Islam telah memilih ayat yang relevan dengan kebutuhan zamannya, sekarang kaum muslim kontemporer dapat memegang teguh ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung prinsip-prinsip HAM, yang menjadi tuntutan masyarakat dunia saat ini.[84] Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber syari’at merupakan respons Islam terhadap realitas kongkrit masa lalu, maka ia juga harus menjadi syari’at baru sebagai respons terhadap reaalitas masa kini.[85]
Berdasarkan prinsip evolusi[86]syari’ah yang berasal dari Mahmoud Muhammed Thaha, yaitu teks-teks al-Qur’an yang didukung solidaritas eksklusif umat Islam yang diwahyukan selama periode Madinah untuk memberikan dekungan psikologis bagi komunitas umat Islam yang sedang tumbuh untuk menghadapi kekerasan nonmuslim. Berbeda dengan ayat-ayat itu, pesan dasar dan abadi Islam, sebagaimana yang diwahyukan al-Qur’an pada periode Mekkah, menyebarkan solidaritas bagi seluruh umat manusia. Sebagai kebutuhan yang mendesak bagi perdamaian yang merata bagi masyarakat dunia, umat Islam harus lebih menekankan pada pesan abadi al-Qur’an periode Mekkah tentang solidaritas universal, daripada solidaritas eksklusif umat Islam yang berlandaskan pada pesan tradisional periode Madinah.[87]
Metodologi yang diajukan an-Na’im untuk mendukung perwujudan HAM internasional berdasarkan nilai-nilai keagamaan dengan mengakomudasi perbedaan diantara manusia seperti ras, suku, agama, jender, adat-istiadat dengan menempatkan Islam sebagai agama rakyat yang egaliter, karena Islam sebagai prinsip hidup manusia diakui sebagai agama rasional yang memiliki basis teologis yang kuat.
Dengan demikian, gagasan an-Na’im dapat dipahami sebagai usaha yang ingin mengembalikan posisi Islam sebagai spirit dan sumber nilai universal, bukan sumber hukum secara langsung. Oleh karenanya, an-Na’im tidak mempertentang ajaran Islam dengan ajaran atau produk kontemporer, baik ditingkat nasional maupun internasional, dengan bahwa yang dikehendaki oleh Islam adalah nilai-nilai dasarnya yang universal tersebut.
Sedangkan aliran liberal dalam konteks Indonesia memiliki beberapa tipologi pemikiran. Menurut klasifikasi Zuly Qadir bahwa Islam liberal di Indonesia penuh warna.[88] Namun Kaum Islam Liberal di Indonesia — di antaranya kata Jalaluddin Rakhmat dalam “Dahulukan Akhlak di atas Fikih” (2002), adalah kecenderungan untuk mengabaikan nash-nash yang qath’i sekalipun, termasuk kecenderungan “menyimpangkan makna-makna nash”.[89] Di antara intelektual muslim liberal yang memiliki perhatian kuat pada diskursus tentang al-Qur’an adalah Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Ulil Abshar Abdalla, dan Komaruddin Hidayat.[90]
Menurut Amin Abdullah, al-Qur’an sebagai kitab suci atau wahyu ilahi sebenarnya selalu bergumul dan berdialog dengan realitas yang dihadapi masyarakat pada zaman yang selalu berubah secara terus-menerus tanpa berhenti.[91] Oleh karenanya, pemahaman terhadap al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari pembacaan terhadap realitas sosial yang terus bergerak dinamis, sehingga untuk memahaminya perlu mengedepankan ijtihad dengan pola mengawinkan perspektif historis dan empiris sehingga mampu menghasilkan pemahaman keislaman yang komprehensif.
Sedangkan menurut Abdul Munir Mulkhan, bahwa pandangan saat ini dan mendatang yang didasarkan pada al-Qur’an ternyata  sering terjadi paradoks antara sejarah dari kehidupan mereka dengan yang diyakini dari al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena tidak banyak orang yang bisa menjelaskan prediksi al-Qur’an mengenai masa depan sejarah secara memuaskan kecuali setelah sejarah menunjukkan kesesuaian ayat dengan realitas sosial. Ketidak mampuan memprediksi masa depan juga disebabkan karena kegagalan kaum muslim menangkap visi intelektual dan visi kemanusiaan dari al-Qur’an itu sendiri.[92] Pendapat ini secara implisit menyatakan bahwa perlu dilakukan ijtihad yang bersesuaian antara ajaran agama yang ada dalam kitab suci dengan realitas perkembangan umat manusia.
Sedangkan gagasan Ulil Abshar Abdalla lebih mendasarkan pemahamannya pada Islam sebagai orgasme dan realitas sosial, dengan mengajukan empat hal  yang memungkinkan terjadinya penyegaran dalam pemahaman Islam: Pertama, perlunya penafsiran Islam non literal, yakni penafsiran yang lebih substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut  nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Kedua, memisahkan antara ajaran Islam yang merupakan kreasi budaya setempat dengan Islam yang merupakan nilai fundamental. Ketiga, memahami umat Islam sebagai bagian dari kelompok masyarakat lain, yakni sebagai universal umat manusia. Keempat, memisahkan secara jelas antara wilayah kekuasaan politik dan wilayah kekuasaan agama.[93]
Pandangan Ulil Abshar tentang al-Qur’an, bahwa pembacaan terhadap wahyu harus disesuaikan dengan koteks sosial yang berkembang. Berikut pernyataan Ulil:
­­­-----Al-Qur’an memiliki konsepsi yang cerah dan optimis tentang manusia (konsep takrim). Dalam pemahaman saya, manusia di sini tentu saja bukan wujud abstrak yang diidealisasikan, tetapi adalah manusia riil dengan seluruh pengalaman konkrit yang dimilikinya. Pemuliaan atas pengalaman manusi berarti juga mengakui kompleksitas pengalamannya yang tidak bisa begitu saja ditundukkan oleh teks yang dianggap universal. Wawasan teologi ultrateosentris dan kemudian berujung pada supremasi teks, dengan demikian mengakibatkan suatu efek alienasi atau pengasingan, yaitu manusia diasingkan dari pengalamannya sendiri, dan diperintahkan begitu saja untuk tunduk kepada kesakralan teks yang dianggap mengatasi dan mengabstraksikan seluruh pengalaman konkrit manusia.[94]
  
Dengan demikian, Ulil Abshar sebenarnya tetap menempatkan al-Qur’an sebagai sesuatu yang hidup, bukan sebagai sesuatu yang mati dan beku. Akan tetapi, wahyu al-Qur’an bisa menjadi teks mati dan beku akibat pemahaman umat Islam sendiri yang menempatkan teks wahyu di atas segala-galanya, padahal teks wahyu senantiasa terkait dengan konteks sosial yang ada disekitarnya.[95]
Menurut pemahaman Komaruddin Hidayat[96] bahwa pemahaman terhadap wahyu Tuhan itu sering memunculkan banyak ide, perasaan, dan pengalaman batin yang sulit dikomunikasikan dengan bahasa konvensional. Sekalipun telah banyak kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama zaman lalu, namun pikiran-pikiran atau tafsir-tafsir baru atas wahyu Tuhan terus muncul dari zaman kezaman.[97] Kemudia ia menawarkan hermeneutika sebagai salah satu metode untuk memahami al-Qur’an. Berikut pernyataannya:
-----Dengan mendasarkan pada hermeneutik, jelas bahwa sebuah interpretasi terhadap al-Qur’an tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah pengetahuan absolut karena bagaimanapun juga ia merupakan produk penalaran manusia. Ketika pemahaman terhadap al-Qur’an secara ontologis diabsolutkan maka ia telah menyamai atau bahkan menyaingi al-Qur’an itu sendiri. Namun sebaliknya, bagi seorang muslim, jika p-pesan al-Qur’an tidak diabsolutkan maka dia bisa jatuh pada nihilisme. Dengan demikian, produk pemahaman dan penafsiran terhadap al-Qur’an adalah bersifat relatively-absolut. Dia memiliki nilai relatif karena hasil penalaran manusia yang bersifat terbatas. Tetapi dia (juga memiliki nilai-ed) absolut kerena antara batas tertentu nalar manusia dan firman Allah pasti ada kesinambungannya, mengingat keduanya merupakan ciptaan Tuhan yang telah mendisain penalaran manusia sedemikian rupa agar nalar dan firman-Nya bisa berhubungan. Jika penafsiran ini bisa diterima, dapatlah dimaklumi mengapa semua penafsiran ulama terhadap al-Qur’an selalu memiliki kecenderungan tertutup, mapan, dan baku, tetapi selalu ada kemungkinan, bahkan memerlukan untuk diperbesar pintu masuk bagi penafsiran baru.[98]

Dari beberapa uraian di atas, dapat dinarasikan bahwa, Amin abdullah lebih menekankan pada pendekatan historis-empiris dalam memahami al-Qur’an, Abdul Munir Mulkhan tampak menggunakan perspektif historis-sosiuologis, Komaruddin Hidayat menawarkan hermeneutika sebagai salah satu metode untuk memahami al-Qur’an, dan Ulil Abshar Abdalla lebih mendasarkan pemahamannya pada Islam sebagai orgasme dan realitas sosial.
Dengan demikian, komunitas muslim liberal di Indonesia lebih membuka ruang selebar-lebarnya dan bahkan mendorong menculnya penafsiran-penafsiran baru atas al-Qur’an dan juga pada ajaran agama secara umum. Pada prinsipnya yang hendak ditegaskan oleh mereka bahwa pemahaman manusia terhadap al-Qur’an hanyalah relatif, tidak ada pemahaman yang absolut, sekalipun teks al-Qur’an sendiri bersifat absolut. Nilai lebih gagasan komunitas liberal tersebut adalah tidak lagi hanya mendasarkan pemahamannya akan ajaran Islam dari al-Qur’an dan hadith saja, melainkan mereka juga merujuk pada realitas sosial empirik yang terjadi di Indonesia.  

D.  Masa Depan Islam Liberal
Pemikiran Islam liberal nampak jelas pengaruhnya terhadap signifikansi wacana global. Para generasi muslim liberal telah mentransformasikan pemikiran mereka kepada masyarakat luas hingga saat ini. Hal itu didukung oleh faktor meluasnya tuntutan atas modernisasi dan sekularisasi. Karena faktor-faktor itu terus bergerak cepat tanpa bisa dicegak oleh siapun juga, karena kemajuan itu telah menjadi karakteristik dunia modern. Namun problem-problem yang dimunculkan juga sangat akut, seperti problem sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini sering tidak kali tidak mampu dijawab oleh teologi dan hukum Islam klasik. Pada konteks Indonesia sistem demokrasi telah menjadi pilihan, pluralitas telah menjadi kenyataan yang tak dapat ditolak. Oleh karenanya tema-tema tentang demokrasi, pluralisme agama, kesetaraan jender, dan deformalisasi syari’ah terus menjadi menstream utama dalam diskursus ke Indonesian sejak era reformasi.
Faktor lain yang ikut berkuntribusi besar atas suburnya aliran muslim liberal adalah pendidikan. Banyak para pemuda NU dan Muhammadiyah yang berlatarbelakang pendidikan diluar negri. Dalam perjalanan intelektual mereka sudah barang tentu terjadipertukaran informasi dan sekaligus transformasi pengetahuan. Hal ini diperkuat dengan banyaknya karya-karya luar negri yang bisa diakses dengan mudah, seperti karya-karya Hasan Hanfi, Ahmed an-Na’im, Mohammed Arkoun, Farid Esack, Fatima Mernisi, Rif’at Hasan, Amena Wadud, Khaled Abou el Fadl, Fazlurrahman, Muhammad Syahrur, al-Asymawi, dan pemikir-pemikir liberal lainnya’ disamping pemiran-pemikiran barat seperti bidang filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, sejarah dan lain-lain telah menjadi materi-materi yang cukup diminati digolongan pemuda.
Dengan perangkat-perangkat di atas, tentu kebangkitan Islam yang dibawa oleh para muslim liberal memberikan nafas bagi penguatan-penguatan nilai-nilai Islam dalam perspektif kecenderungan diskurusus humanisme global. Oleh karenanya, munculnya Muslim liberal dari waktu kewaktu semacam menjadi alternatif bagi penyikapan persoalan kontemporer, bahkan cara pemecahannya tampak cerdas, meskipun selalu mendapat tentangan secara serentak dan bertubi-tubi dari berbagai kalangan tradisionalis, namun karena memiliki kecocokan dengan konsepsi politis sehingga tetap mampu menguasai regulasi isu ditingkat elit.
Namun demikian, ditinjau dari perspektif religio-politik, sejarah Indonesia modern bisa dilukiskan sebagai sejarah ketegangan abadi antara proyek sekularisasi dan Islamisasi negara dan masyarakat. Konflik antara kedua arus ini berjalan sedemikian akut, karena proyek sekularisasi di negri ini pada mulanya bukan merupakan evolusi sosial kaum pribumi yang tumbuh secara alamiah, melainkan hasil rekayasa pihak eksternal sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan terpenting bumiputtera.[99]
Proyek sekularisasi berlangsung secara meluas tanpa rekayasa yang dilakukan secara sadar, karena nilai-nilai sekular yaang berkaitan dengan pendidikan modern, sains, teknologi, dan perkembangan ekonomi disebarkan secara efektif oleh kehadiran media masa. Capaian ini didorong oleh dua kepedulian prinsipil, yaitu untuk menegakkan kedaulatan internal negara secara penuh dan untuk memengaruhi reformasi sosial.
Harus diingat pula bahwa pengambilalihan secara legal formal regulasi-regulasi sosial utama oleh yurisdiksi negara pun selama ini tidaklah menjamin penerimaan secara aktual oleh komunitas muslim ditingkat akar rumput.[100] Artinya, meskipun aliran liberal bisa menguasai wacana ditingkat elit akan tetapi tidak pernah bisa menghabisi inisiatif lokal dan otoritas informal dari para pemimpin agama lokal yang berkehendak mempromosikan syari’at dalam praktik kehidupan komunitas-komunitas Islam setempat.
Dengan uraian di atas, dapat diambil hipotesis bahwa masa depan Islam leberal pun yang terkualifikasi sebagai pendukung barat tidak akan mampu menguasai paradigma masyarakat Indonesia secara total. Hal ini seakan membenarkan tesis yang dibangun oleh Geertz (1981: 16), bahwa menyerang Indonesia (khususnya jawa) adalah adaptif, menyerap, pragmatis, dan gradualistis, sebuah cara kompromi yang parsial, janji setengah hati, dan penyingkiran palsu. Lewat tesis Geetz tersebut, Yudi Latif mengatakan bahwa sekularisme radikal merupakan hal yang aneh di Indonesia, sekularisasi dominasi negara dan masyarakat tidak pernah terjadi, serta individu-individu yang bercorak sekular pun tetap merupakan minoritas kecil.[101] Hal ini juga berlaku bagi kaum liberal maupun fundamentalis ortodok selama ini cenderung tidak diterima di akar rumput.
Artinya, apa pun orientasi ideologi Muslim dan apa pun respons Muslim terhadap pengaruh Barat serta usulan-usulan untuk merehabitasi sejarah umat Islam, medan Muslim untuk perjuangan politik sesungguhnya masih dipengaruhi karakteristik identitas dan masyarakat religius. Dalam banyak kasus, keterlibatan agama dalam politisasi massa hanya berupa proses politik singkat dalam masyarakat, meskipun faktor-faktor agama pada masa kini dan masa depan akan terus memainkan peran penting sebagai bagian dari tatanan politik intelektual dan emosional mereka.
Oleh karena gerakan-gerakan kaum liberal yang teropsesi dengan gagasan universalisme, cenderung menyederhanakan sejarah manusia menjadi satu jalur tunggal dan model tunggal. Bahkan teori-teori yng mereka bangun sering kali simultan, namun demikian, karena konteks sosial dan sejarah beragam, respons manusia pun menjadi heterogen. Sementara itu, tatkala era modern mengalami transformasi, pemahaman kita akan masyarakat dan diri kita sendiri pun diambil alih oleh realitas yang baru.
Yang kemudian kita butuhkan adalah mendset yang lebih arif dengan selalu mempertimbangkan kajian-kajian yang cermat atas wacana dan realitas lokal. Dengan selalu memegangi beberapa prinsip dasar, yaitu: tawasuth, tsamuh, tawazun, ta ‘addul, dan al-Musyawah. Dengan dengan demikian kita lebih bisa mengadaptasikan Islam secara pesuasif tanpa harus mereduksi sumber-sumber qat’i , sehingga terbentuk kehidupan yang kaffah.

Kesimpulan
1.    Asal-muasal munculnya terminologi liberal berawal dari sejarah barat,  karena istilah "Islam Liberal" pertama kali digunakan oleh para penulis Barat seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Ia menandai bahwa Islam liberal bermula dari gerakan medernisme klasik pertengahan abad ke-19 yang memperjuangkan pembaharuan dengan menentang taqlid dan bersifat terbuka terhadap Barat. Luthfi Assyaukanie menandai kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Sedangkan penegasan kelompok liberal baru terjadi pada abad ke-19. Dalam konteks Indonesia mulai muncul sejak era ke 90-an, yang dipertegas oleh sebuah disertasi yang ditulis oleh Greg Barton pada tahun 1995 tentang munculnya pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia, yang kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia atas kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation pada tahun 1999. Kemudian dipopulerkan oleh Jalaluddin sejak tahun 1994 di Yayasan Paramadina jauh sebelum menjadi isu yang marak. Berikutnya muncul Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Paramadina, ICIP (International Center for Islam and Pluralism), dan LKIS.
2.    Pendekatan kaum liberal dengan melihat implikasi relativisme yang labil terhadap teks Quran dan Sunah yang berakibat pada desakralisasi wahyu Tuhan yang mutlak benarnya. Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Para rivalnya menyimpulkan bahwa metodologi yang dibangun kaum Islam Liberal mengandung “kemuskilan” pada relativisme yang labil pada makna teks, namun masih banyak juga yang mengapresiasi mengingat kaum liberal telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan Islam dan persoalan umat.
3.    Masa depan liberal tidak akan berhasil secara total, karena meskipun bisa menguasai wacana ditingkat elit, tetapi tidak pernah bisa menghabisi inisiatif lokal dan otoritas informal dari para pemimpin agama lokal yang berkehendak mempromosikan syari’at dalam praktik kehidupan komunitas-komunitas Islam setempat.


Daftar Pustaka
A’la, Abd., Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, Jakarta: Dian Rakyat, 2009.

Arkoun, Muhammad, Pemikiran Arab, alih bahasa: Yudian W. Aswin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

--------, Rethinking Islam; Common Question, Uncommon Answer, Boulder: Westview Press, 1994).

Abdalla, Ulil Absar, Pandangan Muslim Liberal, Artikel: Harian Kompas: 18/11/2002.

An-Na’im, Abdullah Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right and International Law, New York: Syracuse University Press, 1990.

Assyaukani, Akar-akar Liberalisme Islam; Pengalaman Timur Tengah dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL, 2002.

Assyaukanie, Luthfi, Dua Abad Islam Liberal, Artikel di kolom Bentara Kompas, 2/3/07

Al-Asymawi, Muhammad Said, Ushul Asy-Syari’ah, Terjemah Luthfi Thomafi dengan judul: Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LkiS, 2004.

Abdullah, Amin, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh  dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer,(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga & ar-Ruzz Press, 2003.

--------, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Baqir, Zainal Abidin, Filsafat Islam, dalam Makalah Pelatihan, History of Thoughts; Meaning is Socially, Historically, and Rhetorically Constructed, Yogyakarta: Satunama, pada Tanggal 16-21 Juli 2007.

Choir, Tholhatul & Fanani, Ahwan (ed), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Fanani, Muhyar, Fiqh Madani: Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: Lkis, 2009.

Hallaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theory: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cambridge: University Press, 1997.

Hallaq, Wael B., A History of Oslamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cambridge: University Press, 1997.

Husaini, Adian & Hidayat, Nuaim, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siya>sah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Putra Grafika, 2007.

Mochlasin Sofyan, Evolusi Syari’ah, Surabaya: Temprina Media Grafika, 2009.

Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and the Orientalists, Lahore: Islamic Publications, 1994.

Mulkhan, Abdul Munir, Teologi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Rahman, Fazlur, Cita-cita Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Rahman, Daden Robi, Infiltrasi Hermeneutika Terhadap Penafsiran ayat-ayat Ahkam, Ponorogo: CIOS, 2010.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakrta: UI-Press, 1993.

--------, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Sholihan, Mohammad Arkoun & Kritik Nalar Islam: Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press, 2009.

Sholihan, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Arab, Semarang: Walisongo Press, 2009.

Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, alih bahasa., Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004.

--------, Prinsip  dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, alih bahasa., Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: Elsaq Press, 2007.

Sofyan, Mochlasin, Evolusi Syari’ah: Lebih Dekat dengan Mazhab Liberal Abdullah Ahmed An-Na’im, Surabaya: Temprina Media Grafika, 2009.

al-Turabi, Hasan, Fiqh Demokratis; Dari Tradisionalisme Kelektif Menuju  Medernisasi Populis, Alih bahasa., Abdul Haris dan Zainul A., Bandung: Ar-Rasy, 2003.

Thaha, Mahmoud Mohammed, The Second Message of Islam, New York: University Press, 1987.

Zayd, Abu, Naqd al-Khitab al-Dini Kaherah: SinA li al-Nashr, 1994.

Postingan terkait: