Madzhab Sejarah, Sociological Jurisprudence, Pragmatic Legal Realis


   PENDAHULUAN
Kajian filosofis dalam teori hukum sebagaimana dikatakan Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya. Dan teori menempati posisi yang sangat vital. Tidak heran jika para ahli yang mencoba membedah hukum selalu berusaha memvalidasi argumennya dengan mencantumkan teori tertentu untuk memberikan justifikasi bahwa apa yang dijelaskannya sudah memenuhi standar teoritis.[1] Namun demikian, teori juga tidak bisa lepas dari unsur subyektivitas, apalagi jika berbicara tentang suatu hal yang dimensinya konfleks seperti hukum. Oleh karena itu, muncul berbagai aliran atau mazhab yang mencoba memahami hukum dalam perspektif yang berbeda sesuai dengan aliran masing-masing.[2]
Mazhab sejarah, Sociological Jurisprudence, Pragmatic Legal Realism merupakan beberapa dari berbagai aliran Hukum di dunia yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN

A.      Mazhab Sejarah
Mazhab sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan salah satu aliran pemikiran Hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dengan inti ajaran mazhab ini adalah das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).[3] Penganut madzhab sejarah fokusnya mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa bengsa (Volksgeist).[4]
Ada dua pendapat yang menyatakan tentang kelahiran mazhab ini, bahwa mazhab ini lahir sekitar awal abad ke-19.[5] Ada juga yang mengatakan bahwa mazhab ini lahir sekitar abad ke-18.[6] Menurut penulis, bahwa kelahiran mazhab ini lebih tepat pada awal abad ke-19, sebab pelopor dari mazhab ini yang dikenal adalah Friedrich Carl von Savigny hidup pada tahun 1770-1861, begitu juga pelopor lainnya Puchta yang hidup pada tahun 1798-1846, dan Henry Sumner Maine hidup pada tahun 1822-1888. Sekalipun Friedrich Carl von Savigny lahir tahun 1770, namun kecil kemungkinan jika gagasan itu dimunculkan ketika berusia muda. Selain itu dalam buku Satjipto Rahardjo dikatakan bahwa dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata. Dan baru pada tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch.[7] Dengan demikian satu abad dari 1900 (lahirnya Burgerliches Gesetzbuch) adalah awal abad ke-19.
Setiap aliran Hukum yang ada menyatakan pemikiran-pemikiran tentang hukum, yang pada hakikatnya lahir sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya dan dipengaruhi oleh beberapa factor. Begitupun kelahiran mazhab sejarah dipengaruhi oleh beberapa factor yang dinilai sebagai penyebab. Berikut ini beberapa pendapat yang terhimpun:
1.    Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum hukum, terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan, dan kondisi nasional.[8]
2.    Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia.[9]
3.    Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu system hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.[10]
4.    Pengaruh Montesqueu dalam bukunya L’esprit de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antar jiwa suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke-19.[11] Menurut W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.[12] Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Montesque melihat adanya dua kekuatan yang bekerja dalam individu secara biologis; kekuatan egoistis yang mendorong manusia untuk menuntut hak-haknya, dan kekuatan moral yang membuatnya sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban disamping adanya hak-hak.[13]
5.    Masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon Bonaparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1872-1840), guru besar pada Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit pada tahun 1814, yang berjudul Uber Die Notwendigkeiteines allegemeinen Burgerlichen Recht For Deutchland (tentang keharusan suatu hukum perdata bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan suatu Negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah seluruh gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan undang-undang dalm kitab. Hal ini merupakan kebanggan Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa diberbagai daerah hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat yang khas dan bahwa orang harus menghormati apa yang dijadikan adat, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang dibawa olehnya. Sudah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa yang mungkin direalisasikan.[14] Ahli hukum perdata jerman ini mengehendaki agar di Jerman diberlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code Napoleon). Seperti diketahui, setelah Prancis meninggalkan Jerman Timbul masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan di Negara ini. Juga merupakan suatu reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.[15]
6.    Abad ke-18 adalah abad universalisme dalam berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi salah satu  penyebab munculnya madzhab sejarah yang menentang universalisme.[16]
7.    Menurut Friedmann Aliran ini juga Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia atas keadaan-keadaan zamannya.[17]
Dari uraian di atas, secara tidak langsung sebagaimana yang diungkapkan Lily Rasjidi,[18] bahwa factor yang melatarbelakangi kelahiran mazhab sejarah adalah reaksi terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif.
Beberapa tokoh dalam aliran ini berikut beberapa pandangannya sebagai berikut:
1.    Friedrich Karl Von Savigny (1770-1861)
Von Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan timbulnya bahasa suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian. Karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal. [19] Pandangan ini jelas menolak cara berpikir penganut aliran hukum alam.[20]
Von Savigny menegaskan inti ajarannya adalah das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Sehingga menurutnya Hukum bersumber dari jiwa bangsa (Volkgeist). [21] Ketika Von Savigny mengatakan demikian, maka:
1.    Tidak ada hukum yang universal dan abadi. Sebab jiwa ini berbeda-beda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminannnya nampak pada kebudayaannya masing-masing yang berbeda-beda. Oleh karena itulah hukum berbeda pada setiap waktu dan tempat.[22]
2.    Hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, sebab Hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Ia mengingatkan, untuk membangun Hukum, study terhadap sejarah suatu bangsa mutlak perlu dilakukan.[23] Pendapat Savigny seperti ini, bertolak belakang pula dengan pandangan positivisme hukum.[24]
Pokok-pokok ajaran madzab historis yang diuraikan Savigny dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Hukum ditemukan, tidak dibuat. Sebab Hukum berada pada keadilan jiwa bangsa, oleh karena itu perundang-undangan kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.
2.    Hukum tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas.
Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1.    Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai Volkgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2.    Tidak selamanya peraturan perundang-undangan itu timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras’
3.    Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun Volkgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja ada yang perlu menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum
4.    Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari hukum Prancis.[25]

2.    Puchta (1798-1846)
Puchta adalah murid dari Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya. Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volkgeist) yang bersangkutan.[26] Hukum tersebut, menurut Puchta dapat berbentuk:
1.    Langsung berupa adat istiadat
2.    Melalui undang-undang
3.    Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.[27]
Lebih lanjut Puchta membedakan pengertian “Bangsa” ini dalam dua jenis:
1.    Bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “Bangsa Alam”
2.    Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu Negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (Negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.[28]
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam Negara. Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang. Maka adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum seudah disahkan oleh Negara. Oleh karena itu, menurut Huijebers, pemikiran Puchta ini sebenarnya tidak jauh dari teori Absolutisme Negara Dan Positivisme Yuridis. Pengembangan pemikiran Pucta ini banyak diikuti ahli Hukum jauh di luar Jerman. Bahkan sampai terasa di Indonesia melalui ahli Hukum Belanda.[29]
Demikian besar pengaruhnya sehingga melahirkan cabang ilmu Hukum baru yang dikenal dengan Hukum adat yang dipelopori Van Vollenhoven, Ter Haar, dll.
Selanjutnya jika pokok-pokok ajaran madzab sejarah itu ditampilkan dalam suatu matriks akan tampak seperti pada tabel berikut ini:

3.    Henry Sumner Maine (1822-1888)
Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran Von Savigny. Pemikiran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang study perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang da pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat yang telah maju yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah. Kesimpulan penelitian itu kembali memperkuat pemikiran Von Savigny yang membuktikan adanya pola evolusi pada berbagai masyarakat dalam situasi sejarah yang sama.[30]
Maine mengetengahkan teorinya yang mengatakan bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakat dari sederhana ke masyarakat kompleks dan modern.[31] Pada masyarakat modern hubungan antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-pihak yang berkenaan.[32] Hukum pada masyarakat berkembang melalui fiksi, equity dan perundang-undangan.[33]
Dengan demikian, mengembangkan suatu tesis yang mengatakan bahwa perjalanan masyarakat menjadi progresif disitu terlihat adanya perkembangan situasi yang ditentukan oleh status kepada pengguna kontrak.[34]
Dengan demikian, aliran mazhab Hukum sejarah meyakini bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis.
Namun demikian, mazhab ini dinilai memiliki kelemahan, yakni (1) Tidak diberinya tempat bagi ketentuan sifatnya tertulis (perundang-undangan), padahal dalam masyarakat modern, ketentuan yang bentuknya tertulis diperlukan demi adanya kepastian hukum, terutama untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang kekuasaan yang sifatnya absolute. (2) Tidak ada kejelasan mengenai kesadaran hukum, dengan kata lain, konsepsi kesadaran hukum yang sifatnya abstrak. (3) Konsepsi mengenai jiwa rakyat tidak memuaskan banyak pihak, bahwa hukum yang baik adalah bersumber dari jiwa rakyat ini, tetapi dalam sebuah tulisannya yang lain yang membahas hukum Romawi, bahwa hukum Romawi merupaka hukum terbaik.[35]
Kelebihan pemikiran hukum dari madzab sejarah adalah sikap tegas yang mengatakan bahwa hukum itu merupakan derivasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Dalam kaitan itu dapat diasumsikan bahwa hukum yang demikian akan mempunyai daya berlaku sosiologis. Oleh karena hukum pasti sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tegasnya, satu-satunya sumber hukum menurut madzab ini adalah kesadaran hukum suatu bangsa. Selanjutnya, kebaikan madzab ini adalah ditempatkannya kedudukan hukum kebiasaan sejajar dengan undang-undang tertulis. Sikap semacam ini dapat mencegah kepicikan orang akan wujud hukum yang utuh.
Namun demikian, madzhab ini berintikan pada kesadaran Hukum masyarakat. Sikap seperti itu menegasikan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, Savigny menentang perubahan hukum. Menurut madzab sejarah ini, tugas seorang yuris dan pembentukan hukum adalah untuk mengadakan verifikasi dan memformulasikan hukum kebiasaan yang ada secara esensial hukum berfungsi untuk mengadakan stabilisasi, dan bukan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan. Bagi masyarakat modern dengan kompleksitas permasalahannya, sangat tidak mungkin pengaturan tertib sosial dengan aturan tidak tertulis, apalagi dalam jumlah yang banyak. Jika masyarakat modern (yang jumlahnya tidak sedikit) menggunakan aturan tidak tertulis dalam mengatur kebutuhan dan kepentingan dalam tata pergaulannya pada masyarakat, maka dapat dibayangkan akan tercipta suatu ketidakpastian hukum.  Oleh karenanya, sebagaimana pandangan madzab ini, proses konkretisasi kesadaran umum kesadaran hukum sebagai pedoman dalam melakukan tindakan hukum membutuhkan ahli hukum yang setia sebagai abdi kesadaran umum/kesadaran hukum. Ahli hukum itulah kemudian memformulasikan kesadaran umum/kesadaran hukum yang diamatinya menjadi aturan-aturan tidak tertulis itu. Oleh karena itu, apa yang menjadi ucapan ahli hukum dianggap terjemahan dari jiwa masyarakat.
Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Demikia juga bagi para ahli sosiologi, saran Savigny memperteguh keyakinan mereka bahwa antara sistem hukum dan sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Keyakinan semacam itu akan menghasilkan suatu produk hukum yang akan memiliki daya berlaku sosiologis. 

B.       Sociological Jurisprudence
Aliran Sociological jurisprudence adalah aliran Hukum yang menilai bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) madzhab sejarah.[36]
Sebagaimana diketahui, positivisme dalam hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya madzhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, dan sociological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.[37]
Aliran sociological jurisprudence muncul di Benua Eropa yang dipelopori ahli Hukum asal Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), dan berkembang di Amerika dengan pelopor Roscoe Pound.[38]
Istilah sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut sociological jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan menggunakan istilah “metode fungsional” seperti diungkapkan diatas, Paton ingin menghindari kerancuan antara sociological jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law).[39]
Menurut Lily Rasjidi, perbedaan antara sociological jurisprudence dan sosiologi hukum adalah sebagai berikut:
1.    Sociological jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi
2.    Walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda.
3.    Sociological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarkat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari masyarakat ke hukum.[40]
Roscoe Pound menyatakan perbedaannya adalah bahwa sociological jurisprudence merupakan teori Hukum yang mempelajari pengaruh Hukum di masyarakat dengan pendekatan dari Hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi dengan titik tolak pendekatannya dari masyarakat ke Hukum.[41]
Suatu permasalahan  hukum  dalam masyarakat  dapat  dari  dilihat  dengan  dua  titik-tolak  yang berbeda.  Jika  titik-tolak  yang  digunakan  adalah  ilmu  hukum,  maka  yang  digunakan sebagai alat menganalisis adalah ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence), dan sosiologi menjadi  ilmu-bantu. Hukum di sini diartikan sebagai kaidah. Tetapi  jika  titik-tolak yang digunakan adalah sosiologi, maka digunakanlah sosiologi hukum (sociology of law),  dan  ilmu  hukum menjadi  ilmu  bantu. Hukum  diartikan  sebagai  sikap-tindak  ajeg atau  perikelakuan  yang  teratur.[42]
Tokoh-tokoh aliran sociological jurisprudence antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.[43]
1.    Eugen Ehrlich (1862-1922)
Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran sociological jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari Austria yang meninjau hukum dari sudut sosiologi.  Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di sini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut positivism hukum.[44]
Menurut Friedmann, Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Tetapi sayangnya, pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern. Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada kekuatan-kekuatan social tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, olehkarena keterlibatan dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara.[45] Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan Von Savigny. Hanya saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah kenyataan social dari pada istilah Volkgeist sebagaimana yang digunakan Savigny.
Friedmann membentangkan tiga kelemahan utama pemikiran Ehrlich karena keinginannya meremehkan fungsi Negara dalam pembentukan undang-undang:
1.    Kurang jelas tentang criteria pembeda antara norma hukum dengan norma social yang lain
2.    Meragukan posisi kebiasaan, pada masyarakat modern sebagai sumber hukum dan sebagai suatu bentuk Hukum yang tergantikan oleh undang-undang.
3.    Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah mempengaruhi kebiasaan masyarakat.[46]
Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul Grundlegung der Soziologie des Rechts.

2.    Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum  adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi hukum sebagai berikut:
a.    Kepentingan umum (public interest)
1.        Kepentingan Negara sebagai badan hukum
2.        Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b.    Kepentingan masyarakat
1.        Kepentingan kedamaian dan ketertiban
2.        Perlindungan lembaga-lembaga social
3.        Pencegahan kemerosotan akhlak
4.        Pencegahan pelanggaran hak
5.        Kesejahteraan sosial
c.    Kepentingan pribadi (private interest)
1.        Kepentingan individu
2.        Kepentingan keluarga
3.        Kepentingan hak milik[47]
Dengan demikian Roscoe Pound berpendapat bahwa Hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan social, sehingga Hukum sebagai suatu proses (law in action).[48]
Aliran yang dianut Pound berangkat dari pemikiran tentang pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja .

C.       Pragmatic Legal Realism
Aliran Realisme Hukum yang berkembang dalam wakrtu yang bersamaan dengan Sosiological Jurisprudence. Friedmann memasukkannya sebagai bagian dari aliran Positivisme Hukum, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari Neopositivisme, yakni ahli hukum bernama Huijbers. Realisme Hukum skandinavia banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.[49] Pragmatic Legal Realism lebih diidentikan dengan realisme Hukum Amerika karena memang sikap pragmatisme yang terkandung dalam realisme itu lebih banyak muncul di Amerika. Akar realism Hukum Amerika adalah empirisme, khususnya pengalaman-pengalaman yang dapat ditimba dari pengadilan. Dalam hal ini jelas system hukum Amerika Serikat sangat kondusif dan terbukti kaya dengan putusan hakimnya.[50]
Aliran hukum ini lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan non-hukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut[51]:
1.     Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Mempelajari filsafat hukum tentunya tidak mudah namun juga tidak sulit. Bagi kalangan paktisi hukum dalam mempelajari filsafat hukum adalah suatu perimbangan dalam menjalankan tugas profesinya dalam hukum positif.[52]
2.    Faktor perkembangan sosial dan politik:
-       Aturan hukum yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakim karena masing-masing fakta hukum dalam masing-masing kasus yang bersangkutan bersifat unik.
-       Karena itu, dalam memutus perkara, hakim perlu membuat hukum yang baru.
-       Kebutuhan putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral dari hakim itu sendiri, bukan berdasarkan pertimbangan hukum.[53]
Llewellyn mengatakan bahwa hal yang pokok dalam aliran ini adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum . Dalam rumusan lain, menyebutkan formula dari realism sebagai berikut: Don’t Get your law from rules, but get your rules from the law that is. (Jangan mengambil hukumu dari aturan, tapi aturanmu dari hukum itu). Karl N. Llewellyn menyebutkan beberapa cirri-ciri dari aliran ini:
1.    Merupakan gerakan dari pemikiran dan kerja tentang Hukum.
2.    Merupakan konsepsi hukum yang terus berubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan social, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Hal ini berarti keadaan masyarakat lebih cepat berubah dari pada Hukum.
3.    Menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada (sollen dan sein) untuk tujuan-tujuan studi/penyelidikan. Studi harus memperhatikan nilai, dan observasi terhadap nilai tidak boleh dipengaruhi kehendak pengamat maupun tujuan kesusilaan.
4.    Tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi Hukum, selama ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum tidak menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya.
5.    Menekankan perkembangan setiap Hukum harus mempertimbangkan akibatnya.[54]
Dengan demikian, realism berpendapat bahwa tidak ada hukum  yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum  dalam buku-buku hanya merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.[55]
Oliver Wendell Holmes Jr. mengatakan bahwa dugaan-dugaan tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebut dengan hukum. Pendapat Holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan realis Amerika yang pragmatis.[56]
Pendekatan pragmatis tidak percaya pada bekerjanya hukum  menurut ketentuan-ketentuan hukum  di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkret yang muncul. Oleh krena itu, dalil-dalil hukum  yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan eksperimental sifatnya. Sumber hukum  utama aliran ini adalah putusan hakim. Seperti diungkapkan oleh John Chipman Gray All the law is judge-made-law, semua yang dimaksud dengan hukum  adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu hukum  daripada pembuat hukum  yang mengandalkan peraturan perundang-undangan.[57] Beberapa tokoh aliran ini:
a)        Charles Sanders Peirce (1839-1914)
Peirce disebut-sebut sebagai orang pertama yang memulai pemikiran pragmatism. Pragmatism menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoritis yang benar. Oleh karena itu ide-ide perlu diselidiki dalam praktik hidup, dengan jalan analitis secara fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu pengertian dalam praktik hidup, sehingga pengertian tertentu dapat ditanggapi dalam situasi tertentu. Maka kebenaran merupakan hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu tepatlah, bahwa kata pragmatis dipakai oleh Peirce dalam arti empiris atau eksperimental. Karya Peirce antara lain berjudul Pragmatisme and Pragmaticism.[58]

b)       John Chipman Gray (1839-1915)
Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya. Semboyannya yang terkenal adalah All the Law is judge made Law (seluruh Hukum adalah Hukum yang dibuat oleh hakim).[59] Disamping logika sebagai factor unsur kepribadian, prasangka, dan factor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan Hukum oleh hakim. Karangan Gray yang penting disinggung disini berjudul The Nature and Sources of the Law.[60]

c)        Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Menurut Holmes, seorang sarjana hukum  harus mengahadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Kelakuan para hakim pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum. Berdasarkan tafsiran lazim kaidah-kaidah Hukum itu dapat diramalkan, bagaimaan kelakuan para hakim dikemudian hari. Disamping itu norma-norma hukum bersama tafsirannya, moral hidup dan kepentingan social ikut menentukan keputusan para hakim tersebut. Karya penting dari Holmes antara lain berjudul The Path of Law.[61]

d)       William James
Menurut James, pragmatism adalah “nama baru untuk beberapa cara pemikiran yang sama”, yang sebenarnya juga positive. Ia menyataakan bahwa seorang pragmatis menolak abstraksi dan hal-hal yang tidak memadahi. Karya penting dari James antara lain berjudul (1) The Meaning of Truth, dan (2) Varieties of Religious Experience.[62]
Selain tiga di atas, termasuk pelopor mazhab ini adalah John Dewey (1859-1952), Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938), Jerome Frank (1889-1957). Adapun tokoh-tokoh utama realism skandinavia antara lain, Axel Hagerstrom (1868-1939), Karl Olivecrona (1897-1980), Alf Ross (1899-1979), H.L.A. Hart (Lahir 1907), Julius Stone, John Rawls (lahir 1921).[63]
Dari hasil pembahasan di atas, dapat dibedakan kecenderungan masing-masing madzhab:

Nama Aliran
Kecenderungan
Kemapanan/ Mandek
Perubahan
Madzhab Sejarah

Sociological Jurisprudence

Pragmatic Legal Realism



KESIMPULAN

Bertitik tolak dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.        Lahirnya mazhab sejarah ini merupakan reaksi atas arus besar aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Menurut mazhab ini bahwa Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh (lahir) dan berkembang bersama masyarakat sehingga Hukum tidak dapat diberlakukan secara universal.
2.        Lahirnya mazhab sociological jurisprudence merupakan hasil proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) madzhab sejarah yang menginginkan perbedaan tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan social, sehingga Hukum sebagai suatu proses (law in action). Ketika Hukum sebagai suatu proses maka Hukum yang baik adalah Hukum yang hidup di masyarakat. Titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri (kebiasaan)
3.        Dua factor yang meletarbelakangi munculnya aliran ini Pragmatic Legal Realism, pertama factor Hukum, perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Mempelajari filsafat hukum tentunya tidak mudah namun juga tidak sulit. Bagi kalangan paktisi hukum dalam mempelajari filsafat hukum adalah suatu perimbangan dalam menjalankan tugas profesinya dalam hukum positif. Kedua, factor Hukum yakni Faktor perkembangan sosial dan politik yang mana aturan Hukum yang ada tidak dapat menjangkau setiap putusan hakim, hakim dipaksa membuat Hukum baru dan putusan hakim tidak berdasarkan Hukum. Adapun kecenderungan aliran ini adalah Hukum adalah putusan hakim atau pengalaman yang ada di pengadilan.



Bibliography

Darji Darmodiharjo, Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002.
Lily Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung Citra Aditya Bakti, 2007.
M.Khairurrofiq, Refleksi dan relevansi Mazhab-mazhab Hukum Dalam Pngembangan Ilmu Hukum, 
Nasri, Bagaimana Pengaruh Pemikiran Mazhab Sejarah terutama dalam rangka pembaharuan hukum di Indonesia
Otje Salman dan Antoni F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Menemukan Kembali, Bandung, Refika Aditama, 2007.
Purbacaraka,  Purnadi  dan  Soerjono  Soekanto,  Sendi-sendi  Ilmu  Hukum  dan  Tata  Hukum, Bandung: Alumni, 1986.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
W. Friedmann, Legal Teori, alih bahasa Mohammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan Problem Keadilan, cet. I, Jakarta, CV. Rajawali, 1990.
Zulkarnain, Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Madzab Sejarah, Digitized by USU digital library, 2003.

Postingan terkait: