Studi Objek, Metode, Dan Urgensi Filsafat Hukum Islam



  Pendahuluan
Muhyiddin al-Hayyat, mengatakan, bahwa pada mulanya manusia liar, hingga beberapa dekade kemudian mereka membutuhkan rumah dan pakaian, hingga mereka membutuhkan satu sama lain dalam menciptakan perkumpulan masyarakat.[1] Kodrat manusia untuk selalu hidup bermasyarakat, memberi pengertian bahwa manusia adalah “zoon politicon”, “homo socius”, “makhluk sosial”. Dari ini pengertian antara manusia dan masyarakat merupakan pengertian komplementer[2] Ahmad Azhar Basyir, melihat manusia dari sisi usaha memenuhi kebutuhan hidup, maka ia di katakan “homo economicus”, “makhluk ekonomi”. Sedangkan orang yang menitik beratkan pada keistimewaan manusia menggunakan simbol-simbol, memberi pengertian manusia adalah “animal symbolicum”. Orang yang memandang manusia adalah makhluk yang selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahan-bahan alam untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, memberi pengertian manusia adalah “homo faber”.[3]
Dari semua lebel dan istilah yang dilekatkan pada manusia, kiranya cukup untuk menegaskan bahwa kehidupan manusia ditakdirkan untuk butuh pada sesame, dari itu akhirnya mereka merumuskan beberapa nilai yang disepakati oleh mereka, baik nilai itu lahir dari tradisi turun menurun, maupun nilai itu lahir dari hal-hal yang berbau teologis. Setelah berbagai aturan yang disepakati untuk menjadi hukum, aturan, dan nilai yang mengikat mereka, akhirnya mereka menggali dan mengkaji kandungan-kandungan yang terdapat dalam hukum tersebut, hal itu diperuntukan untuk menemukan faktor determinan dalam mengaplikasikan hukum secara universal. Terlebih dalam masalah hukum Islam, sebab muara pijakan hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Maka dari itu penting juga menelaah hukum Islam dari aspek filosofisnya, meskipun secara sepintas dalam filsafat menginginkan adanya kebebabasan berfikir supaya menemukan inti diterapkan sebuah hukum tersebut. Namun semua itu kembalinya pada hakikat adanya hukum itu sendiri, yakni untuk memberikan kemanfaatan dan menulak kemudharatan.



Pembahasan
                   I.            Obyek Kajian Filsafat Hukum Islam

Objek Kajian Filsafat Hukum Islam dalam pandangan Muchlis Usman[4] meliputi shari>’ah[5] dan tashri>’. Sedangkan konteinya adalah mencakup segala aspek tata aturan Allah yang berhubungan dengan manusia, baik aturan ibadah, muamalah dan uqubat. Ini dapat dikaji dengan pemikiran yang universal, integral, komprehensif, sistematis, radikal, dan obyektif tanpa melupakan al-Qur’an dan Sunnah[6]. Mengapa demikian?, karena segala hukum Islam, sumber primernya adalah al-Qur’an dan Sunnah, tidak sah menetapkan hukum Islam tanpa mempunyai pijakan embrio terhadap keduanya. Filsafat Shari>ah objeknya lebih pada tata aturan yang taken for greated, jika dipetakan aturan main filsafat ini lebih pada aspek al-As}lu. Sedang filsafat tashri’ menurut Hasbi Ash-Shiddiqi mencakup berfikir filosofik mengenai pembentukan, pembinaan dan perkembangan hukum Islam baik berkaitan dengan asas, prinsip maupun tujuan ditetapkan hukum Islam.[7]
Jadi secara sederhananya bahwa filsafat tashri>’ lebih menekankan adanya proses nyata dalam pembentukan hukum Islam, yang objek kajianya dalam tataran nilai yang bersifat al-Mutaghaiyirah, dimana satu daerah dan daerah lain dapat berubah aturan mainya, sebab berbedanya tatanan nilai kehidupan masyarakatnya, sebagaimana kaidah yang ditetapkan Ibnul Qoyyim al-Jauziayah yang dikutip oleh al-Banna[8]Perubahan dan perbedaan fatwa atau opini hukum dapat terjadi karena perbedaan waktu, tempat (lingkungan), situasi, tujuan dan adat kebiasaan. Kemudian materi filsafat hukum Islam Islam oleh Hasbi disederhanakan sebagaimana berikut:
       I.            Filsafat Tashri>’
a)      Maba>diu al-Ahka>m (prinsip-prinsip dasar hukum Islam)[9]
b)      Ushu>l al-Ahka>m (dasar Yuridis atau dasar ideal hukum Islam)[10]
c)      Qawa>id al-Ahka>m (kaidah-kaidah hukum Islam)[11]
d)     Da’aimu al-Ahka>m (dasar filosofik/ dasar operasional hukum Islam).[12]

    II.            Filsafat Shari>’ah
a)      Asra>r al-Ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam)[13]
b)      Khasa>is al-Ahkam (kekhususan-kekhususan hukum Islam)[14]
c)      Maha>sin al-Ahka>m (keindahan-keindahan hukum Islam)[15]
d)     Thawa>bi’u al-Ahka>m .[16]

Juhaya S. Praja meringkas kajian filsafat hukum Islam mencakup dua hal yaitu obyek teoritis dan praktis. Obyek teoritis filsafat hukum Islam adalah obyek kajian yang merupakan teori-teori hukum Islam yang meliputi:
a)      Prinsip-prinsip hukum Islam
b)      Dasar-dasar dan sumber hukum Islam
c)      Tujuan hukum Islam
d)     Asas-asas hukum Islam, dan
e)      Kaidah-kaidah hukum Islam
Seringkali obyek ini disebut dengan obyek falsafah al-Tashri’. Maka dalam menetapkan hukum Islam, terlebih dahulu yang harus dikaji adalah seputar filsafat tashri>’ tersebut. Sebab jika seorang yang menetapkan hukum Islam tanpa memperdulikan aspek ini, maka dapat dipastikan muatan hukum yang ditetapkan tidak akan membumi. Realisasi hukum Islam, yakni menciptakan kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudharatan sulit untuk dijangkau. Sedangkan obyek praktis filsafat hukum Islam atau obyek falsafah al-shari’ah atau asrar al-shari’ah meliputi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan:
a. Mengapa manusia melakukan mu`amalah?
b. Mengapa manusia harus diatur oleh Hukum Islam?
c. Apa rahasia atau hikmah melakukan ibadah?
d. Apa rahasia Shalat, Zakat, Puasa, dsb?
e. Apa hakikat hukum?
f. Apa hakikat keadilan?[17]
Menelisik dari berbagai pemetaan pertanyaan yang dijadikan representatif dalam memahami filsafat shari>ah. Maka dapat dipastikan bahwa filsafat shari>ah, adalah satu aspek kajian filsafat hukum Islam, yang sangat filosofis. Oleh karena itu mempertimbangkan dan mengetahui aspek ini sangat penting, namun tidak mempertimbangkanya-pun tidak akan sampai merusak pada tatanan hukum. Jika dibandingkan dengan pembagian maslahat (dharu>riyah, Hajiyah, dan tahsi>niyah), maka aspek ini masuk dalam kategori Ha>jiyah.

             Metode Filsafat Hukum Islam.

Metode adalah prosedur umum yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dan didasari oleh asumsi tertentu.[18] Sedang yang dimaksud dengan metode filsafat hukum Islam adalah prosedur penggalian hukum Islam yang didasari oleh asumsi dari epistemologi ajaran Islam sebagai agama yang supra empirik. Muchlis Usman berpendapat bahwa filsafat hukum Islam tidak lepas dari kerangka filosofik Ontologi, Epsitemologi, dan Aksiologi, secara rinci sebagaimana berikut:
a)      Dimensi Ontologi, yang berkaitan dengan hakekat mukallaf, hakekat Musharri’ dan lainya. Terlebih dahulu sebelum melangkah pada tahap selanjutnya seseorang harus memahami dimensi ontologi yang mengitari pemberlakuan hukum Islam. Semisal mukalaf, jadi seorang yang belum mukallaf belum dikenai beban hukum Islam. Disamping itu dalam mengetahui musharri’ (hakim), apakah nabi Muhammad masuk dalam kategori musari’?. Ini semua penting untuk diketahui, sebab akan menetukan pada tahap selanjutnya. Sederhananya dimensi ini erta kaitanya dengan dzat subjek dan objek hukum.
b)      Dimensi epistemologi, yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum, asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum serta kaidah-kaidah hukum Islam. Dimensi ini, adalah dimensi seorang dituntut mempunyai keilmuan dan integritas tertentu, terutama dalam disiplin ilmu yang erat kaitanya dengan pembentukan hukum Islam, semisal kaidah-kaidah fiqih, dan Us}ul fiqih. Sederhananya dimensi ini erat kaitanya dengan proses yang dibangun oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam.
c)      Dimensi Aksiologi, yang berkaitan dengan tujuan-tujuan hukum shara’, rahasia-rahasia hukum shara’ dan sebagainya.[19] Dimensi ini sebagai muara dan ending dalam pembentukan hukum Islam. Karena pada tahap ini seorang mujtahid dituntut untuk mengetahui dibalik pemberlakuan suatu hukum, serta dituntut untuk merealisasikan aspek maslahat dan menjauhkan kemudharatan dalam menetapkan hukum yang ditetapkan, sebagaimana cita-cita pembentukan hukum Islam.
Jadi semua dimensi ini bersifat hirarki. Seorang tidak boleh melompat dari dimensi ontologi ke epistemologi, atau bahkan ke dimensi aksiologi. Karena akan berpengaruh pada tatanan hukum yang dibangunya.
             III.            Metode Pengembangan Filsafat Hukum Islam.
Metode yang digunakan dalam pengembangan filsafat hukum Islam yang dirumuskan oleh Muchlis Usman terdapat tiga metode, adalah:
a)      Prgamatis
Model ini melihat aspek praktisnya, yaitu dengan cara menelusuri jawaban dari masalah kefilsafatan hukum Islam, ini dapat juga dilakukan melalui teori-teori filsafat hukum kontemporer, setelah jawaban ditemukan maka harus mencari pembenaran terhadap nas-nas al-Qur’an dan Sunnah, sehingga nas berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi. Metode ini juga dapat dikategorikan pada metode induktif atau empiris, sebab acuan yang dijadikan dasar dalam metode ini adalah realita sosial yang terjadi. Kemudian dicarilah suatu pembenaran ataupun sebaliknya dalam memberikan kepastian hukum pada aspek tersebut. Jadi metode ini dapat digolongkan pada grounded theory.
Lumrahnya metode pengembangan seperti ini digunakan oleh para pemikir kontemporer yang cendrung liberal.
b)      Idealistik
Model metode ini menggunakan pola pikir deduktif (istidlali) yaitu dengan membangun premis mayor sebagai postulasi lebih dahulu melalui kajian nas-nas ilahi intensif terhadap masalah yang terkait. Pondasi premis mayor yang dipandang kebenaran “muthlak dan universal” itu dipakai untuk meneropong permasalahan hukum Islam yang muncul di dunia empirik, kemudian menampilkan konklusinya. Model metode seperti ini, dapat juga dikatakan metode grand theory. Kinerja metode ini adanya dalil yang dijadikan penegasan terhadap realitas sosial yang sedang terjadi. Metode seperti ini banyak digunakan oleh kalangan  tradisionalis legalis yang titik tekannya adalah pada hukum-hukum  yang dikembangkan dan ditafsirkan oleh para ulama periode pra modern dan teologis puritan, yang fokus pemikirannya adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam.[20]
c)      Komparasi
Model ini menggabungkan dua model metode di atas, dengan langkah sebagaimana berikut. Pertama, menggali dan menelaah semua hukum dalam dunia empirik, dan ditelaah dengan teori hukum kontemporer dalam menemukan jawaban sementara, sehingga penentuan hukumnya menjadi inkonklusi (problematic, tentative maupun hipotetik), kemudian dikonsultasikan dengan nas-nas ilahi sebagai konklusi akhir. Langkah kedua, menyusun, menghimpun nash-nash yang relevan dengan masalah yang dihadapi sebagai acuan untuk pemecahan masalah. Ketiga mengkontruksikan hukum dengan pemecahan filosofis sehingga konsep hukum perspektik Islam.[21] Penggunaan metode ini dapat memasukan gerakan Islam dewasa ini, yakni Islam Progresif. Kinerja metode ijtihad kelompok, yaitu para pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar bisa menjawab kebutuhan masyarakat modern.[22] Maka secara benang merah dapat memasukan kelompok ini dengan pemakaian metode Komparasi sebagaimana dijelaskan di atas. Dan secara umum model ini dipakai oleh kelompok Islam yang cendrung moderat.
Muhammad Ma’ru>f al-Dawalibi membagi metode ijtihad dalam hukum Islam menjadi tiga kelompok. Yaitu metode Bayani, Qiyasi>, dan Is}tis}la>hi.[23]
1)      Metode Bayani
Metode Bayani adalah metode istinbath melalui penafsiran terhadap kata yang digunakan dalam nash dan susunan kalimatnya sendiri. Di dalam membicarakan keluasan dan kesempitan makna kata, homonym, makna amar, makna nahi, makna kata yang sesuai dengan kedudukan dan fungsinya dalam kalimat serta hubungan antara induk dan anak kalimat dan sebagainya.[24]
2)      Metode Qiyasi
Metode ini juga dapat disebut metode Tahlili>. Sedang yang dimaksud dengan metode ini adalah metode yang melihat dari ungkapan illat (kausa efektif) yang selalu bagi hukum-hukum tertentu, sehingga dapat diambil perbandingan hukum sesuai dengan kehendak nash yang dilakukan dengan jalan analogi.
3)      Metode Is}tis}la>hi
Metode Is}tis}la>hi adalah suatu cara dalam menetapkan hukum Islam yang diasumsikan dari penarikan kebaikan dan menolak kemudharatan. Ini dalam pandangan Wahbah Zuhaili, seirama dengan terminologi mas{lahah yaitu menarik kemanfaatan dan menolak kemudharatan.[25] Penggunaan metode ini harus ditopang oleh hirarki kebutuhan manusia atau kebutuhan shara’ menetapkan hukum pada mukallaf, baik berkenaan dengan kebutuhan dharu>riyah, ha>jiyyah, maupun tahsiniyah. Oleh karena itu hirarki-hirarki itu harus didudukan sebagaimana mestinya, sehingga masing-masing hukum ditempatkan menurut prioritasnya.

             IV.            Urgensi Studi Filsafat Hukum Islam.

Kehidupan manusia tidak lepas dari kewajiban dan hak, namun jika hal ini berbenturan tentu kewajiban yang harus didahulukan di mana kontein dari kewajiban itu berbagai aturan baik yang bersifat vertical maupun horizontal. Aliran teologis berpendapat bahwa hukum merupakan hasil pemikiran manusia dan amat berhubungan dengan konsep tertinggi, dan kebanyakan filusuf menganggap keadilan sebagai tujuan tertinggi.[26] Namun meskipun demikian, tidak semua hukum akan membawa manusia pada tujuan tertinggi. Dari itu, Islam datang dengan membawa seperangkat sistem hukum yang dikenal dengan shari’ah.
Secara sederhana mempelajari filsafat hukum Islam akan memperoleh tiga dimensi keuntungan, yaitu:
1)      Memberi landasan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan hukum yang berdasarkan ajaran Islam.
2)      Melakukan kritik dan koreksi terhadap metode dan proses pelaksanaan hukum Islam.
3)      Melakukan evaluasi terhadap metode dan proses pelaksanaan hukum Islam.[27]
Di samping itu Roscoe Pound sebagaiman dikutip oleh Muchlis mengekplorasi bahwa diantara fungsi filsafat hukum Islam adalah, untuk mengukur apakah kaidah-kaidah, doktrin-doktrin, dan lembaga dapat bermanfaat bagi masyarakat, selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat digunakan sebagai alat untuk memahami persoalan secara filosofis dan berdaya upaya untuk dapat memberikan gambaran yang lengkap mengenai peta kesusilaan hukum dan politik sepanjang masa.[28]
Kehadiran filsafat hukum Islam juga sebagai upaya para mujtahid untuk menempatkan hukum Islam pada skala kognitif[29] dan sekala evaluative, walaupun pada saat tertentu uapaya itu masih mendapatkan kendala-kendala, karena berbenturan dengan hukum adat, hukum suatu negara, hukum alam, dan berbagai hukum-hukum yang lain.[30]



Penutup

Materi filsafat hukum Islam Islam oleh Hasbi disederhanakan menjadi Filsafat Tashri>’, aspek ini menelorkan, Maba>diu al-Ahka>m (prinsip-prinsip dasar hukum Islam),  Ushu>l al-Ahka>m (dasar Yuridis atau dasar ideal hukum Islam), Qawa>id al-Ahka>m (kaidah-kaidah hukum Islam), dan lain-lain. Dan menjadi Filsafat Shari>’ah. Ini membawahi, Asra>r al-Ahkam (rahasia-rahasia hukum Islam), Khasa>is al-Ahkam (kekhususan-kekhususan hukum Islam), dan Maha>sin al-Ahka>m (keindahan-keindahan hukum Islam).
Terdapat tiga model metode yang digunakan dalam pengembangan filsafat hukum Islam yang dirumuskan oleh Muchlis Usman adalah: Pragmatis, Idealistik, dan Komparasi. Semua metode ini melahirkan berbagai metode dalam merumuskan hukum Islam. Muhammad Ma’ru>f al-Dawalibi membagi metode ijtihad dalam hukum Islam menjadi tiga kelompok. Yaitu metode Bayani, Qiyasi>, dan Is}tis}la>hi. Secara sederhana mempelajari filsafat hukum Islam akan memperoleh tiga dimensi keuntungan, yaitu: Memberi landasan sekaligus mengarahkan kepada proses pelaksanaan hukum yang berdasarkan ajaran Islam, Melakukan kritik dan koreksi terhadap metode dan proses pelaksanaan hukum Islam, dan Melakukan evaluasi terhadap metode dan proses pelaksanaan hukum Islam.

Postingan terkait: