Ta’wil dan Tafsir Hermeneutika

TA’WIL DAN TAFSIR HERMENEUTIKA


PENDAHULUAN

         Al-Qur’an adalah firman Allah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam lafaz-lafaz kitab suci tersebut. Metode itu dikenal dalam tradisi Islam dengan tafsir, sebuah metode kajian yang bertujuan untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an. Bidang  kajian tafsir adalah makna lafaz al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak dapat dipisahkan dari sumber bahasa dan syari’at.
         Di samping itu, lafazh al-Qur'an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat, sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafaz. Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan metode lain yaitu ta'wil, sebuah metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan teks. Jadi, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Maka dari itu, tulisan ini akan membahas ta’wil dan tafsir lebih mendalam.

PEMBAHASAN

A.    Definisi Ta’wil
             Dalam membicarakan lafaz yang jelas artinya maupun lafaz yang tidak jelas artinya sering muncul kata “ta’wil”. Karenanya perlu dijelaskan arti dan maksud ta’wil itu. Kata “ta’wil” dalam al-Qur'an ada 17 tempat.[1] Secara etimologi ta’wil berasal dari الأَوْلُ yang berarti adalah الرجوع, yaitu mengembalikan makna yang sebenarnya atau menjelaskan hakikat yang sebenarnya.[2]
             Sedangkan pengertian ta’wil secara terminologi dikemukakan oleh para ulama antara lain:
1.      Ibn Qudamah (ahli usul fikih mazhab Hanbali):
“Memalingkan lafaz dari makna zahirnya kepada makna yang lemah, karena ada dalil yang mendukung pemalingan itu”.[3]
2.      Imam al-Amidi (ahli usul fikih mazhab Syafi’i):
“Membawa lafaz kepada sesuatu yang tidak ditunjukkannya secara zahir, tetapi dikandung oleh lafaz tersebut berdasarkan dalil yang mendukungnya”.[4]
3.      Abdul Wahab Khalaf:
“Memalingkan lafaz dari zahirnya karena ada dalil”.[5]
4.      Muhammad Abu Zahrah:
“Mengeluarkan (memalingkan) lafaz dari maknanya yang zahir ke makna yang lain yang tidak zahir, tapi ada disimpannya”.[6]
             Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa ta’wil adalah memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh dalil.
             Apabila diteliti secara seksama pengertian ta’wil menurut bahasa lebih umum daripada pengertian khas, ‘amm, atau mutlaq karena lafaz-lafaz tersebut menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qath’i. Selain itu, khas memindahkan arti hakiki kepada majazi, sedangkan ‘amm memindahkan arti yang zhahir dengan dalil. Begitu pula mutlaq memindahkan arti dan memperluas jenisnya dengan cara membatasi dan mempersempit arti berdasarkan dalil.[7]
             Penyebab adanya penakwilan terhadap lafaz-lafaz yang artinya dianggap kuat di antaranya karena zhahirnya tidak sesuai dengan arti hakiki, sehingga dalil hasil ta’wil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain, mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.

B.     Syarat-syarat Ta’wil
             Adapun syarat-syarat ta’wil yaitu:
1.      Apabila lafaz itu berbentuk mufassar dan muhkam, maka lafaz tersebut tidak menerima ta’wil. Karena menurut Hanafiyah mufassar dan muhkam tidak bisa dita’wilkan.[8]
Contoh lafaz yang berbentuk mufassar seperti:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ .[9] ...
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera...”.

Bilangan yang ditetapkan dalam ayat ini jelas dan terurai yaitu delapan puluh kali dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.[10]
2.      Sesuai dengan penggunaan bahasa atau kebiasaan pemakaian atau istilah syara’ yang tidak rusak.[11] Misalnya suatu lafaz yang umum secara zhahirnya mengandung makna yang umum pula. Akan tetapi, lafaz tersebut juga mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksudkan lafaz umum itu adalah maknanya yang khusus.
Contoh dalam firman Allah Swt.
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y [12]4
Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”.

Secara zhahir ayat ini bersifat umum yaitu mewajibkan seluruh manusia untuk melaksanakan ibadah haji. Tetapi, ulama ushul fikih menakwilkan ayat al-Qur'an yang umum ini dengan mengkhususkannya bagi orang-orang mukallaf, dengan alasan anak kecil atau orang gila belum cakap bertindak hukum dan karenanya tidak dibebani kewajiban apa pun.
3.      Ta’wil itu didukung oleh dalil yang sahih dan kuat.[13] Misalnya bentuk lain dari ta’wil ialah pembatasan (taqyid) terhadap ungkapan mutlak, dalam firman Allah Swt.
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,...”.

Ayat ini mengharamkan memakan dan memanfaatkan darah, dalam ayat tersebut mencakup darah yang mengalir dan beku (bukan dibekukan), seperti hati dan limpa. Akan tetapi, dalam ayat al-Qur'an lainnya Allah Swt. berfirman bahwa yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ....[14]
Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi ...”.

Pada ayat pertama, kata “darah” disebut secara muqayyad (dibatasi) dengan suatu klasifikasi berupa “darah yang mengalir”, padahal objek hukumnya sama, yakni darah. Maka dari itu, ungkapan yang muqayyad dianggap sebagai penjelas yang membatasi ungkapan mutlak.[15]
Oleh sebab itu, ulama usul fikih menyatakan bahwa keharaman memanfaatkan dan memakan darah dalam ayat yang disebut dalam surah Ali Imran ayat 97 di atas, dibatasi pada darah yang mengalir saja.
4.      Harus ada faktor yang memaksa diterapkannya ta’wil.[16]
Contoh adalah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
ان الميت يعقب ببكاء أهله
Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya

Siti ‘Aisyah menolak hadis tersebut karena menurunya hal itu bertentangan dengan dasar umum syariat yang ada dalam al-Qur'an, yaitu firman Allah Swt.:
Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.

Sebagian mujtahid menakwilkan kemutlakan hadis tersebut, kemudian mereka menaqyid dengan jenazah ketika masa hidupnya. Maka maksud ayat tersebut, menjadi tidak bertentangan setelah ditaqyid. Pengrompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang dianggap terbaik daripada mencela salah satunya.
5.      Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalahnya. Misalnya, suatu lafaz dalam bentuk zhahir diperuntukkan untuk suatu objek, tetapi ada makna lain yang menyalahinya dalam bentuk nash.[17]
Contohnya adalah tentang halalnya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan empat orang saja. Seperti dalam firman Allah Swt.
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºsŒ br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uŽöxî šúüÅsÏÿ»|¡ãB 4 [18]
dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”.

Bertentangan dengan ayat lain yang berbunyi:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( [19]
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.

Ayat pertama menunjukkan halalnya menikahi wanita yang halal tanpa dibatasi jumlahnya. Dilalah tersebut termasuk zhahir. Berdasarkan dilalah ini, seorang laki-laki mengawini wanita lebih dari empat. Sedangkan ayat kedua termasuk dilalah nash. Ayat kedua ini menunjukkan halalnya menikahi wanita lebih dari empat itu adalah haram.
Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua, yaitu ayat yang pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat, sedangkan ayat yang kedua tidak boleh lebih dari empat. Dalam hal ini, dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
6.      Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.[20]
Sebagian ushuliyyin memberikan contoh tentang dua hadis mengenai wudhunya orang yang sedang mustahadah. Hadis pertama, yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah dan ia berkata, “Sesungguhnya aku dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat?” Rasulullah menjawab, ‘tidak, karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.
Dalam riwayat kedua memakai ungkapan, “berwudhulah tiap waktu shalat”
Hadis pertama menunjukkan bahwa seorang wanita mustahadah wajib berwudhu untuk setiap shalat. Dengan demikian, tidak sah shalatnya lebih dari satu shalat dengan satu wudhu sungguhpun pada waktu yang sama.
Sedangkan hadis kedua, menunjukkan bahwa wajibnya berwudhu itu untuk waktu seluruh shalat. Atas dasar ini, boleh shalat untuk beberapa kali dengan satu wudhu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini dari segi lafaz dapat dikatakan antara nash dan mufassar. Hadis riwayat pertama berbentuk nash, sedangkan hadis riwayat kedua berbentuk mufassar. Oleh sebab itu dalam hal ini harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.

C.    Macam-macam Ta’wil
             Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil. Perbedaannya terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya:
1.      Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua macam ta’wil yaitu:
a.       Ta’wil maqbu>l atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama ushul.
b.      Ta’wil ghair al-maqbu>l atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya berdasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan.
2.      Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafaz yang di ta’wil dari makna zhahirnya, ta’wil dibagi kepada dua macam yaitu:
a.       Ta’wil qari>b, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya.
b.      Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
Bila pada lafaz yang dita’wil itu terdapat dalil kuat yang akan memberi petunjuk kepada maknanya, maka ta’wil ini termasuk kepada yang maqbu>l. Tetapi bila pada lafaz itu tidak terdapat dalil kuat yang menjelaskannya dan tidak dapat ketahui dengan dalil sederhana, maka ta’wil ini termasuk yang ghairu maqbu>l.

D.    Contoh Pemakaian Ta’wil dalam Praktek Hukum besarta Pendapat para Ulama
             Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ta’wil itu harus dengan yang dekat dari arti zhahirnya dan tidak boleh dengan yang jauh. Sementara ulama Hanafiyah tidak menggunakan persyaratan tersebut. Mereka hanya mensyaratkan supaya ta’wil itu sesuai dengan dalil syara’ dan tidak menyalahinya.
             Karena ada perbedaan pendapat dalam persyaratan di atas, maka terdapat pendapat di antara kedua kelompok ulama itu dalam beberapa masalah furu’ antara lain:
1.      Perbedaan pendapat ulama tentang batasan niat puasa sebelum fajar,[21] seperti dalam sabda Nabi:
مَنْ لَمْ يَبِيْتُ النِّيَة فِى الصِيَامِ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Dari hadis tersebut ada perbedaan pendapat ulama:
Ø  Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa niat puasa wajib dilakukan sebelum fajar, baik itu puasa wajib atau pun sunnah.
Ø  Adapun menurut Syafi’iyah niat puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa kafarah, dan puasa nadzar harus diniatkan sebelum fajar. Sedangkan pada puasa sunnah, niatnya boleh dilakukan pada siang hari. Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah:
دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ شَئٍ ؟ فَقُلْنَا : لاَ, فَقَالَ : فَانى اذن صائم , ثم اتانا يوما آخر فقلنا: يا رسول الله أهدى لنا حبس فقال: أرينيه فاقد اصبحت صائما فأكل
Ø  Sedangkan menurut Hanafiyah, puasa wajib itu ada yang waktunya telah ditentukan dan ada juga waktunya yang tidak ditentukan.
a.       Puasa wajib yang waktunya telah ditentukan, seperti puasa Ramadhan dan puasa nadzar yang telah ditentukan waktunya, niat puasanya tidak harus dilakukan sebelum fajar. Jadi boleh niat puasa pada siang hari dan tidak lebih pada pertengahan hari.
b.      Adapun puasa wajib yang waktunya tidak ditentukan, seperti puasa qadla Ramadhan, puasa puasa nadzar yang tidak terikat waktunya, dan puasa kafarah, niat puasanya disyaratkan sebelum fajar. Sebagaimana pada sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Salamah ibn Uku>’ ra.:
ان النبي ص.م بعث رجلا فى الناس يوم عاشوراء ان من اكل فليتم أو فليصم ومن لم يأكل فلا يأكل
2.      Perbedaan pendapat ulama tentang sahnya pernikahan seorang wanita jika tanpa izin walinya.[22]
Ø  Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak ada pernikahan kecuali dengan wali, karena wali adalah syarat sahnya pernikahan. Seperti hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a:
عن عائشة (رض) قالت: قال رسول الله ص.م : ايما امرأة نكحت نفسها بغير اذن وليها فنكاحها باطل فان دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فان اشتجروا فالسلطان ولى من لا ولى لها. (اخرجه الأربعة الا النسائى)
Ø  Sedangkan Hanafiyah berpendapat pernikahan itu sah meskipun tanpa walinya.
3.      Persoalan memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang sebagai salah satu kafarat z}iha>r.[23] Hal ini terdapat dalam firman Allah Swt.
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZŠÅ3ó¡ÏB 4 [24]
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin”.

Dalam menetapkan 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksud adalah 60 orang, masing-masing satu hari, atau satu orang miskin untuk selama 60 hari. Di sini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ø  Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang diberi makan itu adalah 60 orang  miskin, masing-masing satu hari, sesuai dengan zhahir ayat di atas yang secara terang menyebut “60 orang miskin” dan tidak terpenuhi kewajiban ini dengan memberi makan satu orang miskin selama 60 hari.
Ø  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh memberi makan satu orang miskin untuk masa 60 hari sebagaimana bolehnya memberi makan 60 orang miskin untuk satu hari. Mereka menta’wilkan ayat tersebut (“memberi makan 60 orang miskin”): kebutuhan 60 orang miskin untuk satu hari sama dengan kebutuhan satu orang miskin untuk 60 hari.
Ulama Syafi’iyah menganggap pemahaman ulama Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh karena cara tersebut berarti “menyelipkan” sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat, yaitu “makanan”, antara kata “memberi makan” dengan kata “60 orang miskin”. Juga sekaligus menghilangkan angka 60 untuk jumlah orang miskin.
4.      Dalam masalah zakat kambing yang telah mencapai nisab 40 ekor wajib dikeluarkan zakatnya seekor kambing,[25] berdasarkan hadis Nabi:
 فِى كُلِّ أرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ.
Untuk setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah 1 ekor kambing”.

Para ulama berbeda pendapat dalam hal, apakah untuk zakat itu harus berupa seekor kambing, atau boleh pula dalam bentuk materi lain yang seharga seekor kambing.
Ø  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh saja mengeluarkan zakat dalam bentuk materi lain yang seharga seekor kambing dan tidak mesti berupa kambing. Mereka menta’wilkan, bahwa yang dimaksud dalam hadis di atas (dengan seekor kambing) adalah “nilai seekor kambing” karena yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat adalah menutupi kebutuhan orang miskin dan kebutuhan atas suatu materi sama dengan kebutuhan atas nilai materi tersebut.
Ø  Ulama Syafi’iyah memahami bahwa yang dimaksud oleh hadis adalah kewajiban mengeluarkan kambing itu sendiri; dan tidak boleh diganti dengan materi lain seharga seekor kambing. Mereka menganggap ta’wil yang dilakukan oleh Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh karena dari ta’wil itu lazimnya adalah tidak wajib mengeluarkan zakat kambing. Kalau tidak wajib berarti “tidak memadai”; artinya kalau yang dikeluarkan adalah bukan kambing, berarti kewajiban zakat belum terpenuhi.
5.      Bila seorang laki-laki masuk Islam dan mempunyai 10 orang istri yang dinikahinya secara massal dalam suatu akad, ia harus memulai nikah dengan 4 orang di antaranya dan menceraikan yang lainnya.[26]
Ø  Tetapi bila yang 10 orang itu dinikahinya satu persatu secara berurutan, ia dapat mengukuhkan perkawinannya dengan 4 orang terdahulu, dengan perkawinan baru dan menceraikan yang lainnya. Ini adalah menurut pendapat ulama Hanafiyah.
Ø  Menurut ulama Syafi’iyah, suami tersebut cukup memilih 4 orang di antaranya untuk dilanjutkan pernikahannya tanpa akad nikah yang baru dan menceraikan yang lain, baik ia menikahi perempuan yang 10 orang itu sekaligus dalam satu akad atau dia nikahi secara berurutan.
Ulama Syafi’iyah beralasan dengan sabda Nabi kepada Ghailan al-Saqfi yang memiliki 10 orang istri pada saat ia masuk Islam:
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَ فَارِقْ سَاءِرَهُنَّ.
Tahan 4 orang dan ceraikan yang lain”.

Menurut ulama Hanafiyah, ucapan Nabi: “Tahan” (أَمْسِكْ), maksudnya adalah: “mulai lagilah” atau “kukuhkanlah yang mula-mula”. Ketentuan inilah yang sesuai dengan syara’.[27]
Pemahaman ulama Hanafiyah itu dianggap oleh ulama Syafi’iyah sebagai ta’wil yang jauh, karena tidak mungkin Nabi berbicara dengan seseorang yang baru masuk Islam tanpa ada penjelasan seperti itu. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menurut lahirnya kata أَمْسِكْ itu berarti “mengukuhkan” dan bukan “memulai”. Ta’wil seperti ini lebih dekat dan tidak menyalahi jiwa tasyri’ atau filosofi penetapan hukum.

E.     Definisi Tafsir
             Tafsir menurut bahasa berasal dari kata al-fasr yang berarti البيان ialah menyingkap sesuatu yang tertutup. Sedangkan kata al-tafsir berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil, pelik.[28] seperti dalam firman Allah:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ [29]
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.

             Menurut istilah, pengertian tafsir ialah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Saw., berikut penjelasan maknanya serta pengambilan hukum serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur'an al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.[30]
             Menurut al-Raghib al-Asfaha>ni menyatakan bahwa kata al-fasr dan al-safr memiliki kedekatan makna dan pengertian karena keduanya memiliki kemiripan lafal. Hanya, lanjut al-Raghib al-Asfaha>ni, kata al-fasr lazim digunakan untuk menjelaskan sebuah konsep atau makna yang memerlukan penalaran (al-ma’na al-ma’qu>l), sementara kata al-safr biasa digunakan untuk menampakkan benda-benda fisik-materi yang bisa dikenali oleh mata kepala atau pancaindera. Ungkapan-ungkapan berikut mengisyaratkan makna di atas.[31]
سفرت المرأة عن وجهها
Wanita itu membuka tutup mukanya”.

             Sehingga dari pengertian di atas, tafsir adalah menyingkap makna al-Qur'an dan menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya.

F.     Contoh Ayat yang Berkaitan dengan Fikih dan kemudian Ditafsirkan
1.      Tentang shalat. Dalam surah al-Baqarah ayat 43 Allah Swt. berfirman:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ [32]
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku”.

Perintah shalat pada ayat ini bersifat global, tidak dijelaskan cara-cara pelaksanaan, jumlah rakaat, dan waktunya sehingga umat Islam tidak dapat melaksanakan perintah shalat tersebut. Untuk menjelaskannya Nabi Saw. melakukan shalat pelan-pelan di hadapan para sahabat, kemudian beliau berkata: “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku melakukannya” (HR. Bukhari). Kemudian pada kesempatan lain Nabi Saw. menjelaskan waktu pelaksanaan shalat-shalat yang wajib tersebut: “Waktu Dzuhur ialah tatkala condong matahari ke arah Barat sampai bayang-bayangan orang sama tingginya. Waktu Ashar adalah selama belum kuning matahari, waktu Maghrib sebelum hilang awan merah, waktu shalat Isya’ setelah terbenam matahari hingga tengah malam, dan waktu Shubuh dari terbit fajar hingga sebelum terbit matahari” (HR. Muslim dari Abdullah ibn Amr ra). Hadis-hadis tersebut menjadi tafsir terhadap ayat yang memerintahkan shalat di atas.
2.      Tentang zakat. Perintah menunaikan zakat ditemui dalam berbagai ayat, salah satunya dalam surah al-An’am (6): 141
(#qè=à2 `ÏB ÿ¾Ín̍yJrO !#sŒÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqtƒ ¾ÍnÏŠ$|Áym ( [33]
....Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin)”.

Perintah zakat pada ayat ini juga bersifat global, tidak dijelaskan harta apa saja yang wajib dizakatkan, nisabnya dan presentasenya. Nabi Saw. kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan memberi petunjuk tentang jumlah harta yang wajib dizakati, seperti hadis yang menerangkan bahwa: “Buah-buahan yang wajib dizakatkan adalah jika sampai lima wasaq (625,8/653 kg)” (HR. al-Bukhari). Pada hadis yang lain Nabi Saw. menerangkan bahwa “Jika tanaman itu diairi dengan air hujan atau mata air, maka zakatnya dikeluarkan sepersepuluh, dan yang diairi dengan tenaga pengangkut zakatnya seperduapuluh” (HR. al-Bukhari).
3.      Tentang puasa. Perintah melaksanakan puasa ditemui dalam surah al-Baqarah (2): 183
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Perintah ini tidak dilanjutkan dengan penjelasan tentang pelaksanaannya. Sehingga Nabi Saw. bersabda: “Puasalah kamu karena melihat bulan dan berbukalah kamu karena melihatnya”(HR. al-Bkhari, Muslim, al-Nasa’i, dan Ibn Majah). Dengan hadis yang berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat tersebut, umat Islam dapat melaksanakan puasa dengan benar.
4.      Tentang haji. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi yang mampu diperintahkan dalam surah Ali Imran (3): 97
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”.

            Nabi Saw. kemudian menjelaskan ayat yang bersifat global ini dengan memperagakan ibadah hajinya di hadapan para sahabat, lalu beliau berkata: “Belajarlah dariku tentang ibadah haji kalian” (HR. Muslim). Hadis ini disebut sebagai tafsir terhadap ayat yang memerintahkan haji di atas.

G.    Perbedaan Ta’wil dan Tafsir
             Hubungan antara ta’wil dan tafsir, ada ulama yang berpendapat bahwa kedua lafaz itu sama artinya dari segi tinjauan pengalihan. Tetapi sebenarnya di antara keduanya terdapat perbedaan, di antaranya adalah:[34]
1.      Tafsir adalah apa yang telah jelas dalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan oleh ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah.
2.      Tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.

KESIMPULAN

1.      Dari persyaratan-persyaratan ta’wil yang telah diuraikan di atas, maka terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fiqhiyah dalam beberapa masalah furu’ salah satunya adalah:
·         Persoalan memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang sebagai salah satu kafarat z}iha>r. Hal ini terdapat dalam firman Allah Swt.
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù Èûøïtöhx© Èû÷üyèÎ/$tGtFãB `ÏB È@ö6s% br& $¢!$yJtFtƒ ( `yJsù óO©9 ôìÏÜtGó¡o ãP$yèôÛÎ*sù tûüÏnGÅ $YZŠÅ3ó¡ÏB 4
Dalam menetapkan 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksud adalah 60 orang, masing-masing satu hari, atau satu orang miskin untuk selama 60 hari. Di sini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ø  Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang diberi makan itu adalah 60 orang  miskin, masing-masing satu hari, sesuai dengan zhahir ayat di atas yang secara terang menyebut “60 orang miskin” dan tidak terpenuhi kewajiban ini dengan memberi makan satu orang miskin selama 60 hari.
Ø  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh memberi makan satu orang miskin untuk masa 60 hari sebagaimana bolehnya memberi makan 60 orang miskin untuk satu hari. Mereka menta’wilkan ayat tersebut (“memberi makan 60 orang miskin”): kebutuhan 60 orang miskin untuk satu hari sama dengan kebutuhan satu orang miskin untuk 60 hari.
Ulama Syafi’iyah menganggap pemahaman ulama Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh karena cara tersebut berarti “menyelipkan” sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat, yaitu “makanan”, antara kata “memberi makan” dengan kata “60 orang miskin”. Juga sekaligus menghilangkan angka 60 untuk jumlah orang miskin.
2.      Perbedaan antara tafsir dan ta’wil adalah: (1) Tafsir adalah apa yang telah jelas dalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan oleh ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan dirayah. (2) Tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosa kata), sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.

DAFTAR PUSTAKA

al-Amidi, Sayf al-Din Abi al-Hasan ‘Ali. al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam. Cairo: Muassasah al-Halabi, 1967.

Khalaf, Abdul Wahab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. terj. Noer Iskandar al-Barsany. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.

Manzhur, Abu> al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn. Lisan al-‘Arab. Beirut: Da>r al-S}a>dir, tt.

al-Maqdisy, Abu> Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Qudamah. Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Muntazhir. Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1416 H.

al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. terj. Mudzakir. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2001.

al-Sha>bu>niy, M. Ali. Studi Ilmu al-Qur’an. terj. Aminuddin. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. jilid 2. Jakarta: Kencana, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu>. Ushul Fiqh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, tt.

al-Zalamiy, Mustafa Ibra>hi>m. Asba>b Ikhtila>f al-Fuqaha>’ fi> Ah}ka>mi al-Syar’iyyah. al-Da>r al-‘Arabiyyah, 1976.

Postingan terkait: