Al-Qiyas Atau Analogi dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum

 AL-QIYAS ATAU ANALOGI DAN PENGARUHNYA TERHADAP ISTINBAT HUKUM

PEMBAHASAN
A.      IMAM SHAFI’I
1.    Riwayat Imam Shafi’i
Nama lengkapnya adalah Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad Ibn Idri>s ibn ‘Abba>s ibn Uthma>n ibn Sha>fi’i al-Shafi’i dari keturununan Bani> Muthalib ibn Abi> Mana>f  yaitu kakek Rasul Allah  ke-empat dan yang ke Sembilan bagi imam Shafi’i, ibunya bangsa yaman dari suku azdi.
Imam Shafi’i dilahirkan di gazza, akan tetapi itu bukan kampung halamannya melainkan tempat berkunjung orang tuanya. Setelah beliau berusia dua tahun ibunya membawanya kekampung halamannya  yaitu makkah. Beliau hafal al-Qur’an sejak kecil, kemudian pergi ke Bani> Huzail untuk mempelajari bahasa dan sastra dan kembali lagi ke makkah kemudian  belajar fiqh dan hadis kepada Muslim Ibn Kha>lid az-Zanji> dan Sufya>n ibn ‘Uyainah. setelah berusia 20 tahun beliau pergi meninggalkan Mekah untuk belajar ilmu fiqh kepada Imam Malik sampai imam malik meninggal.[1]
Selanjutnya Imam Shafi’i pergi ke Yaman dan mendapat pekerjaan. kemudian khalifah harun ar-Rasyid mengundangnya dan mempertemukannya dengan Muh}ammad ibn H{usain ash-Shaibani dari beliau Imam Shafi’i belajar fiqh irak kemudian menyandarkannya dengan fiqh hijaz.[2]
2.      Pembentukan Karakter Keilmuan
Imam Shafi’i memiliki ragam budaya dan keilmuan yang tidak dimiliki oleh orang sebelumnya. Hal itu dikarenakan dua sebab. Salah satunya adalah beliau memiliki akal yang sempurna yang membantunya untuk memahamai segala hal yang beliau alami. Kedua; beliau banyak bergaul dengan para ulama dan banyak belajar ilmu dari mereka. seperti perjalanannya keberbagai daerah menjadikan beliau memiliki budaya yang luas dalam bahasa, sastra, hadis, dan fiqh dari dua metode ahli hadis dan ahli ra’yu.[3]
3.      Model Penggunaan Fiqh as-Shafi’i
a.       Imam Shafi’i belajar pada dua kelompok pemikiran terdahulu yaitu ahli hadis dan ahli ra’yu. Masing-masing melahirkan metode fiqh yang berbeda. hal ini menjadikan metode fiqh as-Shafi’i sebagai penengah antara ahli hadis dan ahli ra’yu.
b.      Terkodifikasinya metode fiqh yang terdiri dari usul dan kaidah-kaidah secara sistematis dalam kitabnnya “ar-Risalah” sebagai prinsip-perinsip global yang harus dijadikan pedoman/pegangan oleh seorang fakih dalam penggalian hukum.[4]
4.      Metode Penggalian Hukum Imam Shafi’i
a.    Al-Quran
Dalam hal ini Imam Shafi’i sama dengan fuqoha’ sebelumnya menempatkan al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam.
b.    As-Sunnah
Imam Shafi’i sangat menolak menggunakan hadits ahad sepanjang rowinya thiqah, dhabit dan sepanjang hadisnya bersambung kepada Rasulullah. Beliu mengkritik abu hanifah yang lebih mendahulukan qiyas atas hadis ahad. Beliau tidak mensyaratkan seperti apa yang disyaratkan abu hanifah dan imam malik dalam menggunakan sunnah, menurut imam Shafi’i sunnah sepanjang shahih itu wajib di ikuti seperti wajib mengikuti al-Qur’an. Kecuali dalam hal menggunakan hadith mursal  beliau mensyaratkan mursal said ibn musayyab.
c.    Ijma’
Beliau menolak pendapat gurunya Imam Malik yang menjadikan ijma’ ahli madinah sebagai hujjah, menurut beliau yang pertamakali ijma’ adalah ijma’ shahabat.[5]
d.   Qaul Shabat
Dalam qaul qadim Imam Shafi’i menggunakan ijma’ shabat sebagai hujjah. Adapun dalam qaul jadid beliau tidak menggunakan qaul shabat sebagai hujjah. Akan tetapi dapat dipahami dari kitabnya al-Umm bahwa Imam Shafi’i menjadikan qaul sahabat sebagai hujjah sepanjang tidak diteketahui perbedaan.
e.    Qiyas
Imam Shafi’i merupakan orang pertama yang berbicara qiyas memberikan definisi, kaidah-kaidah dan menjelaskan pokok pokoknya. Akan tetapi dalam penggunaannya Imam Shafi’i menengahi antara keketatan Imam Malik dan keleluasaan Abu Hanifah. Beliau mensyaratkan dalam menggunakan qiyas, yaitu illatnya harus mundhabithah.[6]
f.     Istishab
menggunakan istishab dan menganggap istishab sebagai salah satu sumber hukum
g.    Urf
Fiqh Imam Shafi’i berangkat dari tradisi di mesir kemudian kembali pada tradisi di irak dan di kuffah, ini menunjukkan bahwa Imam Shafi’i memandang urf sebagai salah satu sumber hukum.
h.    Istihsan
Imam Shafi’i terkenal tidak menggunakan Istihsan dalam penggalian hukum sebagaiman perkataannya: “barangsiapa beristihsan maka samahalnya dengan membuat syariat baru”
            Akan tetapi sebagian prodak hukum Imam Shafi’i menggunakan Istihsan, diantaranya: perkataan beliau: muttah hak aqim (mandul) itu adalah 30 dirham. Dan perkataan beliau terkait pencuri: beliau berkata jika pencuri mengeluarkan tangan kirinya sebagai pengganti tangan kanannya maka dipotong tangan kirinya, kalau menggunakan qiyas maka yang dipotong harus tangan kanannya,  menggunakan istihsan tidak demikian.[7]
     Dengan demikian sebenarnya Imam Shafi’i menggunakan Istihsan, akan tetapi beliau mengingkari penggunaan Istihsan sesuai kemauan orang tanpa adanya dalil.
B.       AL-QIYAS
1.    Qiyas dan Dampak Perbedaan Ulama Fiqih dalam Hukum
Sabagaimana telah dijelaskan bahwa qiyas adalah menyamakan suatu kejadian yang belum ada  ketetapan hukumnya disamakan dengan suatu kejadian yang telah ada dalil nashnya, hal itu karena ada kesamaan antara keduanya[8].
Menurut pernyataan al-Shafi’i, apabila qiyas diambil dari teks al-Qur’an maka dapat dikatakan sebagai hukum Allah, apabila qiyas diambil dari Sunnah maka dapat dikatakan ia adalah sebagai hukum Rasulullah. Dengan demikian, meskipun keduanya menggunakan qiyas, namun saya (al-Shafi’i) tidak mengatakan sebagai hukum qiyas. Disini, al-Shafi’i seakan-akan hendak mengatakan bahwa qiyas sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah al-Qur’an atau Sunnah. Karena itu, qiyas hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat, yaitu apabila dalam al-Qur’an atau Sunnah tidak ditemukan ketentuan hukumnya.[9]
Rukun-rukun qiyas ada empat: Asal, Cabang, Ilah, dan hukum asal.[10]
Qiyas adalah salah satu dari dasar-dasar pengambilah hukum setelah al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Hal itu bisa digunakan apabila[21]

KESIMPULAN

Qiyas adalah menyamakan suatu kejadian yang belum ada  ketetapan hukumnya disamakan dengan suatu kejadian yang telah ada dalil nashnya, hal itu karena ada kesamaan antara keduanya,.
Rukun-rukun qiyas ada empat: Asal, Cabang, Ilat, dan hukum asal. Selanjutnya para ulama tidak berbeda dalam masalah qiyas qath’i,  tetapi para ulama berbeda dalam masalah qiyas zhanni, yaitu sesuatu yang illatnya, baik illat asal, cabang atau salah satu darinya timbul dari sangkaan atau dzani.
Perbedaan ulama Ushul Fiqh dan ulama Fiqh didalam kehujahan qiyas, dimana sebab-sebab perbedaan didalam qiyas terkait dalam hukum syara’ terletak pada masalah ilatnya yakni ilat adalah suatu sifat pada ashal yang menjadi landasan hukum.
Objek qiyas terletak pada Pertama, ‘aqliyat. Kedua lughah, Ketiga, hudud, kifarat, takdirat dan ruhsoh. Selanjutnya ulama berbeda pendapat dalam bolehnya qiyas terkait dengan qiyas dalam sebab, syarat dan mawani’, Shafi’iyah dan sebagian hanafiyah memperbolehkan dengan alasan karena sebab, syarat, dan mani’ masuk dalam hukum syari’at maka boleh dikhususkan, sedangkan sebagian hanafiyah yang lain tidak memperbolehkanya karena hikmah dalam sebuah hukum tidak terbatas,



Postingan terkait: