PENDAHULUAN
Sumber-sumber hokum yang telah kita ketahui adalah
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Seluruh umat sepakat bahwa Al-Qur’an dan
Sunnah merupakan dalil yang qat’I, yang bisa digunakan sebagai landasan hokum.
Namun, sumber hokum yang ketiga, yaitu ijma’, masih terdapat
pertentangan-pertentangan dalm kehujjahan ijma’. Disini penulis mencoba untuk
menguraikan permaslahan-permasalahan yang masih dipertengtangkan dalam ijma’.
Sehingga ijma’ bisa digunakan sebagai sumber hokum setelah al-Qur’an dan
Sunnah.
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ijma’
Ijma’ dari segi bahasa memiliki dua makna yaitu :
1.
al-‘Azmu (ketetapan hati)[1],
sebagaimana firman Allah dalam surat yunus, ayat 71 فأجمعواأمركم
:
(maka bulatkanlah keputusan kalian)[2] dan
hadis shahih rasulullah saw pada kitab al-Nasa’i bab Shiyam no.2295 yang
berbunyi: لمن لم يجمع الصيام من الليل فلايصوم
Dari kedua makna tersebut, yang sesuai dengan
pembahasan kita tentang ijma’ adalah makna yang kedua yaitu al-Ittifa>qu (kesapakatan).
Namun, tidak berarti lafadz al-‘azmu tidak memiliki faedah. Imam
al-Qadhi mengatakan bahwa lafadz al-‘azmu dan al-ittifaq memiliki
keterkaitan yaitu ketika seseorang besepakat atas suatu hal tertentu, maka
orang tersebut telah berazam (menetapkan hati untuk bersepakat).[4]
Adapun menurut istilah, Ulama’ Us}ul mengemukakan dengan
redaksi yang berbeda-beda. Namun definisi yang umum dikemukakan adalah :
انفاق
المجتهدين من أمة محمدصلى الله عليه وسلم في عصرمن العصوربعدوفاته على حكم شرعي
Kesepakatan para mujtahid dari umat
Muhammad saw tentang hukum shara’ pada waktu tertentu, setelah wafatnya Nabi
saw.[5]
Dari
pengertian istilah tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa :[6]
1.
Kesepakatan para mujtahid itu tidak dibatasi jumlah
mujtahidnya dan
2.
Kesepakatan secara keseluruhan, apabila ada salah satu dari
mujtahid tersebut berbeda pendapat,maka tidak bisa disebut ijma’ dan tidak bisa
menjadi hujjah yang qat}’i.
3.
Para mujtahid khusus dari umat Muhammad saw, karean umatnya
tidak bersepakat dalam kesesatan. Sebagaimana sabda beliau لاتجتمع
أمتي على الضلالة
4.
Ijma’ / kesepakatn dilakukan dalam suatu masa tertentu. Maka
tidak disyaratkan ijma’ harus dilakukan sepanjang masa.
5.
Ijma’ / kesepakatan dilakukan setelah Rasulullah saw wafat,
karena semasa rasulullah masih hidup, beliau bisa menjadi sumber tashri’.
6.
Kesepakatan dilakukan dalam hukum shar’i. Apabila terdapat
kesepakatan tentang masalah ‘aqliyah atau lughowiyah atau selain hokum shar’I,
maka kesepakatan tersebut tidak disebut ijma’
7.
Ijma’ tidak menyimpang / berbeda dengan ijma’ sebelumnya.
Abdul Wahab Khallaf, menarik kesimpulan
dari pengertian ijma’ menurut istilah tersebut, bahwa ijma’ diangap sah menurut
shara’ bila mencakup empat unsure :[7]
1.
Ada beberpa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa.
Karena kesepakatan tidak mungkin terjadi dari seorang mujtahid saja.
2.
Kesepakatan atas hukum shara’ mengenai suatu peristiwa pada
saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal daerah, suku atau
kelompoknya.
3.
Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat dari
masing-masing mujtahid. Kemudian dikumpulkan dan ditemukan adanya kesepakatan.
4.
Kesepakatan itu harus benar-benar dari seluruh mujtahid
dunia Islam. Bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak
bisa disebut ijma’. Karena memungkinkan benar dalam satu segi dan salah dalam
segi yang lain.
B.
Ijma’ Sebagai Hujjah Shar’iyah
Para ulama’ berbeda pendapat dalam kehujjahan ijma’ :
1.
Jumhur ulama’ termasuk shiah imamiyah berpendapat bahwa
ijma’ adalah hujjah shariyah pada suatu masa.[8]
Hal tersebut berdasarkan pada dalil-dalil berikut, yaitu :
-
Al-Kitab
Ø Surat al-Nisa’ : 115
ومن
يشاقق الرسول من بعدماتبين له الهدى ويتبع غيرسبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله
جهنم وساءت مصيرا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.[9]
-
Al-Sunnah[10]
-
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : لاتجمع أمتي على خطأ, وفي رواية لاتجتمع على ضلالة
“Rasulullah saw bersabda : umatku tidak berkumpul dalam
kekeliruan. Dalam riwayat lain, tidak berkumpul dalam kesesatan.”
-
مارآه
المسلمون حسنافهوعندالله حسن, ومارآه قبيحافهوعندالله قبيح
“Apa
yang menurut umat muslim itu baik, maka Allah pun menganggap baik. Dan apa yang
menurut umat muslim itu buruk, maka menurut Allah pun buruk.”
2.
Abu daud al-Zhahiri dan imam Ahmad dalam satu riwayat
mengatakan bahwa hanya ijma’ sahabat yang menjadi hujjah shar’iyah.[11]
Imam Ahmad berpegang pada ketetapan Abu
Muslim al-Ashfahani yang masih dekat masanya kepada masa sahabat. Abu Muslim
mengatakan bahwa para ulama’ menetapkan ijma’ sahabat itu diterima dan ijma’
orang dibelakang sahabat diperselisihkan. Abu Muslim menetapkan pula, bahwa
ijma sesudah sahabat tak mungkin terjadi. Dia menandaskan bahwa sukar kita
mengetahui ada terjadi ijma’ selain dari ijma’ sahabat yang masih sedikit
jumlah orang-orang yang dipandang ahli ijma’. Keadaan itu memungkinkan mereka
berkumpul atau memberi persetujuan kepada pendapat orang lain. Karena mereka
masih sedikit jumlahnya dan masih tinggal satu tempat. Adapun sekarang Islam
sudah tersebar ke pelosok-pelosok daerah dan sudah banyak bilangan ulama’. Maka
tak mungkin lagi kita meyakini ada terjadi ijma’ diantara mereka.[12]
Dari itu, imam ahmad pun megaskan bahwa
: “ kemungkinan terjadinya ijma’ sesudah masa sahabat tak dapat diterima lagi,
karena para ulama’ muslim telah bertebaran ke pelosok-pelosok daerah.
Mengumpulkan mereka untuk mencapai kata sepakat (ijma’) bukanlah suatu hal yang
mudah lagi, bahkan hampir boleh dikatakan mustahil. Dan belum pernah kita
dengar bahwa mereka seluruhnya telah di
kota itu untuk menyepakati suatu hukum.”[13]
3.
Al-Nizham, sebagian kelompok Khawarij, sebagian kelompok Shiah,
Ja’far bin harb, Ja’far bin Mubashir, dan al-Kashani dari mu’tazilah mengatakan
bahwa secara mutlak, ijma’ bukan hujjah shar’iyah.[14]
Berdasarkan pada :
-
Al-kitab, Surat al-Nisa’ : 59
ياأيهاالذين
آمنواأطيعواالله وأطيعوااالرسول وأولى الأمرمنكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى
الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[15]
Menurut mereka, ayat tersebut telah
menjelaskan apabila terjadi perselisihan maka tempat kembali al-Kitab
(al-Qur’an) dan al-Sunnah bukan ijma’. Karena ijma’ bukan al-Qur’an ataupun
al-Sunnah. Maka tidak benar apabila ijma’ dijadikan rujukan.[16]
-
Al-Sunnah
Ø Dalam riwayat abu daud pada kitab sunan
Abi Daud juz 2 hal. 116:
روي
عن النبي صلى اله عليه وسلم أنه لماأرادأن يبعث معاذاإلى اليمن قاضياقال له : كيف
تقضى إذاعرض لك قضاء؟ قال بكتاب الله تعالى, قال : فإن لم تجدفي كتاب الله؟ قال:
فبسنة رسول الله, قال: فإن لم تجدفي سنة رسول الله ولافي كتاب الله؟ قال:
أجتهدرأيى. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره بيده وقال: الحمدلله الذي وفق
رسول رسول الله لمايرضى الله ورسوله
Dari
hadis tersebut, mereka berpendapat bahwa rasulullah membenarkan jawaban Mu’adz
tanpa mengatakan ijma’.[17]
Dalil
mereka ini ditentang oleh para ulama’ dengan mengatakan bahwa mu’adz tidak
menyebut ijma’ karena ijma’ tidak ada pada masa rasulullah.[18]
-
Dalil ‘aqli
Menurut Muhammad Salam Madkur, mereka
menanggapi makna ijma’ yang berarti persepakatan semua mujtahid dalam satu
waktu tertentu. Hal itu menurut mereka tidak mungkin terjadi, karena tidak ada
aturan yang membatasi mereka untuk melakukan perjalanan ke berbagai kota dan
menetap di kota-kota tersebut.[19]
Secara khusus, Muhammad Salam Madkur
menginformasikan alasan yang dikumukan al-Nazham. Yaitu, menurutnya pendapat
seorang ulama’ memiliki kemungkinan keliru. Oleh karena itu, ia menolak ijma’
sebagai hujjah.[20]
C.
Landasan ijma’
Ijma’ dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum
bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan shara’ yang disebut sanad
ijma’.[21]
Adapun landasan ijma’ adalah :
1.
Al-Qur’an
Para ulama’ sepakat atas keabsahan al-Qur’an sebagai
landasan ijma’. Contoh ijma’ yang berlandaskan al-Qur’an adalah kesepakatan
para ulama’ atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Sebagaimana ayat
23 dari surat an-nisa’ yang berbunyi :
حرمت
عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت وأمهاتكم
اللاتي أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعة وأمهات نسائكم وربائبكم اللاتي في حجوركم من
نسائكم اللاتي دخلتم بهن فإن لم تكونوا دخلتم بهن فلاجناح عليكم وحلائل أبنائكم
الذين من أصلابكم وأن تجمعوابين الأختين إلاماقدسلف إن الله كان غفورارحيما
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[22]
Para ulama’
sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata ummahat (para ibu) dalam ayat
tersebut mencakup nenek keatas. Dan kata banat (anak-anak perempuan)
dalam ayat tersebut mencakup cucu perempuan ke bawah.[23]
2.
al-Sunnah
Para ulama’
juga sepakat al-Sunnah sebagai landasan ijma’. Adapun contoh ijma’ yang
dilandaskan atas al-Sunnah adalah kesepakatan ulama’ tentang kedudukan nenek mengantikan
ibu dalam hal waris dan mendapat 1/6 dari harta waris bilamana ibu kandung si
mayit sudah wafat. Kesepakatan tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi :
عن
ابن عمر قال : جاءت الجدة أم الأم وأم الأب إلى أبي بكر فسأل الناس فشهدالمغيرة بن
شعبة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطاها
Dari ibnu
Umar berkata : ada seorang nenek yaitu ibu kandung ibu dan ibu kandung ayah
yang dating kepada Abu bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya
kepada orang-orang dan al-Mughirah bin Shu’bah yang bisa memberitahu bahwa
sesungguhnya Rasulullah saw memberikan warisan kepada nenek sperenam.[24]
3.
Qiyas
Landasan
ijma berdasarkan qiyas, para ulama’ berbeda pendapat. Daud al-Zhahiri dan Ibn
Jarir al-T{abari menolak Qiyas sebagai landasan dari pada ijma’. Sedangkan
mayoritas ulama’ mengatakan bahwa qiyas sebagai landasan ijma’. Sebagaimana
ijma’ para ulama’ dalam mengharamkan minyak babi berdasarkan qiyas atas
keharaman dagingnya.[25]
D.
Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang
kemungkinan terjadinya ijma’ setelah masa sahabat, tepatnya setelah para
sahabat tersebar, berpindah dan menetap di berbagai kota yang berbeda.
Al-Nizham, Shiah Ja’fariyah, dan
sebagian ulama’ mu’tazilah ( Ja’far Ibn Mubashir dan Ja’far Ibn Harb)
berpendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi.[26]
Dengan alasan-alasan sebagai berikut :
·
Kesepakatan para mujtahid atas satu hukum tertentu yang
bertentangan dengan akal mereka. Maka hal ini menurut kebiasaan sangat sukar
dan tidak mungkin. Seperti kesulitan mereka untuk bersepakat makan bersama
dalam satu waktu atau minum dalam satu waktu atau berbicara dengan kalimat yang
sama dalam satu waktu.[27]
·
Apabila ijma’ itu diadakan, maka harus disandarkan kepada
dalil, baik itu dalil qat}’I atau zhanni. Jika yang dipakai sandaran itu dalil
qat}’I, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat Islam tidak sulit
mengetahui dalil shara’ yang qat}’I sehingga mereka butuh untuk merujuk para
mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan jika yang dipakai itu dalil zhanni menurut
kebiasaan tidak mungkin akan terwujud suatu kesepakatan karena dalil zhanni
pasti menimbulkan banyak pertentangan.[28]
Adapun Jumhur ulama’, yaitu ahl
al-sunnah, shi’ah zaidiyah dan imamiyah berpendapat bahwa ijma’ mungkin terjadi
menurut kebiasaan. Sebagaimana yang telah terjadi, adanya beberapa ijma’ dan
tidak yang mengingkari. Seperti ijma’ terhadap air yang terkena najis dan
berubah salah satu dari tiga sifatnya, yaitu warna, rasa, dan baunya. Maka air
tersebut tidak sah dipakai untuk berwudhu atau mandi besar. Ijma atas
terhalangnya cucu laki-laki mendapatkan harta warisan karena adanya anak
laki-laki. Dan masih banyak lagi contoh lainnya. [29]
Diantara dua pendapat tersebut,
-
Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa ijma’ yang dapat
dijadikan hujjah hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada waktu itu mereka
masih berdomisili dalam satu jazirah dan belum tersebar di berbagai Negara,
sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in mereka
sudah tersebar di berbagai Negara sehingga sulit untuk mengadakan pertemuan
diantara mereka. Maka dari itu, ijma’ bukanlah suatu hal yang mudah terjadi
bahkan boleh dikatakan tidak mungkin terjadi[30]
-
Abdul Wahab Khallaf juga berpendapat bahwa ijma’ dengan
definisi yang ada, menurut kebiasaan tidak mungkin diadakaan bila diserahkan
kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijma’ mungkin dapat diadakan
bila dikuasai oleh pemerintahan Islam dimana saja. Masing-masing pemerintahan
dapat menentukan syarat seseorang bisa dianggap sebagai mujtahid. Dengan
demekian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan
pendapat-pendapatnya mengenai peristiwa apa saja. Bila masing-masing
pemerintahan telah mengetahuiseluruh pendapat mujtahid di seluruh pemerinthan
Islam atas satu hukum pada peristiwa dimaksud, itu berarti telah terjadi ijma’
dan hukum yang telah disepakati itu menjadi hukum shara’ yang wajib diikuti
oleh umat Islam.[31]
E.
Macam-macam ijma’
Ijma’
ditinjau dari cara penetapannya ada dua :
1.
Ijma’ S{arih, yaitu para mujtahid menyampaikan pendapatnya
secara tegas dan jelas.
2.
Ijma’ sukuti, sebagian para mujtahid menyampaikan
pendapatnya secara tegas, dan sebagian yang lain hanya diam, tanpa diketahui
apakah diamnya tersebut menunjukkan kesepakatan atau penolakan.
Oleh karena
itu, ulama’ berbeda pendapat dalam kehujjahan ijma’ sukuti. Menurut Imam
Syafi’I dan Malikiyah , Ijma’ Sukuti tidak bisa dijadikan landasan pembentukan
hokum. Alasan diamnya sebagian para mujtahid, belum tentu menandakan setuju,
karena bisa jadi disebabkna takut kepada penguasa bilamana pendapat itu telah
didukung oleh penguasa, atau karena sungkan menentang pendapat mujtahid yang
punya pendapat itu sebab dianggap lebih senior.
Sedangkan
menurut Hanafiyah dan Hanabilah, Ijma’ Sukuti sah dijadikan sumber hokum.
Alasannya bahwa diamnya sebagian ulama’ mujtahid dipahami sebagai persetujuan.
Karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru, mereka harus tegas
menentangnya.
Adapun
menurut sebagian Hanfiyah dan sebagian Malikiyah menyatakan bahwa diamnya
sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’, namun
pendapat seperti itu dianggap lebih kuat dari pendapat perorangan.[32]
F.
Ijma’ khusus
Yang
dimaksud ijma’ khusus disini adalah ijma’ yang dilakukan kelompok tertentu.
Seperti ijma’ penduduk madinah, dan ijma’ ahl ‘itrah.
a.
Ijma’ ahl madinah.
1.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ijma’ ahl madinah tidak bisa
digunakan sebagai hujjah. Adapun alasan Jumhur berpendapat seperti itu adalah :[33]
1.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma’ itu adalah hujjah
yang mencakup orang-orang yang telah berdomisili di madinah, baik orang tersebut
penduduk madinah atau non madinah.
Dan ahli madinah sendiri itu tidak
seluruhnya mu’min. maka tidak mungkin kalau ijma’ mereka digunakan sebagai hujjah.
2.
Bagaimana bisa terjadi ijma’ ahli madinah. Padahal sebagian
sahabat telah keluar dari madinah, seperti sahabat Ali, ibnu mas’ud, muadz, dan
sebagainya. Maka tidak mungkin terjadi ijma’ tanpa kehadiran mereka.
3.
Sebagaimana yang kita ketahui ahwa ijma’ adalah kesepakatan
seluruh mujtahid. Maka tidak bisa terjadi kalau ijma’ itu dilakukan oleh
sebagian mujtahid saja, seperti mujtahid ahl madinah.
2.
Imam malik dan pengikutnya mengatakan bahwa ijma’ ahl
madinah adalah hujjah. Adapun alasan imam malik dan pengikutnya :
·
Berdasarkan nas yaitu hadis rasul saw yang diriwayat oleh
imam Bukhari pada kitab sahihnya yaitu :
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن المدينة طيبة تنفى خبثها كما ينفى الكيرخبث
الحديد
Dari hadis tersebut mereka berpendapat bahwa khoto’
(kesalahan) termasuk dari jenis khobas (kejahatan). Maka apabila tidak
ada kejahatan pada penduduk madinah, berarti tidak mungkin terjadi kesalahan
dari penduduk madinah.[34]
·
Adapun secara logika, mereka berpendapat bahwa :[35]
1.
Madinah adalah tempat hijrah dan bersemayamnya rasul saw,
tempat turunnya wahyu, tempat pengukuhan Islam, tempat berkumpulnya para
sahabat. Maka perkataan penduduk madinah tidak mungkin keluar dari kebenaran.
2.
Penduduk madinah menyaksikan turunya wahyu dan mereka
mendengarkan penjelasan wahyu-wahyu tersebut, serta mereka lebih mengetahui
tindak tanduk rasul saw dari pada yang lain.
3.
Riawayat penduduk madinah lebih didahulukan atas riwayat
lainnya. Maka dari itu, ijma’ penduduk madinah adalah hujjah untuk yang
lainnya.
Dari kedua pendapat yang masing-masing telah mengemukakan
dalilnya, beberapa ulama’ berpendapat tentang pertentangan tersebut. Menurut pernyataan
dari kitab al-ahkam fi usul al-ahkam milik Amadi, bahwa ijma’ ahl madinah bukan
hujjah, sebagaimana ijma’nya ahl makkah, kufah dan basrah, yang juga tidak bisa
dianggap sebagai hujjah karena masih terdapat
perbedaan pendapat.[36]
Adapun menurut Mustafa Ibrahim al-zalami, ijma’ penduduk
madinah adalah hujjah sebagaimana cara penyalinannya yang rumit dan menyamai
sunnah mutawatir. Tetapi ijma’ penduduk madinah ini hanya terbatas pada masa
sahabat dan tabi’in, serta ijma’ tersebut tidak bertentangan dengan nas atau
ijma’ al-ummah.[37]
b.
Ijma’ Ahl al-‘Itrah
Shi’ah
imamiyah memiliki pemahaman sendiri tentang ijma’. Menurut mereka ijma’ adalah
kesepakatan para jama’ah yang disertai oleh pemikiran yang ma’sum, karena
kesepakatan mereka secara keseluruhan menghasilkan suatu ilmu yang diambil dari
imam atau pemimpin mereka.[38]
Dari
pengertian ijma’ tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa :
-
Kesepkatan
suatu kelompok harus disertai keimanan terhadap ada nya imam yang ma’sum, baik
imam tersebut tampak dan terkenal ataupun imam tersebut tersembunyi.
-
Kesepakatan
tanpa disertai imam yang ma’sum, maka kesepakatan tersebut tidak bisa disebut
ijma’
-
Sesungguhnya
landasan hokum itu bukan berada pada ijma’ itu sendiri, namun ada pada
perkataan imam yang ma’sum
Adapun
dalil dari kelompok shiah yang menyatakan bahwa ijma’ ahl ‘itrah itu hujjah
adalah sebagai berikut :[39]
-
Al-kitab, surat
al-ahzab, ayat 33 :
إنمايريدالله
ليذهب عنكم الرجس أهل البيت ويطهركم تطهيرا
Dari ayat tersebut, mereka berpendapat
bahwa Allah telah menghapuskan kesalahan pada ahl bait
-
Al-Sunnah
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
إني تارك فيكم النقلين فإن تمسكتم بهمالن تضلواكتاب الله وعترتي
Rasulullah saw bersabda : sesunggunhya aku
telah meninggalkan dua hal, apabila kalian berpegang kepada keduanya, niscaya
kalian tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan ‘itrati
(keturunanku)
-
Secara logika,
ahl bait dikhususkan dengan kemulyaan,
nasab, mereka adalah ahl bait
al-risalah, mengetahui sebab-sebab turunnya wahyu dan ta’wilnya juga,
mengetahui perbuatan dan perkataan rasul saw, dan mereka terhindar dari
kesalahan karena mereka telah mengetahui dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengn
jelas. Maka dari itu, perkataan dan perbuatan mereka dianggap hujjah untuk yang
lain, bahkan perkataan satu orang saja dianggap hujjah yang sangat penting dan
terhindar dari kesalahan sebagaimana perkataan dan perbuatan nabi saw.
Melihat
dalil-dalil yang telah diutaraka oleh kelompok shi’ah, Mustafa Ibrahim
al-zalami membantah dalil-dalil mereka. Yaitu :[40]
1.
Tentang ayat
yang dikemukakan bahwa rijsun disini berma’na ismu’ (dosa), atau ‘azhab
(siksaan). Kemudian yang dimaksud ahl bait dalam ayat tersebut adalah
istri-istri nabi saw, sebagaimana qarinah yang ada dalam tiga bentuk :
-
al-sibaq
(pertandingan) sebagaimana firman Allah dalam surat al-ahzab : 30, yaitu :
يانساءالنبي
من يأت منكن بفاحشة
-
al-siyaq
(persamaan, penyesuaian), sebagaimana firman Alah dalam surat al-ahzab : 32,
yaitu :
يانساءالنبي
لستن كأحدمن النساء
-
al-Lihaq
(penisbatan), sebagaimana firman Allah dalam surat al-ahzab : 34, yaitu :
واذكرن
مايتلى في بيوتكن من آيات الله والحكمة إن الله كان لطيفاخبيرا
2.
khabar yang
dikemukan tidak tetap (sabit), maksud dari saqalaini adalah al-Qur’an dan
al-Sunnah, bukan al-Qur’an dan al-‘itrah. Jadi hal ini tidak berpengaruh pada
kekhususan mereka.
G.
Implikasi
Perbedaan Pendapat Para Ulama’ Tentang
Ijma’ Dalam Masalah-Masalah Fiqh
Dari perbedaan pendapat para ulama’
dalam masalah ijma’ ini, maka terjadi perbedaan juga dalam masalah-masalah
fiqh, diantaranya adalah :[41]
1.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa secara ijma’ seorang suami
wajib menafkahi istrinya, baik suami tersebut kaya ataupun miskin.
Namun hal ini berbeda dengan pendapat al-Zhahiriyyah yang
menyatakan bahwa istri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang fakir.
Sebagaiman yang dikatakan oleh ibn al-Hazm, apabila suami tidak mampu menfkahi
dirinya sendiri, sedangkan istrinya orang yang kaya, maka istri tersebut
terbebani untuk menafkahi suaminya.
Adapun dalil yang dikemukakan oleh al-Zahiriyah adalah
firman Allah surat al-Baqarah :
وعلى
المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف ... إلى قوله تعالى وعلى الوارث مثل ذلك
Menurut mereka,
istri adalah ahli waris, jadi wajib atasnya menafkahi suaminya yang fakir
sesuai deng nas} ayat tersebut.
2.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa secara ijma’ menikahi
seorang perempuan dan berpoligami dengan bibi perempuan tersebut, hokumnya
haram.
Namun, menurut Shiah imamiyah dan khawarij, hal tersebut
boleh.
3.
Jumhur ulama’ menyatakan secara ijma’ bahwa nikah mut’ah
telah diharamkan yang mana sebelumnya hal ini dibolehkan.
Namun menurut ijma’ kelompok shiah, nikah mut’ah ini
dibolehkan selamanya.
4.
Jumhur ulama’ secara ijma’ menetapkan bahwa membayar hutang
si mayit lebih didahulukan dari pada melaksanakan wasiat.
Namun kelompok Khawarij tetap mengutamakan wasiat dari pada
membayar hutang si mayit
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian diatas tentang ijma’ dapat disimpulkan
bahwa :
1.
definisi ijma’ yang umum dikemukakan adalah :
انفاق
المجتهدين من أمة محمدصلى الله عليه وسلم في عصرمن العصوربعدوفاته على حكم شرعي
Kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad saw tentang
hukum shara’ pada waktu tertentu, setelah wafatnya Nabi saw.
2.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam kehujjahan ijma’ :
·
Jumhur ulama’ termasuk shiah imamiyah berpendapat bahwa
ijma’ adalah hujjah shariyah pada suatu masa
·
Abu daud al-Zhahiri dan imam Ahmad dalam satu riwayat
mengatakan bahwa hanya ijma’ sahabat yang menjadi hujjah shar’iyah.
·
Al-Nizham, sebagian kelompok Khawarij, sebagian kelompok
Shiah, Ja’far bin harb, Ja’far bin Mubashir, dan al-Kashani dari mu’tazilah
mengatakan bahwa secara mutlak, ijma’ bukan hujjah shar’iyah.
3.
Ijma’ terbagi menjadi dua macam yaitu ijma’ sharih dan ijma’
sukuti.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zalami, Mustafa, Ibrahim, Asbab
Ikhtilaf al-Fuqaha’ fi al-Ahkam al-Shar’iyah, Beirut: Al-Dar Al-‘Arabiyah,
t.t.
Al-Shaukani, Irshad Al-Fuhul,
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.
Ali, Atabik, Kamus Kontemporer Arab
Indonesia, Krapyak: Multi Karya Grafika, t.t.
Effendi, Satria, Usul Fiqh,
Jakarta: Kencana, 2005.
Fattah, Abdul, Buhus fi Usul al-Fiqh,
Kairo, t.t.
Hasbi, Muhamad Teungku, Pengantar
Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, t.t.
Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad
Hukum Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2002.
Zaidan, Karim, Abdul, Al-Wajiz fi
Usul al-Fiqh, Beirut: Muassasah al-Risalah, t.t.
Zahrah, Abu, Muhammad, Usul Fiqh, Jakarta: Pustaka
Firdaus,t.t.