Mafhum Al-Muwafaqah Dan Mafhum Al-Mukhalafah

MAFHUM AL-MUWAFAQAH  DAN MAFHUM AL-MUKHALAFAH


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu us}u>l al-fiqh adalah ilmu yang berdasarkan pada ijtihad para mujtahid dengan sumber utamanya al-Qur’an dan hadith. kajian ilmu us}u>l al-fiqh terletak pada dila>lah (petunjuk) yang ada dalam teks mengenai makna maupun petunjuk lainnya seputar teks.
Dari sisi penunjukkan lafaz, para Ulama’ us}u>l membagi ‘dilalatul alfadz’ ini atas berlakunya hukum menjadi dua metode, 1) Metode Ulama Hanafiah 2) Metode Ulama Mutakallimin.
 Penunjukkan lafadz menurut ulama’ hanafiah terbagi menjadi empat macam: dila>lah ibarah, dila>lah nash, dan dila>lah iqtidha>. Adapun penunjukkan lafadz menurut Ulama mutakallimi>n dibagi menjadi dua, mant}u>q dan mafhu>m. Yakni berusaha menemukan maksud pembicara baik yang tersurat (mant}u>q) maupun yang tersirat (mafhu>m). Perbedaan produk istinbat ulama’ salah satunya disebabkan karena perbedaan pendapat tentang sahnya penggunaan mafhu>m  sebagai hujjah.


PEMBAHASAN
A. Mafhum
Definisi  mafhu>m adalah :
ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق بأن يكون حكما لغير المذكور وحالا من أحواله .
“Penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan” [1]
Misalnya, firman Allah:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" (QS.Al-Isra’ 17:23)
Ayat ini menunjukkan dan dapat dilihat dari sisi mafhu>mnya pelarangan memukul orang tua.
Contoh lainnya dalam QS. An-Nisa 4:25.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki..”.
Ayat ini menunjukkan haramnya atau tidak bolehnya menikahi hamba sahaya yang tidak beriman. Dua hal diatas ini menunjukkan atas lafadz berdasar dengan yang tidak disebutkan (mafhu>m).[2]
Mafhu>m terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Mafhu>m al-Muwa>faqah
2.      Mafhu>m al-Mukha>lafah
B. Mafhu>m al-Muwa>faqah
Mafhu>m Al-muwa>faqah adalah :
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه وموافقته له نفيا أو إثباتا لاشتراكهما في معنى يدرك من اللفظ مجرد بمعرفة اللغة دون الحاجة إلى بحث واجتهاد.
 “Penunjukkan lafadz atas  berlakunya hukum dari masalah yang disebutkan (mant}u>q) bagi masalah yang tidak disebutkan (masku>t) dan penyesuaiannya baik secara tidak pasti (nafy) atau tidak pasti (ithba>t) bagi pelibatan keduanya atas makna dan dapat diketahui dengan hanya memahami bahasa tanpa memerlukan nalar dan ijtihad ”.[3]    
1. Pembagian Mafhu>m al-Muwa>faqah
Ditinjau dari masalah yang tidak disebutkan (maskut) lebih utama ataukah sama dari yang disebutkan (mant}u>q),  mafhu>m al-muwa>faqah terbagi menjadi dua, yaitu :
a) Fah}w al-Khit}a>b
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan/mant}u>qnya.
Misalnya, firman Allah:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. (QS.Al-Isra’ 17:23)
Pernyataan ayat ini menunjukkan larangan mengatakan ‘uff’ karenanya disebut mant}u>q. Adapun larangan memukul adalah masku>t (yang tidak disebutkan). Karena kedua makna ini masuk dalam makna ‘menyakiti’ yang difahami dari lafadz ‘uff’ bahkan memukul pelarangannya lebih utama.
b) Lah}n al- Khit}a>b
Apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An-Nisa 4:10)
       Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa merusak dan membakar harta anak yatim atau menyia-nyikannya hukumnya juga haram.[4] Makna-makna ini mengacu pada satu hal, yaitu menghabiskan harta anak yatim secara lalim.[5]
2. Berhujjah dengan Mafhu>m Al-muwa>faqah
           Tidak ada perbedaan di antara para fuqaha dalam berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah, kecuali pendapat dari Ibn Hazm dan mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah.[6] Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiya>s, sedangkan mereka menafikan qiya>s.
          Namun para ahli us}u>l memperdebatkan mengenai dua hal, yaitu :
1.      Apakah ada persyaratan muna>sabah pada masku>t ’anhu atau tidak
2.      Cara penetapan mafhu>m al-muwa>faqah, apakah mafhu>m al-muwa>faqah termasuk qiya>s (dalalah qiya>siyah) atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut (dalalah lafz}iyah).[7]
Penjabaran dari kedua perbedaan pendapat di atas sebagai berikut :
a. perbedaan pendapat apakah dalam masku>t ’anhu perlu  muna>sabah yang lebih berat atau tidak
terdapat dua pendapat mengenai hal ini, yaitu :
1.      Pendapat Al-Amidi, Ibn H}a>jib, Al-Juwayni> dalam kitab Al-Burha>n menukil pendapat Al-Sya>fi’i>, dan pendapat Syi>’ah Ima>miyah berpendapat perlu adanya relevansi yang lebih kuat (asyaddu muna>sabah) dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Contohnya keharaman memukul orang tua, relevansinya adalah menyakiti dengan memukul adalah lebih berat daripada ta’fi>f (menyakiti dengan perkataan). Kelompok ini berpendapat pula bahwa hukum yang dimunculkan dengan munasabah yang sepadan bukanlah dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah, melainkan dengan qiya>s.
2.      Mayoritas ulama berpendapat dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah tidak harus berupa relevansi yang lebih kuat (asyaddu munasabah). Dengan munasabah yang sepadanpun dapat digunakan dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah.[8]
b. Perbedaan Pendapat Apakah Mafhu>m al-Muwa>faqah Termasuk qiya>s atau Dila>lah Lafz}iyah (Penalaran Linguistik)
1.       Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhu>m al-muwa>faqah  sebagai bagian dari qiya>s dan merupakan jenis qiya>s yang lebih kuat.[9]
 Mafhu>m al-muwa>faqah melibatkan suatu penalaran inferensial, karena dalam penalaran ini bahasa teks tidak secara tersurat menyebutkan hukum masalahnya. Perbuatan memukul tidak dipahami berdasarkan ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Adalah dengan jalan penalaran terhadap implikasi yang ditimbulkan dapat dipahami bahwa kata-kata ‘hus’ mengandung arti menyakiti dan karena itu meliputi juga memukul. Pemahaman ini hanya dapat dilakukan melalui qiya>s. Mafhu>m al-muwa>faqah inilah merupakan jenis qiya>s yang paling kuat dan jelas (jaly).
2.       Para Mutakallimi>n, penganut Mazhab Zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia bukan merupakan qiya>s, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri.[10]
Hukum yang disimpulkan berdasarkan mafhu>m al-muwa>faqah ini disimpulkan dari bahasa teks tanpa melalui ijtihad dan penyimpulan rasional serta dapat diketahui oleh setiap orang yang mengerti dan menguasai bahasa teks yang bersangkutan. Mafhu>m al-muwa>faqah bukan merupakan qiya>s karena qiya>s hanya dapat dipahami oleh ahli hukum  sementara mafhu>m al-muwa>faqah dapat dipahami oleh semua orang yang dapat memahami bahasa.
Pendapat yang menyatakan Mafhu>m al-muwa>faqah berbeda dengan qiya>s memiliki beberapa alasan, yaitu:
a.   Dalam qiya>s tidak disyaratkan bahwa illat yang ada pada kasus cabang lebih relevan (asyaddu munasabah) daripada yang ada dalam kasus pokok, sementara itu dengan penalaran mafhu>m al-muwa>faqah, tidak mungkin terjadi tanpa relevansi yang lebih kuat dalam kasus cabang.
b.   Dalam qiya>s, kasus pokok tidak termasuk dan merupakan bagian dari kasus cabang, sementara dalam mafhu>m al-muwa>faqah, kasus yang disebutkan secara tersurat itu merupakan bagian dari kasus yang dipahami secara tersirat. Jadi dalam kasus bahwa Tuhan memberikan ganjaran terhadap perbuatan baik sekalipun sebesar atom, dipahami bahwa perbuatan baik yang lebih besar tentu lebih layak lagi diberi pahala. Terlihat bahwa perbuatan baik sebesar atom adalah bagian dari perbuatan baik yang lebih besar. [11]Atas dasar ini, maka mafhu>m al-muwa>faqah bukanlah merupakan bagian dari qiya>s akan tetapi penalaran murni linguistik.
Ulama’ us}u>l al-fiqh lainnya berpendapat bahwa makna yang dipahami itu termasuk dalam cakupan lafal mant}uq melalui cara pemindahan makna yang lebih umum, sehingga mencakup mant}uq dan mafhu>m sekaligus, sesuai dengan ’urf  (kebiasaan bahasa)[12]
3.      Athar al-Ikhtila>f [13]
 Contoh implikasi hukum akibat perbedaan pendapat mengenai penggunaan Mafhu>m al-muwa>faqah yaitu perbedaan pendapat mengenai wajibnya kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan tanpa sebab yang diperbolehkan.
Di sini tidak ada perbedaan pendapat ulama’ bahwa orang yang membatalkan puasa karena jima’ di siang hari bulan ramadhan wajib membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, bila tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut, bila tidak mampu maka memberi makan enam puluh fakir miskin. Kafarat ini berdasarkan hadis riwayat Al Bukha>ri> No. 1800 Ba>b Iz}a Ja>ma’a fi> Ramad}a>n wa laysa lahu> Syai’  dari Abu> Hurayrah
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
Perbedaan pendapat ulama’ mengenai hal ini adalah dala>lah mafhu>m al-muwa>faqah  mengenai kewajiban membayar kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan dengan makan dan minum, bukan dengan jima’. Beberapa pendapat ulama’ antara lain:
1.      Hanafiyah, Malikiyah dan Syi>’ah Ima>miyah berpendapat kafarat wajib pula dibayar bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan selain karena melakukan jima’. Karena illat hukum pada hadis ini adalah jina>yah atas sirnanya rukun puasa, yaitu imsa>k (menahan diri). Pembatalan puasa dengan makan dan minum dengan penalaran  mafhu>m al-muwa>faqah / dala>lah al-nas} termasuk dalam hukuman atas  jima’ di siang hari bulan ramadhan yang telah disebutkan (mant}u>q/’iba>rah al-nas})[14]
2.      Sa’i>d ibn Jubayr, Al-Nakha’i>, Ibn Si>ri>n, Al-Sya>fi’i> dan Ah}mad berpendapat  illat sirnanya rukun puasa pada hadis di atas adalah disebabkan jima’, bukan yang lain. Maka tidak wajib membayar kafarat bagi orang yang membatalkan puasa di siang hari bulan ramadhan selain karena melakukan jima’ (dalam hal ini, makan dan minum)[15]

C. Mafhu>m al-Mukha>lafah
Menurut Must}afa Sa’i>d al-Khin, Mafhu>m al-Mukha>lafah adalah :
دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق به للمسكوت عنه مخالف لما دل عليه المنطوق لانتفاء قيد من القيود المعتبرة فى الحكم
yaitu penunjukan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan.[16]
Mafhu>m juga disebut dengan dalî>l al-khit}a>b, karena dalilnya diambil dari jenis perintah itu sendiri.  Misalnya, sabda Rasulullah saw.: [17]
فى الغنم السائمة الزكاة 
Bunyi (mant}u>q) yamg dikeluarkan hadist tersebut menunjukkan, bahwa Biri-biri (Domba) yang digembalakan dipadang rumput wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi dengan menggunakan  mafhu>m al-mukha>lafah dafat difahami, bahwa Biri-biri (Domba) yang dipelihara (dibiayai) tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
1. Macam-Macam Mafhu>m al-Mukha>lafah
     Dalam pembagian  mafhu>m al-al-mukha>lafah para ulama' us}u>lal-fiqh berbeda-beda pendapat. Ha>syim Jami>l Abd Allah menyebutkan ada empat jenis mafhu>m al-mukha>lafah, yaitu[18]:
1.      Mafhu>m al-S}ifah,
Mafhu>m al-s}ifah adalah menetapkan hukum dalam bunyi (mant}u>q) suatu nash yang dibatasi (diberi qayd) dengan sifat yang terdapat dalam lafadz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum tersebut.[19]
Misalnya, firman Allah SWT QS. An-Nisa' ayat 25.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
diperbolehkannya mengawini wanita-wanita budak dalam ayat tersebut adalah dibatasi (diberi qayd) dengan keimanan, oleh karena itu waita-wanita budak yang tidak beriman tidak halal untuk dinikahi.

2. Mafhu>m al-Syart}
Mafhu>m as-syart} adalah menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung pada syarat, jika syarat tersebut telah hilang.[20]
Misalnya, firman Allah SWT. QS. Ath-Thalaq ayat 6:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
ayat tersebut menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafakah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah dibatasi jika isteri tersebut sedang dalam hamil. Dengan menggunakan mafhu>m al-mukhâlafah dapat dipahami, jika isteri yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka bekas suaminya teidak berkewajiban memberikan nafkah. Sedangkan dengan mengunakan  mafhu>m as-syart> dapat dipahami, bahwa bekas suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa 'iddah, kecuali isteri tersebut dicerai dengan thalaq raj'i atau sedang hamil.
3. Mafhu>m al-Gha>yah
Mafhu>m al-gha>yah adalah menetapkan hukum yang berada diluar tujuan nash (gha>yah), bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan (gha>yah).[21] Hukum yang terjadi sesudah ghâyah tersebut berbeda dengan hukum yang terjadi sebelum gha>yah. lafaz ini gha>yah adakalnya ”ilaa” atau dengan ”tah}ta”.
Misalnya, firman Allah SWT. QS. Al-Baqarah ayat 222 :
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
ayat ini menunjukkan seorang suami diperbolehkan mencampuri isterinya setelah isteri tersebut suci dari haid.
4. Mafhu>m al-'Adad
Mafhu>m al-'adad adalah penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatasi dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak terpenuhi.[22]
Misalnya, firman Allah SWT. QS. An-Nur ayat  2 :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
ayat ini menetapkan hukuman pukulan sebanyak seratus kali bagi siapa saja yang berzina, hukum pukulan tersebut tidak boleh dikurangi atau ditambah. Larangan ini adalah didasarkan pada mafhu>m almukha>lafah, yakni jika suatu hukuman (sanksi) telah ditetapkan ukurannya, maka tidak boleh ditambah atau dikurangi.[23]
Selain keempat jenis mafhu>m al-mukha>lafah yang disebutkan Ha>syim Jami>l Abd Allah di atas, masih terdapat beberapa jenis mafhu>m al-mukha>lafah yang lain, yaitu :
5. Mafhu>m al-Laqab
    Mafhu>m al-laqab adalah menggantungkan adanya sebuah hukum dengan isim 'alam atau isim nau' [24] .
Seperti hadis nabi HR. Al-Bukha>ri> no. 2225
لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ
Dengan penalaran mafhu>m al-mukha>lafah dapat diketahui bahwa penundaan pembayaran dari orang yang belum mampu membayar tidaklah dihukumi zalim.
6.  Mafhu>m al-H}as}r
     Mafhu>m al-h}as}r adalah penetapan dari kebalikan suatu hukum dengan menggunakan lafadz-lafadz al-hashr, seperti lafadz "innama>, illa>", dan lain sebagainya.[25]
Misalnya, firman Allah SWT. QS. An-Nisa’ ayat 171 :
إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ
ayat ini seyara manthuq menunjukkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya terdapat pada tuhan yang satu yaitu Allah swt. sedangkan dengan mafhu>m al-mukha>lafah dapat dipahami, bahwa sifat ketuhanan itu tidak ada pada selain Allah.
     Para ulama us}u>lal-fiqh selain dari kalangan imam Abu Hanifah mengakui bahwa semua macam-macam dari mafhu>m al-mukha>lafah tersebut selain mafhu>m al-laqab dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan sebuah hukum.

2. Syarat-Syarat Diperbolehkannya Menjadikan Mafhu>m al-Mukha>lafah Sebagai Hujjah[26]
Menurut A. Hanafi dalam bukunya Ushul Fiqh, diperlukan empat syarat agar mafhu>m al-mukha>lafah diperbolehkan menjadi hujjah, yaitu :
1.      Mafhu>m al-mukha>lafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhu>m al-muwa>faqah.
a. Contoh yang berlawanan dengan dalil mant}u>q:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an (QS. Al-Isra’ ayat 31).
Mafhu>mnya, kalau bukan karena takut kemiskinan di­bunuh, tetapi mafhu>m al-mukha>lafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran (QS. Al-Isra’ ayat 33)”
b. Contoh yang berlawanan dengan mafhu>m al-muwa>faqah:
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Janganlah engkau mengeluarkan kata yang kasar kepada orang tua, dan jangan pula engkau hardik (QS. Al-Isra’ ayat 23).
Yang disebutkan, hanya kata-kata yang kasar. Mafhu>m al-mukha>lafahnya boleh memukuli. Tetapi mafhu>m ini berla­wanan dengan mafhu>m al-muwa>faqahnya, yaitu tidak boleh memukuli.
2. Yang disebutkan (mant}u>q) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh QS An-Nisa’ ayat 23 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme­liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se­bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
3. Yang disebutkan (mant}u>q) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
Contoh HR. Al-Bukha>ri> No. 9 Ba>b al-Muslim Man Salima al-Muslimu>n min Lisa>nih wa Yadih :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin) tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
 4. Yang disebutkan (mant}u>q) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.[27]
Contoh:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid (QS. Al-Baqarah ayat 187)”.
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri

3. Perbedaan Pendapat tentang Penggunaan Mafhu>m Al-mukha>lafah
Mafhu>m al-Mukha>lafah adalah sama dengan dila>lah nas} sebagaimana metode hanafiah. Dila>lah nash ini sering juga disebut dengan dengan fah}wa al-khit}a>byang berarti tujuan pembicaraan. Syafi’iyah menamakannya dengan ‘mafhu>m al-al-muwa>faqah’. Sebagian Ulama lainnya menamakannya dila>lah al-dila>lah dan sebagian menamakannya ‘al-qiyas al-jali.[28]
Mengenai penggunaan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah, terdapat dua pendapat, yaitu :
a.  Mayoritas fuqaha>’ menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah
b.  Ulama-ulama Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhu>m al-mukha>lafah [29]

4. Athar al-Ikhtila>f [30]
Contoh implikasi hukum akibat perbedaan pendapat mengenai penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah yaitu :
1.      mengenai firman Allah QS.An-Nisa’ ayat 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
      Mayoritas ulama’ berpendapat terdapart dua syarat diperbolehkannya menikahi budak perempuan, yaitu ketidakmampuan menikahi perempuan merdeka dan budak perempuan itu beriman.kedua syarat ini berdasarkan :
a. Mafhu>m as-Syar}  yaitu firman Allah وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا
menunjukkan larangan menikahi budak perempuan bagi laki-laki yang mampu menikahi perempuan merdeka.
b. Mafhu>m sifat, yaitu firman Allah مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
menunjukkan larangan menikahi budak perempuan ahli kitab
      Hanafiyah yang menolak penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah berpendapat kebolehan menikahi budak perempuan ahli kitab.

2.      HR. Abu> Dawu>d No. 58 Ba>b Ma> Yunjisu al-Ma>’
فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ
            Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat najisnya air yang kurang dari dua qullah bila tercampur dengan sesuatu benda najis, baik air itu berubah atau tidak. Sedangkan Malikiyah yang juga menerima penggunaan Mafhu>m al-mukha>lafah sebagai dasar hukum, namun tidak menerima hadis ini, berpendapat berubahnya hukum air itu disebabkan berubahnya air, baik air itu sedikit atau banyak.[31]
            Dari sini, diketahui pula bahwa selain perbedaan dalam menerima mafhu>m sebagai hujjah, perbedaan pendapat para ulama’ juga disebabkan perbedaan penerimaan suatu hadis sebagai hujjah

KESIMPULAN
   
            Kesimpulan dari pemaparan mengenai mafhu>m al-muwa>faqah dan mafhu>m al-mukha>lafah adalah :
1.      Mafhu>m adalah penunjukkan lafadz menurut yang tidak disebutkan bahwasanya berlakunya hukum bukan berdasar yang disebutkan.
2.      Mafhu>m terdiri dari mafhu>m al-muwa>faqah dan mafhu>m al-mukha>lafah
3Tidak ada perbedaan di antara para fuqaha dalam berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah, kecuali pendapat dari Ibn Hazm dan mazhab Zahiri bahwa tidak bisa berhujjah dengan mafhu>m al-muwa>faqah. Karena mereka menganggapnya masuk dalam bab qiya>s, sedangkan mereka menafikan qiya>s.  Namun para ahli us}u>l memperdebatkan mengenai dua hal, yaitu Apakah ada persyaratan muna>sabah pada masku>t ’anhu atau tidak dan Cara penetapan mafhu>m al-muwa>faqah, apakah mafhu>m al-muwa>faqah termasuk qiya>s (dalalah qiya>siyah) atau merupakan pemahaman langsung dari bahasa teks tersebut (dalalah lafz}iyah).
Al-A>midi, Ibn H}a>jib, Al-Juwayni> dalam kitab Al-Burha>n menukil pendapat Al-Sya>fi’i>, dan pendapat Syi>’ah Ima>miyah berpendapat perlu adanya relevansi yang lebih kuat (asyaddu muna>sabah) dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah. Mayoritas ulama berpendapat dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah tidak harus berupa relevansi yang lebih kuat (asyaddu munasabah). Dengan munasabah yang sepadanpun dapat digunakan dalam penalaran mafhu>m al-muwa>faqah.
    Ahli hukum mazhab syafi’iah termasuk Syafi’i menganggap bahwa mafhu>m al-muwa>faqah  sebagai bagian dari qiya>s dan merupakan jenis qiya>s yang lebih kuat. Para Mutakallimi>n, penganut Mazhab Zahiri, dan banyak teoritikus hukum Hanafi berpendapat bahwa ia bukan merupakan qiya>s, melainkan penalaran linguistik, di mana hukum dipahami sebagai implikasi dari bahasa teks itu sendiri.
  Mengenai penggunaan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah, terdapat dua pendapat, yaitu Mayoritas fuqaha>’ menggunakan mafhu>m al-mukha>lafah sebagai hujjah. Sedangkan Hanafiah, menolak berhujjah dengan mafhu>m al-mukha>lafah.  

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Kari>m Zayda>n, Al-Waji>z fi> Us}u>l al-Al-fiqh, Beirut: Muassasah al-Risala>h, 1998
Abdul Azis Dahlan (Ed.), Ensiklopedi Hukum  Islam, Vol. 4 , Jakarta : Intermasa, 1996
Ha>syim Jami>l Abd Allah, Masa>il min al- Fiqh al-Muqa>rin, Baghdad : Al-Ja>mi’ah Bagda>d, 1989
Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Al-fiqh (Beirut : Da>r al-Fikr al-‘Arabi,tt
Mustafa Ibra>hi>m al-Zulmi>, Asba>b al-Ikhtila>fi al-Fuqaha>’ fi> al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah Baghdad : al-Ja>mi’ah Bagda>d, 1976
Must}afa Sa’i>d al-Khin, Atharu al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>id al-Us}u>liyah f>i al-ikhtila>fi al-Fuqaha>’ , Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005
Wahbah al-Zuhayli>,Us}u>l al -fiqh al-Isla>mi Vol 1, Beirut: Da>r al-Fikr



Postingan terkait: