A.
Definisi hakikat dan majaz menurut ahli lughah, bayan dan ushul
Hakikat
menurut ahli bahasa adalah arti yang senyatanya/sesungguhnya bukan kiasan.
Dalam istilah ahli bayan hakikat adalah susunan lafal yang
digunakan pada asal peletakannya (dalam istilah tkhathab). [1] abdur rahman al-Ahdari mengatakan bahwa hakikat adalah lafad yang
digunakan menurut arti sebagaimana mestinya.[2] Menurut
wahbah juhaili hakikat adalah setiap lafad yang menghendaki makna ashalnya
karena sesuatu yang diketahui.[3] Sedangkan
menurut mustafa al-jinny hakikat adalah sesuatu yang telah mapan dalam
penggunaan berdasar asal pembentukannya dalam bahasa. [4]
Majaz secara lughah adalah derivasi dari kata جاز يجوز جوزا و جوازا و مجازا yaitu masdar mim atau isim makan yang artinya
jalan. Dalam istilah bayan majaz adalah Lafadz/kalimah yang digunakan bukan pada asal peletakannya disertai
adanya qarinah (penguat) yang mencegah dari makna ashalnya.[5] Menurut
al-ahdari majaz adalah Lafad yang dipakai bukan pada makna yang seharusnya.[6] Dalam
majaz harus ada qarinah (penguat) yang mencegah dari mendatangkan makna asal
dan harus ada alaqah (pertalian).[7]
Adapun hakikat dan majaz menurut ulama ushul ditemukan banyak definisi yang
berpareatif, akan tetapi menurut penulis definisi yang paling rajih yang
mengandung jami dan mani adalah definisi yang dikembangkan oleh al-amidi yaitu:
hakikat adalah lafad yang digunakan pada asal peletakannya (dalam istilah
tkhathab), sedangkan majaz adalah lafad yang penggunaannya diletakan pada makna
yang bukan sebenarnya dalam pembicaraan
karena ada keterkaitannya.[8]
Dari beberapa depinisi ahili bayan dan suhul di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Sebuah lafad itu tidak
disipati dengan hakikat dan majaz sebelum digunakan dengan makna yang dikaitkan
terhadap kehendak mutakalim.
2. Ketika dikehendaki makna
majaz maka harus adanya qarinah (penguat) dan alaqah (penghubung/pertalian).
jika tidak, maka itu musytarik.
3. Harus adanya qarinah yang
menunjukkan terhadap di cegahnya lafad dari mendatangkan makna hakiki (yang
sebenarnya)
4. Ketika lafad disipati
hakikat atau majaz maka harus dihubungkan dengan wadhi (orang yang meletakkan).
Jikat wadhi lughah maka peletakkannya lughoh dan seterusnya.[9]
Menurut abu al-fath ibnu jinny terjadinya majaz itu menjadi alternatif dari
hakikat semata karena tiga hal, yaitu: perluasan makan, penegasan dan
komparasi. Jika sifat-sifat itu tidak ada maka murni makna hakiki.[10]
B. pembagian hakikat dari
segi wdhanya (peletakannya)
1. hakikat lughowiyah
Hakikat lighowiyah adalah Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya
secara bahasa. Conto seperti menggunakan lafad asad dengan makna binatang buas dan insan digunakan bagi hayawan yang berfikir
menurut
perkataan ahli bahasa,
2. hakikat syar'iyyah
hakikat syar'iyyah adalah Lafadz
yang digunakan pada asal peletakannya secara syar'i, sebagian ulam mengatakan
bahwa hakikat syariyyah adalah nama-nama (lafad-lafad) yang dipindahkan dari
lughoh terhadap sayra. Sebagian lagi mengatakan hakikat syari adalah setiap
lafad yang diletakan dengan makna lughoh kemudian digunakan dalam syara dengan
sebutan lain.
Dari definisi di atas maka hakikat syariyah
itu adalah menggunakan lafad dengan makna yang dibawa oleh syara. Contoh shalat
dan haji hakikat logowiyahnya shalat adalah dua dan haji adalah bermaksud,
kemudian hakikat syariyahnya adalah perbuatan yang ada rukun dan syaratnya, maka dibawa pada makna tersebut menurut perkataan ahli syar'i. Dll.
3. hakikat urfiyyah
Lafad yang pindah dari asal peletakannya karena istimal (banyak
dilakukan) seolah-olah letak ashalnya ditinggalkan (tidak dipakai lagi)
sehingga penggantinya itu menjadi mashur dan dapat dipahami oleh mustami tanpa
terlintas dalam pikirannya letak asalnya. Hakikat urfiyah adalah Lafadz yang
digunakan pada asal peletakannya secara 'urf (adat/kebiasaan). Hakikat urfiyah terbagi dua:
a.
Hakikat urfiyah amah, adalah hakikat yang tidak dihubungkan terhadap
kelompok/golongan tertentu dan tidak ditentukan nakilnya conto seperti الدابة dartikan kuda dan bagi
setiap jenis kuda, letak asalnya secara bahsa adalah setiap binatang yang
merayap diatas bumi baik itu kuda dan yang lainnya. atauالدابة sesungguhnya hakikatnya secara 'urf adalah
hewan yang mempunyai empat kaki, maka dibawa pada makna tersebut menurut
perkataan ahli 'urf.
b.
Hakikat urfiyah khosoh, adalah hakikat yang dihubungkan terhadap kelompok
tertentu juga ditentukan nakilnya.
Contoh mubtada khabar dan fail dalam istilah ahli nahwu, mutlak muqayyad dalm
istilah ahli ushul dan sebagainya.
2. pembagian majaz dari
segi wdhanya (peletakannya)
majaz itu terbagi dua ada majaz mufrad ada majaz murakkab[11], dari
majaz mufrad ini segi wadhanya itu
terbagi tiga sebagaimana hakikat, yaitu majaz lughowiyah, syariyah dan
urfiyyah. Hal itu dikarenakan sesungguhnya lafadz dari segi wdhanya mungkin
majaz dan mungkin hakikat. Conto lafad sholat dimaknai du’a menurut ahli lughah
itu hakikat dan menjadi majaz jika menurut ahli syari. Oleh karena itu sedikit
sekali ahli ushul yang membicarakan bagian-bagin majaz seperti ini karena
dianggap jelas dalm bagian-bagian
hakikat.
1. Majaz lughowi: Lafadz yang
digunakan bukan pada asal peletakannya karena adanya alakah
(pertalian/persesuaian) dan qarinah (penguat) yang mencegah dari mendatangkan
makna asal. Seperti perkataan seseorang saya melihat singa yang menuntun
tentara ke medan perang, lafad أسد dimaknai lelaki yang gagah.
2. Majaz syar’i: Lafadz yang
digunakan bukan pada asal peletakannya dalam istilah syara karena adanya alakah
(pertalian/persesuaian) dan qarinah (penguat) yang mencegah dari mendatangkan
makna asal. Contoh menggunakan kata shalat dengan makna dua dan memuji pada QS
al-ahzab ayat
¨bÎ) ©!$# ¼çmtGx6Í´¯»n=tBur tbq=|Áã n?tã ÄcÓÉ<¨Z9$# 4 $pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#q=|¹ Ïmøn=tã (#qßJÏk=yur $¸JÎ=ó¡n@
3. Majaz urfi; majaz ini
terbagi dua yaitu:
a. Majaz urfi am, yaitu Lafadz
yang digunakan bukan pada asal peletakannya karena adanya alakah
(pertalian/persesuaian) dan qarinah (penguat) yang bersifat uruf yang mencegah
dari mendatangkan makna asal. Contoh: menggunakan lafadالدابة dengan makna insan yang
bersuku-suku.
b. Majaz urfi khos, yaitu Lafadz
yang digunakan bukan pada asal peletakannya karena adanya alakah
(pertalian/persesuaian) dan qarinah (penguat) uruf yang khusus yang mencegah
dari mendatangkan makna asal. Contoh penggunaan kalimat dengan makana perkataan
yang sempurna yang berfaidah dalam pandangan ahli nahwu.
Macam-macam majaz diatas
tampak dari beberapa definisi yang dibuat oleh para ulama usul dan bayan.
Dalam syarah tankihul
fusul dikatakan bahwa majaz dari segi wada itu terbagi empat: 1. lughowi
seperti menggunakan lafad asad untuk lelaki yang gagah. 2. Syar’i seperti
menggunakan lafad shalat dengan makna du’a. 3 urfy am seperti menggunakan lafad
ad-dabat bagi setiap yang merayap dan 4. Rudy khas seperti menggunakan lafad Jauhar
dengan makna barang yang sanget berharga. Kata ad-dabah jika dimaknai setiap
yang merayap di atas muka bumi maka itu menjadi hakikat lughowy majaz lughowi,
apabila digunakan bagi himar, maka menjadi hakikat urfi majaz lughowy. Adapun
lafad shalat apabila digunakan dengan makanna du’a, maka menjadi hakikat
lughowy majaz syar’i, sebaliknya jika digunakan dengan makna perbuatan
tertentu, maka menjadi hakikat syary majaz lugowy.
Ahli bayan menambahkan bagian yang ke-empat majaz akli
yaitu menghubungkan/menyandarkan sesuatu bukan pada yang seharusnya dijadikan
sandaran. Contoh بنى الآمير المدينة menghubungkan membangun
terhadap seorang raja itu majaz akli karena sesungguhnya yang membangun itu para
pekerja.
Implikasi hukum dari
pembagian hakikat dan majaz
1.
Apabila lafad berkutat antara hakikat lughawi dan majaz lugowi, maka yang
digunakan yang mana? Dalam hal ini ulam ushul dan fikih berbeda pendapat:
Hal diatas tampak jelas dalm perkataan Rasulullah اذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan khiyar majelis:
a. Ali berpendapat bahawa
berdasarkan hadis ini, maka khiyar majelis itu disyariatkan. karena yang
dimaksud با التفرق itu adalah fisahnya badan. hal ini sesuai dengan penjelasan
periwayat hadis itu sendiri ibn umar sebagaimana dijelaskan dalam nailul
authar. Pendapat ini juga dipegang oleh syafiiyah.
b. Pendapat yang mengatakan bahwa khiyar majelis tidak disyariatkan. Pendapat
ini dipegang malikiyah, mereka beralasan sebagai berikut:
1. Hadis tentang khiar majelis tidak ditegunakan sebagai rujukan yang utama
karena itu hadis ahad, jadi mereka tidak mengamalkannya karena dianggap
bertentangan dengan amalan penduduk madinah, sedangkan dikalangkan malikiyah
amalan penduduk madinah setara dengan hadis mutawatir yang harus dikedepankan
daripada hadis ahad .
2. Yang dimaksud penjual dan pembeli mengadu harga kemudian berpisah adalah
berpisah dengan perkataan, artinya keduanya masih dalam keadaan memberi harga
sepanjang masih tetapnya akad, jika akadnya sudah lewat maka mereka sudah
dianggap pisah dan harus akad lagi. ....
Syafiyah menjawab hal diatas: sesungguhnya mengikatkan jual
beli terhadap tawar menawar itu adalah majaz dan mengikatkan berpisah terhadap sempurnanya
akad juga majaz, sedangkan asal dari kalam adalah hakikat.
2. Apabila lafad berkutat
antara hakikat syar’i dan majaz syar’i, maka yang digunakan yang mana? Dalam
hal ini ulam ushul dan fikih berbeda pendapat: misalnya dalam hadis Rasulullah:
لاينكح المحرم ولا ينكح
1.
Berpendapat bahwa perempuan yang muhrim itu tidak boleh dinikahkan dalam
masa ihramnya karena yang dimaksud dengan nikah adalah akad perkawinan,
pendapat ini dipegang oleh malikiyah dan syafiiyah.
2.
Berpendapat bahwa boleh menikahi wanita muhrim karena yang dimaksud dengan
nikah adalah wati, jadi hadis di atas menunjukkan haramnya wati bukan haramnya
akad nikah. Pendapat ini dipegang oleh hanafiyah.
Malikiyah
menjawab bahwa lafad nikah di maknai wati itu majaz syari dan dimaknai akad
menjadi hakikat syari, mendahulukan hakikat syari itu lebih utama.
Kesimpulannya:
1.
Kekeluargaan
tidak bisa ditetapkan dengan berzina, maka anak yang dilahirkannya tidak
menjadi muhrim. ini pendapat syafiiyah dan malikiyah alasan mereka adalah
karena sesungguhnya nikah itu bermakna akad.
2.
Kekeluargaan
bisa ditetapkan melalui wati haram atau halal dan anaknya menjadi muhrim. Ini
pendapat hanafiyah dengan alasan bahwa nikah itu maknanya wathi.
Hukum-hukum yang musytarik antara
hakikat dan majaz
banyak
hukum-hukum yang berbarengan antara hakikat
dan majaz, ini menimbulkan ketidak jelasan nas yang menjadi salah satu embrio
munculnya perbedaan ulama fikih dan tafsir dalam menetapkan hukum. Diantaranya:
1.
Penetapan
kandungan satu lafad terhadap hakiki dan majazi, terkait masalah ini ada tiga kelompok pemikiran. Sebagai
berikut:
a.
Tidak
boleh, ini pendapat hanafiyah dan kebanyakan ahli sastra, sebagian pengikut
syafii dan para mutakallimin.
b.
boleh
, pendapat syapii dan kebanyakan pengikutnya,
kebanyakan ahli hadis, abu ali al-jabai dan abdul jabar bin ahamad dari
kelompok mutakallimin.
c.
Boleh
saja secara akal akan tetapi tidak secara lugoh. Ini yang dipilih oleh ibn
al-hamam kecuali selain mufrad.
Secara
aflikatif dampak dari perbedaan ini,
mereka berbeda pendapat dalam
masalah menyentuh perempuan apakah membatalkan wudu atau tidak? timbul
perbedaan di dalam menafsirkan lafad اللمس dalam ayat
bÎ)ur
LäêYä.
#ÓyÌó£D
÷rr&
4n?tã
@xÿy
÷rr&
uä!$y_
Ótnr&
Nä3YÏiB
z`ÏiB
ÅÝͬ!$tóø9$#
÷rr&
ãLäêó¡yJ»s9
uä!$|¡ÏiY9$#
öNn=sù
(#rßÅgrB
[ä!$tB
(#qßJ£JutFsù
#YÏè|¹
$Y7ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù
öNä3Ïdqã_âqÎ/
öNä3Ï÷r&ur
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
#qàÿtã
#·qàÿxî
(QS annisa :
43)
Pendapat syafiyah lafad diatas bisa mengandung arti menyentuh dengan tangan sebagai hakikat dan
bersetubuh sebagai majaz, dan dalam waktu bersamaan dimaksud kedua makna
tersebut. Dengan demikian menurut mereka diharuskan berwudu sebab menyentuh
perempuan tidak ada perbedaan baik itu menyentuhnya dengan syahwat atau tidak.
Alasan-alasn mereka diantaranya:
a. Firman allah( او لامستم النساء ) dari segi lafad لمس athaf terhadap حاء mengahruskan keduanya terhadap tayamum ketika
tidak ada air, maka itu menunjukan hadas dengan keluarnya kotoran tida جامعتم karena menyalahi dzahir. Karena
itu al-lamsu tidak dikhususkan dengan kumpul/jima.
b. Firman alloh surat an-nisa ayat 7.
c. Hadis rasululloh لعلك لمست
Pendapat hanafiyah lafad lamsun mengandung makan majazi
yaitu jima, maka tidak diharuskan wudu sebab menyentuh perempuan, akan tetapi
harusnya wudu itu dengan sebab besetubuh. apabila yang dimaksud itu makna
majazi maka tercegah dari makana
hakikidan tidak boleh menggabungkan keduanya.
Alasan-alasn mereka diantaranya:
a. Hadis aisah bawasannya belia berkata: bahwa rasulullah mencium
isteri-isterinya kemudian belia shalat tanpa berwudu lagi.
b. Hadis aisah bahwasannya beliau berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي واني معتوضة بين
يديه اعتوض الجنازة ان يوتر مسني برجبه
c. Banyak menggunakan majaz itu menunjukan majaz atas hakikoh seperti dalam
nama ghait yang menunjukkan terhadap hadas itu majaz, hakihatnya tanah yang
rendah.
Pendapat malikiya menyentuh dengan tangan itu membatalkan wudhu apabila
disertai taladzud.
Menurut penulis pendapat
yang paling rajih adalah pendapatnya malikiyah bahwa menyentuh dengan taladud
itu membatalkan wudhu. Karena sesungguhnya pendapat ini menengahi antara kedua
pendapat di atas serta menyepakati makashidu syariah, yaitu raful haraj dan
adamu tasahul.
2.
Hakikat marjuhah dan majaz rajih (yang galib)
apabila bertentangan
a. Hakikoh marjuhah itu adalah hakikat yang tidak direkn oleh syara atau adat dengan cara manusia telang
meninggalkannya/tidak menggunakannya. Adapun majaz rajih adalah
bergegas-gegas paham dalam urf dan
banyak digunakan dalam kebiasaan manusia.
b. Tidak ada perbedaan diantara ulama ushul dalam hal lebih mendahulukan
penggunaan majaz apabila hakikat itu terhalang
tatkala untuk mencapainya terdapat kesulitan karena orang-orang telah
meninggalkannya. Conto hakikat mahjurah apabila seseorang bersumpah untuk tidak
menginjakan kakinya pada daerah si pulan, maka sesungguhnya hakikat
menginjakkan kaki adalah berjalan (tanpa alas kaki) akan tetapi orang-orang
sudah tidak menggunakannya lagi sehingga mengandung makna majaz yaitu masuk
baik berjalan atau menggunakan kendaraan. Contoh yang mu’tadzirah (terhalang)
seseorang bersumpah untuk tidak makan nakhlah arti secara majazi itu adalh
buahnya atau kalau tidak berbuah maka harganya secara hakiki pohonnya itu
sendiri.
c. Tidak ada perbedaan dalam mendahulukan hakikat apabila tidak bisa dipahami
kecuali dengan qarinah seperti lafad asad bagi pemberani, dalam hal ini tidak
ada hkilaf dalam mendahulukan hakikat.
Terkait hal diatas ketika bertentangan mana
yang harus didahulukan? Ulama fikih dan ushul berbeda pendapat :
1. Pendapat yang menyatakan bahwa hakikat marjuhah itu lebih utama daripada
majaz rajih, ini pendapatnya abu hanifah. Beliau berdalih tatkala memungkinkan
mendatangkan makna hakikat sebagai makna
asal maka
tidak sah pindah terhadap majaz karena
asal itu tidak boleh ditinggalkan kecuali daruroh.
2. Majaz rajih itu lebih utama daripada hakikah marjuhah, ini pendapat abu
yusuf , muhamad bin hasan dan
al-qarafi. Alasan-alasan mereka:
a. Majaz rajih itu lebih mempercepat pemahaman dalam sebuah kebiasaan, karena
sesungguhnya taarup itu mengharuskan tabadur. Itu lebih banyak digunakan dalam
kebiasaan manusia daripada hakikah.
b. Sesungguhnya yang marjuh itu gugur apabila berhadapan dengan yang rajih,
marjih berada dalam posisi ditinggalkan karena madorot.
3. Posisinya sama, maka tidak boleh
berpaling terhadap salah satunya kecuali dengan sebab nisbat. Karena keduanya
sama-sama kuat. Ini pendapatnya syafiiyah dan al-baidhawi.
Masalah diatas menimbulkan perbedaan dalam
masalah-masalh fikih, diantaranya:
1. Jika seseorang bersumpah untuk tidak makan hinthah (biji gandum), apakah
yang dilarang itu makan dat hinthah (yaitu menggunakan makna hakikah marjuhah)
atau sesuatu yang dibikin dari hinthah seperti rati dll (makna majazi)? Dalam
hal ini ada dua perbedaan pendapat:
a. Dilarang makan dat hinthah tidak dilarang makan selain itu, karena memakan
dat hintah itu hakikat dalam perkataannya, tidak boleh menyianyiakan hakikat
kecuali ada madarat. Ini pendapat abu hanifah
b. Dilarang makan rati yang dibuat dari khintah karena sumpahnya atas sesuatu
yang dibuat dari hinthah bukan datnya hintah, karena sesungguhnya majaz rajih
itu lebih utama daripada hakikah marjuhah tatkala bertentangan. Ini pendapat
abu yusuf dan muhammad bin hasan.
2. Jika seseorang bersumpah untuk tidak minum dar dajlah (sungai tigris), apakah dilarang minum dengan
meletakan mulutnya diatas air tanpa
perantara (makan hakikat) atau dilarang menciduk dengan tangannya menggunakan
wadah kemudian meminumnya (makna majaz rajih)? Terdapat tiga kelompok ulama
fikih yang berbeda pendapat:
a. Dilarang menciduk dengan wadah dan sebangsanya pendapatnya abu yusuf, muhammad bin hasan dan hanabilah. Karena
majaz rajih itu lebih utamama daripada hakikat marjuhah tatkala bertentangan.
b. Sumpah itu atas al-kur’u yang menjadi hakikat dari perkataannya,
pendapatnya abu hanifah alasannya min fada kalimah tersebut mengandung makna
tabid sehingga hakikatnya al-kur’u
c. Kedua-duanya dilarang baik mengambil dengan wadah atau langsung minum,
pendapatnya syafiyah.
Menurut penulis yang lebih utama adalah pendapat yang
pertama karena itu lebih realistis. [12]
Daftar Pustaka
Abdul Khalik Syafaat, Asba>b Gumu>d
An-Nas Wa Turuq Iza>la>tihi.
Abdur Rahman al-Akhdari, Jauhar Al-Maknu>n,
Indonesia: ihya>ul kutub t.t
Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami,
juz 1, Bairut: da>r al-fikr, 1996.
Abdul Fatah Ustman al-Jinny, al-Khasaisah,
Bairut: Alam al-kutub, 1996