PENDAHULUAN
Islam datang sebagai agama
rahmat bagi semua kalangan, terlebih bagi pemeluknya. Mengapa sedemikian?,
sebab berbagai aturan yang terdapat dalam Islam sangat lunak dan sesuai dengan
kapasitas kita selaku mahluk yang lemah. Di samping dinamika produk hukum yang
dihasilkan oleh para pakar hukum Islam, realisasi hukum Islam juga lebih
menekankan kebenaran materil dari pada kebenaran formil, inilah salah satu
keistimewaan hukum Islam, sehingga ia lebih eksis dan berdialektik dengan
kearifan local dalam suatu daerah. Kelunakan dan berbagai variasi produk yang
dihasilkan oleh para pakar fiqih, bukanlah menyalahi aturan atau yang satu
benar dan yang lain salah. Produk tersebut dihasilkan oleh jerih payah mereka
dalam memahami sumber-sumber otoritatif hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis,
serta Ijmak.
Al-Qur’an sebagai rujukan utama
dengan pemakaian bahasa yang sedemikian tinggi tentunya harus memutar otak
dalam memahaminya, terlebih lagi tertadapat variasi bahasa yang tidak cukup
mempunyai satu arti, ini juga membuka peluang terhadap terjadinya perbedaan
pendapat dalam menetapkan hukum yang dihasilkan. Karya Dr. Hashim Jami>l Abd
Alla>h Masail min Al-Fiqh Al-Muqarin cukup representatif jika ingin
mempelajari berbagai penyebab terjadinya perbedaan di antara ulama dalam
mengeluarkan hukum Islam dari sumber aslinya. Dalam kitab tersebut tidak hanya
dijelaskan seputar perbedaan tersebut, juga disisipi dengan komentar dari pada
pengarang kitab, hal ini lebih memberi kemudahan dalam mengambil pendapat yang
lebih unggul.
Pembahasan
Sumber-sumber hukum Islam yang
disepakti oleh orang Islam ialah Al-Qur’an, Hadis, dan Konsensus Ulama,
meskipun sumber dalam mengeluarkan hukum sama, namun produk hukumnya masih saja
terjadi perbedaan, hal itu disebabkan faktor yang lain, bukan dari sumber itu
sendiri.[1] Di
antara beberapa penyebab perbedaan produk hukum dikalangan ulama adalah
sebagaimana berikiut.
A. Beberapa
penyebab perbedaan produk hukum dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kalam yang
dapat melemahkan yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis di
berbagai lembaran, transformasinya secara mutawatir dan membacanya termasuk
ibadah. Al-Qur’an termasuk sumber utama hukum Islam, terjadinya perbedaan
produk hukum disebabkan berbagai faktor yang berkaitan dengan pengambilan dalil
dari Al-Qur’an. Pembahasan yang paling penting dalam pandangan Dr. Ha>shim
Jami>l Abdu Alla>h ada lima.[2]
1. Perbedaan
pendapat para ulama mengenai tujuan penggunaan lafal terhadap maknanya.
a) Dilema lafal
terhadap dua makna haki>kat.
Al-Qur’an
sebagai kitab terlengkap dan dengan pemakaian bahasa yang sangat indah tentunya
bukanlah hal yang aneh jika berbagai lafal yang termaktub dalam al-Qur’an
memiliki makna ganda baik makna itu makna yang hakikah maupun makna itu makna
maja>z.
حقيقة wazanya فعيلة dari حق secara
etimologi dalam Al-Mahsu>l fi> Ilmi Usu>l Al-Fiqh adalah الثابت, karena haki>kat disebut sebagai perlawanan dari Al-Ba>t}il,
sedangkan ba>t}il sendiri itu adalah Al-Ma’du>m maka
adanya hakikat adalah al-tha>bit.[3]
Dalam Jauharu Al-Maknu>n Haki>kat
adalah lafal yang digunakan menurut arti sebagaimana mestinya.[4] Wahbah
Zuhaili mendefinisikan Hakikat dengan setiap lafal yang menghendaki makna
asalnya karena sesuatu yang diketahui, Hakikat dibagi menjadi empat bagian
lugahwiy, Shar’I, Urfi Am, dan Urfi khas.[5]
Al-Ra>zi>
berpendapat bahwa definisi terbaik tentang hakikat dikemukakan oleh Abu>
Al-Husi>n ialah suatu lafal yang memberi pemahaman sebagaimana mestinya yang
menyebabkan terjadinya komunikasi.[6] Al-Qur’an
sebagai sumber utama dengan bahasa yang sangat tinggi tentunya terdapat
berbagai lafal yang memiliki arti banyak. Dari ini para ulama fiqh berusaha dalam
menentukan makna yang dimaksud. Hal ini terkadang menyebabkan perbedaan
pendapat diantara mereka yang berimplikasi terjadinya perbedaan hukum, semisal
firman Allah dalam Al-Baqarah 228,
قروء ثلاثة بانفسهن يتربصن والمطلقات
Lafal
القرء secara
etimologi digunakan untuk حيض, juga digunakan untuk طهر. Ini menyebabkan perbedaan pendapat antara para ulama mengenai
hal tersebut, apakah lafal القرء yang
dipakai dalam masalah iddah bermakna haid atau suci?. Jumhur
Ulama, yang terdiri dari Abu> Hani>fah, Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa pemakaian lafal tersebut untuk haid. Jika sedemikian iddahnya dianggap
selesai setelah haid ketiga.[7] Sedangkan pendapat yang diutarakan oleh
sebagian ulama fiqh diantaranya adalah Ma>lik, Shafi’I, Dha>hiri>yah,
menurut mereka pemakaian lafal Qur’u untuk makna suci. Maka dari pendapat ini
iddah dianggap selesai dengan datangnya haid ketiga,[8]
ini lebih ringan dari yang pertama. Dua perbedaan pendapat ini berimbas pada
perbedaan berbagai hukum, setiap golongan mempunyai argument untuk menguatkan
dan mematahkan golongan lain. Dari itu Dr. Ha>shim Jami>l Abdu Alla>h
mengangap dua pendapat itu termasuk unggul, hanya saja beliau lebih
mengunggulkan pendapat yang dikemukakan oleh Jumhur. Inilah sebagian contoh
penyebab terjadinya perbedaan pendapat kalangan Ulama Fiqih.[9]
b) Perseteruan
Makna Lafal antara Makna Hakiki dan Majazi.
Terkadang
suatu lafal mempunyai dua makna, yaitu makna hakiki dan majaz.[10] Secara
etimologi Majaz diambil dari جاز يجوزyakni تعدي تجاوز[11], dari ini secara etimologi Majaz adalah
lafal yang digunakan bukan pada makna
yang semestinya,[12]
dalam majaz harus ada qarinah yang dapat mencegah mendatangkan makna asal.[13] sedangkan
definisi Hakikat dan Majaz yang dikembangkan oleh sebagian ulama Usu>l
adalah hakikat didefinisikan dengan susunan lafal pada maknanya tanpa ada
penambahan, pengurangan, dan pemindahan. Sedang Majaz kebalikan hakikat.[14] Majaz
sebagaimana dikutip Wahbah Zuhaili> juga dibagi menjadi empat bagian,
sebagaimana hakikah. Empat bagian itu yang menjadi faktor determinan mengenai
jenis majaz tersebut, semisal menggunakan lafal tidak pada makna yang
dilektakan karena terdapat qarinah lughawi maka dinamakan majaz lughawi
begitupun seterusnya.[15]
Cara
untuk mengetahui hakikat dan majaz dalam pandangan Wahbah Zuhaili yang dinukil
dari kitab Kasfu Al-Asrar, bahwa hakikat dapat diketahui dengan cara
mendengar dari pakar linguistik, sedangkan majaz harus terdapat korelasi dan
juga indikasi khusus. Dari sini jika terdapat pertentangan antara makna hakiki
dan majazi, maka Wahbah Zuhaili memilih yang hakikat, hal itu dikarenakan
hakikat adalah asal. Namun disisi lain makna majazi dapat digunakan jika
memakai makna hakikat tidak dimungkinkan disebabkan terdapat uzur memakai yang
hakiki baik secara akal maupun kebiasaan dan sulitnya memakai yang hakikat baik
secara kebiasaan maupun secara shar’i.[16]
Jika
terdapat lafal yang mempunyai makna hakikat dan majaz, terkadang suatu pendapat
memilih makna yang hakiki, sedangkan yang lain memilih yang majaz. ini berimplikasi
terhadap perbedaan baik dalam pengambilan hukum dan produk hukum.[17] Semisal
firman Allah dalam Al-Maidah 33, او ينفوا من الارض yang dimaksud dari ayat ini adalah sanksi bagi
orang yang berbuat kerusakan dan menentang ajaran Islam.
Makna
hakiki dari نفي adalah, mengasingkan atau membuang dari
bumi yang telah dirusaki. Makna majaznya adalah penjara. Makna nafyi secara
hakikat adalah mengasingkan dari suatu tempat dimana dia berbuat kriminal di
sana. Arti secara majaz adalah penjara. Jumhur Ulama mengarahkan pada makna
hakiki dengan argumentasi bahwa setiap lafal wajib diarahkan pada makna hakiki,
selagi tidak ada yang memalingkan pada makna yang lain, dalam contoh ini tidak
ditemukan indikasi pada makna yang lain, dari itu tidak sah jika lafal itu
memakai makna majaznya.
Kalangan
Hanafiyah memakai lafal tersebut pada makna majaznya, dengan dalih bahwa dalam
contoh tersebut terdapat indikator yang dapat memalingkan lafal tersebut dari
makna hakiki. Rasionalisasi yang dikembangkan adalah bahwa mustahil jika lafal
tersebut memakai makna hakiki, sebab makna hakiki menunjukan penegasian dari
segala penjuru bumi, ini dapat dilakukan sebagai sanksi dari membunuh,
sedangkan membunuh termasuk sanksi lain selain mengasingkan. Sebagaimana tidak
rasional yaitu pengasingan dari negara orang Islam, karena hal itu melibatkan
orang Islam ke dalam negara kafir, dan ini tidak diperkenankan dalam shari>’ah.
Semisal
juga pengasingan dari tempat tindakan kriminalnya pada daerah lain, ini juga dalam
pandangan Hanafiyah tidak memberikan tujuan konkrit mengenai sanksinya, karena
sejatinya sanksinya adalah dikwatirkan melarikan diri dan mencegah dari penganiayaan
orang lain. Sanksi semacam ini juga dimungkinkan terulangnya perbuatan kriminal sebagaimana ditempat pertama. Dari
argumentasi ini kalangan Hanafiyah memakai lafal ini pada makna majaz yaitu
penjara, karena ini dianggap pengasingan tanpa memakan korban jiwa, juga
sejalan dengan pemberlakuan hukum Islam. Penyusun juga sependapat dengan
argumentasi dari kalangan Hanafiyah, dengan rasionalisasi bahwa memakai hakikat
dalam kasus tersebut sangat tidak dimungkinkan dan tidak memberikan kejelasan
hukum. Dari itu makna majaz adalah alternatif jika makna hakiki tidak mungkin
digunakan.
c) Persimpangan
lafal antara makna secara bahasa dan secara shar’i.
Terkadangan
suatu lafal bersimpangan antara makna secara bahasa dan shar’I>, sebagian
memilih satu dari dua makna ini, yang lain memilih makna yang lain, ini juga
menjadi penyebab perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Semisal contoh
dalam Surah Al-Nisa’ ayat 23. حرمت عليكم امهاتكم
وبناتكم
بنت secara etimologi adalah semua
janin yang lahir dari sperma seorang laki-laki. Sedangkan secara shar’I, adalah
semua janin yang lahir dari seperma laki-laki dengan cara shar’I.[18]
Sikap yang diambil oleh Jumhur Ulama adalah makna bahasa, dari ini pendapat
mereka tentang anak perempuan hasil zina menjadi mahram pada bapak biologisnya.
Sedangkan sebagian ulama fiqih memilih makna shar’I> berarti implikasi
hukumnya adalah anak hasil perzinahan tidak ada ikatan mahram pada ayah biologisnya,
ini dikarenakan tidak ada proses yang dilalui secara shar’I semisal pernikahan.
Ketika tidak ada ikatan mahram, maka satu sama lain tidak mendapat waris, tidak
boleh khulwah, dan tidak ada jabatan wali pada ayah biologisnya.[19]
Di
antara sebagian ulama fiqih tersebut adalah Wahbah Zuhaili> dengan mengutip
hadisالولد للفراش و للعا هر الحجر ,[20]
maka dari itu anak hasil perzinahan boleh untuk dinikahi.[21]
d) Kebimbangan
korelasi suatu kalimat terhadap berbagai makna.
Diantara
berbagai lafal juga terdapat lafal yang mempunyai relasi terhadap berbagai
makna sebagaimana contoh dalam surah Al-Maidah 33,
انما جزاء الذين يحاربون الله ورسو له ويسعون في الارض
فسادا ان يقتلوا او يصلبوا او تقطع ايديهم وارجلهم من خلاف او ينفوا من الارض
Lafal-lafal
dalam ayat ini mempunyai hubungan satu sama lain yang dipersatukan oleh sebuah
kalimat. Konotasinya secara etimologi pada تخيير, dan
توزيع, تنويع pada bagian yang lain. Jumhur Ulama menganggap lafal-lafal
tersebut tersebut menjelaskan kategorisasi sanksi, dengan rincian dibunuh dan
disalib sanksi merampok dan membunuh, dibunuh sanksi dari membunuh, dipotong
sanksi merampok atau mencuri, diasingkan atau dibuang sanksi dari penganggu
jalan tanpa membunuh dan mengambil harta.
Argumentasi
yang dikembangkan oleh jumhur adalah bahwa sanksi itu bermacam-macam selayaknya
kriminalitas, jika sanksi itu tidak dikategorisasi, dan di persilahkan memilih,
hal ini menyebabkan semerawutnya kepastian hukum, karena bisa saja tindakan kriminal
ringan dibebankan sanksi yang berat atau sebaliknya, ini tidak sejalan dengan
keadilan secara shar’i.
Sedangkan
Imam Ma>lik dan yang lain menghendaki kalimat tersebut pada تخيير, dari
ini semua sanksi berada di tangan yang berwenang, jadi seorang yang melakukan
kriminalitas sanksinya bisa dibunuh ataupun selainya.[22]
Dalam pandangan Dr. Hashim Jamil bahwa dapat dimungkinkan yang dimaksud oleh
pendapat Malik adalah menolak kesulitan dari pendapat yang dikemukakan oleh
Jumhur. Dengan artian keputusan hukum
oleh yang berwenang atau sebut saja pemerintah tidak di ikuti hawa nafsu, semata-mata
murni untuk merealisasikan kemaslahatan. Maksud ayat bagi kelompok ini adalah
bahwa pemerintah diberi keleluasaan dalam memberikan kepastian hukum yaitu
menjauhkan kemudharatan dan merealisasikan kemaslahatan. Dari itu terkadang pemerintah
berpendapat bahwa adanya preman yang gemar melakukan keonaran lebih di takuti
oleh masyarakat dari pada pembunuhan seseorang atau dari pencurian disertai
pembunuhan.[23]
Kesimpulan
Perbedaan
hukum Islam yang terjadi dikalangan fukaha’ semata-mata berangkat dari
pemikiran mereka dalam memahami pesan wahyu ilahi. Jadi meskipun sumber hukum
yang digunakan dalam memproduk hukum sama, yaitu Alqur’an sebagai sumber utama,
lalu hadis, dan Ijmak, namun jika pola pandang mereka beda dalam memandang
suatu ayat maka hasilnya pun mengalami perbedaan pula, semisal Qur’u yang
dimaknai dengan haid dan suci, ini juga berimbas pada pemberlakuan iddah bagi
perempuan nantinya. Namun segala perbedaan yang terjadi di kalangan ulama
merupakan perbedaan yang akademis dan ilmiyah, sebab satu sama lain mempunyai
argument yang dapat mendukung sekaligus melemahkan paendapat lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdu
Al-Bar, Muhammad Zakki>. Mi>zanu Al-Usu>l fi> Nata>iju
Al-‘Uqu>l. Qatar: Al-Ahleia Press. 1998.
Abdu
Allah, Hashim Jamil, Masail
min Al-Fiqh Al-Muqarin Bagdad: tt. 1989
Al-Ra>zi>,
Fakhru Al-Di>n Muhammad bin Umar. Al-Mahsu>l Fi> Ilmi Usu>l
Al-Fiqh. Bairu>t: Da>r Al-Kurub Al-‘Ilmiyah. 1988.
Akhdhori,
Imam. Jauharu Al-Maknun, terj: Abd Qadir Hamid. Surabaya: Al-Hidayah. th.
Zuhaili,
Wahbah. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Juz 1. Beiru>t: Darl Al-Fikr. 1996.
-----------------------,
Al-Fiqh Al-Islami> wa Adillatihi, juz 9. Bairu>t: Dar
Al-Fikr. 2006.