Hakikat Sunnah dan Pembagiannya Ditinjau Dari Zat, Sumber, dan Tujuannya

HAKIKAT SUNNAH DAN PEMBAGIANNYA DITINJAU DARI ZAT, SUMBER, DAN TUJUANNYA


I.          PENDAHULUAN
Tatkala membahas al-Qur'a>n, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini bukan sekedar s}uhu>f -petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al-Qur'an merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem.
Meskipun Al Qur'an menegaskan mengenai dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu QS. an-Nahl (16): 69:
ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٦٩)
Artinya: “kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.
tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya. Rupanya Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar  membacakan Kitab-Nya kepada umat, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu sesudah al-Qur'an kaum mukminin menerima Sunah-jalan atau tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada umat, maka berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai al-H{adi>th yang makna harfiahnya adalah berita. Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: "Aku tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian; maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu adalah Al Qur'an dan Sunnahku". Dalam h}adi>th lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda beliau: "Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga".
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma's}u>m dalam arti senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT. Dengan demikian pada hakikatnya Sunah Rasu>l adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur'an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang dillhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri.

     PEMBAHASAN
A.    Kehujjahan Sunah Sebagai Sumber Hukum dalam Us}ul Fiqih
1.      Pengertian Sunnah
Pertama: secara etimology  sunnah berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan yang diikuti, jalan ini dapat berupa kebaikan maupun keburukan.[1]
Seperti sabda Rasulullah SAW:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها...
Artinya: ” barang siapa berbuat (memberi contoh) yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala dari orang yang mengikuti perbuatan baiknya tersebut...”.[2]
Kedua: secara terminology adalah
a.       Menurut Ulama> Fiqih: sunnah adalah anonim dari wajib. Dan dapat juga sebagai anonim dari bid’ah.[3] Dalam hal ini ulama ahli fiqih memandang perbuatan Rasulullah SAW yang dipastikan tidak keluar dari petunjuk terhadap adanya hukum shara'. Tinjauan ulama ahli fiqih ini berhubungan dengan hukum shar'i terhadap perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunah, atau haram, atau makruh, atau mubah.
b.      Menurut ulama h}adi>th: sunah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqri>r (pengakuan), dan sifat (termasuk didalamnya akhlak dan jasmaninya).[4] Dalam hal ini ulama ahli h}adi>th memandang Rasulullah sebagai seorang imam yang diberitakan oleh Allah, bahwa beliau sebagai suri teladan dan panutan bagi umat manusia. Maka para perawi meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan, dan perbuatan dari Rasulullah SAW, baik yang telah ditetapkan sebagai hukum shar'i maupun tidak.
c.       Menurut Ulama Us}ul Fiqih: sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqri>r  (pengakuan), tulisan, isyarat, sesuatu yang penting dan sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.[5] Dalam hal ini ulama ahli ushul fikih memandang Rasulullah SAW sebagai penyampai shariat Allah dengan meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid dimasa sesudahnya, juga menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan di dunia. Maka mereka memperhatikan perkataan, perbuatan serta ketetapan Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum dan memutuskannya pada suatu masalah hukum yang harus segera mendapatkan kepastian hukumnya.
Di bawah ini penjelasan yang berhubungan dengan Sunnah qouliyah, fi’liyah dan taqri>riyah. [6]
Pertama: yang dimaksud dengan sunah qouliyah adalah ucapal-ucapan Rasulullah SAW dalam tujuan dan hubungan yang berbeda-beda. seperti:
إنما الأعمال بالنيات[7]  dan  المسلم أخو المسلم.[8]
Kedua: yang dimaksud dengan sunah fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW seperti: Cara mengerjakan shalat , manasik haji, puasa dan sebagainya.
Ketiga: Dan yang dimaksud dengan sunah taqri>riyah adalah pengakuan Rasulullah SAW terhadap perkataan, perbuatan sebagian sahabat secara terus terang dan tidak mengingkarinya secara terus terang. Karena Rasulullah SAW diutus untuk menjelaskan syariat Isla>m, dan jika ada sebagian sahabat beliau yang berkata dan berbuat dalam sebuah masalah hukum dan ketika itu Rasulullah SAW mendiamkannya dan tidak mengingkari sahabat tersebut hal ini merupakan keputusan dan penyataan dari Rasulullah SAW.
Sunnah taqri>riyah ini terkadang berupa diamnya Rasulullah SAW tanpa mengingkarinya (dan Rasulullah SAW tidak memberikan pernyataan sedikitpun dan beliau menyetujui perkataan, perbuatan sahabat tersebut). Tetapi juga terkadang Rasulullah SAW memberikan isyarat untuk menyetujuinya.
Seperti dalam suatu riwayat ada dua sahabat bepergian ketika sudah masuk waktu shalat keduanya tidak menemukan air lalu mereka tayammum sebagai ganti dari wud}u>’ kemudian mereka melanjutkan perjalanannya dan ditengah perjalanan menemukan air sedangkan waktu shalat masih ada, lalu salah satu dari mereka berdua berwudlu’ dan mengulangi shalatnya sedangkan yang satunya tidak. Ketika keduanya sudah kembali kemadinah hal tersebut diceritakan pada rasul dan rasul bersabda pada yang tidak mengulangi shalatnya Engkau telah melaksanakan sunnah dan cukuplah shalatmu. Dan rasul bersabda kepada yang mengulangi shalatnya engkau mendapatkan dua pahala.[9]
d.      Sunnah adalah hikmah seperti dalam firman Allah SWT:
وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا (١١٣)
Artinya: “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”.[10]
Seperti yang dinyatakan imam Syafi’i: ”Hikmah merupakan Sunnah yang datang dari Rasulullah SAW”.[11]

2.      Perbedaan antara Sunnah dan Khabar
Pengertian dari sunah sudah dijelaskan di atas, kemudian pengertian dari al-khabar secara etimology mempunyai arti berita. Sedangkan secara terminology berarti suatu berita yang mengandung kemungkinan benar dan salah. Dalam hal ini adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain al-Qur’a>n, atau sesuatu yang lahir dari sahabat dan ta>bi’i>n (al-At}a>r).[12]

3.      Kehujjahan Sunnah dari al-Qur’a>n
Dalam menggunakan Sunnah sebagai sumber hukum utama setelah al-Qur’a>n didukung oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah SAW. Berikut beberapa ayat yang berisi tentang kehujjahan Sunah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.[13]
Maksud ayat ini adalah kita hendaknya selalu mengikuti pada perintah Allah dan Rasul-Nya, dan mengikuti sunah Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah yang diberi wahyu al-Qur’a>n, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak diperbolehkan untuk menentang dan mengingkari keberadaan sunnah (yang mutawa>tir dan aha>d).[14]
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (٣٢)
Artinya: ”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".[15]

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (٧٩)
Artinya: ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”.[16]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.[17]

B.     Pembagian Sunnah Ditinjau Dari Hubungannya dengan al-Qur’a>n
1.      Sunnah al-Muakkadah, yakni Sunnah yang mempunyai kesesuaian dengan al-Qur’a>n dari semua segi, seperti adanya kewajiban shalat merupakan ketetapan hukum wajib yang didasarkan pada al-Qur’a>n dan sunnah.[18]
2.      Sunnah al-Mubayyanah, yakni al-sunnah yang berfungsi menafsirkan ayat al-Qur’ân yang masih bersifat global dari segi lafaz} dan maknanya. Menurut imam Shafi’i: ayat dari al-Qur’a>n ini secara global menjelaskan adanya hukum-hukum yang berlaku bagi manusia, tetapi al-sunnah disini berfungsi sebagai penjelas tata cara dan konsekwensi hukum, seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan pelaksanaan waktu mengerjakannya dan juga konsekwensi hukum bagi yang taat dan yang tidak mentaati hukum tersebut”.[19]
3.      Sunnah al-Istiqla>liyyah, yakni sunah yang berfunsi sebagai penambah terhadap hukum yang ada dalam al-Qur’a>n. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh sunnah tatkala di dalam al-Qur’a>n tidak ditemukan jawaban hukum atas sebuah permasalahan baik berupa kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek, hukum shuf’ah (hukum membeli lebih dahulu).[20]

C.    Pembagian Sunnah Ditinjau Dari Cara Sampainya Kepada Umat Islam
Yang dimaksud Sunnah ditinjau dari cara sampainya kepada umat islam adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad sunah tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini sunnah dibagi menjadi mutawa>tir dan aha>d.[21]
1.      Sunnah Mutawa>tir
a.       Pengertian Mutawa>tir
Pertama: secara etimology, mutawa>tir  berasal dari bahasa Arab yang berarti yang berurutan.[22]
Kedua: secara terminology, mutawa>tir  menurut ulama ushul fiqih adalah al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi al-sunnah mutawâtir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum Sunnah mutawa>tir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad).[23]
b.      Pembagian Sunnah Mutawa>tir
al-Sunnah mutawa>tir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawa>tir lafd}i  dan ma’nawi>.[24]
Pertama: mutawa>tir lafd}i, yakni kesepakatan atas redaksi al-sunnah yang sama pada tiap riwayat baik lafad} dan maknanya, seperti mutawa>tirnya al-Qur’a>n atau al-sunnah berikut ini: من كذب علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: “barang siapa secara sengaja (berusaha) berdusta kepadaku (terhadap lafad} dan makna sunah) maka disediakan baginya kedudukan di dalam neraka”.[25]
Kedua: mutawa>tir ma’nawi, yakni kesepakatan atas makna al-sunnah pada tiap riwayat tetapi terdapat perbedaan dalam redaksinya. Seperti al-sunnah tentang adanya syafaat dari Rasulullah, shira>tal mustaqim, telaga di surga.
c.       Kedudukan Sunnah mutawa>tir
Sunnah mutawa>tir ini mempunyai kedudukan sebagai dalil Qat}’i, hal ini sudah disepakati oleh para ulama, dengan demikian adanya kewajiban dalam mengamalkannya dan tidak dapat diragukan lagi atas keberadaan al-sunnah mutawa>tir  ini.[26] Tetapi para ulama berbeda pendapat apakah sunnah mutawa>tir ini merupakan sebuah kebutuhan pokok atau bersifat teoritis saja? Perbedaan ini ditinjau dari lafaz}nya, karena semua ulama sepakat bahwa sunnah mutawa>tir memberikan manfaat sebagai ilmu pengetahuan dan kepastian, tetapi mereka berbeda pendapat tentang sunnah mutawa>tir sebagai jenis ilmu pengetahuan: jika dilihat dari segi akal dan pikiran mengharuskan untuk membenarkan, maka hal ini sunnah mutawa>tir disebut sebagai sebuah kebutuhan pokok. Dan jika dilihat dari segi keperluan sunnah mutawa>tir kepada adanya muqaddimah, maka hal ini disebut sebagai sunnah mutawa>tir yang bersifat teoritis. [27]
d.      Syarat-syarat sunnah mutawa>tir
Pertama: periwayatan yang disampaikan adalah untuk memberitahukan adanya informasi sebagai ilmu pengetahuan dan mempunyai kepastian, bukan atas dasar keraguan dan ketidak pastian.
Kedua: periwayatan yang disampaikan harus didasarkan pada perasaan, bukan untuk atas dasar logika atau lainnya.
Ketiga: orang yang meriwayatkan sebuah al-sunnah harus banyak tidak boleh sedikit jumlahnya. Hal ini tidak ada batasan jumlah berapa orang yang meriwayatkannya, tetapi banyaknya jumlah orang yang mampu meriwayatkan al-sunnah menjadi sebuah ilmu pengetahuan dan kepastian.
Keempat: periwayat yang banyak ini tidak berkolusi untuk menyampaikan al-sunnah dengan cara berdusta atau merahasiakannya.
Kelima: harus ada syarat yang berlaku di seluruh urutan sanad. [28]
Sedangkan syarat-syarat khusus al-sunnah mutawâtir adalah periwayat beragama islam dan mempunyai kompetensi dalam bidang keilmuannya.
2.      Sunah aha>d.
a.    Pengertian Aha>d
            Pertama: secara etimology, aha>d berasal dari bahasa Arab berbentuk kata majemuk dari kata aha>d yang berarti satu atau individu. [29]
            Kedua:    secara terminology, al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawâtir.[30]
b.   Kedudukan Sunnah aha>d
Ulama telah bersepakat atas penggunaan al-sunnah dengan riwayat aha>d ini.[31] Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah:
Pertama: bahwa Muhammad SAW dalam menjalankan tugasnya sebagai Rasulullah selalu menyampaikan hukum-hukum Allah seperti menarik pajak dan berdakwah, semuanya itu dilakukan oleh beliau sendiri dan diberitakan melalui sunnah.[32]
Kedua:  Ijma’ sahabat Rasulullah SAW yang menyatakan al-sunnah ahâd yang bersumber dari Rasulullah SAW harus diterima dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum. [33]
Ketiga: firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (١٢٢)
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[34]
Bahwa Allah SWT memerintahkan kepada beberapa orang (disini menunjukkan pada arti sedikit dan banyak) untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. sehingga hal ini dapat menjadi hujjah kaum itu akhirnya dapat menjaga dirinya setelah mendapat peringatan. [35]Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa khabar, sunah, h}adith ah}a>d dapat dijadikan sebagai hujjah.

D.    Sumber Sunnah (Rasulullah Sebagai Sumber Sunnah)
Sunah menurut bahasa artinya adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. al-sunnah menurut para Fuqaha’ adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi SAW namun tidak bersifat wajib dia adalah salah satu dari hukum taklifi yang lima, wajib, sunah, haram, makruh,dan mubah.[36]
            Sunnah menurut ulama ushul fiqih adalah apa yang bersumber dari nabi SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.[37] Sedangkan pengertian al-sunah menurut ulama hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, atau sirah beliau.[38]
            Pendapat lain dari para ahli ushul  mengatakan bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di shari’atkan kepada manusia.[39]
            Berdasarkan definisi tentang Sunah yang telah disajikan, para ahli hadits menyamakan antara sunnah dengan h}adith. Para ahli hadits mebawa makna sunnah ini kepada seluruh kebiasaan nabi SAW baik yang melahirkan hukum shara’ ataupun tidak.
            Para Ulama Us}uliyyi>n jika antara sunnah dan hadits dibedakan, maka bagi mereka hadits adalaha sebatas sunnah qouliyyah-nya Nabi saja. Ini berarti sunnah cakupannya lebih luas dari hadits sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqri>r) rasul yang bisa dijadikan dalil hukum shar’i.
            Para ahli Us}uliyyi>n mendefinisikan h}adith seperti yang telah disajikan oleh para ahli hadits, yaitu mereka memandang Rasulullah sebagai uswatun h}asanah (contoh atau teladan yang baik). Oleh karenanya, mereka menerima secara utuh segala yang dibeikan tentang diri Rasulullah SAW apakah yang diberitakan itu berhubungan dengan hukum syara’ atau tidak.[40]
            Berbeda dengan ahli h}adi>th, ahli ushul mengatakan bahwa sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau. Berdasarkan pemahaman ini mereka mendifinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW selain al-Qur’a>n al-Kari>m, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqri>rnya yang pantas dijadikan dalil untuk hukum shara’.
            Berdasarkan pengertian tersebut para ahli ushul hanya memberikan bahwasannya sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau yang berkaitan dengan hukum shara>’. Namun hal-hal yang berkaitan dengan hukum shara’ yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sebelum kenabian tidaklah dianggap sebagai sunnah.
            Berdasarkan pengertian dan pendapat di atas jelaslah bahwa sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasu>lulla>h, baik itu perkataannya, pebuatannya, ataupun pengakuannya termasuk semua kebiasaan nabi yang menghasilkan hukum syara’ ataupun tidak. Dari ketiga definisi di atas kita dapat menjawab bahwa benar apabila Rasu>lulla>h adalah sebagai sumber sunah. Dengan kata lain ini dikarenakan sunah adalah apa-apa yang dikatakan rasul, diperbuat rasul dan disepakati atau diakui Rasu>l. Sehingga benar jika rasul adalah sebagai sumber sunah.
E.  Perbedaan dalam Usul Fiqh dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan dalam Furu’ Fiqhiyyah
Perbedaan dalam bidang Furu>’ pada hakekatnya sudah ada sejak masa sahabat. Akan tetapi perbedaan ini sifatnya sangat terbatas. Oleh karena itu perbedaan tersebut tidak sampai menimbulkan konflik. Setelah daerah kekuasaan Islam meluas dan para sahabat tidak lagi berada pada satu tempat dan menyebar ke beberapa daerah kekuasaan Islam yang baru, maka masing-masing sahabat dengan perbedaan kemampuan dan pengetahuan masing-masing menghasilkan produk Ijtiha>d yang berbeda-beda pula. Inilah yang menambah kawasan perbedaan dalam bidang Furu>’ semaki meluas. Puncaknya adalah dengan terbentuknya berbagai mad}hab dalam bidang Fiqih yang sebagian di antaranya masih bertahan sampai saat ini.
Karena beragamnya penyebab perbedaan dalam bidang Furu>’, diperlukan klasifikasi yang jelas untuk mengetahui secara detail penyebab terjadinya perbedaan tadi.
Mus}t}afa> Sa’id al-Khin dalam bukunya Atha>r al-Ikhtila>f fi al-Qawa>i’id al-Us}u>liyah Fi Ikhtila>f al-Fuqaha>’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan ulama dalam bidang Fiqih. Dan ia mengklasifikasikan penyebab-penyebab tadi dalam beberapa hal:[41]
a.       Penyebab perbedaan yang bersifat umum.
Menurut al-Khin penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam bidang fiqih secara umum banyak sekali, akan tetapi yang dianggapnya penting ada beberapa macam. Di antaranya adalah:
1.      Perbedaan dalam qira>’at.
Perbedaan qira>’at dalam pembacaan al-Qur’a>n merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan dalam bidang fiqih. Salah satu contohnya adalah perbedaan ulama>’ tentang kewajiban pada kaki ketika berwudhu, apakah dibasuh ataukah diusap. Penyebab perbedaan adalah adanya ayat al-Qur’a>n yaitu surat al-Ma>’idah ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.[42]

Ayat ini berisi tentang tata cara berwudhu yang oleh sebagian ulama’ (dalam hal ini diwakili Jumhur ulama’) kata-kata arjul (kaki) pada ayat itu dibaca nashab sehingga terbaca wa arjulakum, dan oleh sebagian yang lain (diwakili oleh ulama Shi’ah Ima>miyah) dibaca dengan Ja>rr, wa Arjulikum. Pengaruhnya dalam fiqih adalah apabila ayat tadi dibaca dengan Nas}ab, maka dalam berwud}u> kaki harus dibasuh, sedangkan apabila dibaca dengan Ja>rr, maka dalam berwud}u> kaki harus diusap bukan dibasuh.[43]
2.      Ketidaktahuan adanya h}adi>th dalam masalah.
Pengetahuan para sahabat Nabi SAW dalam masalah hadis tidaklah berada pada satu tingkatan, akan tetapi berbeda-beda. Sebagian mengetahui banyak h}adi>th, sedangkan sebagian yang lain bahkan hanya mengetahui satu atau dua buah hadis saja. Hal ini karena ketika seorang sahabat tidak selamanya mendengar seluruh ucapan Nabi SAW atau menyaksikan seluruh aktifitasnya. Adakalanya dia mendengar sebuah h}adi>th yang tidak didengar oleh sahabat lain. Dan sebaliknya dia juga mungkin tidak mendengar h}adi>th yang diketahui oleh sahabat lain.[44]
Hal inilah yang menjadikan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat, yakni tidak sampainya informasi tentang adanya hadis dalam sebuah masalah. Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal ini adalah bahwa ‘Ali bin Abi T{a>lib dan Ibnu Abba>s pernah berfatwa bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa ‘Iddah (tunggu)-nya adalah masa yang paling lama antara masa melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Mereka belum menerima informasi tentang fatwa Nabi SAW bahwa masa tunggu wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan.
3.      Perbedaan dalam Memahami dan Menafsirkan Teks
Salah satu sebab perbedaan yang lain adalah adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah teks, baik itu berupa al-Qur’a>n maupun as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah kasus pembagian tanah hasil rampasan perang. ‘Umar Ibn al-Khat}t}ab berpendapat bahwa tanah hasil rampasan perang itu tetap berada di tangan pemiliknya dan dalam pemeliharaannya. Hanya saja, tanah tadi dikenai pajak yang dapat dipakai untuk kepentingan ummat Islam di setiap masa dan generasi.
Pandangan ‘Umar yang seperti ini didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfa>l dan ayat 6-10 surat al-Hashr.
 (#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqtƒ Èb$s%öàÿø9$# tPöqtƒ s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÍÊÈ  
Artinya: “ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[45]
$tBur uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu öNåk÷]ÏB !$yJsù óOçFøÿy_÷rr& Ïmøn=tã ô`ÏB 9@øyz Ÿwur 7U%x.Í £`Å3»s9ur ©!$# äÝÏk=|¡ç ¼ã&s#ßâ 4n?tã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÏÈ  
Artinya: “dan apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[46]
$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
Artinya: “apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.[47]
ä!#ts)àÿù=Ï9 tûï̍Éf»ygßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qã_̍÷zé& `ÏB öNÏd̍»tƒÏŠ óOÎgÏ9ºuqøBr&ur tbqäótGö6tƒ WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur tbrçŽÝÇZtƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 šÍ´¯»s9'ré& ãNèd tbqè%Ï»¢Á9$# ÇÑÈ  
Artinya: “(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. mereka Itulah orang-orang yang benar”.[48]
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u#¤$!$# z`»yJƒM}$#ur `ÏB ö/ÅÏ=ö7s% tbq7Ïtä ô`tB ty_$yd öNÍköŽs9Î) Ÿwur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& šcrãÏO÷sãƒur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qム£xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR šÍ´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ  
Artinya: “dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”.[49]
úïÏ%©!$#ur râä!%y` .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ šcqä9qà)tƒ $uZ­/u öÏÿøî$# $oYs9 $oYÏRºuq÷z\}ur šúïÏ%©!$# $tRqà)t7y Ç`»yJƒM}$$Î/ Ÿwur ö@yèøgrB Îû $uZÎ/qè=è% yxÏî tûïÏ%©#Ïj9 (#qãZtB#uä !$oY­/u y7¨RÎ) Ô$râäu îLìÏm§ ÇÊÉÈ  
Artinya: “dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.[50]

Umar Ibn Khat}t}a>b memahami kandungan ayat-ayat diatas bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak tidak dibagikan pada tentara perang, akan tetapi dikuasai oleh negara dan dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Sedangkan para sahabat yang lain berpendapat bahwa tanah rampasan perang sebagai mana barang bergerak, juga harus dibagikan layaknya harta rampasan perang yang lain.
Pendapat kedua ini juga didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfal serta tindakan Rasulullah yang juga pernah membagi tanah hasil rampasan perang. Ayat yang dipakai oleh ‘Umar untuk mendukung pendapatnya, menurut para sahabat yang lain, adalah berbicara tentang dua hal yang berbeda, yaitu harta Ghani>mah dan Fai’. Dan kedua macam harta ini tetap dibagikan pada para tentara perang tidak seperti keputusan yang dibuat ‘Umar.
4.      Adanya Lafad} yang Mushtara>k
Dalam bahasa Arab terdapat berbagai bentuk kata yang menunjukkan pada makna tertentu. Salah satunya adalah kata atau lafad} mushtara>k. Mushtara>k berarti sebuah kata yang memiliki dua makna atau lebih, dan terkadang saling berlawanan, misalnya kata al-jun yang bisa berarti putih dan juga hitam. Dan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah juga terdapat beberapa lafad} yang mushtara>k. Dan ini menhjadi salah satu sebab munculnya perbedaan pendapat di antara para ulama. Misalnya adalah kata al-qur’u yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym  
Artinya: “wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[51]

Kata al-qur’u tersebut memiliki makna haidh dan juga bermakna suci. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa wanita-wanita yang dicerai suaminya, maka ‘iddah (masa tunggu)-nya adalah tiga kali quru’. Dan semua ulama sepakat akan hal ini. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna quru’ yang adal dalam ayat terssebut. ‘Aishah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, Malik. al-Sya>fi’i, Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lain mengartikan quru>’ dalam ayat tersebut bermakna suci. Artinya, mereka berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya memiliki masa tunggu (‘iddah) tiga kali suci. Sedangkan Abu Bakr, Umar, Utsman dan sebagian Abu Hani>fah berpendapat bahwa quru>’  dalam ayat tersebut berarti haidh. Artinya, mereka berpendapat bahwa masa tunggu wanita yang ditalak adalah tiga kali haidh.
5.      Adanya pertentangan dalil (ta’arud} al-adillah)
Salah satu sebab lain yang menjadikan terjadinya perbedaan pendapat antar ulama adalah adanya pertentangan antar dalil (ta’arudh al-adillah) yang menjadikan satu ulama mengunggulkan satu dalil yang menurut ulama’ lain justru merupakan dalil yang lemah. Pertentangan antar dalil yang sebenarnya hanya ada pada pikiran para ulama’ memang berusaha untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Hanya saja, masing-masing ulama memiliki cara yang berbeda dalam mencari jalan keluarnya.
Ini pula yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat.
Contohnya adalah perbedaan di antara ulama tentang tata cara tayammum. Madzhab Hambali berpendapat bahwa tayammum cukup dilakukan dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ammar binYasir yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan contoh kepadanya dalam melakukan tayammum. Nabi mengusapkan tangannya ke tanah dan memakainya untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan Madzhab Hanafi, Ma>liki, dan Sha>fi’i mengatakan bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan. Dasar yang dipakai adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Tayammum itu dengan dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai ke siku.”
[52]
Perbedaan tersebut terjadi karena adanya dua dalil yang berbeda dan nampak bertentangan dan masing-masing ulama menguatkan satu h}adi>th yang menurut ulama lain justru lemah.
b.      Penyebab Perbedaan Karena Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Kaidah ushuliyah merupakan salah satu faktor penyebab perbedaan di antara para ulama. Sebagian dari kaidah-kaidah tersebut berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagian lagi berkaitan dengan al-Qur’an saja, dan sebagian lain berkaitan dengan as-Sunnah saja. Di antara kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan al-Qur’a>n saja yang menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan adalah perbedaan ulama tentang nama al-Qur’a>n.
Apakah al-Qur’a>n merupakan nama untuk kandungan isinya saja ataukah merupakan nama untuk isi dan susunan katanya.
Sebagian ulama dalam satu riwayat disebutkan bahwa ini adalah pendapat Abu Hani>fah berpendapat bahwa kata al-Qur’a>n hanya dipakai untuk menyebut isi kandungan maknanya saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’a>n adalah nama untuk susunan kata dan maknanya sekaligus.
Implikasi perbedaan dalam hal ini pada bidang fiqih adalah adanya perbedaan pendapat tentang kebolehan shalat dengan bahasa selain Arab. Abu Hanifah ulama yang diriwayatkan menganut pendapat pertama- membolehkan shalat dengan membaca al-Fatihah dengan selain bahasa Arab, karena yang terpenting bukan lah bahasa yang dipakai al-Qur’a>n akan tetapi makna yang akan dicapainya. Sedangkan jumhur ulama –sebagai penganut pendapat yang kedua- berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah harus dengan bahasa Arab karena yang dinamakan al-Qur’a>n bukan hanya maknanya saja, akan tetapi juga susunan kataya yang berupa bahasa Arab. Implikasi yang lain adalah perbedaan tentang tarjamah al-Qur’an. Bagi penganut pendapat pertama tarjamah al-Qur’an memiliki status sama dengan al-Qur’an seperti tidak boleh disentuh dan dibaca oleh orang yang dalam keadaan junub, dsb. Sedangkan penganut pendapat kedua menganggap bahwa tarjamah al-Qur’an bukanlah al-Qur’a>n, akan tetapi tarjamah makna al-Qur’an. Kaidah lain yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah tentang qira>’ah syad}d}ah, yaitu bacaan al-Qur’an yang tidak diriwayatkan melalui jalur mutawatir. Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qira>’ah syad}d}ah. Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi berpendapat bahwa qira>’ah syad}d}ah dapat diapaki sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat tentang ketidakabsahan qira’ah syadzdzah sebagai salah satu dalil penetapan hukum.
Implikasinya pada furu>’ fiqhiyyah ada beberapa hal, diantaranya adalah apabila seseorang tidak berpuasa pada bulan ramadhan secara berturut-turut dikarenakan suatu alasan, maka apakah dia harus menqadha puasa tadi secara berurutun juga ataukah boleh secara terpisah-pisah.
Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi mengatakan bahwa dia harus menqadhanya secara berurutan pula. Dasarnya adalah adanya qira’ah syadzdzah yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang menambahkan kata-kata Mutata>bi’at dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang berbunyi: “Fa ‘Iddatun Min Ayya>min Ukhar”. Sedangkan madzhab Syafi’i membolehkan menqadha puasa tersebut dengan terpisah-pisah karena menganggap bahwa qira’ah Ubay bin Ka’b tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Sedangkan kaidah yang berkaitan dengan as-Sunnah terdapat banyak sekali. Diantaranya adalah tentang kehujjahan hadis mursal yaitu hadis yang terputus salah satu mata rantai perawinya di kalangan sahabat. al-Sha>fi’i tidak dapat menerima h}adi>th mursal sebagai sebuah dalil karena dianggap sudah cacat, sedangkan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai dalil penetapan hukum karena menganggap bahwa tidak mungkin seorang tabi’in berbohong dalam meriwayatkan sebuah h}adi>th. Jadi, terputusnya rantai periwayatan pada kalangan sahabat tidak menjadikan cacat pada status hadis tersebut.
[53]
Implikasinya pada bidang furu>’ fiqih banyak sekali, diantaranya adalah tentang batalnya wudhu karena bersentuhan dengan yang berlainan jenis. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mencium salah satu isterinya dan kemudian melakukan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu. Sedangkan Madzhab Shafi’i berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan itu membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah al-Qur’an ayat 6 surat al-Ma>’idah. Sedangkan hadis yang dipakai oleh Madzhab Hanafi sebagai dalil tidak dapat diterima oleh asy-Syafi’i karena hadis tersebut adalah mursal.
III.    PENUTUP
Sunnah (h}adi>t}h) menempati kedudukan kedua dalam dalil-dalil shari'at. Penerimaan sunah sebagai dalil dalam hukum shar'i ditegaskan baik oleh al-Qur'an, h}adith itu sendiri maupun contoh perbuatan para sahabat. Penolakan terhadap keyakinan ini akan berdampak pada dualisme.
Di satu sisi ia mengakui bahwa al-Qur'a>n benar adanya tetapi di sisi lain ia tidak mau beriman kepada seluruh isi al-Qur'a>n. Bagaimana mungkin orang yang tidak mau menanati Rasul dikatakan beriman pada seluruh al-Qur'a>n; padahal hal yang demikian justru diperintahkan oleh al-Qur'a>n, Oleh karena itu mari kita simak peringatan Allah kepada bangsa Yahudi yang pilih kasih terhadap ayat-ayat Taurat,
ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (٨٥)
 Artinya: "Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lainnya? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang berat." (QS. Al-Baqarah: 85)


DAFTAR  PUSTAKA

Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihka>m fi> Ushu>l al-Ahka>m Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984.
Bukha>ri, Muhammad bin Isma’i>l Abu Abdullah al-, Shahih al-Bukha>ri Beirut: Da>r Ibn Kats}i>r, 1407.
Dawud, Abu. Sulaima>n bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud Beirut: Dâr al-Fikr, tt..
Drs. Munzier Suparta, MA. 2002. Ilmu H{adi>th. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar, M.A.1996. Ilmu Hadits. Jakarta. Gaya Media Pratama.
Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.
Fayu>mi, Ahmad bin Ahmad al-, Al-Mishba>h al-Muni>r fi Ghari>b al-Syarh al-Kabi>r Beirut: al-maktabah Al-Ilmiyah, tt.
Ibn al-Najja>r, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azi>z, Syarh al-Kauka>b al-Muni>r Mekkah: Marka>z al-Bahth al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt..
Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Abu Abdullah al-Jauziyah, I’la>m al-Muwaqi’i>n Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, 1470.
Ibra>hi>m, Mus}t}afa Zalamy>, al-, Masa>’il Min al-Fiqh al-Muqa>ran, Baghdad: Bait al-Hikmah, 1989.
Iyadl bin Nami al-Silmy, Ushul Fiqh allad}i La Yasa’ al-Faqi>hu Jahlahu Riyadh: Maktabah al-Mamlakat al-’Arabiya, tt.
Khati>b al-Baghdadi, Ahmad bin Ali bin Tsabit al-, Al-Faqi>h wa al-Mutafaqqih Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400.
Khalla>f, Abdu al-waha>b’Ilm Us}u>l al-Fiqh Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2003.
Muslim Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, S{ah}ih} Muslim Kairo: Da>r Ali al-Kutub, 1996.
Qa>simi>, Muhammad Jama>luddi>n al-, Qawa>’id al-Tahdi>ts fî Funu>n mus}t}alah al-Hadi>ts Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2004.
Qurt}ubi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahka>m al-Qur’a>n Beirut: Da>r Ihya>’ at-Tura>ts, tt.
Shafiuddi>n al-Hanbali, Qawaid al-Ushu>l wa Ma’a>qid al-Fushu>l Mekkah: Jami’ah Umm al-Qurra’, 1409.
Sya>fi’i, Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-, Al-Risa>lah Beirut: Maktabah Ilmiyah, tt.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2004. Pengantar Studi Ilmu Hadits Edisi Terjemah. Jakarta. Pustaka al-Kaut}a>r
Zaida>n, Abdulkari>m, Al-Waji>z fi> ushu>l al-Fiqh Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976.


Postingan terkait: