I.
PENDAHULUAN
Tatkala membahas al-Qur'a>n, kita mengemukakan
bahwa Kitab Allah ini bukan sekedar s}uhu>f -petunjuk untuk
menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang
dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al-Qur'an
merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui
manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem.
Meskipun Al Qur'an menegaskan mengenai dirinya
sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu QS. an-Nahl (16): 69:
ثُمَّ
كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ
بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٦٩)
Artinya: “kemudian makanlah dari tiap-tiap
(macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).
dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan”.
tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas,
sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya. Rupanya Allah
menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada umat, tetapi juga
menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu sesudah al-Qur'an kaum mukminin menerima
Sunah-jalan atau tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting
kepada umat, maka berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal
sebagai al-H{adi>th yang makna harfiahnya adalah berita. Sehubungan
dengan itu Rasulullah menyatakan: "Aku tinggalkan dua hal untuk kamu
sekalian; maka kamu tidak akan tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua
hal itu adalah Al Qur'an dan Sunnahku". Dalam h}adi>th lain yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda beliau: "Barangsiapa
mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku
maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga".
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan
dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma's}u>m
dalam arti senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT. Dengan demikian pada hakikatnya
Sunah Rasu>l adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur'an
merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya
langsung diwahyukan Allah, maka Sunah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang
dillhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat dengan
cara beliau sendiri.
PEMBAHASAN
A.
Kehujjahan
Sunah Sebagai Sumber Hukum dalam Us}ul Fiqih
1.
Pengertian
Sunnah
Pertama: secara etimology
sunnah berasal dari bahasa Arab yang
berarti jalan yang diikuti, jalan ini dapat berupa kebaikan maupun keburukan.[1]
Seperti sabda Rasulullah SAW:
من سن في الإسلام سنة
حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها...
Artinya:
” barang siapa berbuat (memberi contoh) yang baik, maka dia akan mendapatkan
pahala dan pahala dari orang yang mengikuti perbuatan baiknya tersebut...”.[2]
Kedua: secara terminology
adalah
a.
Menurut Ulama> Fiqih: sunnah adalah anonim dari
wajib. Dan dapat juga sebagai anonim dari bid’ah.[3]
Dalam hal ini ulama ahli fiqih memandang perbuatan
Rasulullah SAW yang dipastikan tidak keluar dari petunjuk terhadap adanya hukum
shara'. Tinjauan ulama ahli fiqih ini berhubungan dengan hukum shar'i terhadap
perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunah, atau haram, atau makruh,
atau mubah.
b.
Menurut ulama h}adi>th: sunah adalah sesuatu yang
lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul
(perkataan), fi’il (perbuatan), taqri>r (pengakuan), dan sifat
(termasuk didalamnya akhlak dan jasmaninya).[4] Dalam hal ini ulama ahli h}adi>th memandang
Rasulullah sebagai seorang imam yang diberitakan oleh Allah, bahwa beliau
sebagai suri teladan dan panutan bagi umat manusia. Maka para perawi
meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat,
berita-berita, perkataan, dan perbuatan dari Rasulullah SAW, baik yang telah
ditetapkan sebagai hukum shar'i maupun tidak.
c.
Menurut Ulama Us}ul Fiqih: sunnah adalah sesuatu
yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul
(perkataan), fi’il (perbuatan), taqri>r (pengakuan), tulisan, isyarat, sesuatu yang
penting dan sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW.[5]
Dalam hal ini ulama ahli ushul fikih memandang Rasulullah SAW sebagai penyampai
shariat Allah dengan meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid dimasa
sesudahnya, juga menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan di dunia.
Maka mereka memperhatikan perkataan, perbuatan serta ketetapan Rasulullah SAW
dalam menetapkan hukum dan memutuskannya pada suatu masalah hukum yang harus
segera mendapatkan kepastian hukumnya.
Pertama: yang dimaksud dengan sunah qouliyah adalah
ucapal-ucapan Rasulullah SAW dalam tujuan dan hubungan yang berbeda-beda.
seperti:
Kedua:
yang dimaksud dengan sunah fi’liyah adalah perbuatan-perbuatan yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW seperti: Cara mengerjakan shalat , manasik
haji, puasa dan sebagainya.
Ketiga:
Dan yang dimaksud dengan sunah taqri>riyah adalah
pengakuan Rasulullah SAW terhadap perkataan, perbuatan sebagian sahabat secara
terus terang dan tidak mengingkarinya secara terus terang. Karena Rasulullah
SAW diutus untuk menjelaskan syariat Isla>m, dan jika ada sebagian sahabat
beliau yang berkata dan berbuat dalam sebuah masalah hukum dan ketika itu
Rasulullah SAW mendiamkannya dan tidak mengingkari sahabat tersebut hal ini
merupakan keputusan dan penyataan dari Rasulullah SAW.
Sunnah
taqri>riyah ini terkadang berupa diamnya Rasulullah SAW tanpa
mengingkarinya (dan Rasulullah SAW tidak memberikan pernyataan sedikitpun dan
beliau menyetujui perkataan, perbuatan sahabat tersebut). Tetapi juga terkadang
Rasulullah SAW memberikan isyarat untuk menyetujuinya.
Seperti
dalam suatu riwayat ada dua sahabat bepergian ketika sudah masuk waktu shalat
keduanya tidak menemukan air lalu mereka tayammum sebagai ganti dari wud}u>’
kemudian mereka melanjutkan perjalanannya dan ditengah perjalanan menemukan air
sedangkan waktu shalat masih ada, lalu salah satu dari mereka berdua berwudlu’
dan mengulangi shalatnya sedangkan yang satunya tidak. Ketika keduanya sudah
kembali kemadinah hal tersebut diceritakan pada rasul dan rasul bersabda pada
yang tidak mengulangi shalatnya Engkau
telah melaksanakan sunnah dan cukuplah shalatmu. Dan rasul bersabda
kepada yang mengulangi shalatnya engkau
mendapatkan dua pahala.[9]
d.
Sunnah adalah hikmah seperti dalam firman Allah SWT:
وَلَوْلا
فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ
يُضِلُّوكَ وَمَا يُضِلُّونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ
تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا (١١٣)
Artinya: “Sekiranya bukan karena
karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka
berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun
kepadamu. Dan (juga karena)
Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar
atasmu”.[10]
Seperti yang dinyatakan imam Syafi’i: ”Hikmah
merupakan Sunnah yang datang dari Rasulullah SAW”.[11]
2.
Perbedaan
antara Sunnah dan Khabar
Pengertian dari
sunah sudah dijelaskan di atas, kemudian pengertian dari al-khabar
secara etimology mempunyai arti berita. Sedangkan secara terminology berarti
suatu berita yang mengandung kemungkinan benar dan salah. Dalam hal ini adalah
sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain al-Qur’a>n, atau sesuatu yang
lahir dari sahabat dan ta>bi’i>n (al-At}a>r).[12]
3.
Kehujjahan
Sunnah dari al-Qur’a>n
Dalam
menggunakan Sunnah sebagai sumber hukum utama setelah al-Qur’a>n didukung
oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah
SAW. Berikut beberapa ayat yang berisi tentang kehujjahan Sunah:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat,
sesat yang nyata”.[13]
Maksud ayat
ini adalah kita hendaknya selalu mengikuti pada perintah Allah dan Rasul-Nya,
dan mengikuti sunah Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah
yang diberi wahyu al-Qur’a>n, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak
diperbolehkan untuk menentang dan mengingkari keberadaan sunnah (yang mutawa>tir
dan aha>d).[14]
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (٣٢)
Artinya:
”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".[15]
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا (٧٩)
Artinya:
”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul
kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”.[16]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١)
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui”.[17]
B.
Pembagian
Sunnah Ditinjau Dari Hubungannya dengan al-Qur’a>n
1.
Sunnah
al-Muakkadah, yakni Sunnah yang mempunyai kesesuaian dengan
al-Qur’a>n dari semua segi, seperti adanya kewajiban shalat merupakan
ketetapan hukum wajib yang didasarkan pada al-Qur’a>n dan sunnah.[18]
2.
Sunnah al-Mubayyanah,
yakni al-sunnah yang berfungsi menafsirkan ayat al-Qur’ân yang masih bersifat
global dari segi lafaz} dan maknanya. Menurut imam Shafi’i: “ayat
dari al-Qur’a>n ini secara global menjelaskan adanya hukum-hukum yang
berlaku bagi manusia, tetapi al-sunnah disini berfungsi sebagai penjelas tata
cara dan konsekwensi hukum, seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan
pelaksanaan waktu mengerjakannya dan juga konsekwensi hukum bagi yang taat dan
yang tidak mentaati hukum tersebut”.[19]
3.
Sunnah
al-Istiqla>liyyah, yakni sunah yang berfunsi sebagai penambah terhadap hukum
yang ada dalam al-Qur’a>n. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh sunnah
tatkala di dalam al-Qur’a>n tidak ditemukan jawaban hukum atas sebuah
permasalahan baik berupa kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek,
hukum shuf’ah (hukum membeli lebih dahulu).[20]
C.
Pembagian Sunnah Ditinjau Dari Cara Sampainya Kepada Umat
Islam
Yang dimaksud Sunnah ditinjau dari cara sampainya
kepada umat islam adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan
dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad sunah tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini sunnah dibagi menjadi
mutawa>tir dan aha>d.[21]
1. Sunnah Mutawa>tir
a.
Pengertian Mutawa>tir
Kedua:
secara terminology, mutawa>tir menurut ulama
ushul fiqih adalah al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa
sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta
bersama akan hal itu. Jadi al-sunnah mutawâtir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur
pada tiap lapisan berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad
minimum Sunnah mutawa>tir (sebagian menetapkan 20
dan 40 orang pada tiap lapisan sanad).[23]
b.
Pembagian Sunnah Mutawa>tir
al-Sunnah mutawa>tir
sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawa>tir lafd}i dan ma’nawi>.[24]
Pertama: mutawa>tir lafd}i, yakni kesepakatan atas redaksi al-sunnah yang sama pada tiap riwayat baik
lafad} dan maknanya, seperti mutawa>tirnya al-Qur’a>n atau al-sunnah
berikut ini: من كذب علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya:
“barang siapa secara sengaja (berusaha) berdusta kepadaku (terhadap lafad}
dan makna sunah) maka disediakan baginya kedudukan di dalam neraka”.[25]
Kedua: mutawa>tir
ma’nawi, yakni kesepakatan atas makna al-sunnah pada tiap riwayat tetapi terdapat
perbedaan dalam redaksinya. Seperti al-sunnah tentang adanya syafaat dari
Rasulullah, shira>tal mustaqim, telaga di surga.
c.
Kedudukan Sunnah mutawa>tir
Sunnah mutawa>tir ini mempunyai kedudukan sebagai
dalil Qat}’i, hal ini sudah disepakati oleh para ulama, dengan demikian
adanya kewajiban dalam mengamalkannya dan tidak dapat diragukan lagi atas
keberadaan al-sunnah mutawa>tir ini.[26]
Tetapi para ulama berbeda pendapat apakah sunnah
mutawa>tir ini merupakan sebuah kebutuhan pokok atau bersifat teoritis saja?
Perbedaan ini ditinjau dari lafaz}nya, karena semua ulama sepakat bahwa sunnah mutawa>tir
memberikan manfaat sebagai ilmu pengetahuan dan kepastian, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang sunnah mutawa>tir sebagai jenis ilmu
pengetahuan: jika dilihat dari segi akal dan pikiran mengharuskan untuk
membenarkan, maka hal ini sunnah mutawa>tir disebut sebagai sebuah
kebutuhan pokok. Dan jika dilihat dari segi keperluan sunnah mutawa>tir
kepada adanya muqaddimah, maka hal ini disebut sebagai sunnah mutawa>tir
yang bersifat teoritis. [27]
d.
Syarat-syarat sunnah mutawa>tir
Pertama: periwayatan yang
disampaikan adalah untuk
memberitahukan adanya informasi sebagai ilmu pengetahuan dan mempunyai
kepastian, bukan atas dasar keraguan dan ketidak pastian.
Kedua: periwayatan yang disampaikan harus
didasarkan pada
perasaan, bukan untuk atas dasar logika atau lainnya.
Ketiga: orang yang meriwayatkan sebuah al-sunnah harus banyak tidak
boleh sedikit jumlahnya. Hal ini tidak ada batasan jumlah berapa orang yang
meriwayatkannya, tetapi banyaknya jumlah orang yang mampu meriwayatkan
al-sunnah menjadi sebuah ilmu pengetahuan dan kepastian.
Keempat: periwayat yang banyak ini tidak berkolusi untuk menyampaikan
al-sunnah dengan cara berdusta atau merahasiakannya.
Sedangkan syarat-syarat khusus
al-sunnah mutawâtir adalah periwayat beragama islam dan mempunyai kompetensi
dalam bidang keilmuannya.
2. Sunah aha>d.
a.
Pengertian Aha>d
Pertama: secara etimology, aha>d
berasal dari bahasa Arab berbentuk kata majemuk dari kata aha>d yang berarti
satu atau individu. [29]
Kedua: secara terminology,
al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun
tidak mencapai tingkatan mutawâtir.[30]
b.
Kedudukan Sunnah aha>d
Ulama telah
bersepakat atas penggunaan al-sunnah dengan riwayat aha>d ini.[31]
Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah:
Pertama:
bahwa Muhammad SAW dalam menjalankan tugasnya sebagai Rasulullah selalu
menyampaikan hukum-hukum Allah seperti menarik pajak dan berdakwah, semuanya
itu dilakukan oleh beliau sendiri dan diberitakan melalui sunnah.[32]
Kedua:
Ijma’ sahabat Rasulullah SAW yang
menyatakan al-sunnah ahâd yang bersumber dari Rasulullah SAW harus diterima dan
dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
[33]
Ketiga:
firman Allah SWT:
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (١٢٢)
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya”.[34]
Bahwa Allah SWT memerintahkan kepada beberapa orang
(disini menunjukkan pada arti sedikit dan banyak) untuk memberikan peringatan
kepada kaumnya. sehingga hal ini dapat menjadi hujjah kaum itu akhirnya dapat menjaga dirinya setelah mendapat
peringatan. [35]Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa khabar, sunah, h}adith ah}a>d dapat dijadikan sebagai hujjah.
D.
Sumber
Sunnah (Rasulullah Sebagai Sumber Sunnah)
Sunah
menurut bahasa artinya adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela.
al-sunnah menurut para Fuqaha’ adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi SAW
namun tidak bersifat wajib dia adalah salah satu dari hukum taklifi yang lima,
wajib, sunah, haram, makruh,dan mubah.[36]
Sunnah menurut ulama ushul fiqih adalah apa yang bersumber dari nabi SAW selain
Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.[37]
Sedangkan pengertian al-sunah menurut ulama hadits adalah apa yang disandarkan
kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, sifat, atau sirah beliau.[38]
Pendapat lain dari para ahli ushul mengatakan bahwa sunnah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang di shari’atkan
kepada manusia.[39]
Berdasarkan definisi tentang Sunah yang telah disajikan, para ahli hadits
menyamakan antara sunnah dengan h}adith. Para ahli hadits mebawa makna sunnah
ini kepada seluruh kebiasaan nabi SAW baik yang melahirkan hukum shara’ ataupun
tidak.
Para Ulama Us}uliyyi>n jika antara sunnah dan hadits dibedakan, maka
bagi mereka hadits adalaha sebatas sunnah qouliyyah-nya Nabi saja. Ini
berarti sunnah cakupannya lebih luas dari hadits sebab sunnah mencakup
perkataan, perbuatan, dan penetapan (taqri>r) rasul yang bisa
dijadikan dalil hukum shar’i.
Para ahli Us}uliyyi>n mendefinisikan h}adith seperti yang telah disajikan
oleh para ahli hadits, yaitu mereka memandang Rasulullah sebagai uswatun
h}asanah (contoh atau teladan yang baik). Oleh karenanya, mereka menerima
secara utuh segala yang dibeikan tentang diri Rasulullah SAW apakah yang
diberitakan itu berhubungan dengan hukum syara’ atau tidak.[40]
Berbeda dengan ahli h}adi>th, ahli ushul mengatakan bahwa sunah adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang berhubungan
dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau.
Berdasarkan pemahaman ini mereka mendifinisikan sunnah sebagai segala sesuatu
yang bersumber dari Rasulullah SAW selain al-Qur’a>n al-Kari>m, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqri>rnya yang pantas dijadikan
dalil untuk hukum shara’.
Berdasarkan pengertian tersebut para ahli ushul hanya memberikan bahwasannya
sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik perkataan,
perbuatan, dan ketetapan beliau yang berkaitan dengan hukum shara>’. Namun
hal-hal yang berkaitan dengan hukum shara’ yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
sebelum kenabian tidaklah dianggap sebagai sunnah.
Berdasarkan pengertian dan pendapat di atas jelaslah bahwa sunah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Rasu>lulla>h, baik itu perkataannya,
pebuatannya, ataupun pengakuannya termasuk semua kebiasaan nabi yang
menghasilkan hukum syara’ ataupun tidak. Dari ketiga definisi di atas kita
dapat menjawab bahwa benar apabila Rasu>lulla>h adalah sebagai
sumber sunah. Dengan kata lain ini dikarenakan sunah adalah apa-apa yang
dikatakan rasul, diperbuat rasul dan disepakati atau diakui Rasu>l. Sehingga
benar jika rasul adalah sebagai sumber sunah.
E. Perbedaan dalam Usul Fiqh dan Pengaruhnya Terhadap
Perbedaan dalam Furu’ Fiqhiyyah
Perbedaan dalam bidang Furu>’
pada hakekatnya sudah ada sejak masa sahabat. Akan tetapi perbedaan ini
sifatnya sangat terbatas. Oleh karena itu perbedaan tersebut tidak sampai
menimbulkan konflik. Setelah daerah kekuasaan Islam meluas dan para sahabat
tidak lagi berada pada satu tempat dan menyebar ke beberapa daerah kekuasaan
Islam yang baru, maka masing-masing sahabat dengan perbedaan kemampuan dan
pengetahuan masing-masing menghasilkan produk Ijtiha>d yang
berbeda-beda pula. Inilah yang menambah kawasan perbedaan dalam bidang Furu>’
semaki meluas. Puncaknya adalah dengan terbentuknya berbagai mad}hab
dalam bidang Fiqih yang sebagian di antaranya masih bertahan sampai saat ini.
Karena beragamnya penyebab perbedaan
dalam bidang Furu>’, diperlukan klasifikasi yang jelas untuk
mengetahui secara detail penyebab terjadinya perbedaan tadi.
Mus}t}afa> Sa’id al-Khin dalam
bukunya Atha>r al-Ikhtila>f fi al-Qawa>i’id al-Us}u>liyah Fi Ikhtila>f
al-Fuqaha>’ berusaha meneliti sebab-sebab terjadinya perbedaan ulama
dalam bidang Fiqih. Dan ia mengklasifikasikan penyebab-penyebab tadi dalam
beberapa hal:[41]
a.
Penyebab perbedaan
yang bersifat umum.
Menurut al-Khin penyebab terjadinya perbedaan
pendapat dalam bidang fiqih secara umum banyak sekali, akan tetapi yang
dianggapnya penting ada beberapa macam. Di antaranya adalah:
1.
Perbedaan dalam
qira>’at.
Perbedaan qira>’at dalam
pembacaan al-Qur’a>n merupakan salah satu penyebab terjadinya perbedaan
dalam bidang fiqih. Salah satu contohnya adalah perbedaan ulama>’ tentang
kewajiban pada kaki ketika berwudhu, apakah dibasuh ataukah diusap. Penyebab
perbedaan adalah adanya ayat al-Qur’a>n yaitu surat al-Ma>’idah
ayat 6:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.[42]
Ayat ini berisi tentang tata cara
berwudhu yang oleh sebagian ulama’ (dalam hal ini diwakili Jumhur ulama’)
kata-kata arjul (kaki) pada ayat itu dibaca nashab sehingga terbaca wa
arjulakum, dan oleh sebagian yang lain (diwakili oleh ulama Shi’ah Ima>miyah)
dibaca dengan Ja>rr, wa Arjulikum. Pengaruhnya dalam fiqih adalah
apabila ayat tadi dibaca dengan Nas}ab, maka dalam berwud}u> kaki
harus dibasuh, sedangkan apabila dibaca dengan Ja>rr, maka dalam
berwud}u> kaki harus diusap bukan dibasuh.[43]
2.
Ketidaktahuan
adanya h}adi>th dalam masalah.
Pengetahuan para sahabat Nabi SAW dalam
masalah hadis tidaklah berada pada satu tingkatan, akan tetapi berbeda-beda.
Sebagian mengetahui banyak h}adi>th, sedangkan sebagian yang lain bahkan
hanya mengetahui satu atau dua buah hadis saja. Hal ini karena ketika seorang
sahabat tidak selamanya mendengar seluruh ucapan Nabi SAW atau menyaksikan
seluruh aktifitasnya. Adakalanya dia mendengar sebuah h}adi>th yang tidak
didengar oleh sahabat lain. Dan sebaliknya dia juga mungkin tidak mendengar h}adi>th
yang diketahui oleh sahabat lain.[44]
Hal inilah yang menjadikan salah satu
sebab terjadinya perbedaan pendapat, yakni tidak sampainya informasi tentang
adanya hadis dalam sebuah masalah. Salah satu contoh yang bisa menjelaskan hal
ini adalah bahwa ‘Ali bin Abi T{a>lib dan Ibnu Abba>s pernah berfatwa
bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, masa ‘Iddah (tunggu)-nya
adalah masa yang paling lama antara masa melahirkan dan empat bulan sepuluh
hari. Mereka belum menerima informasi tentang fatwa Nabi SAW bahwa masa tunggu
wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan.
3.
Perbedaan dalam
Memahami dan Menafsirkan Teks
Salah satu sebab perbedaan yang lain
adalah adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan sebuah teks, baik itu
berupa al-Qur’a>n maupun as-Sunnah. Salah satu contohnya adalah kasus
pembagian tanah hasil rampasan perang. ‘Umar Ibn al-Khat}t}ab berpendapat bahwa
tanah hasil rampasan perang itu tetap berada di tangan pemiliknya dan dalam
pemeliharaannya. Hanya saja, tanah tadi dikenai pajak yang dapat dipakai untuk
kepentingan ummat Islam di setiap masa dan generasi.
Pandangan ‘Umar yang seperti ini
didasarkan pada ayat 41 surat al-Anfa>l dan ayat 6-10 surat al-Hashr.
(#þqßJn=÷æ$#ur $yJ¯Rr& NçGôJÏYxî `ÏiB &äóÓx« ¨br'sù ¬! ¼çm|¡çHè~ ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur ÇÆö/$#ur È@Î6¡¡9$# bÎ) óOçGYä. NçGYtB#uä «!$$Î/ !$tBur $uZø9tRr& 4n?tã $tRÏö6tã tPöqt Èb$s%öàÿø9$# tPöqt s)tGø9$# Èb$yèôJyfø9$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« íÏs% ÇÍÊÈ
Artinya:
“ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.[45]
$tBur uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu öNåk÷]ÏB !$yJsù óOçFøÿy_÷rr& Ïmøn=tã ô`ÏB 9@øyz wur 7U%x.Í £`Å3»s9ur ©!$# äÝÏk=|¡ç ¼ã&s#ßâ 4n?tã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇÏÈ
Artinya:
“dan apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan
seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan
kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.[46]
$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya:
“apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.[47]
ä!#ts)àÿù=Ï9 tûïÌÉf»ygßJø9$# tûïÏ%©!$# (#qã_Ì÷zé& `ÏB öNÏdÌ»tÏ óOÎgÏ9ºuqøBr&ur tbqäótGö6t WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur tbrçÝÇZtur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqè%Ï»¢Á9$# ÇÑÈ
Artinya:
“(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya
dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. mereka Itulah orang-orang yang benar”.[48]
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u#¤$!$# z`»yJM}$#ur `ÏB ö/ÅÏ=ö7s% tbq7Ïtä ô`tB ty_$yd öNÍkös9Î) wur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& crãÏO÷sãur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qã £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR Í´¯»s9'ré'sù ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ
Artinya:
“dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai'
orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada
menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri
mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”.[49]
úïÏ%©!$#ur râä!%y` .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ cqä9qà)t $uZ/u öÏÿøî$# $oYs9 $oYÏRºuq÷z\}ur úïÏ%©!$# $tRqà)t7y Ç`»yJM}$$Î/ wur ö@yèøgrB Îû $uZÎ/qè=è% yxÏî tûïÏ%©#Ïj9 (#qãZtB#uä !$oY/u y7¨RÎ) Ô$râäu îLìÏm§ ÇÊÉÈ
Artinya:
“dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang
telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.[50]
Umar Ibn Khat}t}a>b memahami
kandungan ayat-ayat diatas bahwa harta rampasan perang yang tidak bergerak
tidak dibagikan pada tentara perang, akan tetapi dikuasai oleh negara dan
dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Sedangkan para sahabat yang lain
berpendapat bahwa tanah rampasan perang sebagai mana barang bergerak, juga
harus dibagikan layaknya harta rampasan perang yang lain.
Pendapat kedua ini juga didasarkan pada
ayat 41 surat al-Anfal serta tindakan Rasulullah yang juga pernah
membagi tanah hasil rampasan perang. Ayat yang dipakai oleh ‘Umar untuk
mendukung pendapatnya, menurut para sahabat yang lain, adalah berbicara tentang
dua hal yang berbeda, yaitu harta Ghani>mah dan Fai’. Dan
kedua macam harta ini tetap dibagikan pada para tentara perang tidak seperti
keputusan yang dibuat ‘Umar.
4.
Adanya Lafad}
yang Mushtara>k
Dalam bahasa Arab terdapat berbagai
bentuk kata yang menunjukkan pada makna tertentu. Salah satunya adalah kata
atau lafad} mushtara>k. Mushtara>k berarti sebuah kata yang
memiliki dua makna atau lebih, dan terkadang saling berlawanan, misalnya kata
al-jun yang bisa berarti putih dan juga hitam. Dan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
juga terdapat beberapa lafad} yang mushtara>k. Dan ini menhjadi salah satu
sebab munculnya perbedaan pendapat di antara para ulama. Misalnya adalah kata al-qur’u
yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym
Artinya:
“wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
dari pada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[51]
Kata al-qur’u tersebut memiliki
makna haidh dan juga bermakna suci. Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa
wanita-wanita yang dicerai suaminya, maka ‘iddah (masa tunggu)-nya
adalah tiga kali quru’. Dan semua ulama sepakat akan hal ini. Akan
tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna quru’ yang adal dalam ayat
terssebut. ‘Aishah, Ibn Umar, Zaid bin Tsabit, Malik. al-Sya>fi’i, Ahmad bin
Hambal dan beberapa ulama lain mengartikan quru>’ dalam ayat tersebut
bermakna suci. Artinya, mereka berpendapat bahwa wanita yang dicerai suaminya
memiliki masa tunggu (‘iddah) tiga kali suci. Sedangkan Abu Bakr, Umar,
Utsman dan sebagian Abu Hani>fah berpendapat bahwa quru>’ dalam ayat tersebut berarti haidh.
Artinya, mereka berpendapat bahwa masa tunggu wanita yang ditalak adalah tiga
kali haidh.
5.
Adanya
pertentangan dalil (ta’arud} al-adillah)
Salah satu sebab lain yang menjadikan
terjadinya perbedaan pendapat antar ulama adalah adanya pertentangan antar dalil
(ta’arudh al-adillah) yang menjadikan satu ulama mengunggulkan satu
dalil yang menurut ulama’ lain justru merupakan dalil yang lemah. Pertentangan
antar dalil yang sebenarnya hanya ada pada pikiran para ulama’ memang berusaha
untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya. Hanya saja, masing-masing
ulama memiliki cara yang berbeda dalam mencari jalan keluarnya.
Ini pula yang menjadi salah satu sebab
perbedaan pendapat.
Contohnya adalah perbedaan di antara ulama tentang tata cara tayammum. Madzhab Hambali berpendapat bahwa tayammum cukup dilakukan dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ammar binYasir yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan contoh kepadanya dalam melakukan tayammum. Nabi mengusapkan tangannya ke tanah dan memakainya untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan Madzhab Hanafi, Ma>liki, dan Sha>fi’i mengatakan bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan. Dasar yang dipakai adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Tayammum itu dengan dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai ke siku.”[52]
Contohnya adalah perbedaan di antara ulama tentang tata cara tayammum. Madzhab Hambali berpendapat bahwa tayammum cukup dilakukan dengan sekali tepukan untuk wajah dan kedua telapak tangan. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ammar binYasir yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan contoh kepadanya dalam melakukan tayammum. Nabi mengusapkan tangannya ke tanah dan memakainya untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan. Sedangkan Madzhab Hanafi, Ma>liki, dan Sha>fi’i mengatakan bahwa tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan. Satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan. Dasar yang dipakai adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Tayammum itu dengan dua kali tepukan, satu tepukan untuk wajah dan satu tepukan untuk kedua tangan sampai ke siku.”[52]
Perbedaan tersebut terjadi karena
adanya dua dalil yang berbeda dan nampak bertentangan dan masing-masing ulama
menguatkan satu h}adi>th yang menurut ulama lain justru lemah.
b.
Penyebab Perbedaan
Karena Kaidah-kaidah yang Berkaitan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Kaidah ushuliyah merupakan salah satu
faktor penyebab perbedaan di antara para ulama. Sebagian dari kaidah-kaidah
tersebut berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagian lagi berkaitan
dengan al-Qur’an saja, dan sebagian lain berkaitan dengan as-Sunnah saja. Di
antara kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan al-Qur’a>n saja yang menjadi
salah satu faktor penyebab perbedaan adalah perbedaan ulama tentang nama
al-Qur’a>n.
Apakah al-Qur’a>n merupakan nama
untuk kandungan isinya saja ataukah merupakan nama untuk isi dan susunan
katanya.
Sebagian ulama dalam satu riwayat disebutkan bahwa ini adalah pendapat Abu Hani>fah berpendapat bahwa kata al-Qur’a>n hanya dipakai untuk menyebut isi kandungan maknanya saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’a>n adalah nama untuk susunan kata dan maknanya sekaligus.
Sebagian ulama dalam satu riwayat disebutkan bahwa ini adalah pendapat Abu Hani>fah berpendapat bahwa kata al-Qur’a>n hanya dipakai untuk menyebut isi kandungan maknanya saja. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’a>n adalah nama untuk susunan kata dan maknanya sekaligus.
Implikasi perbedaan dalam hal ini pada bidang
fiqih adalah adanya perbedaan pendapat tentang kebolehan shalat dengan bahasa
selain Arab. Abu Hanifah ulama yang diriwayatkan menganut pendapat pertama-
membolehkan shalat dengan membaca al-Fatihah dengan selain bahasa Arab, karena
yang terpenting bukan lah bahasa yang dipakai al-Qur’a>n akan tetapi makna
yang akan dicapainya. Sedangkan jumhur ulama –sebagai penganut pendapat yang
kedua- berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah harus dengan bahasa Arab karena yang
dinamakan al-Qur’a>n bukan hanya maknanya saja, akan tetapi juga susunan
kataya yang berupa bahasa Arab. Implikasi yang lain adalah perbedaan tentang
tarjamah al-Qur’an. Bagi penganut pendapat pertama tarjamah al-Qur’an memiliki
status sama dengan al-Qur’an seperti tidak boleh disentuh dan dibaca oleh orang
yang dalam keadaan junub, dsb. Sedangkan penganut pendapat kedua menganggap
bahwa tarjamah al-Qur’an bukanlah al-Qur’a>n, akan tetapi tarjamah makna
al-Qur’an. Kaidah lain yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah tentang qira>’ah
syad}d}ah, yaitu bacaan al-Qur’an yang tidak diriwayatkan melalui jalur
mutawatir. Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan
qira>’ah syad}d}ah. Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi berpendapat bahwa qira>’ah
syad}d}ah dapat diapaki sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Sedangkan madzhab
Syafi’i berpendapat tentang ketidakabsahan qira’ah syadzdzah sebagai salah satu
dalil penetapan hukum.
Implikasinya pada furu>’
fiqhiyyah ada beberapa hal, diantaranya adalah apabila seseorang tidak
berpuasa pada bulan ramadhan secara berturut-turut dikarenakan suatu alasan,
maka apakah dia harus menqadha puasa tadi secara berurutun juga ataukah boleh
secara terpisah-pisah.
Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi mengatakan bahwa dia harus menqadhanya secara berurutan pula. Dasarnya adalah adanya qira’ah syadzdzah yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang menambahkan kata-kata Mutata>bi’at dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang berbunyi: “Fa ‘Iddatun Min Ayya>min Ukhar”. Sedangkan madzhab Syafi’i membolehkan menqadha puasa tersebut dengan terpisah-pisah karena menganggap bahwa qira’ah Ubay bin Ka’b tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Sedangkan kaidah yang berkaitan dengan as-Sunnah terdapat banyak sekali. Diantaranya adalah tentang kehujjahan hadis mursal yaitu hadis yang terputus salah satu mata rantai perawinya di kalangan sahabat. al-Sha>fi’i tidak dapat menerima h}adi>th mursal sebagai sebuah dalil karena dianggap sudah cacat, sedangkan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai dalil penetapan hukum karena menganggap bahwa tidak mungkin seorang tabi’in berbohong dalam meriwayatkan sebuah h}adi>th. Jadi, terputusnya rantai periwayatan pada kalangan sahabat tidak menjadikan cacat pada status hadis tersebut.[53]
Ulama madzhab Hanbali dan Hanafi mengatakan bahwa dia harus menqadhanya secara berurutan pula. Dasarnya adalah adanya qira’ah syadzdzah yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’b yang menambahkan kata-kata Mutata>bi’at dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang berbunyi: “Fa ‘Iddatun Min Ayya>min Ukhar”. Sedangkan madzhab Syafi’i membolehkan menqadha puasa tersebut dengan terpisah-pisah karena menganggap bahwa qira’ah Ubay bin Ka’b tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil.
Sedangkan kaidah yang berkaitan dengan as-Sunnah terdapat banyak sekali. Diantaranya adalah tentang kehujjahan hadis mursal yaitu hadis yang terputus salah satu mata rantai perawinya di kalangan sahabat. al-Sha>fi’i tidak dapat menerima h}adi>th mursal sebagai sebuah dalil karena dianggap sudah cacat, sedangkan Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai dalil penetapan hukum karena menganggap bahwa tidak mungkin seorang tabi’in berbohong dalam meriwayatkan sebuah h}adi>th. Jadi, terputusnya rantai periwayatan pada kalangan sahabat tidak menjadikan cacat pada status hadis tersebut.[53]
Implikasinya pada bidang furu>’
fiqih banyak sekali, diantaranya adalah tentang batalnya wudhu karena
bersentuhan dengan yang berlainan jenis. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu. Dasar
yang dipakai adalah hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah
mencium salah satu isterinya dan kemudian melakukan shalat tanpa berwudhu lebih
dahulu. Sedangkan Madzhab Shafi’i berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki
dengan perempuan itu membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai adalah al-Qur’an
ayat 6 surat al-Ma>’idah. Sedangkan hadis yang dipakai oleh Madzhab
Hanafi sebagai dalil tidak dapat diterima oleh asy-Syafi’i karena hadis
tersebut adalah mursal.
III.
PENUTUP
Sunnah (h}adi>t}h) menempati kedudukan kedua
dalam dalil-dalil shari'at. Penerimaan sunah sebagai dalil dalam hukum shar'i
ditegaskan baik oleh al-Qur'an, h}adith itu sendiri maupun contoh perbuatan
para sahabat. Penolakan terhadap keyakinan ini akan berdampak pada dualisme.
Di satu sisi ia mengakui bahwa al-Qur'a>n benar
adanya tetapi di sisi lain ia tidak mau beriman kepada seluruh isi al-Qur'a>n.
Bagaimana mungkin orang yang tidak mau menanati Rasul dikatakan beriman pada
seluruh al-Qur'a>n; padahal hal yang demikian justru diperintahkan oleh al-Qur'a>n,
Oleh karena itu mari kita simak peringatan Allah kepada bangsa Yahudi yang
pilih kasih terhadap ayat-ayat Taurat,
ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلاءِ
تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ
تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى
تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ
الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ
إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى
أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (٨٥)
Artinya: "Apakah
kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang
lainnya? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian
di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat
mereka dikembalikan kepada azab yang berat." (QS. Al-Baqarah: 85)
DAFTAR PUSTAKA
Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihka>m fi>
Ushu>l al-Ahka>m Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984.
Bukha>ri, Muhammad bin Isma’i>l Abu Abdullah al-, Shahih
al-Bukha>ri Beirut: Da>r Ibn Kats}i>r, 1407.
Dawud, Abu. Sulaima>n bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud Beirut: Dâr
al-Fikr, tt..
Drs. Munzier Suparta, MA. 2002. Ilmu
H{adi>th. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
DR. H. Said Agil Husain Al-Munawar,
M.A.1996. Ilmu Hadits. Jakarta. Gaya Media Pratama.
Departemen Agama RI. Al-Qur’a>n dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.
Fayu>mi, Ahmad bin Ahmad al-, Al-Mishba>h al-Muni>r fi Ghari>b al-Syarh al-Kabi>r Beirut:
al-maktabah Al-Ilmiyah, tt.
Ibn al-Najja>r, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azi>z,
Syarh al-Kauka>b al-Muni>r Mekkah: Marka>z al-Bahth al-‘Ilmi
Jamiah Umm al-Qura’, tt..
Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Abu
Abdullah al-Jauziyah, I’la>m al-Muwaqi’i>n Beirut: Maktabah
al-’Ashriyyah, 1470.
Ibra>hi>m, Mus}t}afa
Zalamy>, al-, Masa>’il Min al-Fiqh al-Muqa>ran, Baghdad: Bait
al-Hikmah, 1989.
Iyadl bin Nami al-Silmy, Ushul Fiqh allad}i La Yasa’ al-Faqi>hu
Jahlahu Riyadh: Maktabah al-Mamlakat al-’Arabiya, tt.
Khati>b al-Baghdadi, Ahmad bin Ali bin Tsabit al-, Al-Faqi>h
wa al-Mutafaqqih Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400.
Khalla>f, Abdu al-waha>b’Ilm Us}u>l al-Fiqh
Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2003.
Muslim Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, S{ah}ih}
Muslim Kairo: Da>r Ali al-Kutub, 1996.
Qa>simi>, Muhammad Jama>luddi>n al-, Qawa>’id al-Tahdi>ts fî Funu>n mus}t}alah
al-Hadi>ts Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 2004.
Qurt}ubi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah
al-, Al-Jami’ li Ahka>m al-Qur’a>n Beirut: Da>r Ihya>’
at-Tura>ts, tt.
Shafiuddi>n al-Hanbali, Qawaid al-Ushu>l wa
Ma’a>qid al-Fushu>l Mekkah: Jami’ah Umm al-Qurra’, 1409.
Sya>fi’i, Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-, Al-Risa>lah
Beirut: Maktabah Ilmiyah, tt.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2004.
Pengantar Studi Ilmu Hadits Edisi Terjemah. Jakarta. Pustaka al-Kaut}a>r
Zaida>n, Abdulkari>m, Al-Waji>z fi>
ushu>l al-Fiqh Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976.