PENDAHULUAN
Sumber
hukum dalam Islam dibagi menjadi dua yaitu sumber yang disepakati dan yang
belum disepakati. Sumber yang disepakati seluruh ulama’ adalah nas}
al-Qur’an dan al-Hadith yang kekuatannya adalah qat}’i. Namun, seiring
berkembangnya zaman, masalah yang dihadapi manusia ternyata semakin kompleks
sehingga banyak masalah baru yang tidak dapat dipecahkan dengan hanya
menggunakan dalil al-Qur’an dan al-Hadith. Oleh karena itu, muncullah berbagai sumber
hukum Islam seperti ijma’, qiya>s, istihsa>n, al-maslahah al-mursalah. Sampai disini, ternyata hukum Islam masih
belum bisa menjadi jalan keluar dari semua masalah, sehingga diperlukan sumber
hukum lain yaitu sad al-dhara>i’ dan istisha>b. Yang mana sumber-sumber hukum ini saling
berkaitan satu sama lain.
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai sad al-Dhara>i’ dan istisha>b
serta perbedaan pendapat ulama mengenai kehujjahan kedua sumber hukum tersebut.
PEMBAHASAN
Perbedaan Ulama Dalam Kehujjahan Sad al-Dhara>i’
A.
Definisi Sad al-Dhara>i’
al-Dhara>i’ berasal dari kata al-dhari>’ah yang secara
etimologi berarti wasi>lah atau jalan ke suatu tujuan. Syekh Ha>shim
Jami>l mengartikan dengan jalan dan perantara yang dibolehkan dalam batas-batas
tertentu akan tetapi bisa menimbulkan keharaman shari’at.[1] Must}afa Ibra>him az-Zala>mi
mengartikan al-dhari>’ah sebagai suatu perantara yang mubah yang dapat
membawa kepada sesuatu yang dicegah atas mafsadahnya.[2] Muhammad Abu Zahrah
mendefinisikan al-Dhara>i’ (jamak dari al-dhari>’ah) dengan
sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau
dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum pada al-dhari’ah selalu mengikuti
ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jika
suatu perbuatan membawa ke arah mubah, hukumnya mubah, jika perbuatan membawa
ke arah mafsadah menjadi haram,
perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksananya perbuatan wajib
adalah wajib.[3]
Perbuatan yang membawa kepada kemafsadahan yang harus dicegah dan mencegahnya
adalah dengan menutup perantara atau jalan tersebut. Hal ini lah yang dimaksud dengan sad
al-Dhari’ah. Hal ini juga yang dimaksud oleh Syekh Hashim Jamil mengenai sad
al-Dhara>i’. Maka sad al-Dhari>’ah dapat diartikan sebagai menutup jalan kepada suatu tujuan[4]. Sedangkan menurut
ushuliyyun seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan bahwa sad al-dhara>’i
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.[5]
Dari definisi-definisi
di atas dapat diketahui bahwa sad al-Dhara>i’ adalah menutup jalan
atau perantaraan yang membawa kepada suatu hal yang mafsadah.
B.
Dalil kehujjahan sad al-Dhara>i’
Dalam bukunya Muhammad Abu Zahrah disebutkan bahwa yang
menjadi dasar diterimanya dhara>i’ sebagai sumber hukum Islam adalah
tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Perbuatan yang menjadi perantara
mendapatkan ketetapan hukum sama dengan perbuatan yang menjadi sasarannya, baik
akibat perbuatan itu dikehendaki atau tidak dikehendaki terjadinya. Pengambilan
dalil dhara>’i beserta ketentuan hukumnya ditetapkan berdasarkan
al-Qur’an, yaitu surat al-An’am ayat 108:
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Yy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÉÑÈ
Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Dan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 104
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qä9qà)s? $uZÏãºu (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó$#ur 3 úïÌÏÿ»x6ù=Ï9ur ë>#xtã ÒOÏ9r&
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): "Ra>'ina", tetapi katakanlah:
"Unz}urna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang
kafir siksaan yang pedih[1].
[1] Ra>'ina
berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di kala para sahabat
menghadapkan kata Ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata Ini
dengan digumam seakan-akan menyebut Ra>'ina padahal yang mereka
katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan
kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat
menukar perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan
Raa'ina.
Adanya larangan
tersebut dikarenakan ucapan ”ra>’ina” oleh orang Yahudi dimanfaatkan
untuk mencaci Nabi. Oleh karaena itu, kaum Muslimin dilarang mengucapkan
kalimat itu untuk menghindarkan timbulnya Dhari’ah. Sedangan
hadith-hadith Nabi yang menjelaskan tentang al-Dhara>’i cukup banyak
salah satunya:
ü
Nabi Muhammad SAW melarang perbuatan menimbun harta.
Beliau bersabda:
لاتحتكر إلاخاطئ
Artinya: Tidak boleh menimbun harta kecuali orang yang
berbuat salah.
Sebab penimbunan harta merupakan dhari’ah
(perantara) yang menyebabkan terjadinya kesulitan/krisis perekonomian
masyarakat, selain hukum dari menimbun harta itu sendiri adalah haram. Sehingga
menutup perantara tersebut adalah wajib yaitu dengan mengimport barang
kebutuhan pokok pada masa paceklik, karena hal ini merupakan dhari>’ah
yang dapat melepaskan masyarakat dari kesulitan ekonomi. [6]
C.
Perbedaan ulama’ mengenai kehujjahan sad al-Dhari>’ah
Apakah al-dhari’ah harus ditutup dalam artian diharamkan
meski pada asalnya dibolehkan sampai tidak menimbulkan keharaman atau tidak
perlu ditutup?
Di sini ulama
bersepakat atas wajibnya sad al-Dhari>’ah jika mengakibatkan pada hal yang diharamkan.
Hal ini seperti menggali sumur di jalan umum dan lain sebagainya. Mereka juga
sepakat atas ketiadaan kewajiban untuk menggunakan sad al-dhari>’ah
jika perbuatan tersebut tidak menimbulkan pada yang diharamkan, seperti menanam
anggur, sesungguhnya menanamkan anggur itu tidaklah diharamkan karena
kekhawatiran akan dibuat minuman keras oleh sebagian orang. Karena biasanya
tidak dibuat minuman keras.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai dua hal tersebut
menjadi dua kelompok: Kelompok
pertama berpendapat bahwa sad al-Dhara>i’ wajib. Mereka memandang
bahwa sad al-Dhara>i’ termasuk pada asal dari syariat yang berdiri sendiri. Diantara ulama
yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Malikiyyah, Hanabilah. Ibnul Qayyim
menyertakan Sembilan puluh sembilan dalil untuk hal ini.
Kelompok kedua berpendapat bahawa sad al-Dhara>i’
itu tidak wajib. Diantara yang berpendapat demikian adalah kelompok Dhahiriyah.
Adapun kelompok Hanafiyah dan Syafiiyyah tidaklah
ditemukan dalam kitab-kitab mereka masalah-masalah yang menyerupai Sad al-Dhara>i’
akan tetapi mereka kembali pada sumber hukum yang lain seperti qiya>s
dan istih}sa>n. Menurut mereka hal ini bukanlah termasuk asal yang
berdiri sendiri.
Diantara beberapa
contoh sad al-Dhara>i’ seperti: Mereka menghukumi perempuan yang dicerai
dengan talak bain dalam kondisi sakit yang mengakibatkan kematian tetap
mendapatkan warisan, karena suami yang menceraikan tersebut diduga sengaja
tidak memberikan warisan kepada istrinya (dengan cara menceraikannya) meskipun
pada kenyataannya dia tidaklah bermaksud demikian. Dan tidaklah hukum yang
mereka buat ini kecuali menutup perantara atau jalan ini. (perceraian agar si
istri tidak mendapatkan warisan).
Dan mereka juga menghukumi pembunuhan pada kelompok
dengan satu individu agar qishas tidak menjadi sarana untuk pertumpahan darah.
D.
Pengaruh perbedaan
ulama’ mengenai sad al-Dhari>ah terhadap produk fiqh
Berikut adalah
pengaruh perbedaan dalam masalah kehujjahan Sad al-Dara>i’.[7]
Contohnya adalah perbedaan mereka dalam masalah jual beli
‘Inah. Terdapat beberapa contoh dalam jual beli ‘Inah. Akan
tetapi contoh yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
Seseorang menjual suatu barang kepada orang lain kemudian
dia membelinya dari orang tersebut (pembeli pertama) dengan harga yang lebih
rendah secara kontan. Ulama fiqh berbeda pendapat dalam masalah ini.
Pertama
memperbolehkan praktek jual beli seperti tersebut di atas. Diantara yang
berpendapat demikian adalah Syafi’i dengan mendalilkan analogi (qiya>s)
pada jual beli di mana pembeli menjual barang pada yang bukan penjual pertama.
Pendapat kedua
mengharamkan jual beli tersebut. Hal ini diriwayatkan oleh banyak sahabat,
tabi’in dan orang-orang setelah mereka. Diantaranya adalah Aisyah, Ibn
Abbas, Hasan, Ibn Sirin, al-Nakha’i, al-Sya’bi, Hakam, Hammad, Rabi>’ah,
begitu pula Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Alasan diharamkan
menurut mereka karena jual beli ini menjadi perantara terjadinya riba dan
bertentangan dengan hadis Ibn Umar dari Rasulullah saw, beliau bersabda,
jika kalian menjual dengan cara ‘Inah dan kalian mengambil ekor sapi dan
kalian rela dengan menanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan
atas kalian kehinaan yang Dia tidak mencabutkan sampai kalian kembali pada
agama kalian. (HR. Abu Daud, dan dalam sanadnya terdapat catatan, akan
tetapi hadis ini diceritakan dari beberapa jalur.)
Contoh lain adalah perbedaan para ulama mengenai orang yang menikahi perempuan dengan maksud
agar halal dinikahi oleh suami pertama yang menceraikannya dengan talak tiga.
Di sini mereka berbeda pendapat menjadi empat pendapat.
Pertama,
pelakunya tidak melakukan tindakan dosa, dan perempuan tersebut tidak halal
bagi suami yang pertama. Baik, dia mensyarakatkan tahli>l (menghalalkan)
pada saat akad atau tidak. Baik, si perempuan dan suami pertama mengatahui hal
tersebut atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan dari beberapa sahabat dan tabi’in.
Diantaranya adalah Usman, Ali, Ibn
Umar, Ibn Abbas. Dan ini merupakan pendapat madhhab Maliki dan
Ahmad.
Kedua,
niat saja tidak berpengaruh jika tidak mensyaratkan tahlil dalam akad
atau di luar akad. Ini adalah pendapat Urwah, Salim dan yang lain.
Ketiga,
kesepakatan di luar akad tidak berpengaruh selama tidak mensyaratkan dalam
akad. Ini pendapat Syafi’i dan Ibn Hazm.
Keempat, persyaratan yang disertai perkataan akan keharamannya
tidak mempengaruhi sahnya akad. Akad tetap sah dan persyaratan menjadi batal.
Dan jika dia (suami kedua) menceraikannya maka perempuan tersebut halal bagi
suami yang pertama. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. Pendapat ulama yang
mengatakan haram didasarkan pada Sad al-Dharai>’, karena pernikahan
itu dibolehkan akan tetapi sesuatu yang bisa dijadikan perantara untuk
menghalalkan saja maka perantara tersebut menjadi haram.
Al-Istis}ha>b
1.
Definisi al-Istis}ha>b
Al-istis}ha>b
menurut Abdul Wahab Khalaf secara bahasa adalah pengakuan kebersamaan. Dalam
istilah yaitu menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada
dalil yang menunjukkan perubahan keadaan tersebut atau menjadikan hukum
sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
perubahan.[8]Abdul Karim Zaidan
mendefinisikan istis}ha>b yaitu menganggap tetapnya status sesuatu
seperti keadannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.[9] Sedangkan syekh Ha>shim
Jami>l mengartikan istis}ha>b adalah menetapkan hukum suatu urusan
pada masa kini berdasarkan ketetapannya pada masa dahulu sampai ada dalil yang
menyatakan perubahannya.
Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil suatu kesimpulan
mengenai definisi al-Istis}ha>b yaitu menetapkan hukum suatu hal
seperti hukum yang berlaku sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukkan
perubahan.
2.
Bentuk al-Istis}hab
Bentuk istis}ha>b yang
paling penting menurut Syekh Ha>shim Jami>l ada 4 yaitu:
a)
Istis}hab al-Hukm al-As}li> Li al-Ashya>’
Yaitu menyertakan hukum asal pada sesuatu yang lain dan
ini diperbolehkan ketika tidak ada hukum yang ditentang atau tidak bertentangan
dengan hukum yang sudah ada.
Karena itu mayoritas ulama menetapkan bahwa hukum yang
tetap terhadap sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh dan diidzinkan
selama tidak ada ketentuan hukum pasti dari syari’ (Allah dan Rasul-Nya).
Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, diantaranya firman Allah, Dialah yang menciptakan bagimu apa yang ada di bumi
dan apa yang ada di laut.
Dan atas dasar itu, maka semua yang ada di muka muka
bumi, baik berupa hewan, benda mati ataupun tumbuh-tumbuhan, dan di dalam
syariat tidak ada ketentuan pasti larangan tentangnya maka hal itu boleh.
b)
Istis}hab al-’Adam al-As}li> (al-Bara>’ah
al-As}liyah)
Yaitu
menyertakan ketiadaan asal atau
lepasnya yang asli. Hal ini seperti
hukum lepasnya tanggungan dan kewajiban-kewajiban syariah dan hak-hak sampai
ada dalil atas repotnya dengan hal tersebut.
Maka anak kecil tidaklah dipaksa (melakukan kewajiban)
sampai ada dalil atas balighnya. Jika seseorang mengaku piutang pada orang lain
dan dia tidak menunjukkan bukti atas ketetapannya maka yang diperhitungkan adalah
lepasnya orang yang didakwa dari hutang sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa
dia berhutang.
c)
Istis}ha>b yang ditunjukkan ketetapannya oleh shari’ah karena ada sebab sampai ada
dalil yang menghapusnya.
Hal ini seperti tetapnya kepemilikian ketika adanya sebab
yang menjadikan sebagai kepemilikan, dan tetapnya halal antara suami-istri
ketika ada akad yang menjadikan kehalalan, dan menyibukkan tanggungan saat
terjadinya kelaziman dengan harta atau merusaknya. Maka barang siapa yang
baginya kepemilikian dengan sebab syar’i, atau pernikahan dengan akad syar’i,
atau tetap kesibukan tanggungan dengan hutang maka sesungguhnya semua itu
dianggap seebagai yang berdiri sendiri, dan bagi orang yang mengetahui hal itu
maka dia harus bersaksi denganya selama tidak ada dalil atas hilangnya
kepemilikan, atau terjadinya perpecahan antara suami-istri, atau lepas dari
hutang. Dan dari sini pula istis}ha>b bagi orang yang suci karena thaha>rah
(bersuci) jika dia ragu dalam hadas.
Tiga bentuk istis}ha>b
ini dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara para ulama fiqh, hanya saja
mereka berbeda dalam hal-hal yang spesifik dan dalam praktek aplikasinya.
d)
Istis}ha>b sifat
Dicontohkan pada kasus orang yang hilang tidak tahu
dimana rimbanya tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telah wafat.
Karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginya segala hak bagi orang hidup
yaitu harta dan istrinya masih dibawah kepemilikannya, dan jika ada ahli
warisnya yang wafat, maka ia tetap mewarisi harta peninggalannya. Begitu juga
untuk wasiat.
3.
Perbedaan ulama mengenai kehujjahan al-istis}hab
Ulama’ fiqh sepakat menggunakan tiga macam istis}ha>b
yang pertama. Walaupun demikian, untuk penerapannya pada kasus-kasus tertentu
masih tetap tidak terhindarkan adanya perbedaan pendapat.
Adapun istis}ha>b sifat, baik merupakan sifat
yang melekat pada setiap orang atau sifat yang baru datang, di antara ulama’
fiqh masih terjadi perbedaan pendapat mengenai kriteria pemakaian istis}ha>b
tersebut. Madhhab Syafi’i dan Hanbali menggunakan istis}ha>b sifat
secara mutlak. Bagi orang yang memiliki sifat hidup, ia tetap dianggap hidup
hingga ada kepastian hilangnya sifat itu.[10] Selain itu, Dhahiriyyah,
Zaidiyah, dan sebagian Syiah Imamiyah juga berpendapat dengan
menggunakan istis}ha>b sifat atas kemutlakannya dan menjadikannya
pantas untuk ditetapkan dan ditolak secara bersama-sama. Maka orang yang hilang,
istrinya tetap dalam tanggungannya dan hartanya tetap dalam kepemilikannya, dan
dipindahkan kepadanya harta yang ditetapkan baginya dari jalur waris ataupun
wasiat.[11]
Hanya saja, Hanafiyah,
Malikiyyah dan sebagian Imamiyah menjadikan pantas untuk penolakan
bukan penetapan. Atas dasar itu, maka orang yang hilang menurut mereka,
istrinya tetap dalam tanggungannya dan hartanya tetap dalam kepemilikannya
sampai ada keterangan bahwa dia jelas meninggal atau hakim memutus bahwa dia
sudah meninggal, akan tetapi mereka tidak menetapkan baginya hak baru. Maka
tidak ada pemindahan harta waris kepadanya selama dia menghilang. Dia
ditangguhkan bagiannya sampai jelas bahwa dia masih hidup kemudian dia berhak
atasnya atau hakim memutuskan bahwa dia telah meninggal maka hartanya kemudian
dibagikan sebagai hak baru atas dasar bahwa dia telah menyempurnakan saat
wafatnya orang yang mewariskan kepadanya.
4.
Pengaruh perbedaan ulama’ mengenai al-istis}ha>b
terhadap produk fiqh
Qaidah istis}ha>b dalam ketiga bentuk yang
disepakati dan bentuk keempat yang tidak disepakati dalam penerapannya pada
masalah-masalah fiqh membawa perbedaan pendapat, contohnya:
v
Apabila seseorang telah berwudhu, maka wudhu tersebut
merupakan sifat yang melekat pada diri orang yang berwudhu sampai terdapat
sifat lain yang merupakan lawannya berdasarkan keyakinannya atau persangkaan
kuatnya. Apabila seseorang ragu-ragu
bahwa ia telah berhadath, apakah ia diperbolehkan mengerjakan shalat dengan
keraguannya atau tidak diperbolehkan. Dalam hal ini Imam Malik berpendapat
bahwa ”tidak boleh mengerjakan shalat sampai ia berwudhu kembali dengan wudhu
yang baru”. Alasan beliau adalah, dalam kasus ini terdapat dua asal yang saling
bertentangan. Pertama, tetapnya sifat wudhu berdasarkan istis}ha>b
yang tidak bisa dihilangkan oleh keraguan. Kedua, bahwa beban tanggungan
melakukan wudhu erat kaitannya dengan shalat. Dengan hanya berdasarkan
isitshab, beban tanggungan itu ditunaikan secara benar dengan wudhu yang pasti
meyakinkan tanpa keraguan. Sedangkan dalam pembicaraan ini adalah wudhu dalam
konteks ketika terjadi keraguan. Sementara ragu-ragu mengenai thaharah sama
dengan menghilangkan syarat shalat.
Dengan
adanya saling tarik-menarik antara dua asal tersebut, Imam Malik mengunggulkan
asal yang kedua yaitu mewajibkan wudhu baru untuk mengerjakan shalat. Sedangkan
selain Imam Malik menetapkan bahwa shalat itu boleh dikerjakan tanpa wudhu
baru, karena wudhunya dianggap belum hilang. Di sini, Imam Malik lebih
berhati-hati dan lebih baik untuk diterima. [12]
KESIMPULAN
·
Al-dharai>’ pada asalnya adalah mubah jika itu adalah perantara kepada hal yang halal/
manfaat, dan berubah jadi haram jika menjadi perantara kepada perbuatan yang
haram/menimbulkan mafsadah. Sehingga perantara untuk hal yang kedua ini harus
ditutup. Dan hukum menggunakan sad al-Dhara>i’ pada perantara yang
menimbukan kemafsadahan hukumnya adalah wajib.
·
Istis}ha>b dari segi esensinya bukanlah merupakan dalil fiqh, melainkan pemakaian
dalil yang berdiri sendiri dan penetapan hukum yang sudah positif yang tidak
mengalami perubahan. Istis}hab digunakan sebagai sumber hukum jika tidak
ditemukan dalil lain
DAFTAR
PUSTAKA
’Abdullah,
Ha>shim Jami>l, Masa>il Min al-Fiqh al-Muqa>ran,
Bagdad: Bait al-Hikmah, 1989.
al-Zalami>,
Musthafa Ibra>hi>m, Asba>b Ikhtila>f al-Fuqaha>’ Fi>
Ahka>m al-Shar’iyah, Jilid 1, Baghdad: al-Dar al-‘Arabiyah Li
al-Taba’ah, 1976.
Effendi,
Satria, Ushu>l Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.
Khallaf,
Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushu>l al-Fiqh, Terj. Faiz el Muttaqin, Jakarta:
Pustaka Amani, 2003.
Zahrah, Muhammad
Abu, Ushu>l Fiqh, Terj. Saefullah Ma’shum, dkk., Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.
Zaida>n,
Abdul Kari>m, al-Waji>z Fi> Ushu>l al-Fiqh, ’Amman: Maktabah
al-Batha>’ir, 1994.