Bentuk Nahi dan Dampaknya Terhadap Istinbat Hukum

BENTUK NAHI DAN DAMPAKNYA TERHADAP ISTINBAT HUKUM

PEMBAHASAN

A.    Hakikat Nahi
Secara bahasa Nahi mempunyai pengertian larangan atau cegahan, oleh karenanya akal manusia disebut Nahiyah, karena dapat mencegah dari terjadinya sesuatu yang menyalahi kebenaran menurut syara’,[1] sebagaimana yang telah dititahkan Allah dalam firmannya:
¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy Í<'rT[{ 4sSZ9$# ÇÎÍÈ  
Artinya: “sesungguhnya yang sedemikian itu merupakan tanda-tanda bagi orang yang berakal”.[2]
Sedangkan menurut pengertian istilah, Nahi merupakan ucapan yang mengandung pengertian akan tuntutan untuk meninggalkan sebuah perbuatan atau aktifitas, sehingga mengakibatkan konsekwensi tersendiri bagi setiap yang melakukannya.
Atau bisa diartikan dengan “kebalikan dari perintah, baik perintah tersebut datangnya dari nas al-Qur’an, Sunnah atau ijma’, atau tuntutan akan kejelekan.
B.     Bentuk-bentuk Nahi
1.      Sighat madori’ yang diawali huruf nahi, seperti;
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ   Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 ÇÌÌÈ   Ÿwur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOŠÏKuŠø9$# žwÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7tƒ ¼çn£ä©r& ÇÌÍÈ [3] 
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès? [4]ÇÊÑÑÈ  
2.      Sighat amar yang menunjukkan sebuah arti meninggalkan sesuatu, seperti;
(#qç6Ï^tFô_$$sù š[ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$# (#qç6Ï^tFô_$#ur š^öqs% Ír9$# ÇÌÉÈ  [5]
3.      Lafat tahrim atau lafat yang menunjukkan akan makna haram, seperti;
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#  ÇÌÈ [6] 
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur  ÇËÌÈ [7] 
4.      Lafad Nahi, seperti;
¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ [8] 

5.      Menafikan kehalalan, seperti;
3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# ( ÇËËÒÈ [9] 

C.    Tuntutan Nahi Terhadap Kepastian Hukum
1.      Al-Tahrim, seperti;
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ÇËËÊÈ [10] 
2.      Al-Karahah, seperti;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãBÌhptéB ÏM»t6ÍhsÛ !$tB ¨@ymr& ª!$# öNä3s9 Ÿwur (#ÿrßtG÷ès?  ÇÑÐÈ [11] 
3.      Al-Irshad, seperti;
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& ÇÊÉÊÈ [12] 
4.      Bayanu al-‘Akibah, seperti;
Ÿwur žútù|¡óss? ©!$# ¸xÏÿ»xî $£Jtã ã@yJ÷ètƒ šcqßJÎ=»©à9$# 4  ÇÍËÈ [13] 
5.      Al-Tahkir, seperti;
Ÿwur ¨b£ßJs? y7øt^øtã 4n<Î) $tB $uZ÷è­GtB ÿ¾ÏmÎ/  ÇÊÌÊÈ [14] 
6.      Al-Ta’yis, sepereti;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿw (#râÉtG÷ès? tPöquø9$# ( $yJ¯RÎ) tb÷rtøgéB $tB ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÐÈ  [15]
7.      Al-Tasbir, seperti;
Ÿw ÷btøtrB žcÎ) ©!$# $oYyètB ( ÇÍÉÈ [16] 
8.      Al-Du’a, seperti;
$oY­/u Ÿw ùøÌè? $oYt/qè=è% y÷èt/ øŒÎ) $oYoK÷ƒyyd ó=ydur $uZs9 `ÏB y7Rà$©! ºpyJômu 4 y7¨RÎ) |MRr& Ü>$¨duqø9$# ÇÑÈ [17] 
9.      Al-Tahdzir, seperti;
Ÿxsù £`è?qßJs? žwÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡B ÇÊÌËÈ [18] 
10.  Iqa’u Amni, seperti;
4 #ÓyqßJ»tƒ ö@Î6ø%r& Ÿwur ô#ys? ( š¨RÎ) z`ÏB šúüÏZÏBFy$# ÇÌÊÈ [19] 
D.    Dampak Nahi Terhadap Hukum Fiqh
Para ulama’ sepakata bahwasannya Nahi dapat di implementasikan pada kepastian hukum tertentu seperti yang telah dipaparkan di atas, dengan disertai beberapa qarinah (petunjuk) yang dapat membatasi pada ketentuan hukum yang dimaksud.
Hanya saja ulama berselisih pendapat mengenai kepastian hukum Nahi yang bersifat mutlaq (tanpa adanya qarina), sehingga mengakibatkan terjadinya paling sedikit enam pendapat:
1.      Nahi dengan kemutlakannya berakibat hukum haram, dan tidak dapat dialihkan pada hukum lain,[20] pendapat ini berlandaskan pada;
a.       QS: al-Hashr, 7. Dengan rincian penjelasan, sesungguhnya Allah memerintahkan untuk meninggalkan, dan menjahui dengan batasan maksimal dari setiap sesuatu yang ditunjukkan oleh kata-kata Nahi, baik nahi tersebut datangnya dari nas al-Qur’an atau al-Sunnah. Sedangkan hakikat perintah mengindikasikan hukum wajib dalam melakukannya, sehingga dapat berakibat dosa atau maksiat bagi orang yang menyalahinya.
b.      Berpedoman pada ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in, yang mengetahui rahasia penurunan al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa sighat nahi yang datang dari al-Qur’an dan al-hadith itu berkonsekwensi hukum haram, dan apabila dialihkan pada hukum selain haram pastinya itu menggunakan pendekatan makna majaz.
c.       Keberadaan sighat nahi secara spontanitas dapat mengakibatkan hukum haram, sedangkan sifat spontanitas mengindikasikan ariti hakikat.
2.      Nahi dengan kemutlakannya berkonsekwensi hukum makruh dan tidak dapat dialihkan pada hukum lain, pendapat ini dikemukakan dengan alas an bahwa kandungan hukum haram tidak lain hanyalah tuntutan beserta larangan untuk meniggalkan sesuatu, sedangkan hukum makruh hanya sebatas tuntutan agar meninggalkan sesuat tanpa ada larangan yang kuat. Sedangkan pada dasarnya tidak ada larangan bagi setiap sesuat, karen semuanya mengandung hukum ibahah (boleh), maka penggunaan sighat nahi tidak lain hanya mengandung hukum makruh, meninjau dari hukum asal (ibahah). Dan apabila dialihkan pada hukum selain makruh pastinya itu menggunakan pendekatan makna majaz, sedangkan menyalahi asal.
3.      Nahi dengan kemutlakannya berkonsekwensi hukum makruh dan haram secara bersamaan, hal ini karena adanya kesamaan dalam dalam definitif sefcara termenologi, oleh karenanya nahi tidak bisan di khususkan pada salah satunya (haram atau makruh), kecuali bersamaan dengan sesuatu (dalil) yang dapat menunjukkan atas kekhususannya.
4.      Nahi dengan kemutlakannya tidak mengakibatkan hukum makruh atau haran, tetapi memberikan dampak inti dari hakikat nahi itu sendiri (meninggalkan sesuatu secara mutlak).
5.      Nahi dengan kemutlakannya berkonsekwensi hukum haram bila bersamaan dalil qat’i, dan berkonsekwensi hukum makruh bila disertai dalil dzanni, sebagaimana yang dikemukakan kalangan Hanafiyah.
Dari perbedaan persepsi dikalangan ulama usul dan fiqh ini berdampak terhadap hukum fiqh yang berbeda pula.[21] Sebagaimana, mengenai haramnya hukum melaksanakan solat  ditempat-tempat tertentu, seperti tempat kotor, makam, dan kawasan kamar mandi, dengan berlandaskan hadith Nabi:
عن أبى عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن يصلى فى سبع المزبلة والمجزرة والمقبرة وقارعة الطريق ومعاطن الابل وفوق ظهر بيت اللهز

E.     Sepontanitas dan Kontinoitas Lafad Nahi
Sebagaian ulama menyatakan bahawa nahi berkonsekwensi spontanitas dan menetap, sebagaimana larangan akan meninggalkan sesuatu maka secara spontan terjadi setelah larangan tersebut ada, serta tidak terbatas oleh waktu, hal ini dikuatkan dengan argumentasi mereka bahwa, larangan detetapkan karena rusak dan batalnya sesuat yang dilarang, sedangkan meninggalkan sesuatu yang rusak tidak mungkin cara menunda-nunda dan dibatasi oleh waktu.
Sedangkan sebagain yang lain menyatakan bahwa nahi tidak berkonsekwensi spontanitas dan kontino, karena pada dasarnya dzatiahnya nahi ialah hakikatnya larangan yang tidak berkaitan dengan waktu, oleh karenanya konsekwensi tersebut bisa terjadi apabila ada dalil atau qarinah yang menunjukkan akan ke-sepontanitasan dank e-kontinoannya sebuah larangan.[22]
F.     Kerusakan Sesuatu Yang Dilarang (al-Manhi ‘Anhu)
Melihat kondisi dari sesuatu yang dilarang, dengan menunjukkannya kata-kata nahi yang tidak disertai qarinah, dapat dipastikan akan kerusakannya, baik kerusakan tersebut terdapat pada dzatiayahnya atau pada sifat yang melekat.[23] Oleh karenanya ulama’ usul dan fiqh mempunyai opsi yang berbeda-beda terkait dengan hal di atas.
1.      Rusak secara mutlak, sama saja berkaitan dengan hal ibadah atau mu’amalah. Hal ini sebagai mana yang disetujuai oleh kalangan Maliki, Syafi’i, Hanabilah dan al-Dzohiri, hanya saja mereka masih berselisih mengenai hakikat kerusakannya tersebut, apakah hanya dalam arti termenolgi atau dalam shara’nya? Mereka beralasan bahwa nahi dengan kemutlakannya menunjukkan akan ke-universalan larangan terhadap sesuatu yang dilarang, sedangkan universalitas dalam sebuah larangan menunjukkan terhadap kerusakan dzatianya (al-Manhi ‘Anhu).
2.      Rusak tidak secara mutlak, sama saja berkaitan dengan hal ibadah atau mu’amalah, baik dalam tinjauan termenologi atau dalam shara’. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian kalangan Hanafiayah dan Mu’tazilah. Sedangkan argumentasinya adalah, ketikan larangan tersebut menunjukkan akan kerusakan sesuat yang dilarang secara mutlak maka akan bertentangan dengan kaidah shara’,[24] sebagaimana larangan riba dalam akad transaksi itu hanya menunjukkan terhadap keharaman melakukannya, akantetapi barang yang menjadi opjek transaksi tersebut dihukumi sah dalam kempemilikannya.
3.      Rusak dalam hal yang berkaitan dengan ibadah bukan dalam hal mu’amalah, pendapat ini dikemukakan oleh Shi’ah Imamiyah, dengan dengan argumentasinya bahwa setiap ibadah pastilah diperintah, sedangkan sestiap sesuat yang dilarang dalam ibadah merupakan sesuatu yang batal atau rusak.
Dari pemaparan di atas, dapat mengakibatkan terhadap hukum yang berbeda-beda dalam masalah fiqh, sebagaimana mengenai hukum nikah sighor, para ulama berselisih pendapat;
1.      Kalangan Hanafiyah menyatakan ke-sahannya akad jika desertai dengan mahar mithil.
2.      Kalangan Malikiyah menyatakan kerusakan adak sebelum dukhul, apabila sudah dukhul maka mengharuskan mahar mithil.
3.      Kalangan Shafi’iyah menyatakan batalnya akad.

G.    Kondisi sesuatu yang dilarang dengan sifat yang menetapinya
Para ulama hampir sepakat mengenai adanya nahi terhadap setiap sesuatu, baik berupa perkataan, perbuatan, ibadah atau mu’amalah, dapat berakibat batal, hanya saja, perselisihan pendapat masih menghiasi dikalangan mereka terkait dengan permasalahan nahi yang dibatasi dengan sifat yang melekat pada sesuatu yang dilarang, baik sifat tersebut menetap atau tidak. Dengan kata lain larangan akan hal tersebut dikarenakan adanya hal-hal yang melekat pada Manhi ‘Anhu (sesuatu yang dilarang), bukan karena dzatiahnya.[25]
1.      Kalangan Hanafiyah mengungkapkan bahawa adanya tuntutan nahi dikarenakan jeleknya sesuatu yang dilarang dalam segi dzatiahnya seperti larangan mengenai liwat (homo sex) atau  dari segi lainnya. Sedangkan kejelekan dari faktor lainnya ada kalanya merupakan sifat yang tidak bersambung dengan dzatiyahnya hal yang dilarang, seperti haramnya mewatik isteri pada waktu haid atau merupakan sifa yang berkaitan erat dengan hal yang dilarang, seperti larangan berpuasa pada hari raya.
Pada dasarnya kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa asal dari setiap sesuatu adalah terhindar dari kejelekan atau kerusakan, namun dengan adanya sebuah larangan memastikan adanya faktor dari luar, baik hal itu merupakan sifat yang harus menetap atau sifat yang tidak menetap.
2.      Kalangan Malikiyah mengungkapkan bahwa kondisi sesuatu yang dilrang karena adanya faktor sifat yang melekat, sehingga sesuatu yang dilarang itu dipastikan rusak atau jelek jika terdapat sifat yang tidak dapat dipisahkan atau kondisinya mempunyai sifat yang menjadi sebab terjadinya larangan, seperti ternsaksi yang mengandung unsur riba dan puasa pada hari raya. Namun apabila sesuatu yang dilarang hanya mengandung sifat yang rusak, tetapi sifatnya selalu menetap maka dihukumi sah atau tidak rusak, seperti melakukan solat ditempat mawhsub (tempat yang di gwasab).
3.      Kalangan Syafi’iyah mengungkapkan bahwa kondisi sesuatu yang dilarang dianggap rusak atau jelek karena adanya faktor yang melekat, dengan rincian seperti yang di kemukakan kalangan Malikiyah. Dengan kata lain jika faktor atau sifat yang melekat tersebut bersifat permanen maka dihukumi rusak, akan tetapi jika faktor atau sifat yang melekat tersebut tidak bersifat permanen maka dihukumi sah.
4.      Kalangan Hanabilah mengungkapkan bahwa setiap sesuatu yang dilarang sudah dipastikan akan kerusakannya, tanpa melihat adanya faktor dari luar, hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan Hanafiyah Malikiyah. Mereka beralasan bahawa adanya sebuah larangan dikarenakan faktor yang merusak, dengan kata lain bahwa sebuah larangan tidak akan pernah terjadi apabila faktor yang merusak tidak pernah ada pada setiap sesutau yang dilarang.
5.      Kalangan al-Dzahiri mengungkapkan bahwa setiap sesuatu dikembalikan pada dzahirnya larangan dan perintah yang terdapat dalam nas al-Qur’an atau al-Hadith, dan hal tersebut tidak dapat dipalingkan pada hal yang lain kecuali dengan adanya nas lain. Mereka berargumentasi dengna adanya nahi menunjukkan kerusakan hal yang dilarang, hingga apabila ada larangan maka dengan sendirinya mengakibatkan kebatalan.
Ibnu Hazm menyatakan “barang siapa yang melakukan solat dengan menggunakan pakaian najis atau hasil gwasab, atau melakukan solat ditempat yang digwasab atau tempat najis, sementara dia tau akan hal tersebut maka solatnya tidak dianggap sah, karena menyalahi perintah,[26] sebagaimana yang dijelaskan dalam hadith Rasul:[27]   من عمل عملا ليس أمرنا فهو رد.
6.      Kalangan Abadiyah mengungkapkan bahwa sesuatu yang dilarang tidak dianggap rusak secara mutlak, tetapi harus ada dalil lain diluar nahi yang menunjukkan akan kerusakan dan kebatalan sesuatu yang dilarang, dengan kata lain kata-kata nahi tidak memberikan dampak akan kerusakan sesuat yang dilarang.
Dari perbedaan persefekti di atas berdampak akan perbedaan hukum dalam masalah fiqh, di antaranya:
Pertama; hukum nadzar puasa pada hari raya. Malikiyah, Shafi’iyah, Hanabilah dan Dzahiriyah menyetakan batalnya puasa nadzar pada hari raya, dikarenakan hari raya bukanlah tempat yang dihalakan untuk puasa, hal ini menunjukkan bahwa hari raya merupakan faktor yang melekat secara permanen terhadap puasa. Berbeda dengan Hanabilah yang menyatakan bahwa puasa pada hari raya dihukumi sah tetapi haram, dengan konsekwensi harus bayar kafarat atau kodo’ dan bayar kafarat.
Kedua; hukum talak dalam masa haid. Hanafiyah, Malikiyah, Shafi’iyah dan Hanabilah menyatakan terjadinya talak pada masa haid, dengan alasan bahwa larangan atas sesuatu menunjukkan rusakanya sesuatu yang dilarang, sedang sesuatu yang dilarang dalam masalah ini adalah talak pada masa haid, apabila sesuatu yang dilarang sudah dianggap rusak atau batal maka tidak akan dapt terjadi.
Sedangkan Shi’ah Imamiyah, Shi’ah Zaidiyah dan Dzahiriyah menyatakan tidak terjadinya talak pada masa haid, hal ini dikarenakan mereka berlandasan pada hadith Nabi kepada Umar RA, diwaktu menyampaikan bahwa putranya Abdullah mencerai isterinya pada masa haid, kemudian Nabi memerintahkan untuk kembali pada isterinya, maka dengan adanya kata-taka ruju’ menunjukkan bahwa talak pada masa haid tidak bisa terjadi
   
DAFTAR PUSTAKA

Abu> Bakar al-Sarahksi, 1993, Us}u>lu al-Sarakhsi  Bairut Libanon.
Abdulkarim Zaidan, 1994, al-Wajiz Fi Usuli al-Fiqh, Maktabatu al-Batha’ir.
Mustafa Ibrahim al-Zalami, 1976, Asba>b Ikhtila>fi al-Fuqaha> Fi> Ahka>mi al-Shar’iyah, al-Dar al-Arabiyah.
Husain al-Basdawi, Kasfu al-Asra>r,  Mauqi’ al-Islam.
Ibnu Humam, al-Taqri>r wa al-Tahbi>r, Mauqi’ al-Islam.
Muhammad al-Amadi, 1402H, Ahka>mu al-Amadi, Maktabah Islami Demaskus.
Sulaiman al-Mirdawi, Sharu Kaukabu al-Muni>r: jil II, Mauqi’ Islam.

Postingan terkait: