Problematika Bentuk Amar dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Fiqh

PROBLEMATIKA BENTUK AMAR DAN PENGARUHNYA TERHADAP ISTINBAT FIQH


A.    Perbedaan Ulama Pada Taraf  Terminologi Amr
1.    Definisi
Secara bahasa “amr” berasal dari kata “أمر-امرا وامرأ” maknanya “طلب منه فعل شئ” (memerintahkan).[1] Sebuah amar biasanya dimunculkan dalam bentuk kalimat imperatif (kalimat perintah), "lakukanlah (افعل)," baik pada waktu sekarang atau dalam bentuk kata kerja (predikat) pada teks dari sebuah perintah yang dibentuk. Dengan demikian, perintah seperti: "Dirikanlah shalat," "Patuhilah Allah dan utusan-Nya."[2] Namun secara definitif, para ulama ushul memiliki pandangan yang berbeda-beda.
Abi Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Maliki> al-Syarif al-Talmisa>ni> memberi definisi: Amr adalah lafaz yg menunjukkan tuntutan mengerjakan, dari pihak yg lebih tinggi.[3] Tidak berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh Zen Amiruddin yang menukil pengertian amar dari Abdul Hamid Hakim dan Ja’far Amir berikut:
الامر هو طلب الفعل من الأعلى الى الأدنى
 Tuntutan untuk memperbuat sesuatu dari pihak atasan kepada pihak bawahan.[4]
Sejalan dengan pengertian di atas, namun sedikit ada penegasan, yaitu:
الامر هو لفظ يطلب به الاعلى ممن هو أدنى منه فعلا غيركف
Amr adalah suatu lafald yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk meminta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.”[5]
Berdasarkan beberapa definisi di atas, mengisyaratkan bahwa kata “amr” yang muncul dari orang yang kedudukannya sama dengan orang yang dikenai kata “amr”, tidak disebut “amr”, melainkan al-iltimas. Dengan demikian, berarti syarat kata “amr” yang dapat berfungsi sebagai perintah apabila memenuhi T}a~lab al-Fi‘li min al-‘Ala> Ila> al-‘Adna>. Definisi ini diikuti oleh Abu Ishak al-Syirazi.[6]
Oleh karenanya, Ulama Mu’tazilah mensyaratkan kedudukan pihak oleh beberapa yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang diseruh. Jika kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh, maka tidak disebut amar, melainkan disebut “do’a”.[7] Seperti Firman Allah:
Éb>§ öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur
Ya Tuhanku! ampunilah Aku dan kedua orang tuanku.[8]
Definisi yang lain, adalah:
الامر هو طلب الفعل على جهة الاستعلاء
Perintah mengerjakan suatu perbuatan dengan meninggikan aksen suara.”[9]
Selaras dengan pengertian ini adalah:
الأمر: طلب الفعل بالقول على سبيل الاستعلاء
amar adalah perintah dengan lesan untuk mewujudkan suatu perbuatan yang harus dilakukan.[10]
Dalam definisi tersebut, digunakan kata “طلب الفعل” untuk menghindarkan pengertian bentuk “nahyi’ dan dari macam-macam kalam lainnya. Sedangkan penggunaan kata “على جهة الاستعلاء” untuk menjelaskan bahwa do’a dan iltimas tidak termasuk amr meskipun menggunakan kata ‘amr.[11]
Definisi seperti itu bersesuaian dengan pendapat Qadi Abu Husein yang tidak mensyaratkan kedudukan yang menyuruh harus lebih tinggi, tetapi mensyaratkan sikap ketika menyuruh dalam aksen ucapan yang meninggi atau “الاستعلا” (isti‘la>) dengan menggunakan suara yang lebih keras.[12]
Sedangkan Qadi Abu Bakar dan Imam Haramain memberi definisi amr sebagai berikut.
هو الفعل المقتضى طاعة المأمور بفعل المأموربه
“Suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang menyuruh untuk mengerjakan suatu perbuatan yang dissuruhnya.”
Penggunaan kata “المأمور” di atas, digunakan untuk membedakan antara kata “amr” dengan lainnya dari macam-macam kalam, juga untuk memisahkan amar dari do’a dan iltimas.[13]
Ibn Subki mengemukakan rumusan defisi sebagai berikut:
هو اقضاء فعل غير كف مدلول عليه بغير نحو كف
“Tuntutan untuk berbuat, bukan meninggalkan yang tidak memakai latar (tinggalkanlah) atau yang sejenisnya.”
Penggunaan kata “اقضاء فعل” dalam definisi di atas, mengandung arti bahwa “amr” itu adalah tuntutan untuk berbuat dan tuntutan ini mengandung kata yang sewazan (setimbang) dengan  فعل. Sedangkan kalimat lainnya dalam definisi itu mengandung arti bahwa boleh saja “amr” itu dalam bentuk tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, asalkan lafaz} yang digunakan untuk itu adalah dalam bentuk “fi‘il amr”, seperti “diamlah”, tinggalkanlah, atau jahuilah. Berdasarkan definisi ini, maka “amar” mencakup dua hal, yaitu: tuntutan untuk berbuat dalam arti sebenarnya atau secara aktif, dan berbuat dalam arti pasif.[14]
Dari beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa: suatu lafaz yang disampaikan dengan bentuk amar (perintah) namun apabila hal itu disampaikan orang sederajat maka tidak dimaksud sebagai amar, ia adalah iltimas. Demikian pula apabila suatu lafaz dengan bentuk “amar”, namun  disampaikan oleh bawahan maka ia adalah “ doa” dan bukan amar seperti yang dimaksud oleh ilmu usul fiqih. Demikian bentuk-bentuk lafadz amar, kalau hal itu bukan merupakan permintaan mewujudkan pekerjaan dari atasan kepada bawahan maka ia tidak dikaji dalam pembahasan ini.
Pengertian amar  sebagai mana yang diparparkan oleh Zen Amiruddin, berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama usul fiqih lainya, sebagaimana yang dikatan oleh Muhammad Hasan Hitu,sebagaimana berikut : tidak disyaratkan dalam amar apakah ia dari orang yang lebih tinggi, sederajat atau diungkapkan dengan nada yang layaknya orang memerintah meskipun ia diungkapkan oleh orang yang lebih rendah derajatnya. Dan bahwasanya istilah yang dipakai oleh ulama balagha dan mantik dalam mengartikan “perintah kalau keluar dari orang yang lebih tinggi derajatnya maka ia merupakan amar, atau jika dari orang yang sederajat maka dinamakan iltimas,  dan bila dari orang yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi derajatnya maka dinamakan sual, itu adalah istilah yang khusus dipakai mereka. Adapun ulama usul maka mereka menamakan semuanya sebagai amar. Sebagaimana perkataan firaun yang diceritakan dalam alquran:
߃̍ムbr& /ä3y_̍øƒä ô`ÏiB öNä3ÅÊör& ( #sŒ$yJsù tbrâßDù's? [15]
Yang bermaksud hendak mengeluarkan kamu dari negerimu". (Fir'aun berkata): "Maka Apakah yang kamu anjurkan?"
Allah masih tetap mengunakan lafadz ‘amar’ dari ucapan anak buah Fir’un kepadanya, meskipun derajat mereka lebih rendah, serta keyakinan mereka atas unsur sifat ketuhanan yang melekat pada diri firaun.[16] Oleh karena itulah Muhammad Hasan Hitu menberi definisi sebagai berikut:
الأمر : هو القول الطالب للفعل، بلا علو، ولا استعلاء.
Amar adalah: perkataan yang meminta untuk dilakukannya suatu perbuatan dengan tanpa harus dari orang yang lebih tinggi, dan juga tidak dengan nada menyuruh.[17]
Terlepas dari perbedaan definisi yang dikemukankan oleh para ulama ushul di atas, namun demikian penulis mengambil hipotesis bahwa amar tersebut setidaknya mengandung tiga unsur, yaitu: Pertama, Yang mengucapkan kata amr atau yang menyuruh; Kedua, Yang dikenai kata amr atau yang disuruh; Ketiga, Ucapan yang digunakan dalam suruhan. 
 
2.    Kandungan Makna Amar dari segi Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya.
Setiap lafaz amar menunjuk kepada dan menuntut suatu maksud tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari sighat lafaz itu sendiri. Bila diperhatikan lafaz-lafaz amar yang terdapat dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali bentuk tuntutannya yang antara satu dengan yang lainnya berbeda. Berikut bentuk tuntutan dari kata amar menurut klasifikasi Amir Syarifuddin:[18]
1.    Untuk hukum wajib, artinya lafaz amar itu menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafaz itu. Umpamanya dalam Qs. Al-Nisa’ (4): 77:
(#qßJŠÏ%r& no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¢9$#
2.    Untuk hukum nadb atau sunnah, artinya hukum yang timbul dari amar itu adalah nadb, bukan untuk wajib. Misal Qs. Al-Nur (24): 33.
öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz
Hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka.”[19]

3.    Untuk suruhan bersifat mendidik. Qs. Al-Baqarah (2): 282.
(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi”.
4.    Untuk hukum ibahah atau boleh. Qs. Al-Baqarah (2): 60.
(#qè=à2 (#qç/uŽõ°$#ur `ÏB É-øÍh «!$#
Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah.”
5.    Untuk tahdid atau takut menakuti. Qs. Ibrahim (14): 30.
(#qãè­GyJs? ¨bÎ*sù öNà2uŽÅÁtB n<Î) Í$¨Z9$#
"Bersenang-senanglah kamu, karena Sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka".

6.    Untuk imtinan atau merangsang keinginan. Qs. Al-An’am (6): 142.
(#qè=à2 $£JÏB ãNä3x%yu ª!$#
makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu.”

7.    Untu ikra~m atau memuliakan yang disuruh. Qs. Al-Hijr (15): 46.
$ydqè=äz÷Š$# AO»n=|¡Î0 tûüÏZÏB#uä
(Dikatakan kepada mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman.

8.    Untuk taskhi>r yang berarti menghinakan. Qs. Al-Baqarah (2): 65.
(#qçRqä. ¸oyŠtÏ% tûüÏ«Å¡»yz
"Jadilah kamu kera[20] yang hina".

9.    Untuk ta’j>iz yang berarti menyatakan ketidak-mampuan seseorang. Firman Allah Qs. Al-Baqarah (2): 23.
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷ƒu $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[21] satu surat (saja) yang semisal Al Quran.

10.     Untuk iha>nah artinya mengejek dalam sikap merendahkan. Qs. Al-Dukhan (44): 49.
ø-èŒ š¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ãLq̍x6ø9$#
Rasakanlah, Sesungguhnya kamu orang yang Perkasa lagi mulia.[22]

11.     Untuk taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau tidak berbuat. Firman Allah Qs. Al-Thu>r (52): 16.
(#ÿrçŽÉ9ô¹$$sù ÷rr& Ÿw (#rçŽÉ9óÁs? íä!#uqy öNä3øn=tæ (
Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu.

12.     Untuk do’a. Seperti Firman Allah Qs. Ibrahim (14): 41.
$oY­/u öÏÿøî$# Í< £t$Î!ºuqÏ9ur
Ya Tuhan Kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku.

13.     Untuk tamanni yang berarti mengangankan suatu yang tidak akan terjadi. Umpamanya amar dalam sya‘ir Arab:
الا ايها الليل الطويل الا انجلى بصبح وما الاصباح منك بامثل
Wahai malam yang panjang, kenapa kau tida segera berhenti dengan subuh, sekalipun subuh itu tidak akan lebih baik darimu.
Menyuruh malam segera berganti dengan pagi sebagaimana tersebut dalam permintaan penya’ir tersebut, tentu tidak dapat dianggap sebagai suruhan (amar), selain karena malam itu tidak dapat dijadikan sasaran suruhan juga suruhan itu tidak mungkin dapat diwujudkan.[23]
14.     Untuk ihtiqa~r , artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh. Seperti Firman Allah Qs. Al-Syu‘ara (26): 43.
(#qà)ø9r& !$tB LäêRr& tbqà)ù=B
"Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan".

15.     Untuk taqwi>n dalam arti penciptaan. Firman Allah dalam Qs. Ya>si>n (36): 82.
!#sŒÎ) yŠ#ur& $º«øx© br& tAqà)tƒ ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù
Apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah.

16.     Untuk takhyir artinya member pilihan. Seperti Sabda Nabi saw.
اذا لم تستح فا شئت
Bila kamu tidak malu, perbuatlah sekehendak hatimu.”
Amar dalam hadith ini menyuruh berbuat apa yang diinginkannya untuk berbuat, adalah bukan dalam arti suruhan sebenarnya, tetapi member pilihan untuk berbuat.
Dalam uraian di atas telah dieksplorasi bahwa amar itu dapat digunakan untuk beberapa maksud yang berbeda-beda. Dari muncul persoalan untuk apa hakikatnya amar tersebut digunakan?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan di uraikan lebih jauh dalam pembahasan selanjutnya.

B.     Ikhtilaf al-Fuqaha’ Fi al-Amri; Penggunaan Lafaz Amar dan Implikasi Hukumnya
a.    Perbedaan Pandangan Ulama dalam Menetapkan Hakikat Amar
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan inti amar. Sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa amar itu hanyalah diperuntukkan bagi wujub (wajib), sedangkan sebagian yang lainnya berpendapat bahwa inti amar itu hanyalah diperuntukkan bagi nadb (mandub).
Perbedaan tersebut, paling tidak terdapat dua pendapat, yaitu perdebatan diseputar wujub atau nadb yang terkandung dalam amar. Namun ada juga yang lebih memilih tawaquf. Berikut klasifikasi berbedaan pendapat di antara mereka:
Yang Pertama: Golongan (kebanyakan ulama) yang menyatakan bahwa setiap amar/perintah jika dari qorinah hakikatnya adalah untuk menunjukkan hukum wajib.[24] Kaidah yang digunakan berbunyi:
الأصل في الأمر للوجوب
Pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan hukum wajib.[25]
Menurut rumusan kaidah tersebut, apabila tidak ada qa~rinah (keterangan) lain, maka setiap perintah itu kedudukan hukumnya adalah wajib ditunaikan, dan apabila tidak ada keterangan lebih lanjut, maka berarti perintah itu jazm (mengikat/tegas) sehingga hukumnya adalah wajib.
Rumusan seperti di atas, merupakan rumusan amar yang dijadikan pedoman oleh Jumhur Ulama. Mereka beralasan bahwa hakikat amar itu hanyalah diperuntukkan bagi pengertian wajib selama lafaz} amar itu tetap dalam kemutlakannya.[26] Dengan demikian, berarti bahwa amar tesebut meskipun tidak disertai oleh penjelasan atau qa~rinah apapun, berarti menghendaki wajibnya pihak yang dikenai amar untuk berbuat. Artinya, tidak dapat dipahami bahwa amar itu memiliki maksud lain, kecuali bila ada keterangan lain yang menjelaskannya.[27] Artinya, apabila tidak ada qa~rinah (keterangan) lain, maka setiap perintah itu kedudukan hukumnya adalah wajib ditunaikan, karena sifat perintah itu adalah jazm (perintah yang tegas) sehingga mengisyaratkan adanya hukum wajib.[28] Pemahan seperti ini, didasarkan pada firman Allah, antara lain Qs. Al-Baqara~h (2): 34, Qs. Al-A’ra~f (7): 12, Qs. Al-Nu>r (24): 2.
Untuk Qs. Al-Baqarah (2): 34 dan Qs. Al-A‘raf (7): 12., pertanyaan Allah kepada Iblis dalam ayat tersebut bukan dalam bentuk sebenarnya tetapi untuk menyatakan pengingkaran atau penolakan iblis yang tidak mau sujud. Tentunya Allah sendiri mengetahui bahwa iblis itu tidak akan bersujud jika disuruh. Karena itu jelaslah bahwa Allah mencela Iblis yang tidak sujud. Bila ditetapkan adanya celaan untuk meninggalkan kata amar, “Engkau tidak pernah mewajibkan bersujud, kenapa kami harus dila’nat (dicela).”[29]
Disamping juga, mendasarkan pada perintah-perintah Rasulullah s.a.w., di antaranya:
صلوا كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى)
Juga sabda Nabi:
خذوا عنى منا سككم (رواه مسلم)
Ambillah dariku manasik-manasikmu.”

Oleh karenanya, para ahli tata bahasa Arab (al-Nuha>t) menetapkan bahwa hakikat perintah itu mengandung arti wajib. Sebagai bukti, sebelum datangnya agama Islam seorang tuan mesti mencela hambanya yang tidak patuh atas perintahnya dan mensifatinya sebagai orang yang durhaka terhadap tuan-tuannya.[30] Itulah dasar-dasar pemikiran mereka (para ulama) yang mempertahankan pendapatnya tentang perintah yang mengandung pengertian wajib.
Jelasnya, bagi golongan pertama tersebut, yaitu yang mengatakan bahwa hukum setiap perintah itu pada dasarnya wajib adalah sebagai berikut:
1)        Dalil naqliyah. Secara naqli bahwa perintah itu menunjukan wajib dapat disimak dari kasus malaikat (termasuk iblis) yang diperintah oleh  Allah s.w.t., untuk tunduk pada adam: ” اسجدوا لأدم فسجدوا الا ابليس”. Oleh karena itu, iblis itdak mau sujud (melakukan perintah itu) maka ia dicela Allah swt, sebagaimana firmanya:
ما منعك ان لا تسجدوا اذ امرتك
Kalau sekiranya perintah agar Iblis sujud pada Adam itu hanya anjuran, tentu Allah swt tidak akan mencela mereka. Akibat keengganan mereka melaksanakan perintah itu maka mereka dihukum oleh Allah s.w.t., dengan dikeluarkan dari surga.
2)        Dalil aqliyah (rasionalitas). Menurut akal, dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa apabila seseorang hamba (bawahan) diperintah oleh tuannya maka wajib memenuhinya, ia akan dianggap tercela manakala tidak mengerjakan perintah atasan tersebut.
Jadi menurut golongan ini setiap perintah itu hukumnya wajib dikerjakan, kecuali ada qorinah (keterangan) bahwa hal itu tidak wajib. Dengan demikian, pemaknaan amar di atas memiliki implikasi hukum, yaitu bagi orang yang meninggalkan suruhan berarti ia mengingkari perintah yang menyuruh. Dan orang yang melakukan (mematuhi) suruhan berarti ia setuju (patuh) terhadap yang menyuruh. Artinya, mengingkari (menolak) suruhan adalah lawan dari menyetujui. Bila kita katakan bahwa orang yang mematuhi suruhan berarti menyetujuinya (patuh), maka orang yang meninggalkan berarti mengingkari. Maka, apabila dihubungkan dengan hukum Allah, seperti kewajiban untuk melaksanakan sha~lat, maka bagi orang yang meninggalkannya berdosa.
Amar dalam uraian di atas tersebut memiliki arti bahwa orang yang mengingkari perintah Allah berdosa, dan akan menerima azab sebagaimana yang ditegaskan Allah, bahwa orang-orang yang menyalahi perintah Allah akan ditimpa azab yang pedih.[31]
Kedua, Ulama yang menyatakan bahwa setiap perintah itu pada dasarnya hanya (nadb) anjuran atau sunnat saja. Kaidah yang digunakan mereka berbunyi:
الأصل في الأمر للندب
Pada dasarnya setiap perintah itu menunjukkan anjuran.

Menurut rumusan kaidah tersebut, apabila tidak ada keterangan yang menunjukkan sifat wajib, maka setiap perintah itu kedudukan hukumnya hanya anjuran atau sunnat saja. Bagi yang mengajukan rumusan kedua ini, yaitu setiap perintah itu pada dasarnya adalah nadb (anjuran). Golongan ini mengemukakan alasan bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia ini memiliki hak azasi berupa kebebasan, manusia itu sejak lahir diberi tabiat, yaitu kebebasan, sedangkan  beban yang mengikat yang mau tidak mau harus diterima itu adalah ia terima setelah adanya interaksi dengan manusia lain atau lingkungannya.
Atas dasar kebebasan yang berupa hak azasi manusia itu, maka beban yang berupa perintah pada dasarnya tidak bisa menjadi beban yang mengikat, yang memaksa atau yang mewajibkan, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir tersebut. Jadi menurut aliran ini setiap printah itu hukum dasarnya hanyalah nadb (anjuran) saja, terkecuali ada keterangan lain yang menyatakan bahwa perintah itu memang harus dikerjakan, maka menjadi wajib.[32]
Rumusan di atas, di ikuti oleh Ulama Mu‘tazilah. Kalangan ini berpendapat bahwa amar itu menurut asalnya adalah untuk hukum nadb secara mutlak, sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa amar itu untuk wajib. Berikut argument-argument mereka:
a.      Amar adalah untuk menuntut dari pihak yang menerima amar mengenai apa yang diperintahkan. Hal ini menguatkan segi pelaksanaan apa yang disuruh itu. Bentuk penguatan tersebut kadang dalam bentuk hukum yang mengharuskan (wajib) dan kadang dengan hukum nadb. Maka ditetapkan mana yang lebih kecil dari dua kemungkinan tersebut. Perintah dalam bentuk nadb itulah yang meyakinkan sehingga ditemukan dalil yang menyatakan lebih dari nadb yaitu wajib.
b.      Amar dalam ucapan “kerjakanlah”, ditetapkan pada posisi yang paling rendah dari apa yang terhimpun dalam ucapan itu antara wujub dan nadb, yaitu suruhan untuk berbuat. Perbuatan yang disuruh lebih baik dikerjakan dari pada ditinggalkan. Adapun berlakunya sanksi atau ancaman untuk yang meninggalkan adalah hal yang belum dimaklumi. Oleh karena itu, untuk sampai pada hukum wajib, harus ditangguhkan sampai ada dalil yang menerangkannya.
c.       Argumentasi mereka didasarkan pada hadith.
اذا امرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم
Bila kamu disuruh melakukan suatu perbuatan, laksanakanlah semampu kamu.”
Dalam sabda Nabi itu, menurut ulama’ Mu’tazilah berarti amar itu diserahkan kepada kita untuk mengamalkannya. Dengan begitu amar tersebut bukan suatu keharusan.[33]
Para ulama yang berpendapat bahwa amar itu tidak mengandung pengertian wajib, melainkan hanya mengandung pengertian nadb (anjuran). Artinya, apabila tidak ada keterangan yang menunjukkan sifat wajib, maka setiap perintah itu kedudukan hukumnya hanya anjuran atau sunnah saja.[34]
Menurut analisis yang dilakukan oleh Muhammad Hasan Hitu, bahwa pendapat yang kedua kurang begitu kuat, karena andaikan “dalalah amar”  yang asalnya adalah hanya untuk anjuran, maka apa fungsinya dari amar itu, apalagi seseorang tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali untuk dilaksanakanya, yang mana hal itu akan sulit terealisasi kecuali bila perintah itu untuk kewajiban. Selain itu, alasan kedua yang digunakan juga kurang tepat, karena manusia lahir ke dunia juga untuk melakukan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh Allah. Namun permasalahan yang muncul, ketika ditemukan bentuk lafaz amar, maka yang pertama kali harus terbersit dalam benak kita adalah amar tersebut digunakan untuk suatu kewajiban, serta keharusan meyakini kewajiban dan melaksanakan apa yang terkandung dalam amar sebelum ditemukan keterangan yang dapat mengalihkan kewajiban pada yang lainnya.[35]
Selain kedua pendapat di atas,[36] ada kalangan lain, yaitu Ulama Asy‘a>ri>yah dan Imam al-Ghazali beserta pengikutnya memilih sikap tawaquf. Maksudnya, mereka tidak menetapkan asal penggunaan amar secara pasti (apakah wajib atau nadb), tetapi menetapkan kehendak amar itu kepada petunjuk yang menyertainya.[37]
Mereka mengajukan argument bahwa sighat amar itu pernah digunakan secara bersama-sama, yaitu untuk wajib, untuk nadb, untuk tahdib dan lainnya. Maka menetapkan untuk wajib tidak akan lebih utama dari nadb, tahdib dan lainnya itu. Oleh karenanya perlu ditangguhkan (tawaquf) untuk mengetahui maksud sighat amar itu sampai ada dalil lain yang menjelaskannya.

b.   Perdebatan Ulama Tentang Amar setelah Larangan (ناهى)
Adanya amar tentang sesuatu yang menghendaki berbuat untuk melaksanakan sesuatu itu, dan larangan mengerjakan sesuatu berarti sesuatu itu tidak boleh dikerjakan.[38] Hal seperti inilah yang dimaksud amar setelah larangan. Bentuk larangan yang mendahului amar itu, menjadi bahan pembicaraan di kalangan ulama’: Apakah larangan yang mendahului amar itu berpengaruh terhadap kedudukan amar atau tidak?, dan sejauh mana pengaruhnya atau berimplikasinya terhadap hukum?
Berikut perbedaan pendapat Ulama ushul tentang petunjuk amar yang didatangkan setelah nahi:
1.    Junhur Ulama
Jumhur berpendapat bahwa amar yang didahului oleh larangan itu tidak lagi berfungsi sebagaimana asalnya, tetapi telah berubah menjadi ibahah, bagaimanapun bentuk amar sebelum adanya larangan tersebut. Berikut argumen-argumen mereka:[39]
a.    Berdasarkan ‘urf dan kebiasaan dalam pembicaraan (ucapan) seseorang, bila ia menyuruh sesudah sebelumnya melarang, maka suruhan itu bukan lagi dalam bentuknya yang semula (keharusan), tetapi berubah menjadi kebolehan.
b.    Berdasarkan urf syar‘i>, amar yang berada sesudah larangan berubah hukumnya, yaitu menjadi ibahah (boleh).
2.    Imam Malik dan Ibn Hazm berpendapat bahwa:
الاصل فى الامر للوجوب ولو بعد النهى
Menurut aslinya amar itu untuk mewajibkan meskipun datang sesudah nahi.[40]
Yang  demikian itu adalah karena menurut umumnya dalalah amar itu wajib, maka kedatangannya sesudah nahi pun tidak mempengaruhi dalalat-nya yang umum.
3.    Sebagian ulama fiqh seperti Qadhi Baidawi dan sebagian ulama kalam seperti golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa amar yang terdapat sesudah larangan adalah tetap dalam posisi asalnya, baik dalam bentuk wujub atau nadb; dan kedudukan amar sesudah larangan, tidak berpengaruh terhadap amar tersebut. Mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:[41]
a.    Amar menurut asalnya menunjukkan hukum wujub. Menurut ulama yang berpendapat demikian; Jika amar datang sesudah hukum haram (larangan), tidaklah berarti harus menolak amar, sehingga jadi menolak apa yang telah ditetapkan sebagai keharusan, karena wujub dan ibahah itu merupakan dua hal yang bertentangan dengan haram. Meskipun demikian tidaklah terhalang beralihnya hukum dari haram kepada ibahah.
b.    Amar yang menimbulkan hukum ibahah tidak mengandung unsur “baik”, sebab keadaannya tidak membawa arti, karena pihak yang disuruh tidak akan memperoleh pahala apa-apa bila ia berbuat. Oleh karena itu tidak mungkin amar disini hanya menimbulkan hukum ibahah.
c.    Apabila larangan terletak sesudah amar tetap hukumnya haram sebagaimana keadaannya semula. Demikian pula bila amar terletak sesudah larangan, harus diarahkan kepada hukum wajib sebagaimana keadaannya semula ketika tidak didahului oleh larangan.
4.    Menurut Imam Syafi’i dan kebanyakan mutakallimin bahwa:[42]
الامر بعد النهى يفيد الاباحة
Perintah yang didatangkan sesudah larangan itu memberi faedah perizinan (kebolehan).”
Contoh, Firman Allah:
#sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù
…….Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka berburulah….[43]
Yang datang sesudah adanya larangan berburu dalam firman Allah:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qè=çGø)s? yøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur ×Pããm 4
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram….[44]
Perintah berburu (فاصطادوا) pada Qs. Al-Maidah: 2, sesudah adanya larangan berburu pada Qs. Al-Ma’idah: 5. Karena itu, berburu tidak diwajibkan tapi diperbolehkan.
5.    Menurut Muhammad al-Khudari Beik, bila larangan yang mendahului amar itu disebabkan oleh suatu illat atau alasan tertentu­­­­ – seperti larangan menumpuk daging kurban, maka amar yang datang sesudah larangan adalah untuk mencabut sebab adanya larangan itu. Dalam keadaan demikian, maka hukumnya kembali kepada keadaan sebelum adanya larangan, yaitu ibahah.[45]
Adapun larangan sebelum amar itu secara mutlak atau tanpa adanya ‘illat – seperti larangan menziarahi kubur, maka amar yang datang kemudian adalah untuk menimbulkan hukum wajib, bukan nadb, juga bukan kembali kepada hukum semula. Tidak kembalinya amar kepada hukum semula kerena telah dicabut oleh adanya larangan, sehingga tidak ada lagi tempat kembali.[46] Apabila larangan itu bukan untuk suatu ‘illat yang nyata, maka ia sebagai penasikh (pembatal) hukum yang terdahulu, sehingga perintah sesudah larangan itu berupa pemberian izin untuk melakukannya yang bukan wajib dan bukan pula nadb, jadi hanya ibahah saja. Seperti larang ziarah kubur yang kemudian diperbolehkan oleh Nabi s.a.w.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa asal amar itu digunakan untuk menunjukan suatu kewajiban, yang hal itu apabila bentuk lafaz amar dari qarinah (keterangan) dan juga tidak diletakkan setelah larangan dan permintaan izin. Amar yang diletakan setelah ada larangan dari Shari’ah tidak berfungsi sebagaimana asalnya, yaitu wujub, tetapi menurut kebanyakan ulama, amar yang semacam ini secara asal menunjukan ibahah (kebolehan melakukan sesuatu), karena ibahah yang langsung diperoleh setelah mendengarkan ungkapan yang semacam ini, serta kebiasan ungkapan tersebut digunakan untuk ibahah. Sebagaimana larangan menyetubuhi istri ketika masih haid yang setelah itu diperintahkan untuk menyetubuhinya jika telah suci sebagaimana firman Allah:
فاعتزلوا النساء في المحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله
Makna dari teks itu, bahwa menyetubuhi istri setelah bersuci adalah mubah, tidak wajib. Namun menurut pendapat lain, yang banyak diikuti oleh ulama Hanafiyah bahwa perintah setelah ada larangan masih tetap digunakan untuk suatu kewajiban, menurut pendapat ini meskipun amar diletakkan setelah larangan, dalalah yang ada pada amar masih tetap tidak berubah, sehingga ia masih dipakai untuk suatu kewajiban. Dan juga karena ayat ini.
#sŒÎ*sù yn=|¡S$# ãåkô­F{$# ãPãçtø:$# (#qè=çGø%$$sù tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ß]øym óOèdqßJ?y`ur
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.
Dalam hal ini Kamal bin Hamam dari kalangan Hanafiyah, mengutarakan pendapatnya, sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili, bahwa amar yang diletakan setelah bentuk larangan dikembalikan kepada hukum yang asal baik wujub atau yang lainnya. Seperti perintah untuk membunuh orang-orang musyrik adalah suatu kewajiban, dilarang sha>ra’ ketika dalam bulan-bulan yang dimulyakan, kemudian diperintahkan lagi setelah berakhirnya asyhurul hurum, sehingga kembali lagi kepada hukum amar yang sebelumnya, yaitu wujub.[47] Sebagaimana halnya perintah setelah larangan yang memberi pesan ibahah, menurut kebanyakan ulama, demikian juga perintah setelah minta izin, seperti orang yang minta izin untuk masuk rumah, berkata “bolehkah aku masuk” yang lalu dikatakan padanya “masuklah” adalah untuk ibahah.[48]

C.     Ikhtilaf Fuqa~ha’ Tentang Sifat Tuntutan “Amr
1.    Tuntutan disegerakan atau ditunda?
Ikhtilaf fuqaha’ mengenai sifat tuntutan dari amar: Apakah Perintah itu menunjukkan segera dilakukan atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini para ulama berbeda. Perselisihan pendapat ini “(akan dijelaskan dalam uraian dibawah)” yang mengakibatkan pada perbedaan pandangan dalam hal kasus-kasus fiqh.
Berdasarkan ilustrasi di atas, penulis menganggap perlu untuk mengurai permasalahan itu lebih jauh. Hal ini lebih ditekankan pada perbedaan pendapat dari ulama ushul dengan harapan dapat menemukan implikasi hukumnya.
Maksud Tuntutan perintah agar segera dilaksanakan yakni bagi setiap mukalaf tatkala mendengar perintah dan tidak ada halangan,  maka harus segera melakukannya tidak boleh mengakhirkannya. Jika mengahirkannya tanpa uzur maka hal itu di cela.[49]
Maksud tuntutan perintah Li> al-Tarakhi> (di tunda) yaitu, tidak ada keharusan bagi mukallaf untuk segera melaksanakan perintah, akan tetapi boleh diakhirkan apabila si-mukallaf menduga mampu menunaikannya pada waktu itu.[50]
Tidak ada perbedaan dikalangan ulama yang berpendapat amar itu menunjukkan tikrar bahwa amar itu juga Li> al-Faur (harus dikerjakan segera), alasannya karena tikrar berhubungan dengan waktu yang menuntut harus dikerjakan berulangkali dan segera. Mereka berhujjah dengan apa yang mereka jadikan dalil pada pernyataan amar Li> al-Tikra~r seperti di ungkapkan di atas.[51]
Terkait hal itu setidaknya ada lima perbedaan pendapat ulama:[52]
1.  Sighat amar mutlak hanya menuntut terealisasinya sebuah kewajiban tanpa adanya tuntutan agar segera di laksanakan atau bisa di tunda. Pendapat ini yang dipilih oleh Jumhur, Hanafiyah, Syafi‘iyah[53] dan Syi‘ah Imamiyah. Alasan mereka diantaranya:
a.      Jika amar mutlak dikhususkan terhadap “paur” (harus dikerjakan segera) atau “tarakhi “ (di tunda) maka dengan dibatasinya oleh kekhususan tehadap salah satunya menjadi tertolak dari yang lainnya.
b.       Dalam aplikasinya adakalanya amar itu menunjukkan faur seperti printah beriman dalam firman allah  وامنوا بالله ورسله.[54] Dan adakalanya Li> al-Tara~>khi seperti  perintah dalam firman Allah: واتموا الحج والعمرة لله .[55]
2.  Sighat amar itu menunjukkan faur (kesegeraan), artinya kandungan perintah harus segera dikerjakan di awal waktu jika diakhirkan maka itu termasuk dosa. Hal ini dikenal sebagai pendapatnya Imam Malik, Hanabilah[56] dan al-Kara~khi> dari kalangan Hanafiyah dan Dzahiriyah.[57]
Sesungguhnya Menghubungkan pendapat amar Li> al-Faur terhadap  Hanafiyah secara mutlak itu keliru, karena dari kelompok Hanafiyah yang berpendapat demikian hanyalah al-Karakhi> saja.
      Adapun alasan-alasan  mereka diantaranya:[58]
a.       Firman allah ayat (وسارعوا الى مغفرة ربكم) “Wasari‘u> Ila> Maghfira~ti Rabbikum”.[59] Yang dijadikan alasan adalah kata-kata “ان المسارعة” (al-musyara‘ah) pada ayat ini diartikan “المبادرة” (al-Muba>dara~h) harus segera dilakaukan pada awal waktu (majaz).  Tidak bisa diartikan hakikat karena ini terkait “فعل الله”, maka mustahil bagi seorang hamba untuk meraihnya.[60]
b.      Jika amar itu tidak menunjukan faur (kesegeraan) maka sebuah perintah boleh di akhirkan, kenyataannya hal itu tidak boleh, maka jelas amar Li> al-Faur.
3.      Amar itu Li al-Tara~khi>. Maksudnya sebuah perintah boleh diakhirkan. Pendapat ini dipilih oleh Ibn al-Baqillani> , diceritakan Ibn ‘Aqil dari riwayat Ahmad, dan dari golongan Syafi‘iyah: Abu ‘Ali bin Abi Huraira~h, Abu Ali al-Ta~bari> dan Abu Bakar al-Diqa~q.Tidak diperoleh secara jelas alasan-alasan dari kelompok ini.
4.      Shigat amar itu berbarengan (bersamaan) antara faur  dan tarakhi, tidak dikhususkan terhadap salah satunya saja, kecuali jika ditemukan qarinah. Mereka beralasan karena amar (secara aflikasi) digunakan dalam faur dan tarakhi jadi berbarengan secara lafaz (Mustarik al-Lafz}i).[61]
5.      Tawakuf (Menangguhkan) antara faur dan tarakhi, ini pendapatnya al-Juwaini. Dalam setiap Mengerjakan isi perintah itu  bisa segera dilakukan bisa berkesinambungan karena tidak ada ketentuan lebih rajih diantara keduanya. Alasan al-Juwaini sesungguhnya sebuah tuntutan itu sudah jelas, keragu-raguan dalam kebolehan mengahirkannya maka wajib mensegerakan untuk mengeluarkan keragu-raguan menjadi keyakinan.[62]
Munculnya perbedan-perbedaan pendapat tersebut, karena memang amar pada tataran aplikatifnya adakalanya Li al-Faur  seperti perintah beriman dan adakalanya Li al-Tarakhi seperti perintah berhaji.[63] Apakah segera dilakukan atau tidak? Menurut Imam Syafi’i: jika mengakhirkan haji padahal mampu melaksanakan, maka tidak dosa. Sedangkan menurut Hanafi adalah diantara dua pendapat (segera dan tidak). Sedangkan yang dianggap benar, dalam hipotesis “Abi Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Maliki> al-Syarif al-Talmisa>ni>”, bahwa perintah yang mutlak itu tidak menunjukkan segera atau diakhirkan, tergantung keadaan.[64] Dari sekian pendapat ini, pendapat yang paling rajih menurut Musta~fa> Ibrahi>m al-Zula>mi> adalah yang menyatakan bahwa amar itu Li al-Faur, artinya menuntut agar segera dikerjakan diawal waktu jika memungkinkan, hal itu dapat dipahami baik dari segi lughah  dan urf.[65]

2.    Pemenuhan Tuntutan Berulang-ulang atau Sekali?
Jika satu perbuatan diperintahkan dalam teks untuk melakukannya, maka hal ini menyiratkan bahwa perbuatan secara berulang-ulang, seperti, perintah untuk shalat malam. Apakah maksudnya shalat harus dilakukan setiap malam. Dalam hal ini jelas tentang keharusan berulang-ulang, namun disini mungkin alasannya belum begitu jelas. Di sini juga ahli hukum yang dikaitkan dengan anggapan awal. Perintah perbuatan yang diasumsikan secara berulang-ulang atau untuk sebuah kejadian yang hanya satukali saja?.[66]
Ketentuan umum yang pada awalnya, sebuah perintah dijelaskan untuk dilakukan satu kali, tapi kalau ada bukti lain yang menandai tentang pengulangan yang disiratkan maka terjadi berulang-ulang.[67]Apakah perintah itu, menunjukkan perintah untuk melakukan berulang-ulang atau tidak? Untuk itu, para Ulama’ berbeda pendapat, yang perbedaan ini mengakibatkan pada perbedaan pendapat dalam kasus fiqh, sperti kewajiban tayammum.[68] Kasus tentang Tayammum ini akan dibahas dibagian akhir karya ini.
Untuk hal tersebu, tidak ada perbedaan dikalangkan ulama ushul dan ulama fiqh bawasannya amar dari segi  hakikatnya  menunjukan  terwujudnya suatu perbuatan (isi perintah), bukan dari segi madlul-nya. Demikian juga tidak ada perbedaan bahwasannya amar yang muqayyad-nya itu bisa menunjukan sekali pemenuhan saja atau berulang-ulang tergantung yang mengqayidi-nya (membatasi). Akan tetapi terdapat perbedaan dalam memandang dilalah amar yang murni tidak dibatasi oleh sesuatu yang menunjukan terhadap berulang-ulang atau sekali pemenuhan saja, dalam hal ini terdapat 4 (empat) pendapat yang berbeda-beda:[69]
1.    Jumhur berpendapat bahwasannya dilalah amr itu menunjukan diharuskannya mewujudkan apa yang diperintahkan tanpa memandang jumlah pelaksanaan yang harus berulangkali atau cukup satukali. Pendapat ini yang diikuti oleh Imam Haramain dan al-Razi>, al-Baidawi, Ibnu al-Hajib, al-Amidi. Dasar argumentasi mereka di antaranya:[70]
a.    Jika amar itu berpaidah terhadap salah satu dari tikrar dan marrah maka pasti dengan dibatasi oleh kedua makna tersbut akan tertolak ke-amarannya.
b.    Hukum sya>ra adakalanya menunjukkan tikrar seperti perintah pada ayat tentang shalat. Dan adakalanya menunjukan sekali pemenuhan saja seperti perintah pada ayat tentang haji. Maka hakikat ukurannya berbarengan antara keduanya yang intinya keharusan  mendatangkan isi perintah atau kandungan amar.
2.    Dilalah Amr itu menunjukan tikrar apabila tidak ada qarinah yang menunjukan terlepasnya tikrar  tersebut. Menurut  Ibnu Hajib pendapat ini  yang di pilih Abu Ishak. Menurut Ibn al-Luham, ia mazhab Imam Ahmad dan pengikutnya, Abu Ishak al-Isfiraini berpendapat demikian apabila dipandang dari segi kekuatan dan imkan-nya amar. Demikian juga dikatakan Abu Hatim al-Ghazwini dan Abdul Qa`dir al-Baghdadi. Dasar argumntasi mereka diantaranya:[71]
a.    Ijma’ syukuti:[72] ketika ahli murtad sudah menolak untuk membayar zakat, maka abu bakar dengan berpegang kepada firman Allah: “(واتوا الزكاة)” mewajibkan atas mereka berulang-ulang dalam membayar zakat dan tidak ada satu sahabat pun yang mengingkarinya, maka dengan ijma’ sukuti itu mununjukan terhadap tikrar.
b.    Jika amar tidak menunjukkan tikrar maka terjadi nasakh karena tidak ada-nya ketetapan amar setelah kandungannya dilaksanakan sekali. Sesungguhnya adanya nasakh setelah dikerjakannya  kandungan amar itu mustahil “ظهور المصلحة بعد خفائها أو بالعكس” (Z}uhu>ru al-Mas}lahah} Ba‘da Khafa>’iha> au bi al-‘Aksi) itu mustahil atas Allah.
3.    Dilalah amr itu menunjukkan marrah (cukup sekali pemenuhan saja) tidak diharuskan adanya tikrar,  kecuali jika amar dikaitkan dengan syarat seperti dalam firman Allah “وان كنتم جنبا فاطهروا”, menurut Imam Haramain pendapat ini di nukil dari sebagian guru-guru Hanafiyah dan qa~ul sebagian pengikut Imam Syafi‘i.
Sedangkan dasar argumntasi mereka diantaranya:[73]
a.    Dipatuhinya suatu perintah tidak menyatakan lebih sedikit dari marrah, maka  hal ini menunjukan bahwa amar itu menunjukan marrah.
b.    Jika seseorang berkata: “تصدق خالد اويتصدق”(Tas}a~ddaq Kha~lid aw Yatas}addaq) maka perkataan demikian tidak mengandung keharusan berulang-ulangnya s}adaqa~h, akan tetapi cukup sekali pemenuhan saja maka sighat amar menunjukkan marrah.
Berikut  ulasan/komentar terhadap pendapat2 di atas:
1.    Secara umum perbedaan itu muncul karena memang syari’ dalam memberlakukan amar adakalanya menunjukkan marrah seperi dalam hal haji, dan adakalanya  umtuk tikrar seperti dalam hal shalat, zakat, puasa dan jihad.
2.    Semua argumentasi dari ke-empat pemikiran diatas itu menerima kritik dan bantahan seperti dijelaskan dalam kitab-kitab ushul.
3.    Sangat sedikit dalam al-Quran maupun Sunnah ditemukan amar yang sifatnya mutlak, tanpa disertai qarinah yang menunjukkan terhadap tikrar atau marrah. Karena masing-masing dari marrah dan tikrar itu  dapat diketahui dari watak/karakter sebuah perbuatan dalam mengerjakannya. Dengan demikian kami memandang (al-Zulami) bahwa sesungguhnya masalah khilafiyah dalam fiqih yang merupakan cabang dari perbedaan pendapat dalam kaidah usuliyah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan masalah-masalah khilafiyah yang tersusun atas perbedaan dalam kaidah-kaidah usuliyah yang lain.
4.    Pendapat yang dipilih Musta~fa> Ibrahi>m al-Zula>mi> bahwa amar mutlak yang tidak disertai qarinah itu murni untuk kemutlakan sebuah tuntutan, jadi adanya batasan dari marrah atau tikrar itu sesuai dengan dilalah lughawiyah untuk lafad-lafad bahasa Arab sebagaimana terkandung dalam al-Quran atau dalam Sunnah Nabi SAW.[74]
Perselisihan pendapat Olama tentang sebuah perintah: Berapa kalikah perintah itu harus dikerjakan? Apakah cukup dikerjakan sekali saja atau harus dikerjakan beberapa kali (berulang-ulang)? Dalam hal ini,  sebenarnya dapat disederhanakan dan dikelompokkan kedalam dua pedapat:
Yang Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa setiap ada perintah cukup dikerjakan sekali saja, kecuali ada dalil (perintah) yang menunjukan harus dikerjakan beberapa kali. Kaidah mereka adalah: الأصل في الأمر لا يقتضى التكرار. Misalnya perintah haji dan umroh: وأتموا الحج والعمرة لله . menurut pendapat ini, haji atau umroh itu cukup dikerjakan sekali saja, sebab memang tidak ada keterangan lain yang menyatakan harus dikerjakan beberapa kali.
Yang kedua, pendapat yang mengatakan bahwa setiap ada perintah tidak cukup dikerjakan hanya sekali saja. Kaidah mereka adalah: الاصل في الأمر يقتضى التكرار مدة العمر مع الامكان. Pada dasarnya setiap perintah itu menghendaki berulangnya pengerjaan (dikerjakan beberapa kali) sepanjang umur selama masih mungkin untuk dikerjakan. Berdasarkan kaidah ini, bahwa setiap ada perintah maka harus ditunaikan beberapa kali selama masih ada kesanggupan.[75]
Abdul Wahab Bin Ali Assubki berpendapat, bahwa sebenarnya amar yang bunyi dari qayyid untuk dilaksanakan satu kali atau berulang-ulang, menurut kebanyakan para ulama adalah tergantung bagaimana perintah itu dapat dikerjakan, maka tidak harus dilakukan sekali atau berkali-kali, akan tetapi pekerjaan tersebut tidak akan bisa diselesaikan tanpa suatu pekerjaan apapun, sehingga mengerjakan sekali merupakan suatu keharusan yang dengannya amar bisa diselesaikan.[76]
Bagi al-Talmisa>ni yang dianggap benar, adalah tidak menunjukkan berulang-ulang atau tidak. Karena kadang perintah itu berulang-ulang, kadang tidak.[77] Sedangkan pendapat yang dipilih Musta~fa> Ibrahi>m al-Zulami[78] adalah pendapat yang menyatakan, bahwa amar mutlak yang tidak disertai qarinah itu murni untuk kemutlakan sebuah tuntutan, jadi adanya batasan dari marrah atau tikrar itu sesuai dengan dilalah lughawiyah untuk lafad-lafad bahasa Arab sebagaimana terkandung dalam al-Quran atau dalam Sunnah Nabi SAW.

Contoh kasus: Apakah kewajiban tayammum cukup satu kali shalat saja atau berulang-ulang?”
Pendapat tentang masalah ini, yang diajukan oleh para fuqaha’ berbeda-beda. Bahkan Ulama fiqh berbeda pendapat dalam hal bolehnya melaksanakan sejumlah shalat fardu dengan satu kali tayamum. Menurut Hanafiyah, Hanabilah, Syi’ah Imamiyah dan Dzahiriyah menyatakan bahwa orang yang sudah bertayammum dengan satu kali tayamum boleh melaksanakan shalat sesukanya baik dari shalat-shalat fardu maupun shalat sunnah.[79]
Malikiyiah, Syafi‘iyah dan yang setuju dengannya berpendapat bahwa tidak boleh shalat lebih dari satu shalat fardu saja, jadi harus bertayamum setiap kali mau shalat fardu akan tetapi boleh melaksanakan shalat-shalat yang  sunnah, terkecuali Malikiyah yang berpendapat bahwa jika mutayammim shalat sunah sebelum salat fardu maka tidak sah shalat fardunya.[80]
Dari perbedaan tersebut muncul dari perbedaan pendapat  dalam memahami amar (perintah) bertayamum, apakah amar itu menunjukan marrah atau tikrar? Barang siapa memandang amar itu menunjukkan tikrar, maka berpendapat harusnya berulang-ulang tayamum dengan sebab berulang-ulangnya shalat. Sedangkan yang memandang bahwa amar itu menunjukkan marrah mereka berpendapat bahawa cukup dengan sekali tayamum boleh melaksanakan salat sesuai yang dikehendaki mutayammim baik itu salat fardu mauapun sunnah.
AL-Zanjani dari kalangan ulama Syafi‘iyah berkata:  Imam Syafi‘i berpendapat bahwa mutlaknya amar itu menunut adanya tikrar pendapatnya diikuti oleh sekelompok ulama. Sedangan menurut Hanafiyah amar itu tidak menuntut adanya tikrar.  Cabang dari perbedaan ini muncul persoalan bahwa tidak bolehnya melaksanakan dua shalat fardu dengan satu tayamum menurut as-Syafii.
At-Talmisani, fuqaha dari kalangan Malikiyah berkata: Ibnu Khuwaiz berpandangan terkait masalah tayammum, apakah wajib dilakukan setiap kali mau shalat atau boleh dengan skali tayamum saja sepanjang tidak hadas? Barang siapa mengatakan wajib bertayamum setiap kali mau salat, maka ia memandang firman allah (Fatayammamu Sa}‘idan thayyiba>), amar pada ayat tersebut menunjukkan tikrar. ia mngatakan kebolehan melaksanakan shalat yang banyak dengan satu kali wudhu berdasarkan sunnah.[81]
Ibnu Hazm berpendapat bahwa tayammum itu seprti wudhu maka tidak wajib dilaksanakan kecuali setelah hadas, hal itu bisa dipahami dari nash itu sndiri, jadi orang yang berkata ayat tersbut menunjukkan tikrar sehingga diharuskan bertayamum setiapkali mau shalat  itu keliru. Demikian dikatakan abu Muhammad karena nas ayat tidak mengharuskan bertayamum kecuali terhadap orang yang hadas.[82]

Apakah hak perempuan yang dijatuhi talak dalam hak wakil?
Ulama fikih berbeda pendapat dalam hal hak perempuan yang diserahi talak  demikian dalam hak wakil: talak itu ada talak satu, dua, dan talak tiga.  Barang siapa berkata bahwa amar itu tidak menuntut adanya tikrar, maka ia  berpandangan tidak terjadi bagi permpuan yang di serahi talak dan bagi si wakil kecuali talak satu.
Al-Syasyi dalam kitab ushulnya mengatakan bahwa amar dengan perbuatan  tidak menuntut adanya tikrar, oleh karena itu jika seseorang berkata talaklah isteri saya  kemudian si wakil menolaknya selanjutnya orang tersebut menikahinya lagi, maka tidak bisa si wakil menolak yang kedua kalinya dengan perintah yang awal tadi.[83]

KESIMPULAN

1.       Pengertian amar pada dasarnya tidak harus terlontar dari orang yang lebih tinggi derajatnya atau dengan nada layaknya menyuruh. Meskipun pada dasarnya dalalah amar adalah untuk menunjukan suatu kewajiban, akan tetapi qarinah/keterangan akan lebih banyak berperan dan pengaruh dalam merubah dalalah amar yang asal kepada dalalah lain. Perintah yang diletakan setelah adanya larangan atau permintaan izin, dikembalikan kepada hukum yang asal baik wujub atau yang lainnya, sehingga dalalah amar yang datang setelah laranggan, sama dengan hukum yang dimiliki oleh permasalahan yang disebutkan oleh amar tersebut.
2.       Suatu perintah pada dasarnya tidak memberi pemahaman keharuskan untuk dilakukan secara berulang-ulang ataupun Cuma sekali, akan tetapi pekerjaan yang diperintahkan tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan adanya suatu perbuatan, jadi pekerjaan sekali dalam melakukan perintah adalah suatu keharusan, yang dengannya perintah sudah dilakukan.
3.       Munculnya perbedan-perbedaan ini karena memang amar pada tataran aplikatifnya adakalanya li al-faur  seperti perintah beriman dan adakalnya li al-Tarakhi seperti perintah berhaji.  Imam Syafi’i memilih kesimpulan hukum: jika mengakhirkan haji padahal mampu melaksanakan, maka tidak dosa, Hanafi: segera dan tidak, Musta~fa> Ibrahi>m al-Zula>mi> memilih pendapat yang menyatakan amar li al-faur (segera dikerjakan diawal waktu jika memungkinkan), al-Talmisa>ni> menganggap benar perintah mutlak yang tidak menunjukkan segera atau diakhirkan, tergantung keadaan.
4.       Sedangkan bagi amar yang dari qayyid untuk dilaksanakan satu kali atau berulang-ulang, kebanyakan ulama berpendapat tergantung bagaimana perintah itu dapat dikerjakan, sehingga tidak harus dilakukan sekali atau berkali-kali, akan tetapi mengerjakan sekali merupakan suatu keharusan yang dengannya amar bisa diselesaikan. al-Talmisa>ni> menganggap benar, pendapat yang tidak menunjukkan berulang-ulang atau tidak. Karena kadang perintah itu berulang-ulang, kadang tidak. Pendapat Musta~fa> Ibrahi>m al-Zula>mi> bahwa amar mutlak yang tidak disertai qarinah itu murni untuk kemutlakan sebuah tuntutan, jadi adanya batasan dari marrah atau tikrar itu sesuai dengan dilalah lughawiyah untuk lafaz-lafaz bahasa Arab sebagaimana terkandung dalam al-Quran atau dalam Sunnah Nabi SAW.


BIBLIOGRAPHY

Assubki, Abdul Wahab Bin Ali, Jam’ul Jawami’ , Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003.

Amir, Ja’far, Usul Fiqih, Semarang: Toha Putra, 1972.

Amiruddin, Zen, Usul Fiqih, Yogyakarta: Teras, 2009.

Djazuli, A. & Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam,  Jakarta: RajaGrafindo, 2000.

Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan , Padang Panjang: Sa’adiyah Putra.

Hitu, Muhammad Hasan, al-Wajij fi Us}ul al-Tashri>’ al-Islami>yah, Beirut: Mu‘assat Al-Risalah: 2000.

Hanai, A., Usul Fiqih, ttp.

Munawwir, A.W., Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, tashih: Ali Ma’shum & Zainal Abidin Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Nyazee, Imran Ahsan, Islamic Jurisprudence, Pakistan: Islamic Research Instiyute, 2000.

al-Qorofi, Ahmad bin Idris, Shrhu Tankih al-Fusul, Bairut: Dar al-Fikr, 2004.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008.

al-Talmisa>ni>, Abi Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Maliki> al-Syarif >, Miftah al-Us}ul Fi> Bina>’ al-Furu>‘ ‘Ala> al-Us}u>l

al-Zulami>, Musta~fa> Ibrahi>m, Asbab Ikhtila>f al-Fuqa~ha>’ Fi> al-‘Ahka>m al-Syar‘iyyah.

Zuhaili, Wahbah, Us}u>l Fiqih al-Islami, Bairut: Dar  al-Fikr, 1986.


Postingan terkait: