Tafsir Munir




      A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sumber ajaran islam yang primer setelah hadits. Aplikasi esensi yang ada dalam al qur’an bersifat generalistik dan klasifikatif. Sehingga membutuhkan opsi yang merespond atas generalisasi tersebut, salah satunya menggunakan tafsir.  Wahbah al-Zuhayli merupakan seorang tokoh ulama fiqh dan tafsir abad ke-20 yang terkenal dari Syria. Namanya sebaris dengan tokoh-tokoh Tafsir dan Fuqaha yang telah berjasa dalam dunia keilmuan Islam abad ke-20 seperti Tahir Ashur yang mengarang tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Said Hawwa dalam Asas fi al-Tafsir, Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Quran. Sementara dari segi fuqaha, namanya sebaris dengan Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Shaltut, Ali Muhammad   al-Khafif, Abdul Ghani, Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madkur.[1]
Sebagian besar tafsir kontemporer di warnai dengan berbagai latar belakang keilmuan mufassir, Wahbah az-Zuhaili seorang ahli Fiqh yang berusaha menguraikan ayat-ayat al-Qur’an, dengan sumber, metode, corak, dan karakteristik yang khas.
Disini penulis akan menguraikan tentang biografi Wahbah az-Zuhayli>, karya-karya, aliran, metode serta keistimewaan dan kelebihan dalam tafsirnya.
a)      Riwayat hidup Wahbah az-Zuhayli>
Wahbah az-Zuhayli> lahir di Dair ‘Atiyah yang terletak dipelosok kota Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/1932 M. Nama Lengkapnya Wahbah bin Mustafa az-Zuhayli>. Ia putera syaikh Mustafa az-Zuhayli>, seorang petani sederhana nan alim, hafal al-Qur’an, rajin beribadah, dan gemar berpuasa. Dibawah bimbingan ayahnya , Wahbah mengenyam dasar-dasar agama Islam  salah satunya melalui pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun 1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di al-Azhar dan Fakultas Syari’ah di Universitas ‘Ain  Syam dalam waktu  yang  bersamaan [2] yang  saat itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1.      Ijazah B.A dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2.      Ijazah Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957
3.      Ijazah B.A dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957.
Dalam masa lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Gelar sarjana diraihnya pada tahun 1953 M di Fakultas Sha>ri’ah Universitas Damaskus. Tahun 1956 M. ia meraih gelar doktor dalam bidang Sha>ri’ah dari Universitas al-Azhar, Kairo[3] Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di Fakultas Sha>ri’ah Universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami> wa Madha>habih di Fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsi>r dan Dira>sah Isla>miyyah.[4]
Adapun guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w.1948M);  ilmu faraid dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M); ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul  fiqh dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Selainitu selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut (w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M), Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad Hafiz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-‘alam bi Inkhitat al-Muslimin.[5]      

b)     Karya-karyanya
Muhammad Ali Ayazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manahijuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara tafsîr bi al-Ma’tsûr dengan tafsîr bi ar-ra’yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya. Sedangkan referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munir adalah sebagai berikut :
1.      Bidang Tafsir : Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshas, Al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari, Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurtubi, Tafsir Ath-thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari, At-Tafsir al-Kabir karya Imam Fakhruddin ar- Razi, Majma’ al-Fatawa karya Ibn Taymiyah, Fath al-Qadir karya Imam Asy-Sy aukani, Mahasin at-Ta’wil karya al-Qasimi, Mashahif karya Sajistani, Raudlat an-Nadhir karya, Ta’wil Musykil al-Qur’an karya Ibn Qutaiba, Tafsir al-Alusi karya Syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah, Tafsir Al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf, Tafsir al-Maraghi karya Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syaikh Muhammad  ‘Ali as-Sayis, Tafsir Ibn Kastir Ismail bin Umar bin Katsir, Talkhis al-Fawaid karya Ibn al-Qash, Tafsir al-Kkhazin karya Abu Hasan Ali bin Muhammad, Tafsir Baidhawi karya Al-Baidhawi
2.      Bidang Ulum al-qur’an : Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Itqan karya Imam suyuti, Dalail al-I’jaz fi ‘ilm al-Ma’ani karya Imam Abd Qadir al-Jurjani, Mabahist fi ‘Ulum al-qur’an karya Shubhi Shalih, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul karya Imam Suyuthi, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi, I’jaz al-Qur’an karya Imam al-Baqilani, I’jaz al-qur’an karya Imam Rafi’I, Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqon karya Hasan al-Qammi an-Naisburi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi, Tanasuq ad-durar fi Tanasub as-Suwar karya Imam Suyuthi
3.      Bidang Hadist : Al-Mustadrak karya Imam Hakim,  Ad-dalail an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi, Al-kabir karya ath-Thabrani, Shahih al-Bukhari karya Muahammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Sunan Tirmidzi karyaMuhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Musnad Ahmad bin Hambal, Nail al-Authar, Subul as-Salam, ‘Umdat al_Qari Sarh Al-Bukhari karya al-‘Aini, Musnad Al-Fidaus karya Ad-Dailami, Sunan Ibn Majah karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain, Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin Asy’ast bin Syadad, Sunan Nasai karya Ahmad bin Syu’aib Abu Abd  ar-Rahman an-Nasai.
4.      Bidang Ushul Fiqh dan Fiqh : Bidayat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-Hafidz, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili, Ar-Risalah karya Imam Syafi’I, Al-Mushtafa karya Imam al-Ghazali, Mughn al-Muhtaj karya.
5.      Bidang Teologi : Al-Kafi karya Muhammad bin Ya’qub, Asy-Syafi Syarh Ushul al-Kafi karya ‘Abdullah Mudhhaffar, Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.
6.      Bidang Tarikh : Sirah Ibn Hisyam Abu Muhammad bin Malik bin Hisyam, Muqaddimah karya Ibn Khaldun, Qashash al-Anbiya karya Abd al-Wahhab an-Najjar, Tarikh al-Fiqh al-Islami karya Sayis.
7.      Bidang Luhgat : Mufradat ar-Raghib karya al-Ashfihani, Al-Furuq karya al-Qirafi, Lisan al-‘Arab karya Ibn al-Mandhur .
8.      Bidang Umum : Majallah ar-Risalah, Majallah al-Muqtatif.[6]

c)      Metode kitab tafsir al-Munir
Metode yang berkembang dalam penafsiran al-Qur’an terdapat empat macam,yakni: Tahlili, Ijmali, Muqa>rin, Maudhu’i,[7]
Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an. Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhayli> pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan  menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.[8]
Dengan demikian metode penafsiran yang dipakai adalah  metode tahlili [9] dan semi tematik, karena beliau menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai  lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa.[10] Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan. Menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushaf.[11]
Dalam al-Mufassirun H{ayatuhun wa Manhajatuhum, Ali Iyazi mengatakan bahwa tafsir Wahbah ini menggabungkan corak Tafsir bi ar-Ra’yi (berdasar akal) dan Tafsir bi ar-Riwayah (berdasar riwayat), serta menggunakan bahasa kontemporer yang lugas dan mudah dimengerti. Ia menulis tafsir ini sudah merampungkan dua bukunya, Us}ul al-Fiqh al-Islami dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
Dalam pengantar tafsir al-Munir, Wahbah menerangkan bahwa penafsirannya berlandaskan pada ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis shahih. Ia mengurai asbabun nuzul dan Takhrij al-Hadith, menghindari cerita-cerita Isra’iliyyat , riwayat yang lemah, dan polemik yang berlarut-larut. Tafsir ini dipublikasikan oleh penerbit Maktabah al-Babi al-Halabi (Kairo) pada tahun 1957 M.[12]
Dari penjelasan diatas penulis dapat merinci bahwa dalam metode tafsir yang digunakan oleh Wahbah az-Zuhaily dilihat dari berbagai segi,diantaranya adalah:
1.      Segi Sumber, yakni penggabungan antara tafsir bi al-Ra’yi, tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Iqtiron.
2.      Segi cara penjelasan, yakni menggunakan Muqorin dan Bayani
3.      Segi keluasan penjelasan, yaitu menggunakan metode Ijmali dan al-Tafsily.
4.      Segi sasaran dan tertib ayat, dengan metode tahlili, maudhu’i, dan nuzuli.

d)     Kecenderungan/Alirannya
Wahbah dibesarkan di kalangan ulama-ulama madhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam madhab fiqh, walaupun bermadhab Hanafi,[13] namun dia tidak fanatik dan menghargai pendapat-pendapat madhab lain, hal ini dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan Fiqh.
Terlihat dalam membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai dalam fiqh juga terkadang menggunakan alasan medis, dan juga dengan memberikan informasi yang seimbang dari masing-masing madhab, kenetralannya juga terlihat dalam penggunaan referensi, seperti mengutip dari Ah}kam al-Qur’an karya al-Jashshas  untuk pendapat madhab Hanafi, dan Ah}kam al-Qur’an karya al-Qurtubi untuk pendapat madhab Maliki.
Sedangkan dalam masalah teologis, beliau cenderung mengikuti paham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah “Melihat Tuhan” di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat al-An’am ayat 103.[14]
Dalam tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhayli ini kecenderungannya terhadap bahasa atau lughah bila dilihat dari penulisannya,sedangkan dalam hukum yang tedapat dalam karyanya lebih cenderung pada paham ahl al-Sunnah.

e)      Penulisan dan Penerbitan
Tafsir Munir ditulis beliau selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan disajikan dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna. Tafsir al_Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al_Fikri Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq Suriya dalam 16 jilid pada tahun 1991 M/1411 H.

f)       Motivasi dan Tujuan
Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu’ran secara ilmiah.[15]
Dalam hal ini, Ali Ayazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih pembaharuan.[16] Seperti penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.[17]

g)      Corak dan karakteristik
Ada tujuh corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu’i di antaranya adalah: al-tafsir bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi, altafsir al-shufi, al-tafsir fiqh, al-tafsir falsafi, tafsir al-‘ilm, dan tafsir adabi ‘ijtima’i,[18] maka  corak tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat simpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak ‘addabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang  Wahbah az-Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat.[19] Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi al-‘ilmi, karena memang sudah disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer. Adapun Karakteristik Wahbah dalam penulisan tafsirnya adalah sebagai berikut:

1.       Pengelompokan tema.
2.       Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-ayat yang dikelompokan.
3.       Mencantumkan materi-materi yang dimuat dalam ushul al-Fiqh
4.       Mengakomodir perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
5.       Mencantumkan catatan kaki (footnote) dalam pengutipan karya orang lain.

h)     Sistematika
Secara sistematika sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya. Kedua, tafsir dan bayan,[20] yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98.[21] Namun, jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari surat al-Baqarah.[22]
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia.[23] Dan ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk menguraikannya  sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.[24]
Dengan melihat fakta data-data di atas, maka Wahbah Zuhaili memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd ar-Rahman bagi  seorang mufassir, diantara kriterianya adalah sebagai berikut :
1.       Muthabaqat tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang diperlukan , tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan makam serta menjaga dari penimpangan makna dan yang dikehendaki al-Qur’an;
2.       Menjaga makna haqiqi dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi tapi di bawa kedalam makna majazi atau sebaliknya;
3.       Muraat ta’lif antara makna dan tujuan yang sesuai dengan pembicaraan dan kedekatan antar kata;
4.       Menjaga tanasub antar ayat;
5.       Memperhatikan asbab an-nuzul;
6.       Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq (derivasi) yang berhubungan dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib;
7.       Menghindari idd’a pengulangan al-Qur’an.[25]

i)        Keistimewaan dan contohnya
Keistimewaan Tafsir Munir ialah terdapat pada metode pembahasannya yang secara merata, urut dan tuntas mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-Nas, berdasarkan urutan surah dalam al-Mushaf al-Usmani. Hal ini sangat mempermudah dalam memahami maksud dan penjelasan setiap surah yang ada didalam tafsir Munir.
Adapun keistimewaan yang utama bahwa tafsir Munir menggunakan metodologi bi al-Ma’tsur dan al-Ra’yi. Bi al-Ma’tsur yakni menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan dengan hadith Nabi, riwayat dari para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’u at-Tabi’in. Metodologi ini adalah metodologi terbaik dalam manafsirkan al-Qur’an sebagaimana yang diungkapkan oleh Shaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Ibnu Kathur, dan Imam al-Zarkashi.[26] Beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat.
Contoh penafsiran Wahbah az-Zuhaily> dalam Ayat Ah}kam tentang Ibadah dan Muamalat.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Ahkam Wahbah mengambil langkah-langkah, diantaranya:
1.      Menentukan Dilalah an-Nas}  yang terdapat dalam ayat tersebut.
2.      Menentukan jenis ayat tersebut, apa Mutashabihat atau Muhkamat.
3.      Memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam istinbat} ayat ahkam.
4.      Memperhatikan kaidah umum yang berhubungan dengan al-Qur’an.[27]
Ada dua aspek ayat ahkam yang ditafsirkan oleh Wahbah yaitu, yang pertama aspek ibadah, diantara yang dikaji dalam aspek ini adalah permasalahan haid, menghadap kiblat, dan shalat Qas}r. Wahbah hanya mengemukakan beberapa pendapat yang berhubungan dengan shalat Qas}r, seperti pendapat ulama Hanafi ulama Shafi`i mengenai hukum shalat Qas}r. Jika kalangan Hanafi berpendapat bahwa shalat Qas}r bagi musafir adalah suatu keharusan `azimah berdasarkan hadith Umar, maka kalangan Shafi`i menganggapnya rukhsah atau takhyir berdasarkan Hadith ‘Aishah, dalam masalah ini Wahbah tidak menentukan pendapat pribadinya dan tidak melakukan tarjih terhadap perbedaan tersebut.
Kedua, aspek muamalat, diantara aspek yang dikaji dalam masalah muamalat adalah kawin lintas agama, adil dalam menetapkan hukum, etika memasuki rumah, dan ayat-ayat tentang gender.[28]
Penulis mengambil contoh penafsiran Wahbah tentang ayat ahkam dengan pertimbangan bahwa beliau adalah seorang fuqaha, adapun contoh yang akan diambil adalah tema “al-Haiz} wa Ah}ka>muhu yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 222-223.
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222-223
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ


“ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Hendaklah menjauhkan diri maksudnya ialah menyetubuhi wanita di waktu haid. Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci maksudnya ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ̍Ïe±o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËËÌÈ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Penutup
            Tafsir al-Munir merupakan tafsir kontemporer, yang disusun oleh ahli fiqh yakni Wahbah az-Zuhaily yang dilahirkan di Shiria, Damaskus. Dalam menafsirkan al-Qur’an dalam tafsir al-Munirnya beliau menggunakan gaya bahasa yang mudah dicerna dan dipahami serta analisis-analisis yang relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan menjawab kegelisahan pengarang tentang keadaan jaman di mana kecenderungan pada gaya hidup hedonisme masyarakat, semakin menjauhkannya dari al-Qur’an.



Daftar Pustaka


Ayazi, Sayyid Muhammad Ali. Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manahijuhum. Teheran: Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th. 1993

Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002,

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008.
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Izzan, M.. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakkur. 2007.
Zuhayli (Az), Wahbah. Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj. Dimasyq : Dar al-Fikri. 1998.

Postingan terkait: