A. Pendahuluan
Al-Qur’an
adalah sumber ajaran islam yang primer setelah hadits. Aplikasi esensi yang ada
dalam al qur’an bersifat generalistik dan klasifikatif. Sehingga membutuhkan
opsi yang merespond atas generalisasi tersebut, salah satunya menggunakan
tafsir. Wahbah al-Zuhayli merupakan seorang tokoh ulama
fiqh dan tafsir abad ke-20 yang terkenal dari Syria. Namanya
sebaris dengan tokoh-tokoh Tafsir dan Fuqaha yang telah berjasa dalam dunia
keilmuan Islam abad ke-20 seperti Tahir Ashur yang mengarang tafsir al-Tahrir
wa al-Tanwir, Said Hawwa dalam Asas fi al-Tafsir, Sayyid Qutb dalam Fi
Zilal al-Quran. Sementara dari segi fuqaha, namanya sebaris dengan Muhammad
Abu Zahrah, Mahmud Shaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul Ghani,
Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madkur.[1]
Sebagian
besar tafsir kontemporer di warnai dengan berbagai latar belakang keilmuan
mufassir, Wahbah az-Zuhaili seorang ahli Fiqh yang berusaha menguraikan
ayat-ayat al-Qur’an, dengan sumber, metode, corak, dan karakteristik yang khas.
Disini penulis akan
menguraikan tentang biografi Wahbah az-Zuhayli>, karya-karya, aliran, metode serta keistimewaan dan kelebihan dalam tafsirnya.
a) Riwayat hidup Wahbah
az-Zuhayli>
Wahbah az-Zuhayli> lahir di Dair ‘Atiyah yang terletak dipelosok kota
Damaskus, Suriah, pada tahun 1351 H/1932 M. Nama Lengkapnya Wahbah bin Mustafa az-Zuhayli>. Ia putera syaikh Mustafa
az-Zuhayli>, seorang petani sederhana
nan alim, hafal al-Qur’an, rajin beribadah, dan gemar berpuasa. Dibawah
bimbingan ayahnya , Wahbah mengenyam dasar-dasar agama Islam salah satunya melalui pendidikan dasar di desanya, Pada tahun 1946, pada tingkat menengah
beliau masuk pada jurusan Syariah di Damsyiq selama 6 tahun hingga pada tahun
1952 mendapat ijazah menengahnya, yang dijadikan modal awal dia masuk pada
Fakultas Syariah dan Bahasa Arab di al-Azhar dan Fakultas Syari’ah di
Universitas ‘Ain Syam dalam waktu yang bersamaan [2] yang saat itu Wahbah memperoleh tiga Ijazah antara lain :
1. Ijazah B.A
dari fakultas Syariah Universitas al-Azhar pada tahun 1956
2. Ijazah
Takhasus Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun
1957
3. Ijazah B.A
dari Fakultas Syari’ah Universitas ‘Ain Syam pada tahun 1957.
Dalam masa
lima tahun beliau mendapatkan tiga ijazah yang kemudian diteruskan ke tingkat
pasca sarjana di Universitas Kairo yang ditempuh selama dua tahun dan
memperoleh gelar M.A dengan tesis berjudul “al-Zira’i fi as-Siyasah
as-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami”, dan merasa belum puas dengan
pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang diselesaikannya pada
tahun 1963 dengan judul disertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Isalmi”
di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Gelar sarjana diraihnya pada
tahun 1953 M di Fakultas Sha>ri’ah
Universitas Damaskus. Tahun 1956 M. ia meraih gelar doktor dalam bidang Sha>ri’ah dari Universitas al-Azhar, Kairo[3] Pada tahun 1963 M, ia diangkat sebagai dosen di Fakultas
Sha>ri’ah Universitas Damaskus dan secara berturut-turut
menjadi Wakil Dekan, kemudian Dekan dan Ketua Jurusan Fiqh Islami> wa Madha>habih di Fakultas yang sama. Ia mengabdi selama lebih dari
tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang Fiqh, Tafsi>r dan Dira>sah Isla>miyyah.[4]
Adapun
guru-gurunya adalah Muhammad Hashim al-Khatib al-Syafie, (w. 1958M) seorang
khatib di Masjid Umawi. Beliau belajar darinya fiqh al-Syafie; mempelajari ilmu
Fiqh dari Abdul Razaq al-Hamasi (w. 1969M); ilmu Hadits dari Mahmud Yassin
(w.1948M); ilmu faraid dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957M), Hassan
al-Shati (w. 1962M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-Midani (w. 1978M);
ilmu bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986M); ilmu usul fiqh
dan Mustalah Hadits dari Muhammad Lutfi al-Fayumi (w. 1990M); ilmu akidah dan
kalam dari Mahmud al-Rankusi.
Selainitu selama
di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395H), Mahmud Shaltut
(w. 1963M) Abdul Rahman Taj, Isa Manun (1376H), Ali Muhammad Khafif (w. 1978M),
Jad al-Rabb Ramadhan (w.1994M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w.1983M) dan Muhammad
Hafiz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan
Abdul Rahman Azam seperti al-Risalah al-Khalidah dan buku karangan Abu
Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al-‘alam bi Inkhitat al-Muslimin.[5]
b) Karya-karyanya
Muhammad Ali
Ayazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manahijuhum, mengatakan
bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara tafsîr bi
al-Ma’tsûr dengan tafsîr bi ar-ra’yi, serta menggunakan gaya bahasa
dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi
generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan
topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya. Sedangkan referensi-referensi
yang digunakan Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munir adalah sebagai berikut :
1. Bidang Tafsir : Ahkam
al-Qur’an karya Ibn
al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshas, Al-Kasyaf karya
Imam Zamakhsyari, Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho, Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an karya Al-Qurtubi, Tafsir Ath-thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari, At-Tafsir al-Kabir karya Imam Fakhruddin ar- Razi, Majma’ al-Fatawa karya Ibn Taymiyah, Fath al-Qadir karya Imam Asy-Sy aukani, Mahasin at-Ta’wil karya al-Qasimi, Mashahif karya Sajistani, Raudlat an-Nadhir karya, Ta’wil Musykil al-Qur’an karya Ibn Qutaiba, Tafsir al-Alusi karya Syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah, Tafsir Al-Bahr al-Muhith karya Imam Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf, Tafsir al-Maraghi karya Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syaikh Muhammad ‘Ali as-Sayis, Tafsir Ibn Kastir Ismail bin Umar bin Katsir, Talkhis al-Fawaid karya Ibn al-Qash, Tafsir
al-Kkhazin karya Abu
Hasan Ali bin Muhammad, Tafsir
Baidhawi karya Al-Baidhawi
2.
Bidang Ulum al-qur’an : Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Itqan karya
Imam suyuti,
Dalail al-I’jaz fi ‘ilm
al-Ma’ani karya Imam
Abd Qadir al-Jurjani, Mabahist fi
‘Ulum al-qur’an karya
Shubhi Shalih,
Lubab an-Nuqul fi Asbab
an-Nuzul karya Imam
Suyuthi, Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi, I’jaz al-Qur’an karya Imam al-Baqilani, I’jaz al-qur’an karya Imam Rafi’I, Gharaib
al-Qur’an wa Raghaib al-Furqon karya Hasan al-Qammi an-Naisburi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi, Tanasuq ad-durar fi Tanasub as-Suwar karya Imam Suyuthi
3.
Bidang Hadist : Al-Mustadrak karya Imam Hakim, Ad-dalail an-Nubuwwah karya Imam
Baihaqi, Al-kabir karya ath-Thabrani, Shahih al-Bukhari karya
Muahammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhari, Sunan Tirmidzi karyaMuhammad
bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi, Musnad Ahmad bin Hambal, Nail
al-Authar, Subul as-Salam, ‘Umdat al_Qari Sarh Al-Bukhari
karya al-‘Aini, Musnad Al-Fidaus karya Ad-Dailami, Sunan Ibn Majah
karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Shahih Muslim
karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain, Sunan Abi Dawud karya Sulaiman
bin Asy’ast bin Syadad, Sunan Nasai karya Ahmad bin Syu’aib Abu
Abd ar-Rahman an-Nasai.
4.
Bidang Ushul Fiqh dan
Fiqh : Bidayat
al-Mujtahid karya Ibn
Rusyd al-Hafidz, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhaili, Usul
al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili, Ar-Risalah karya Imam
Syafi’I, Al-Mushtafa karya Imam al-Ghazali, Mughn al-Muhtaj
karya.
5.
Bidang Teologi : Al-Kafi karya Muhammad bin Ya’qub, Asy-Syafi Syarh Ushul al-Kafi karya
‘Abdullah Mudhhaffar, Ihya ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali.
6.
Bidang Tarikh : Sirah Ibn Hisyam Abu Muhammad bin Malik bin Hisyam, Muqaddimah
karya Ibn Khaldun, Qashash al-Anbiya karya Abd al-Wahhab an-Najjar, Tarikh
al-Fiqh al-Islami karya Sayis.
7.
Bidang Luhgat : Mufradat ar-Raghib karya al-Ashfihani, Al-Furuq karya
al-Qirafi, Lisan al-‘Arab karya Ibn al-Mandhur .
c)
Metode kitab tafsir al-Munir
Metode yang berkembang dalam
penafsiran al-Qur’an terdapat empat macam,yakni: Tahlili, Ijmali,
Muqa>rin, Maudhu’i,[7]
Dengan mengamati beberapa
metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum al-Qur’an. Secara metodis
sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhayli> pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan
dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara
garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa,
dengan menjelaskan beberapa istilah yang
termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan
gramatika bahasanya.[8]
Dengan demikian metode
penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili [9]
dan semi tematik, karena beliau
menafsirkan al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nas dan
memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya, seperti
dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang
mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa.[10]
Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap
kelompok ayat yang saling berhubungan. Menguraikan makna yang dikandung oleh
al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam
mushaf.[11]
Dalam al-Mufassirun H{ayatuhun wa Manhajatuhum, Ali Iyazi mengatakan bahwa tafsir Wahbah ini menggabungkan corak Tafsir
bi ar-Ra’yi (berdasar akal) dan Tafsir bi ar-Riwayah (berdasar
riwayat), serta menggunakan bahasa kontemporer yang lugas dan mudah dimengerti.
Ia menulis tafsir ini sudah merampungkan dua bukunya, Us}ul al-Fiqh al-Islami dan al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
Dalam pengantar tafsir
al-Munir, Wahbah menerangkan bahwa penafsirannya berlandaskan pada ayat
Al-Qur’an dan hadis-hadis shahih. Ia mengurai asbabun nuzul dan Takhrij al-Hadith,
menghindari cerita-cerita Isra’iliyyat , riwayat yang lemah, dan polemik
yang berlarut-larut. Tafsir ini dipublikasikan oleh penerbit Maktabah al-Babi
al-Halabi (Kairo) pada tahun 1957 M.[12]
Dari penjelasan diatas
penulis dapat merinci bahwa dalam metode tafsir yang digunakan oleh Wahbah
az-Zuhaily dilihat dari berbagai segi,diantaranya adalah:
1. Segi Sumber, yakni penggabungan antara tafsir bi
al-Ra’yi, tafsir bi al-Ma’tsur dan bi al-Iqtiron.
2. Segi cara penjelasan, yakni menggunakan Muqorin dan
Bayani
3. Segi keluasan penjelasan, yaitu menggunakan metode
Ijmali dan al-Tafsily.
4. Segi sasaran dan tertib ayat, dengan metode tahlili,
maudhu’i, dan nuzuli.
d) Kecenderungan/Alirannya
Wahbah dibesarkan di
kalangan ulama-ulama madhab Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam madhab
fiqh, walaupun bermadhab Hanafi,[13]
namun dia tidak fanatik dan menghargai pendapat-pendapat madhab lain, hal ini
dapat dilihat dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang
berhubungan dengan Fiqh.
Terlihat dalam membangun
argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai dalam fiqh juga terkadang
menggunakan alasan medis, dan juga dengan memberikan informasi yang seimbang
dari masing-masing madhab, kenetralannya juga terlihat dalam penggunaan
referensi, seperti mengutip dari Ah}kam al-Qur’an karya al-Jashshas
untuk pendapat madhab Hanafi, dan Ah}kam al-Qur’an karya al-Qurtubi untuk pendapat madhab Maliki.
Sedangkan dalam masalah
teologis, beliau cenderung mengikuti paham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak
pada sikap fanatis dan menghujat madhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya
tentang masalah “Melihat Tuhan” di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat
al-An’am ayat 103.[14]
Dalam tafsir al-Munir karya
Wahbah az-Zuhayli ini kecenderungannya terhadap bahasa atau lughah bila dilihat
dari penulisannya,sedangkan dalam hukum yang tedapat dalam karyanya lebih
cenderung pada paham ahl al-Sunnah.
e)
Penulisan dan Penerbitan
Tafsir Munir ditulis beliau selama rentang waktu 16 tahun
setelah selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2
jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai
penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili
terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an. Dan
disajikan dengan bahasa yang simple dan mudah dicerna. Tafsir al_Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al_Fikri
Beirut-Libanon dan Dar al-Fikri Damsyiq Suriya dalam 16 jilid pada tahun
1991 M/1411 H.
f)
Motivasi dan Tujuan
Dalam
Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah
menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu’ran secara
ilmiah.[15]
Dalam hal
ini, Ali Ayazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah
memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena
menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik
tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para
mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat
al-Quran dengan dalih pembaharuan.[16] Seperti
penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic
keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas
dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu
pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.[17]
g) Corak
dan karakteristik
Ada tujuh
corak penafsiran seperti pendapat yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi
dalam bukunya muqaddimah fi al-tafsir al-maudhu’i di antaranya adalah: al-tafsir
bi al-ma’tsur, al-tafsir bi al-ra’yi, altafsir al-shufi, al-tafsir fiqh,
al-tafsir falsafi, tafsir al-‘ilm, dan tafsir adabi ‘ijtima’i,[18]
maka corak tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada
penulis dapat simpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak ‘addabi ‘ijtima’i dan
fiqhi, karena memang Wahbah az-Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh
namun dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang
sangat teliti, penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang
dan dibutuhkan dalam di tengah-tengah masyarakat.[19] Sedikit
sekali dia menggunakan tafsir bi al-‘ilmi, karena memang sudah
disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter
beberapa penyimpangan tafsir kontemporer. Adapun
Karakteristik Wahbah dalam penulisan tafsirnya
adalah sebagai berikut:
1. Pengelompokan
tema.
2.
Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat
al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw
al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-ayat yang dikelompokan.
3. Mencantumkan
materi-materi yang dimuat dalam ushul al-Fiqh
4. Mengakomodir
perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat ahkam
5. Mencantumkan
catatan kaki (footnote) dalam pengutipan karya orang lain.
h) Sistematika
Secara
sistematika sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal
surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat
tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap
tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama,
aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah
ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya. Kedua,
tafsir dan bayan,[20] yaitu
deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan
tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang
terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau mempersingkat penjelasannya jika
dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti terlihat dalam
penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98.[21] Namun,
jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh
dalam ayat 106 dari surat al-Baqarah.[22]
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian
tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang
berhubungan dengan realitas kehidupan manusia.[23] Dan
ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk menguraikannya
sesuai dengan hasil ijtihadnya.
Az-Zuhaili
sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an yang didasarkan
pada al-Qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab an-nuzul
dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat,
riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.[24]
Dengan
melihat fakta data-data di atas, maka Wahbah Zuhaili memenuhi sebagian besar
kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd ar-Rahman bagi seorang mufassir,
diantara kriterianya adalah sebagai berikut :
1. Muthabaqat tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi
penjelasan makna yang diperlukan , tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan
tujuan dan makam serta menjaga dari penimpangan makna dan yang dikehendaki
al-Qur’an;
2.
Menjaga makna haqiqi dan makna majazi,
yang dimaksud makna haqiqi tapi di bawa kedalam makna majazi atau
sebaliknya;
3.
Muraat ta’lif antara makna dan tujuan yang sesuai dengan
pembicaraan dan kedekatan antar kata;
4.
Menjaga tanasub antar ayat;
5.
Memperhatikan asbab an-nuzul;
6.
Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq
(derivasi) yang berhubungan dengan lafadz disertai dengan pembahasan
dengan tarakib;
i)
Keistimewaan dan contohnya
Keistimewaan Tafsir Munir
ialah terdapat pada metode pembahasannya yang secara merata, urut dan tuntas
mulai dari surah al-Fatihah sampai dengan surah an-Nas, berdasarkan urutan surah
dalam al-Mushaf al-Usmani. Hal ini sangat mempermudah dalam memahami maksud dan
penjelasan setiap surah yang ada didalam tafsir Munir.
Adapun keistimewaan yang
utama bahwa tafsir Munir menggunakan metodologi bi al-Ma’tsur dan al-Ra’yi. Bi al-Ma’tsur
yakni menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan dengan hadith
Nabi, riwayat dari para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’u at-Tabi’in. Metodologi ini
adalah metodologi terbaik dalam manafsirkan al-Qur’an sebagaimana yang
diungkapkan oleh Shaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Ibnu Kathur, dan Imam al-Zarkashi.[26]
Beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti,
penafsirannya juga disesuaikan dengan situasi yang berkembang dan dibutuhkan
dalam di tengah-tengah masyarakat.
Contoh penafsiran Wahbah
az-Zuhaily> dalam Ayat Ah}kam tentang Ibadah dan Muamalat.
Dalam menafsirkan ayat-ayat
Ahkam Wahbah mengambil langkah-langkah, diantaranya:
1. Menentukan Dilalah an-Nas} yang terdapat dalam ayat tersebut.
2. Menentukan jenis ayat tersebut, apa Mutashabihat
atau Muhkamat.
3. Memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam istinbat} ayat ahkam.
4. Memperhatikan kaidah umum yang berhubungan dengan
al-Qur’an.[27]
Ada dua aspek ayat ahkam
yang ditafsirkan oleh Wahbah yaitu, yang pertama aspek ibadah, diantara yang
dikaji dalam aspek ini adalah permasalahan haid, menghadap kiblat, dan shalat Qas}r. Wahbah hanya mengemukakan beberapa pendapat yang
berhubungan dengan shalat Qas}r, seperti
pendapat ulama Hanafi ulama Shafi`i mengenai hukum shalat Qas}r. Jika kalangan Hanafi berpendapat bahwa shalat Qas}r bagi musafir adalah suatu keharusan `azimah
berdasarkan hadith Umar, maka kalangan Shafi`i menganggapnya rukhsah atau
takhyir berdasarkan Hadith ‘Aishah, dalam masalah ini Wahbah tidak menentukan
pendapat pribadinya dan tidak melakukan tarjih terhadap perbedaan tersebut.
Kedua, aspek muamalat,
diantara aspek yang dikaji dalam masalah muamalat adalah kawin lintas agama,
adil dalam menetapkan hukum, etika memasuki rumah, dan ayat-ayat tentang
gender.[28]
Penulis mengambil contoh
penafsiran Wahbah tentang ayat ahkam dengan pertimbangan bahwa beliau adalah
seorang fuqaha, adapun contoh yang akan diambil adalah tema “al-Haiz} wa Ah}ka>muhu” yang
terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 222-223.
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222-223
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
“ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haid itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Hendaklah menjauhkan diri
maksudnya ialah menyetubuhi wanita di waktu haid. Dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci maksudnya ialah sesudah mandi. Adapula yang
menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n=B 3 ÌÏe±o0ur úüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËËÌÈ
“Istri-istrimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Penutup
Tafsir al-Munir merupakan tafsir kontemporer, yang disusun oleh ahli
fiqh yakni Wahbah az-Zuhaily yang dilahirkan di Shiria, Damaskus. Dalam
menafsirkan al-Qur’an dalam tafsir al-Munirnya beliau menggunakan gaya bahasa
yang mudah dicerna dan dipahami serta analisis-analisis yang relevan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada masa sekarang dan menjawab kegelisahan
pengarang tentang keadaan jaman di mana kecenderungan pada gaya hidup hedonisme
masyarakat, semakin menjauhkannya dari al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Ayazi, Sayyid Muhammad Ali. Al-Mufassirun Hayatuhum
wa Manahijuhum. Teheran: Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al-Islam, th.
1993
Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002,
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008.
Muhaimin, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Izzan, M.. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung:
Tafakkur. 2007.
Zuhayli (Az), Wahbah. Tafsîr Al-Munîr Fi Al-‘Aqîdah
wa Asy-Syarî’ah wa al-Manhaj. Dimasyq : Dar al-Fikri. 1998.