A. Biografi
Ahmad Musthofa Al-Maraghi.
Nama lengkap Ahmad Mustafa Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa bin
Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Maraghi, lahir di kota Maragah, sebuah kota
yang terletak dipinggiran sungai Nil, kira kira 70 Km arah selatan kota Kairo
Mesir, Pada Tahun 1300 H/1883 M. ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Maragi
karena dinisbahkan pada kota kelahirannya.
Ayahnya
yang hakim mempunyai 8 orang anak, yang lima di antaranya laki-laki, yaitu
Muhammad Musthafa al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Abdul Aziz al-Maraghi,
Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa’ Mustafa al-Maraghi. Karena
nama-nama yang mirip tersebut, tak jarang orang salah mengira tentang penulis
tafsir al-Maraghi yang sebenarnya. Kebetulan beberapa saudara Ahmad Musthafa
juga ahli tafsir, bahkan Muhammad Musthafa sempat menulis tafsir beberapa surah
dalam Al-Quran.
Pada tahun 1314 H/1897 M, Al-Maragi menempuh kuliah di Universitas
Al-Azhar dan Universitas Darul ‘Ulum di Kairo, karena kecerdasannya yang luar
biasa, ia mampu menyelesaikan pendidikannya di dua Universitas itu pada tahun
yang sama, yaitu 1909 M.
Di dua Universitas itu, ia menyerap ilmu dari beberapa ulama
kenamaan seperti Muhammad Abduh, Muhammad Bukhait al-Muthi’I, Ahmad Rifa’I
al-Fayumi, Muhammad Rasyid Ridha dan lain lain, mereka memiliki andil yang
sangat besar dalam membentuk intelektualitas al-Maragi. Kegigihan menuntut ilmu
telah membuahkan hasil, al-Maragi sangat cakap pada semua bidang ilmu agama.
Al-Maraghi mengabdikan diri sebagai guru di beberapa madrasah, tak
lama kemudian ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Al-Mu’allimin di Fayum,
sebuah kota yang terletak 300 Km arah barat kota Kairo, kemudian pada tahun
1916-1920 M, ia diangkat menjadi dosen tamu di Fakultas Filial Universitas
Al-Azhar, di Khartoum Sudan.
Setelah itu, al-Maragi diangkat sebagai dosen bahasa arab di
Universitas Darul ‘Ulum serta dosen ilmu Balaghah dan kebudayaan pada Fakultas
bahasa arab di Universitas al-Azhar. Dalam rentang waktu yang sama ia juga
masih memberikan ilmunya dibeberapa madrasah, antara lain Ma’had Tarbiyah
Mu’allimin, ia pun dipercaya menakhodai Madrasaah Usman Basya di Kairo.
Al-Maragi merupakan potret ulama yang mengabdikan hampir seluruh
waktunya untuk kepentingan ilmu, di sela sela mengajar, ia tetap menyisihkan
waktunya untuk menulis, salah satu karya monumentalnya adalah Tafsir
al-Qur’an al-Karim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Al-Maragi. Tafsir
ini ditulis selama kurang lebih 10 tahun, sejak tahun 1940-1950 M, menurut
sebuah sumber ketika al-Maragi menulis tafsirnya, ia hanya beristirahat selama
4 jam sehari, dalam 20 jam yang tersisa, ia menggunakannya untuk mengajar dan
menulis.
Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira kira 3.00
al-Maragi memulai aktivitasnya dengan sholat tahajud dan hajat, memohon doa dan
petunjuk Allah, kemudian ia menulis tafsir, ayat demi ayat, pekerjaan itu
diistirahatkan ketika berangkat kerja, pulang kerja, ia tidak langsung melepas
lelah sebagaimana orang lain, aktivitas tulis menulisnya yang sempat terhenti,
dilanjutkan kembali, kadang kadang sampai jauh malam,
Dalam mukaddimah tafsirnya al-Maragi menuturkan alasan menulis
kitab tafsir, ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi terhadap
pelbagai masalah yang terjadi di masyarakat berdasarkan Al-qur’an, di tangan
al-Maragi Al-qur’an ditafsirkan dengan gaya modern sesuai dengan tuntunan
masyarakat. Pilihan bahasa yang disuguhkan kepada pembacapun ringan dan
mengalir lancar, pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global, tetapi
dibagian lain uraiannya begitu mendetail, tergantung kondisi.
Tafsir al-Maragi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 M,
terbitan pertama ini terdiri atas 30 juz, sesuai dengan jumlah juz al-Qur’an,
pada penerbitan kedua terdiri dari 10 jilid, dan tafsir ini juga pernah
diterbitkan 15 jilid, dan yang beredar di Indonesia adalah edisi Tafsir
al-Maragi yang 10 jilid.
Keterangan
|
|
Cover
|
Cover
Kalep Lux
|
Jenis Kertas
|
HVS
70 Gram
|
Penulis
|
Ahmad
Musthafa Al-Maraghi
|
Ukuran
|
15
x 22 Cm
|
Al-Maragi
menetap di Hilwan, sebuah kota satelit yang terletak sekitar 25 Km sebelah
selatan kota Kairo, hingga meninggal dunia pada usia 69 tahun (1952 M). [1]
B.
Latar Belakang penulisan
Di dalam profil diatas sedikit diulas tentang al-Maragi menulis
kitab tafsir ini adalah karena beliau merasa bertanggung jawab akan peristiwa
dan problema yang terjadi di masyarakat, ia merasa terpanggil untuk menawarkan
berbagai solusi berdasarkan dalil dalil Qur’ani sebagai alternatif, maka dari
itu tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari buah pikiranya dengan
gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan
modern, seperti dituturkan oleh al-Maragi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.
Dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar,
al-Maragi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat ayat,
namun perlu diketahui, penafsiran yang bersumber dari riwayat (relatif)
terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung
oleh bukti bukti secara ilmiah, dan ini juga diungkapkan oleh beliau didalam
muqaddimahnya :
“ maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat riwayat
kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan,
dan kami tidak melihat disana hal hal yang menyimpang dari permasalahan agama
yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli, dan menurut kami, yang demikian
itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang
orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak puas kecuali dengan bukti bukti dan
dalil dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar”
Ungkapan Maragi diatas menegaskan bahwa riwayat riwayat yang
dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat ayat Al-qur’an adalah riwayat yang
shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujah, disamping menggunakan
kaidah bahasa arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman
pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendikiawan dari berbagai
bidang ilmu pengetahuan, ini berarti dilihat dari sumbernya al-Maragi
menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.[2]
Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua
sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan, sebab sungguh tidak
mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena
jumlah riwayat sangat terbatas juga karena kasus kasus yang muncul membutuhkan
penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika
social, ilmu pengetahuan, dan tehnologi yang sangat cepat, sebaliknya melakukan
penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena
dikhawatirkan rentan akan penyimpangan penyimpangan, sehingga justru tidak
dapat diterima, mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin
sampai sekarang banyak penafsiran Al-qur’an yang mengkombinasikan rasio dan
riwayat.
C- Karya
karya Mustafa Al-Maragi
Al-Maragi adalah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki
oleh dunia islam, selama hidup, ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan
dan agama, banyak hal yang telah ia lakukan, selain mengajar di beberapa
lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini
karya lainnya adalah sebagai berikut;
Ø Al-Hisbat fi
al-islam
Ø Al-wajiz fi
Ushul al-fiqh
Ø ‘Ulumul
Balaghah
Ø Muqaddimat
at-tafsir
Ø Buhuts wa
‘Ara’ fi funun al-balaghah
Ø Ad-Diyanat wa
al-Akhlaq
D-
Metode dan Sistematika Penafsiran
Dari sisi metodologi Al-Maragi bisa disebut mengembangkan metode
baru, bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maragi adalah mufassir yang pertama
kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara “Uraian Global” dan
“Uraian rincian” sehingga penjelasan ayat ayat didalamnya dibagi menjadi dua
kategori, yaitu Ma’na Ijmali dan Ma’na tahlili. Namun tidak dapat dipungkiri,
tafsir Al-Maragi sangat dipengaruhi oleh tafsir tafsir yang ada sebelumnya,
terutama tafsir Al-Manar, hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah guru yang paling banyak memberikan
bimbingan kepada Al-Maragi di bidang tafsir, bahkan sebagian orang berpendapat
bahwa tafsir Al-Maragi adalah penyempurnaan terhadap tafsir Al-Manar yang sudah
ada sebelumnya, metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari
metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun metode
penafsiran tafsir Al-Maragi antara lain sebagai berikut :
1.
Metode Tafsir Bil Iqtirani
(Perpaduan antara bil ma’qul dan bil manqul)
2.
Metode Tafsir Muqarin / Komparasi
(bila ditinjau dari segi cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat ayat
Al-qur’an) yaitu membandingkan ayat dengan ayat yang berbicara dalam masalah
yang sama, ayat dengan hadits (isi dan matan), antara pendapat mufasir dengan
mufasir yang lain dengan menonjolkan segi segi perbedaan.
3.
Metode Tafsir Ithnab (bila ditinjau
dari segi keluasan penjelasan tafsirnya), ialah penafsiran dengan cara
menafsirkan ayat Al-qur’an hanya secara mendetail/rinci, dengan uraian uraian
yang panjang lebar, sehingga cukup jelas dan terang yang banyak disenangi oleh
para cerdik pandai.
4.
Metode Tafsir Tahlili (bila
ditinjau dari segi sasaran dan tertib ayat ayat yang ditafsirkan) adalah
penefsirkan ayat ayat Al-qur’an dengan cara urut dan tertib dengan uraian ayat
ayat dan surat surat dalam mushaf, dari awal surat al-Fatihah hingga akhir
surat an-Nas
Sistematika dan langkah langkah penulisan yang digunakan di dalam
tafsir Al-Maragi adalah sebagai berikut :
1.
Menghadirkan satu, dua atau
sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Pengelompokan ini dilakukan dengan
melihat kesatuan inti atau pokok bahasan, ayat ayat ini diurut sesuai tertib
ayat mulai dari surat al-fatihah hingga an-nas (metode tahlili).
2.
Penjelasan kosa kata (Syarah
al-mufradat), setelah menyebutkan satu, dua atau kelompok ayat, Al-Maragi
melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut
ukurannya, dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan
melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi
pembaca.
3.
Makna ayat secara umum (Ma’na
Ijmali), dalam hal ini Al-Maragi berusaha menggambarkan maksud ayat secara
global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang
lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan
sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut,
kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh Al-Maragi ini
merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, dimana sebelumnya tidak ada
mufasir yang melakukan hal serupa.
4.
Penjabaran (Al-Idhah),
Pada langkah terakhir ini, Al-Maragi memberikan penjelasan yang luas, termasuk
menyebutkan asbabun nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria
keshahihan riwayat para ulama, dalam memberikan penjelasan, kelihatannya
Al-Maragi berusaha menghindari uraian yang bertele tele, serta menghindari
istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut
dikemas dengan bahas yang sederhana, singkat, padat, dn mudah dipahami oleh
akal.[3]
Namun demikian dikalangan penganut tafsir salafi, Tafsir Al-Maragi
dianggap kontroversial dan banyak ditinggalkan, tafsir ini sangat digemari oleh
para pelajar yang mengkaji tafsir dibangku perguruan tinggi, gaya
penafsirannya dianggap modern, yakni berusaha menggabungkan berbagai
mazhab penafsiran, terutama metode tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi,
kelompok yang membela Al-Maragi mengatakan, penafsiran sang Syech bersumber
dari periwayatan yang relative terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima
akal atau tidak didukung oleh bukti bukti secara ilmiah, pernyataan itu mengacu
kepada ucapan Al-Maragi dalam muqadimah kitab tafsir itu.
Bagian paling kontroversi dalam tafsir Al-Maragi antara lain bahwa
kisah maskh atau azab yang merubah muka bani israil menjadi rupa monyet dalam
Al-qur’an bukan kejadian sungguhan, melainkan hanya simbol saja. Al-Maragi juga
mengatakan bahwa adam bukanlah bapak manusia ( juz 1/ hal 77) dan Hawwa tidak
diciptakan dari tulang rusuknya (juz 1/ hal 93), ia mengatakan , “sesungguhnya
kajian ilmiah dan historis tidak dapat menguatkan bahwa Adam adalah Abul
Basyar/bapak manusia” (juz IV/177 dan juz 1/95)
E-
Aliran atau Kecenderungan Penafsiran
Para mufasir yang mempunyai kecenderungan tersendiri dalam
menafsirkan ayat ayat Al-qur’an itu akan menimbulkan aliran aliran tafsir
Al-qur’an, diantaranya ialah tafsir lughawi/adabi, tafsir al-fiqh, tafsir
shufi, tafsir ‘Ilmi, tafsir falsafi.
Menurut Prof.Dr. H Abd Djalal bahwa aliran tafsir Al-Qur’an ada
tujuh yakni
1.
Tafsir lughawi/adabi
2.
Tafsir
fiqh/ahkam
3.
Tafsir
shufi/’isyari
4.
Tafsir ‘itizali
5.
Tafsir Syi’i/bathini
6.
Tafsir Aqli/falsafi
7.
Tafsir ‘Ilmi/asri
Menurut
Prof.Dr. Quraish Shihab aliran (corak) ada:
1.
Fiqhy
2.
Shufy
3.
‘Ilmy
4.
Bayan
5.
Falsafy
6.
Adaby
7.
‘Ijtimaiy
Dari pengertian tersebut maka tafsir Al-Maragi termasuk aliran atau
kecenderungan tafsir lughawi/adabi yang menitik beratkan kepada bahasa meliputi
segi ‘Irab dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kesusastraan.[4]
F-
Menghindari Israiliyat
Al-Maragi sengaja mengelak dari menyinggung masalah
israiliyat, mengenai ahlul kitab, ia mengatakan. “ Sesungguhnya mereka itu
membawa kepada kaum muslimin pendapat pendapat didalam kitab mereka, berupa
tafsiran yang tidak diterima oleh akal, dinafikan oleh agama dan tidak
dibenarkan oleh realita serta sangat jauh dari hal yang dapat dibuktikan oleh
ilmu pada abad abad setelahnya.”
G-
Contoh Penafsiran
(diKutip dari tafsir Al-Maragi Surat
Al-Baqarah : 177)
Artinya : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.” (Qs : Al-Baqarah:177)
H. Penafsiran kata kata sulit
Al-Birru :
secara bahasa artinya memperbanyak kebaikan, asal kata adalah al-barr
(daratan), dan lawan katanya adalah al-bahr (laut). Menurut istilah syariat
setiap sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah, yaini
Iman, amal shaleh, dan akhlak mulia.
Qibalal-Masyriqi
wal-Maghrib : Mengarah kepada
dua arah tersebut
Wa-aatal-Maal : Memberi
harta benda
Al-Miskiin :
tetap diam, sebab kebutuhan telah menjeratnya
Ibnus-Sabiil : orang yang sedang mengadakan perjalanan jauh, sehingga tidak dapat
menghubungi kerabatnya untuk memina bantuan.
As-Saail :
orang yang meminta minta kepada orang lain karena terdesak kebutuhan hidup.
Ar-Riqaab :
membebaskan budak (hamba sahaya)
‘Aqamas-Sholaah
: mendirikan sholat sebaik mungkin, atau seperti yang diperintahkan Allah
Al-ahdu :
janji atau suatu ikatan yang dipegang teguh oleh sesorang kepada orang lain
Al-ba’sa :
diambil dari kata kata (Al-busu’) artinya fakir atau sangat miskin
Ad-Darra’ :
setiap sesuatu yang membahayakan manusia, seperti penakit atau kehilangan yang
dicintai
Shadaquu
: benar benar mengaku beriman
I. Pengertian Umum (ma’na Ijmali)
Ketika Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memindahkan
kiblat dari baitul Maqdis ke Ka’bah, orang orang ahli kitab menentang perintah
tersebut, akhirnya terjadilah perdebatan sengit antara kaum muslimin dengan
mereka, para ahli kitab berpendapat bahwa sholat yang dilakukan dengan tidak
menghadap kiblat ahli ktab adalah tertolak di hadapan Allah, dan orang yang
melakukannya tidak mengikuti petunjuk para Nabi, sebaliknya kaum muslimin
mengatakan bahwa yang mendapat ridha Allah ialah yang menghadap Masjidil Haram,
yakni kiblat Nabi Ibrahim dan para nabi sesudahnya.
Memperhatikan masalah tersebut, Allah menjelaskan bahwa menghadap
kiblat secara tertentu itu bukanlah merupakan kebajikan yang dimaksud agama,
sebab di syari’atkannya Menghadap kiblat itu hanya untuk mengingatkan orang
yang sedang menjalankan sholat bahwa dirinya dalam keadaan menghadap Tuhan, di
samping itu berarti ia sedang meminta kepada Tuhan, berpaling dari selain
Allah, agar dijadikan sebagai lambang persatuan umat yang mempunyai tujuan
satu, dengan demikian ajaran ini mendidik umat islam untuk terbiasa mengambil
kesepakatan dalam selrusan urusan mereka, bersatu dan melangkah secara bersama
sama menuju cita cita.
J. Penjelasan (Al-Idhah)
(laisal- Birra- an- tuawwluu-wujuuhakum-qibalal-masyriqi-wal-maghrib)
Menghadap ke Timur atau ke Barat itu tidak mengandung unsur kebajikan,
pekerjaan itu pada hakekatnya tidak merupakan suatu kebaikan.
(walakinnal-birra-man- aamana- billaahi-wal-yaumi
aakhiri-wal-malaaikati-wal-kitaabi-wan-nabiyyiin)
Tetapi yang dinamakan kebaikan yang sesungguhnya adalah iman yang
dibuktikan dengan amal perbuatan dan tingkah laku yang mencerminkan keimanan
tersebut.
Iman kepada Alah adalah dasar semua kebaikan, dan kenyataan ini
takkan pernah terbukti melainkan jika iman telah meresap kedalam jiwa dan
merayap keseluruh pembuluh nadi yang disertai dengan sikap khusu’, tenang,
taat, dan hatinya tidak akan meledak ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan
tidak berputus asa ketika tertimpa musibah, hal ini sesuai firman Allah ;
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram.”
Iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata terdapat
alam lain – yang ghaib, kelak di akhirat yang akan dihuni, karenanya hendaklah
usahanya itu jamgan dipusatkan untuk memenuhi kepentingan jasmani atau cita
cita meraih duniawi saja atau memuaskan hawa nafsu.
Iman kepada malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu, kenabian
dan hari akhir, siapapun yang menolak keimanan terhadap malaikat berarti mengingkari
seluruhnya, sebab diantara malaikat itu ada yang bertugas sebagai penyampai
wahyu kepada para Nabi, dan memberikan ilham mengenai persoalan agama,
seperti firman Allah
Artinya : “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat
Jibril dengan izinTuhannya untuk mengatur segala urusan. (Al-qadar :4)
Iman kepada kitab kitab samawi yang dibawa oleh para nabi mendorong
seseorang untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun
larangan, sebab orang yang yakin bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan
tergerak untuk mengamalkannya, dan jika ia yakin bahwa sesuatu itu sangat
mambahayakan dirinya tentu akan menjauhkan dan tidak mengamalkannya.
Iman kepada Nabi mendorong untuk mengikutinya, dan menjauhkan diri
dari perbuatan bid’ah dan ketidaktahuan dalam menjalankan syariat sehingga
menyimpang dari sunahnya, Al-Maragi memberikan contoh dalam pembacaan
Syi’ir – syi’ir yang terdapat dalam kitab Dalalil-khairat dan Madaih Nabawiyah.
(Wa-atal-maala-‘alaa-hubbihii-dzawil-qurbaa-wal-yataamaa-wal-masaakiin-wabnis-sabiil-was-saai’ilin-wa-firriqaab)
Mengeluarkan harta kepada orang orang yang membutuhkan karena belas
kasihan terhadap mereka, adalah ditujukan kepada orang orang sebagai berikut :
1- Sanak famili yang
membutuhkan, mereka adalah orang yang paling berhak menerima uluran tangan,
karena berdasarkan fitrahnya manusia akan merasa lebih kasih saying
terhadap sanak familinya yang hidup miskin disbanding orang lain.
2- Anak yatim, yakni anak anak kaum
miskin yang tidak mempunyai ayah yang memberikan nafkah kepada mereka.
3- Kaum fakir miskin, mereka adalah
orang orang yang tidak mampu berusaha mencukupi hidupnya.
4- Ibnu sabil (orang yang sedang
perjalanan jauh) di dalam syari’at diperintahkan untuk memberi pertolongan kepada
merekauntuk bisa melanjutkan perjalanan.
5- Orang yang meminta minta, yakni
orang yang terpaksa melakukan pekerjaan meminta kepada orang lain karena
terdesak oleh kebutuhannya.
6- Memerdekakan budak atau hamba
sahaya, dalam pembicaraan ini termasuk didalamnya adalah menebus tawanan perang
dan memberikan bantuan kepada hamba yang telah menandatangani perjanjian dengan
majikannya untuk kemerdekaannya yang dibayar dengan cara angsuran (kitabi).
(Wa-aqaamas-sholaata)
Artinya mendirikan sholat sebaik mungkin, hal ini tentu saja tidak
cukup dengan melaksanakan gerak gerak sholat dan doa doa saja, tetapi harus
disertai dengan memperhatikan rahasia yang terkandung di dalam sholat.
Pelakunya harus mempunyai akhlaq mulia dan menjauhkan diri dari pelbagai
perbuatan rendah. Karena orang yang melakukan sholat tentu tidak akan berbuat
keji dan mungkar.
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al
Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”
(Wa-aataz-zakaata)
Menunaikan zakat yang diwajibkan, sedikit sekali penyebutan
perintah sholat dalam Al-qur’an yang tidak diiringi dengan penyebutan zakat,
sebab sholat itu berfunsi pembersih rohani, dan harta benda erat kaitannya
dengan masalah ruhani, karenanya menginfaqkan harta termasuk tiang pokok
kebajikan, para sahabat Nabi telah sepakat memerangi orang orang yang tidak mau
membayar zakat setelah Nabi wafat, yakni orang orang arab.
(Wal-muufuuna- bi’ahdihim-idza- ‘aahadu)
Orang orang yang menepati janjinya jika mereka mereka mengadakan
perjanjian mengenai sesuatu, janji ini mencakup semua perjanjian yang biasanya
dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, dan perjanjian yang dilakukan oleh
kaum mu’min kepada Tuhan mereka – yakni janji akan taat dan mengikuti seluruh
perintahNya, dan apabila ia berbuat maksiat berarti tidak menepati janjinya.
(Was-shobiriina-fil-ba’saai-wad-dharrai-wa-hiinal- ba’sa)
Orang orang yang bersikap sabar ketika tertimpa kesengsaraan
(miskin), atau terkena musibah seperti kematian, kehilangan harta, atau tertimpa
penyakit, dan ketika berada di medan perang atau sedang berkecamuknya
peperangan dengan musuh. Allah mengkhususkan sabar dalam tiga hal tersebut,
sedang bersikap sabar di dalam masalah lain dan keadaan yang berbeda juga
merupakan sikap terpuji.
(Ulaaikal-ladziina-shodaquu)
Mereka adalah orang orang yang benar benar keimanannya, dan mereka
bukan termasuk kelompok yang mengaku beriman hanya dimulut, sedang hatinya
tidak beriman.
(Wa-ulaaika-humul-muttaquuna)
Dan merekalah orang orang yang membuat benteng antara diri
mereka dengan murka Tuhan dengan cara meninggalkan berbagai kemaksiatan yang
mengakibatkan turunnya hukuman Allah di dunia dan di akhirat.
Ada sebagian
ulama yang mengatakan bahwa siapapun yang menjalankan ayat ini, berate telah
mempunyai kesempurnaan iman, atau ia telah mencapai derajat tertinggi dalam
masalah iman.[5]