Pendahuluan
Ilmu tafsir dalam dunia akademisi sangat urgen, untuk
memahami al-qur’an secara lafad, makana dan maksud dari pada ayat al-quran
seseorang harus memahami ilmu tafsir. Dengan mempelajari kitab-kitab tafsir
akan mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-qur’an.
Imam Ibrahim bin Umar al-Biqa’i adalah seorang ahli tafsir
yang pertama menemukan tentang metode keserasian ayat demi ayat dalam
al-qur’an, bahkan kata demi kata dalam al-qura’an dengan nama kitab tafsirnya “
Nazmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (susunan permata tentang
hubungan ayat dan surah). Merupakan ilmu tafsir yang membahas keserasian atau
munasabah ayat dan surah dalam al-quran.
Di dalam al-qur’an antara ayat yang satu dengan ayat yang
lain pasti mempunyai keterkaiatan, baik antara ayat dan surat. Walapun tidak
semuanya dalam al-qur’an ayat dan surah memiliki musanabah dalam arti dan
lafad. Ini menunjukkan betapa indahnya ayat-ayat suci al-qur’an.
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya: “Ini adalah sebuah Kitab
yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.
(Q.S. Al-Shaad: 29)
Dengan kita dapat mengambil hikmah dari orang-orang yang
memahami al-qur’an, apabila kita juga ingin memahami al-qur’an banyak menimba
ilmu dari orang-orang yang berkompeten dalam ilmu tafsir. Tanpa kita memahami
ilmu tafsir akan kesulitan dalam memahami untaian lafad-lafad yang indah dalam
al-qur’an yang keagungannya tidak ada yang menandingi al-qur’an sebagai kitab
sastra dalam susunan kata dan kitab hukum bagi umat islam.
Pembahasan
A. Nama Penulis, Kitab, Kota Penerbitan dan Penerbit
1.
Nama Penulis
Adalah
Ibrahim bin Umar bin Hasan ar-Rubat bin Ali bin Abi Bakar asy-Syafi’I
al-Biqa’i. kemudian lebih dikenal dengan nama Burhanudin Ibrahim bin Umar
al-Biqa’i.
2.
Nama Kitab
Nazmu
al-Durar Fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (susunan permata tentang hubungan
ayat dan surah atau the Harmony in The Qur’anic Suras And Verses).
3.
Kota Penerbit
Kota
penerbit adalah Bairut Lebanon pada tahun 2006 M/1427 H merupakan edisi ke3.
4.
Nama Penerbit
Adalah
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah Lebanon.
B. Jumlah Juz atau Jilid, Serta Jumlah Halaman Dalam
Setiap Juz
Kitab
Nazmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar terdiri dari 8 juz atu jilid.
- Juz I
dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Baqarah halaman 1-568.
- Juz
II dari awal surat Ali Imran sampai akhir surat al-An’am halaman 1-760.
Terdiri dari surat Ali Imran, surat an-Nisa’, surat al-Ma’idah, surat
al-An’am.
- Juz
III dari awal surat al-A’raf sampai akhir surat Hud, halaman 1-598.
Terdiri dari surat al-A’raf, surat al-Anfal, surat at-Taubah, surat Yunus,
dan surat Hud.
- Juz
IV dari awal surat Yusuf sampai akhir surat Maryam, halaman 1-567. Terdiri
dari surat Yusuf, surat ar-Ra’du, surat Ibarahim, surat al-Hajar, surat
an-Nahl, surat al-Isra’, surat al-Kahfi, surat Maryam.
- Juz V
dari awal surat Taha sampai akhir surat ar-Rum, halaman 1-655. Terdiri
dari surat Taha, surat al-Anbiya’, surat al-Haj, surat al-Mu’minun, surat
an-Nur, surat al-Furqan, surat asy-Syu’ara, surat an-Naml, surat al-Qasas,
surat al-Ankabut, dan surat ar-Rum.
- Juz
VI dari awal surat al-Luqman sampai akhir surat asy-Syura, halaman 1-663.
Terdiri dari surat al-Luqman, surat as-Sajadah, surat al-Ahzab, surat
al-Saba’, surat al-Fathir, surat Yasin, surat al-Shafat, surat Shad, surat
al-Zumar, surat al-Ghafir, surat al-Fusshilat, surat asy-Syura.
- Juz
VII dari awal surat al-Zuhruf sampai akhir surat al-Jumu’ah, halaman
1-624. Terdiri dari surat al-Zuhruf, surat al-Dukhan, surat al-Jatsiyah,
surat al-Ahqaf, surat Muhamad, surat al-Fat, surat al-Hujarat, surat Qaf,
surat al-Dzariyat, surat at-Thur, surat an-Najm, surat al-Qamar, surat
ar-Rahman, surat al-Waqi’ah, surat al-Hadid, surat al-Mujadalah, surat
al-Hasyar, surat al-Mumtahanah, surat al-Shaf, surat al-Jumu’ah, dan surat
al-Munafiqun.
- Juz VIII dari awal surat al-Taghabun sampai akhir surat an-Nas, halaman 1-632. Terdiri dari surat al-Taghabun, surat at-Thalaq, surat al-Tahrim, surat al-Mulk, surat al-Qalam, surat al-Haqqah, surat al-Ma’arij, surat nuh, surat al-Jin, surat al-Muzammil, surat al-Mudassir, surat al-Qiyamah, surat al-Insan, surat al-Mursalat, surat an-Naba’, surat nazi’at, surat ‘Abasa, surat al-Takwir, surat al-Muthaffifin, surat al-Insyiqaq, surat al-Buruj, surat al-Thariq, surat al-‘A’la, surat al-Ghasyiyah, surat al-Fajr, surat al-Balad, surat asy-Syamsu, surat al-Lail, surat ad-Dhuha, surat Syarh, surat al-Tin, surat al-‘Alaq, surat al-Qadr, surat al-Bayyinah, surat al-Zalzalah, surat al-‘Adiyat, surat al-Qari’ah, surat al-Taktsur, surat al-Ashar, surat al-Humazah, surat al-Fil, surat al-Quraisy, surat al-Ma’un, surat al-Kautsar, surat al-Kafirun, surat an-Nashr, surat al-Masad, surat al-Ikhlas, surat al-falaq, dan surat an-Nas.
C.Riwayat Hidup dan Keahlian Ilmu Ibrahim bin Umar
al-Biqa’i
Nama lengkap al-Biqa’I adalah Ibrahim bin Umar bin Hasan
ar-Ribat bin Ali bin Abi Bakar asy-syafi’I al-Biqa’i.[1]
lahir di Biqa’ Damaskus, Suriah 809 H/1406 M dan meninggal pada tahun 885
H/1480 M. al-Biqa’I adalah ahli tafsir pertama yang menemukan metode keserasian
ayat demi ayat, bahkan kata demi kata dalam al-Qur’an sehingga kitab tafsirnya
diberi nama Nazmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (susunan permata
tentang hubungan ayat dan surah).
Pengenalannya terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an diawali dengan
belajar ilmu Qira’ah dibawah bimbingan Ibnu Jazari ahli Qira’ah dari Suriah.
Selanjutnya al-Biqa’I mendalami berbagai ilmu agama dari berbagai ulama ahli
pada masanya. Diantara ulama yang menjadi gurunya adalah at-Taj bin Bahadir
ahli sejarah (w. 877 H/1473 M), at-Taqi al-Hushani ahli hadist dan fikih (w.
835 H/1426 M), at-Taj al-Garabili ahli hadist sekaligus sejarawan (w. 835 H/
1434 M), Abu al-Fadil al-Magrabi ahli fikih (w. 866 H/1465 M), dan al-Qayati
sastrawan dan ahli ushul fikih, lahir 782 H/1380 M. Dari guru yang disebutkan terakhir
ini al-Biqa’I banyak belajar tentang keserasian ayat-ayat dan surah dalam
al-Qur’an.[2]
Al-Biqa’I pernah menjadi guru besar dalam bidang hadist pada
masjid Qal’at di Mesir. Banyak ulama yang mengakui kemampuan dank e-ilmuan
Ibrahim Al-Biqa’I seperti Imam asy-Syaukani menilai bahwa al-Biqa’I sebagai
pakar dalam berbagai disiplin ilmu agama, bukan hanya tafsir. Ibnu al-Imad
seorang ahli tafsir mengatakan bahwa al-Biqa’I adalah ilmuan yang senang
berdiskusi, gemar mengkritik, dan penulis yang produktif.
Al-Biqa’i
selain ahli tafsir juga ahli dalam bidang bahasa dan sastra, bidang fikih dan
ushul fikih, bidang akidah dan tasawuf, dan ilmu sejarah serta biografi
D.Kitab-Kitab yang Pernah diKarang Oleh Ibrahim bin
Umar al-Biqa’i
Adapun karya-karya Ibarahim Al-Biqa’I selain dari kitab
nazmu al-Durar dalam bidang al-Qur’an adalah Dala’il al-Burhan al-Qawim
(berbagai petunjuk argumentasi yang tepat), al-Fath al-Qudsi fi Ayat
al-Kursi (pembuka suci tentang ayat kursi), ad-Dawabit wa al-Isyarat li
Ajza’ ilm al-Qira’at (prinsip dan petunjuk bagi pembagian ilmu qira’ah), Masa’id
al-Nazr li al-Israf ala maqasid as-Suwar (tahapan analisis untuk memahami
tujuan surah al-Qur’an), al-Qur’an al- Mufid fi ilm at-Tajwid (uraian
yang diperlukan dalam memahami ilmu tajwid).
Karya dalam bidang bahasa dan sastra antara lain Ma la
Yastagni ‘anhu al-Insan min milh al-Lisan (kebutuhan manusia pada bahasa
jenaka yang menyenangkan), al-Jami’ al-Mubin fi ma Qila fi wa ka’ayyin
(uraian lengkap berbagai komentar mengenai ungkapan wa ka’ayyin), Azim Wasilah
al-Isaabah fi Sun’ah al-Kitabah (jalan besar untuk mengetahui seni
menulis), al-Idrak li Fann al-Ihtibak (mengenal seni menyusun kalimat).
Karya Ibrahim al-Biqa’i dalam fikih dan ushul fikih yaitu Syarh
jam’ al-Jawami (komentar terhadap buku jam’ al-Jawami), al-Izam bi Fath
Asrar at-Tasyahhud wa al-Azan (informasi tentang kunci rahasia
tasyahhud dan adan), al-I’lam bi Sanah al-Hijrah ila asy-Syam (informasi
tentang hijrah ke Suriah), Bayan al Ijma’ ‘ala man Ijtama’ fi Bid’ah al-Gina’
wa as-Sama’ (penjelasan ijmak terhadap mereka yang berkumpul untuk
menciptakan nyanyian dan musik).
Dalam bidang akidah dan tasawuf, Tadmir al-Mu’arid fi
Takfir ibn al-Farid (menolak argumentasi mereka yang menentang pengafiran
ibn Farid), Tanbih Al-Gabi fi takfir ibn Arabi (menyadarkan orang yang
mengafirkan ibn Arabi), Khair az-Zad al-Muntaqa min Kitab al-I’tiqad li
al-Baihaqi (uraian terbaik mengenai buku akidah karya la-Baihaqi), Sirr
ar-Ruh, Syarh kitab ar-Ruh li ibn al-Qayyim (rahasia jiwa, ulasan terhadap
buku ar-ruh karya ibn Qayyim).
Dalam bidang ilmu sejarah dan biografi antara lain Mukhtasar
Sirah ar-Rasul wa salasah min al-Khulafa’ (ringkasan sejarah hidup rasul
dan tiga khalifah sesudahnya), Usud al-Biqa’ an-Nahisah (singa-singa
dari biqa’ yang lapar), Akhbar al-Jallad fi Fath al-Bilad (berita-berita
tentang seorang al-gojo dalam penakukanberbagai negeri), bazl an-Nus wa
asy-Syafaqah li at-Ta’rif bi Suhbah Waraqah Ibn Naufal (mencurahkan cinta
kasih, mengenal persahabatan Waraqah bin Naufal)
.
.
E. Analisa Terhadap Tafsir Ibrahim bin Umar
al-Biqa’i
Dalam kitab tafsir Nazmu al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa
al-Suwar, Burhanudin Ibrahim al-Biqa’I dalam membahas keserasian antara ayat
dan surah dalam al-Qur’an. Ada beberapa keserasian yang dapat disimpulkan.
Beberapa keserasian antara lain meliputi keserasian antara
kata demi kata dalam satu ayat, keserasian antara kandungan satu ayat dan
penutup ayat, keserasian antara satu ayat dan ayat sebelumnya, keserasian
antara awal uraian satu surah dan akhir uraianya, keserasian antara akhir
uraian satu surah dengan uraian surah berikutnya, keserasian antara tema
sentral setiap surah dan nama surah tersebut, keserasian antara satu surah dan
surah sebelumnya.
Dalam menjelaskan hubungan antar ayat dan surah dalam
al-qur’an, al-Biqa’i tidak sekedar menghubungkan antara ayat yang satu dan ayat
yang lainnya. Seperti biasa dilakukan oleh mufassir lain. Melainkan juga
memberikan penjelasan tentang hubungan kata demi kata dalam satu ayat. Seperti
lafad ar-rahman yang diletakkan di depan lafad ar-rahim.
Dalam mencermati munasabah al-Biqa’i melihat unsur-unsur
ayat atau surah untuk menjadikan tema sentaral. Sebenarnya munasabah itu hampir
mendekati kepada tafsir maudhu’iy, krena untuk mencari munasabah surah mufassir
juga mencari ayat yang berkaitan dengan surah yang dijelaskan. Dengan demikian,
ada kesan bahwa penulisan tafsir al-Biqa’I pada setiap surah mempunyai kesamaan
dengan kerangka operasional penyusunan tafsir maudhu’iy dalam satu surah. Hal
ini tidak aneh, karena tafsir munasabah berangkat asumsi wihdat al-maudhu’iy
al-qur’aniyah.
F. Mazhab Dari Penafsir dan Penafsiranya
Mazhab penafsiran al-Biqa’I disini jika dalam menguraikan
ayat lebih kepada pendekatan bahasa atau loghawiy. Dimana kata demi kata
didalam al-Qur’an dijelaskan dengan begitu rinci maksud dari pada kata-kata
dalam satu ayat, serta juga menambahkan keterangan dengan ayat yang berkaitan.
Sebagaimana al-Biqa’I dalam menafsirkan al-Qura’an menjelaskan kata demi kata
dalam surat al-Fatihah.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (2) الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(3) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5)
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)
ولما أثبت بقوله: {الحمد لله} أنه
المستحق لجميع المحامد لا لشيء غير ذاته الحائز لجميع الكمالات أشار إلى أنه
يستحقه أيضاً من حيث كونه رباً مالكاً منعماً فقال: {رب} وأشار بقوله: {العالمين}
إلى ابتداء الخلق تنبيهاً على الاستدلالات بالمصنوع على الصانع وبالبداءة على
الإعادة
كما ابتدأ التوراة بذلك لذلك قال
الحرالي: و {الحمد} المدح الكامل الذي يحيط بجميع الأفعال والأوصاف، على أن جميعها
إنما هو من الله سبحانه تعالى وأنه كله مدح لا يتطرق إليه ذم، فإذا اضمحل ازدواج
المدح بالذم وعلم سريان المدح في الكل استحق عند ذلك ظهور اسم الحمد مكملاً معرفاً
بكلمة «أل» وهي كلمة دالة فيما اتصلتبه على انتهائه وكماله. انتهى.[3]
ولما كانت مرتبة الربوبية لا تستجمع الصلاح إلا بالرحمة اتبع ذلك بصفتي {الرحمن الرحيم} ترغبياً في لزوم حمده، وهي تتضمن تثنية تفصيل ما شمله الحمد أصلاً؛ وسيأتي سر لتكرير هاتين الصفتين
ولما كانت مرتبة الربوبية لا تستجمع الصلاح إلا بالرحمة اتبع ذلك بصفتي {الرحمن الرحيم} ترغبياً في لزوم حمده، وهي تتضمن تثنية تفصيل ما شمله الحمد أصلاً؛ وسيأتي سر لتكرير هاتين الصفتين
في الأنعام عند {فكلوا مما ذكر اسم
الله عليه} [الأنعام: 118] عن الإمام حجة الإسلام الغزالي رحمه الله تعالى أنه لا
مكرر في القرآن.
Dengan demikian kita dapat memahami gaya penafsiran
al-Biqa’I dalam menafsirkan al-Qur’an dengan karangan kitabnya yaitu Nazmu
al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar. Al-Biqa’I dalam menafsirkan ayat
al-Qur’an dia menjelaskan kata demi kata maksud dari pada kata-kata yang ada
pada ayat tersebut, serta menjelaskan munasabah ayat yang dibahas dengan
ayat-ayat lain yang mempunyai keserasian. Sebenarnya ada kesamaan dengan tafsir
maudhu’iy dalam mencari ayat-ayat yang mempunyai kesaman dalam makna, sehingga
al-Biqa’i menambahkan penjelasan dengan ayat-ayat yang lain atau dengan surat
lain yang mempunyai munasabah.
G. Metode Tafsir
Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti
“cara atau jalan” dalam bahasa Inggris kata ini ditulis method dan bangsa Arab
menterjemahkannya dengan “Thariqat” dan “Manhaj”. Dalam pemakaian bahasa
Indonesia kata tersebut mengandung arti “cara yang teratur dan terpikir dengan
baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan. Metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Nashruddin Baidan mengatakan, studi
tafsir al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni “suatu cara yang teratur dan
terpikir dengan baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat al-Qur’an yang di turunkan Nya kepada nabi
Muhammad SAW.
Dari defenisi di atas dapat kita ambil gambaran bahwa metode tafsir itu berisikan seperangkat tatanan dan aturan yang tidak boleh diabaikan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.[4]
Dari defenisi di atas dapat kita ambil gambaran bahwa metode tafsir itu berisikan seperangkat tatanan dan aturan yang tidak boleh diabaikan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.[4]
Al-Qur’an al-Karim laksana samudera yang keajaibannya tidak
akan pernah sirna ditelan oleh masa, sehingga lahir bermacam-macam tafsir karya
terbaik para Mufasir dengan berbagai macam metode yang diterapkannya. Bukti
nyata hal ini, dapat kita lihat betapa banyaknya karya-karya para Mufasir
terpajang di berbagai pustaka, menunjukkan tingginya semangat dan besarnya
perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna kandungan kitab
suci al-Qur’an al-Karim serta menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh
masing-masing Mufasir.
Dalam metode penafsiran, al-Biqa’I jika dilihat dari
menguraikan kata demi kata dalam al-qur’an dikatakan metodenya
menggunakan tafsir tahlily. Jika dilihat dari munasabah ayatnya al-Biqa’I dalam
tafsirnya menggunakan metode maudhu’iy. Dimana dalam mencari keserasian ayat
al-Biqa’I memberikan penjelasan dengan ayat lain yang terhadap ayat yang
dijelaskan.
Dalam menafsirkan surat al-Fatihah al-Biqa’I juga
menambahkan penjelasan dengan ayat lain yang masih mempunyai keserasian dengan
ayat al-Fatihah.
Jika dilihat dari penafsiranya menjelaskan kata demi kata
dalam al-Qur’an metode tafsirnya dengan tafsir tahlily. Akan tetapi jika
dilihat dari munasabah ayat dengan ayat lain akan lebih cendrung kepada tafsir
maudhu’iy, karena munasabah ayat mencari keserasian ayat yang mempunyai
kesamaan makna.
Tafsir tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam
tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di
dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan kosa kata diikuti
dengan penjelasan mengenai arti global ayat, korelasi ayat-ayat serta
menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain.
Penafsir juga membahas mengenai asbab al-nuzul dan
dalil-dalil yang berasal dari nabi, sahabat, dan tabi’in. yang kadang-kadang
bercampur dengan pendapat para mufassir yang dipengaruhi latar belakang
pendidikan dalam menafsirkan al-Qur’an.[5]
H. Asas Penafsiran
Asas penafsiran dalam kitab Nazmu al-Durar fi Tanasub
al-Ayat wa al-Suwar dengan al-Ra’yi. Dalam metode tahlily adakalanya berasaskan
al-ma’tsur atau tahliliy bi al-Ma’tsurdan tahliliy bi al-Ra’yi. Di dalam kitab
Nazmu al-Durar al-Biqa’i dalam asas penafsirannya berdasarkan rasio (ra’yu)
dari beliau, sehingga dalam menguraikan ayat banyak penjelasan dari pendapatnya
sendiri seperti penjelasan tentang lafat istawa al-Biqa’i mengatakan:
ولماكانت السماء أشرف من جخة العلو الذى لايرام, والجواهر
البالغ فى الاحكام,والزينة البديعة النظام, المبنية على المصالح الجسام, وكثرة المنافع
والأعلام, عبر فى أمرها بثم فقال: (ثم استوى الى السماء) أى وشرف على ذلك جهة
العلو بنفس الجهة والحسن والطهارة وكثرة المنافع, ثم علق إرداته ومشيئته بتسويتها
من غير أذنى عدول ونظر إلى غيرها, وفخم أمرها بالإبهام ثم التفسير, والإفراد
الصالح لجهة العلو تنبيها على الشرف, وللجنس الصالح للكثرة, ولذلك أعاد الضمير
جمعا, فكان خلق الأرض وتهيئتها لمايراد منها قبل خلق السماء, ودحوها بعد خلق
السماء, على أن ثم للتعظيم لا للتر تيب فلا إشكال, وتقديم الأرض هنا لأنها أدل
لشدة الملابسة والمباشرة.وقال الحرالى : أعلى الحطاب بذكر الإستواء إلى السماء الذي
هوموضع التخوف لهم لنزول المخوفات منه عليهم فقيل لهم: هذا المحل الذي تخافون منه
هو استوى إليه, ومجرى لفظ الإستواء فى الرتبة والمكانة أحق بمعناه من موقعه فى
المكان والشهادة, وبالجملة فالأحق بمجرى الكلم وقوعها نبأ عن الأول الحق,
ثم وقوعها نبأ عما فى أمره وملكوته ثم وقوعها نبأ عمافى
ملكه وإشهاده, فلذلك حقيقة اللفظ لاتصلح أن تحتص
بالمحسوسات البادية فى الملك دون الحقائق التى من ورائها من عالم الملكوت, وما به
ظهر الملك والملكوت من نبأ الله عن نفسه من الإستواء ونحوه فى نبأ الله عن نفسه
أحق حقيقة, ثم النبأ به عن الروح مثلا واستوائها على الجسم ثم على الرأس
مثلاواستوائه على الجثة فليس تستحق الظواهر حقائق الألفاظ على بواطنها بل
كانت البواطن أحق باستحقاق الألفاظ, وبذلك يندفع كثير من لبس الحطاب على المقتصرين
بحقائق الألفاظ على محسوساتهم.[6]
Imam al-Biqa’I dalam menguraikan kata demi kata dalam
al-qur’an menjelaskan dengan rinci tentang suatu makna kata dalam tafsirnya.
Al-Biqa’iy dengan nada bersastra menjelaskan bahwa lafadz “langit” bukanlah
maksud langit secara dhahir, tetapi sebagai simbol terhadap ketinggian dan kemuliaan.
Beliau mengatakan bahwa lafad “istawa” ini adalah lebih berhak difahami
secara bathinnya (yakni secara takwil) dari pada difahami secara dahir.
I. Komentar Pribadi
Ibrahim al-Biqa’iy adalah pengarang kitab tafsir yang
mencoba mencari munasabah dalam keserasian antara ayat dan surah dalam
al-Qur’an. Al-Biqa’iy dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli yang berhasil
menyusun suatu karya yang sempurna dalam masalah perurutan atau korelasi antar
ayat dan surat-surat al-Qur’an. sementara ahli bahkan menilai bahwa kitab
tafsirnya itu merupakan ensiklopedia dalam bidang keserasian ayat-ayat dan
surat-surat al-Qur’an. Menurut bahasa munasabah adalah persesuaian atau
hubungan atau relevansi antara ayat atau surah satu dengan ayat atau surah yang
sebelumnya atau sesudahnya. Menurut istilah munasabah ialah ilmu untuk
mengetahui alas an-alasan penertiban dari bagian-bagian al-Qur’an yang mulia.
Ilmu ini menjelaskan tentang segi-segi hubungan antara
beberapa ayat atau beberapa surat al-Qur’an. Pengertian munasabah ini tidak
hanya sesuai dalam arti sejajar atau parallel saja, melainkan yang
konstraksipun termasuk munasabah. Sebab ayat-ayat al-Qur’an itu kadang-kadang
merupakan takhsis dari ayat yang umum, kadang-kadang sebagai penjelas hal-hal
yang kongkrit terhadap hal-hal yang abstrak.[7]
pada umumnya para ahli tafsir dalam munasabah menempuh satu
di antara 3 cara berikut dalam menjelaskan hubungan antara ayat: pertama,
mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok tema-tema, kemudian
menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat-ayat berikutnya. Contoh tafsir
al-Manar dan al-Maraghi. kedua, menemukan tema sentral dari satu surat
lalu mengembalikan uraian kelompok ayat-ayat kepada tema sentral itu. contoh
Tafsir Mahmud Syaltut. Ketiga,menghubungkan ayat dengan ayat sebelumnya
dengan menjelaskan keserasiannya.
Al-Biqa’iy menempuh pola ketiga dengan cara yang amat
menarik serta jangkauan pembahasan yang amat luas, tidak sekedar menjelaskan
dan menghubungkan ayat dengan ayat, tapi menjelaskan hubungan kata demi kata
dalam satu ayat. Ada tujuh keserasian dalam materi al-Qur’an:[8]
- Keserasian
antara kata demi kata dalam 1 ayat
- Keserasian
antara kandungan 1 ayat dengan fashilat (penutup ayat tersebut).
- Keserasian
antara ayat dengan ayat sebelumnya.
- Keserasian
antara awal uraian satu surat dengan akhir uraiannya.
- Keserasian
antara akhir uraian satu surat dengan awal uraian surat berikutnya.
- Keserasian
antara tema sentral setiap surat dengan nama surat tersebut.
- Keserasian
antara surat dengan surat sebelumnya.
Al-Biqa’iy sebagai pakar tafsir yang telah berhasil
melakukan sebuah pekerjaan besar yang belum pernah dilakukan oleh ulama
sebelumnya, bahkan oleh ulama-ulama sesudahnya. Mengenai masalah korelasi
antara ayat-ayat al-Qur’an ini layak mendapat perhatian serius.
Ada
beberapa Faedah mempelajari ilmu munasabah ini banyak, antara lain sebagai
berikut :[9]
Pertama,
Mengetahui persambungan hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara
kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang satu dengan yang
lainnya. Sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab
al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatan. Karena
itu, Izzudin Abdul Salam mengatakan, bahwa ilmu munasabah itu adalah ilmu yang
baik sekali. Ketika menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
Beliau mensyaratkan harus jatuh pada hal-hal yang berkaitan betul-betul, baik
di awal atau diakhirnya.
Kedua,
Dengan ilmu munasabah itu dapat diketahui mutu dan tingkat kebahagiaan bahasa
al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lain. Serta
persesuaian ayat atau suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih
meyakinkan kemukjizatannya, bahwa al-Qur’an itu betul-betul wahyu dari Allah
SWT, dan bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Karena itu imam Arrazi mengatakan,
bahwa kebanyakan keindahan-keindahan al-Qur’an itu terletak pada susunan dan
persesuaiannya, sedangkan susunan kalimat yang paling baligh (bersastra) adalah
yang sering berhubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Ketiga,
Dengan ilmu munasabah akan sangat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Setelah diketahui hubungan sesuatu kalimat atau sesuatu ayat dengan
kalimat atau ayat yang lain, sehingga sangat mempermudah pengistimbatan
hukum-hukum atau isi kandungannya.
Dalam menafsirkan al-Qur’an al-Biqa’iy dalam menjelaskan
kata demi kata dan berusaha mengungkap makna ayat lebih kepada tafsir tahliliy.
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan
Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang
dimaksudkan oleh Al-Qur’an.. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi
ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan
mushaf Al-Qur’an, menjelaskan kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang
turunnya ayat, kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya
(munasabah), dan tidak ketinggalan pendapat-pendapat yang telah diberikan
berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi
SAW, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya, dan menjelaskan arti
yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur
I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat
diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa,
norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Tafsir dengan metode al-Tahlily dalam menafsirkan Al-Qur`an
secara terperinci (sesuai dengan kemampuan dan syarat-syarat mufassir) dari
segi:
- Pembahasan-pembahasan
lafal ayat-ayat yang meliputi keterangan setiap kosa katanya, i’robnya dan
penyebutan qira`atnya.
- Pembahasan-pembahasan
makna ayat-ayat yang meliputi apa yang terkandung di dalamnya tentang
akidah, cabang-cabang syari’at dan perincian hukum-hukum, pondasi-pondasi
akhlak dan sebagainya.
Di dalam kitab lain disebutkan bahwa yang dibahas dalam
tahsir tahliliy juga meliputi sabab nuzul sebuah ayat, perbedaan pendapat para
ulama dalam menafsirkan suatu ayat, dan kecocokan atau munasabah antar ayat.
Namun, apabila seorang ulama hanya menyebutkan sebagiannya
saja, misalnya hanya menyebutkan analisis makna ayat, sababun nuzul, perbedaan pendapat
ulama dalam qira`at saja tanpa menyebutkan munasabah antar ayat atau i’rob atau
yang lainnya, maka metode penafsiran yang dia gunakan tetap dinamakan metode
tafsir tahliliy. Ini dilihat dari segi penguraiannya atau penganalisisan yang
dia gunakan untuk menafsirkan suatu ayat.
Asas penafsiran dalam gaya menguraikan makna dari ayat
al-Qur’an, al-Biqa’iy berdasarkan asas al-Ra’yu dengan berdasarkan pemahamannya
sendiri dalam menjelaskan suatu maksud ayat dan al-Biqa’iy tidak
menyebutkan dan membahas kaidah nahwu dan sharaf serta asbab al-nuzul ayat:
(يد الله) أي المتردي
بالكبرياء. ولما كان منزها. عماقديتوهم من الجارحة مما فيه شائبة نقص. أوما إلى
نفي ذلك بلفوقية مع ما فيه من الدلالة على تعظيم البيعة فقال: (فوق أيديهم) اي في المبايعة
عالية عليهم بالقدرة والقوة والقهرة والعزة, والتنزه عن كل شائبة نقص, ولذلك كرر
الإسم الأعظم في هذه ثلاث مرات إشارة إلى العظمة الفائتة للوصف والغيب العالى عن
الإدراك, ثم أعاد ذكره بالضمير إيدانا بالغيب المحض, هذا هو المراد من تعظيم
البيعة وإجلال الرسول صلى الله عليه وسلم مع العلم القطعي بتنزه الله سبحانه عن كل
شائبة نقص من حلول أواتحاد كما هو واضح في مجري عادات العرب ظاهر جدا فى دأبهم في
محاوراتهم, لا يشك فيه منهم عاقل عالم أو جاهل أصلا, فلعنة الله على من حمله على
الظاهر من اهل العناد ببدعة الإتحاد على من تبعهم على ذلك من الرعاع الطغام الذي
شاقوا الله ورسوله عليه الصلاة والسلام, وجميع الأئمة الأعلام وسائر أهل
الإسلام: ورضوا لأنفسهم بأيكونوا أتباع فرعون اللعين, وناهيك في ضلال مبين.[10]
Imam al-Biqa’iy menegaskan bahwa ayat ini perlu difahami
secari tanzih, yakni menyisihkan segala unsure-unsur yang tidak layak bagi
Allah SWT. Jika difahami secara dahir lafad akan membawa kepada pemahaman
tangan yang seperti difahami oleh akal fikiran manusia sebagaimana anggota
badan. Oleh karena itu, ayat ini perlu difahami sebagai untuk menjelaskan
kepentingan dan keagungan.
Jika dilihat dari cara menguraikan kata demi kata dalam
al-Qur’an, al-Biqa’iy dalam tafsirnya berdasarkan metode tahliliy yang
berasarkan ar-ra’yu dari pendapatnya beliau dalam menjelaskan makna al-Qur’an.
Tafsir bi al-Ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan berdasarkan pada
pendapat ataupun ijtihad, dan tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan oleh
sahabat atau thabi’in, dengan memperhatikan kaidah bahasa arab.[11]
Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-Ra’yi ini
melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya
mengandalkan kemampuan rasio semata, malah mereka dituntut untuk tidak sekedar
memahami nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an dan sunnah tetapi juga harus
memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafsir yang mereka kemukakan bisa
diterima kredibilitasnya. Adapun syarat-syarat mufassir bi al-Ra’yi ini
diantaranya:
- Memiliki
pengetahuan bahasa Arab dan seluk beluknya.
- Menguasai
ilmu-ilmu al-Qur’an.
- Menguasai
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Qur’an, seperti Hadits dan Ushul
Fiqh.
- Beraqidah
yang benar.
- Mengetahui
prinsip-prinsip pokok agama Islam.
- Menguasai
ilmu yang berhubungan dengan pokok-pokok agama Islam.
- Menuasai
ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi para mufassir,
agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sementara itu
Dr. Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh
Mufassir bi al-Ra’yi yaitu:[12]
- Memaksakan
diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat,
sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
- Mencoba
menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas
Allah semata).
- Menafsirkan
disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik
semata-mata berdasarkan persepsinya).
- Menafsirkan
ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya.
- Menafsirkan
ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham
mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab
tersebut.
- Menafsirkan
dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah
demikian, tanpa didukung oleh dalil.
Selama mufassir bi al-Ra’yi memenuhi persyaratan dan
menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas
karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan
rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah
menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.
Dalam tafsirnya al-Biqa’iy kita dapat memahami secara umum,
jika tinjau dari segi munasabah antar satu ayat dengan ayat lain atau antara
ayat dan dan surah itu lebih kepada tafsir al-Maudhu’iy, tetapi di dalam tafsir
nazmu al-Durar Al-Biqa’iy lebih kepada pendekatan loghawiy dalam menguraikan
kata demi kata dalam tafsirnya.
Namun, walaupun melalui pendekatan bahasa dalam menjelaskan
makna al-Qur’an secara rinci maksud suatu tetapi dalam penjelasannya tidak
menggunakan al-ma’tsur lebih menggunakan ra’yi atau rasio dari pemahaman
al-Biqa’iy sendiri.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufiq, Dkk. Ensiklopedi
Islam Jilid 2. Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve. 2000.
Al-Hayy al-Farmawi, Abd. Metode
Tafsir Mawdhu’iy. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1994.
Arsyad, M. Natsir. Sari Buku
Pintar Islam Seputar Al-Qur’an, Hadist dan Ilmu. Bandung: Al Bayan. 1996.
Ahmad
Syazali dan Ahmad Rofi’i. Ulum Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia. 1977.
Baidan, Nashruddin. Metode
Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Ibarahim Al-Biqa’I, Burhanudin. Nazmu
al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, Lebanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
2006.
Jalal,
Abdul. Ulum Al-Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu. 2010.
Muchlas, Imam. Penafsiran
Al-Qur’an Tematis permasalahan, Malang: UMM Press. 2004.
Shihab,
M.Qurash. Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Firdaus. 1999.