A.
Pendahuluan
Setiap
orang yang percaya akan kebenaran Al-Qur’an, maka sudah semestinya ia berupaya
sunguh-sungguh menelaah seberapa besar dirinya mampu menerima penjelasan Al-Qur’an
sebagai petunjuk dan nasehatnya. Kesungguhan untuk memahami maksud yang terkandung
dalam Al-Qur’an adalah merupakan panggilan keimanan dalam hatinya. Karena seorang
muslim sudah menjadi kewajiban agar selalu terikat dengan segala petunjuk Allah
SWT. Dengan demikian seorang muslim akan senantiasa bersegera memenuhi seruan Allah
SWT dengan mengamalkan dan menghayatinya sebagai wujud pengharapan terhadap
keridhaan dan surga-Nya sebagaimana firman Allah SWT:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ
رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya
: “Dan bersegerAlah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS:
Al-Imran: 133)
Dan cara untuk memenuhi seruan Allah adalah dengan jalan memahami kandungan Al-Quran sebagai kitab petunjuk bagi seorang muslim. Dengan demikian sepanjang zaman Alqur’an akan selalu digAli dan ditelaah maknanya sehingga ia bisa fungsionAl dan kontekstuAl untuk mengarahkan perilaku kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu berbagai pemahaman dan penafsiran terhadapnya selalu memenuhi kajian para intelektuAl muslim. Tafsir yang disebutkan oleh Ali Al-Hasan sebagaimana yang dikutip oleh Hafidz Abdurrahman, yaitu ilmu yang membahas tentang Al-qur’an dari pemahaman yang ditunjukkan oleh aspek dilalah nya sesuai dengan kadar kemampuan manusia[1], sungguh telah menjadi ilmu yang paling penting dalam khasanah keilmuan Islam.
Berdasarkan hal tersebut,
penulis ingin mengetengahkan salah seorang ulama yang telah ikut andil memberikan kontribusi dalam ranah penafsiran Al-Qur’an. Mudah-mudahan kita dapat memetik hikmah dan pelajaran penting darinya dengan semakin bertambahnya kecintaan kepada Alquran agar senantiasa hidup kita dihiasi dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
B. Telaah Kitab Tafsir “Al-Tahri>r wa Al-Tanwi>r”
1.
Biografi penulis kitab Tafsir “Al-Tahrir wa Al-Tanwir”
Penulis
kitab ini adalah Ibn ‘Asyur, dengan nama lengkap Muhammad Thahir bin Muhammmad bin Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd Al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Lahir dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari andAlusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973 M. Tempat lahir dan wafatnya sama yaitu di Tunisia. Kakek jauhnya yaitu Muhammad bin ‘Asyur mendatangi Tunisia dan kemudian menetap disana pada tahun 1060 H. Keluarga ‘Asyur terkenAl sebagai keluarga religius sekAligus pemikir. Kakek Ibn ‘Asyur, yaitu Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qadli di Tunisia. Bahkan pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi Mufti di negaranya. Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad Al- Aziz bin Attar. Ia menikah dengan Fatimah binti Muhamad bin Mushthafa Muhsin. Dari hasil perkawinan itu ia mempunyai 3 orang anak laki-laki dan dua orang anak peremuan. Pertama, Al Fadlil menikah dengan Sabia binti Muhammad Al-Aziz Jait. Kedua, Abd Al-Malik menikah dengan Radliya binti Al-Habib Al-Jluli. Ketiga, Zain Al-Abidin menikah dengan Fatimah binti Shalih ad-Din bin Munshif Bey.
Keempat, Ummu Hani menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin Al-Bashir Ibn Al-Khuja dan Syafiya menikah dengan Syazili Al-Asram.
Ibn
‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar Al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qiraatnya di sekitar tempat tinggAlnya. Setelah hafAl Al-Qur’an, ia belajar di Universitas Zaitun sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Dia belajar kepada ayahnya Syaikh Muhammad bin ‘Asyur, Syaikh Ibrahim ar-Riyahi, Syaikh muhammad bin Al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur as-Sahili, dan Syaikh Muhammad Al-Khadlar. Universitas Zaitun adalah sebuah perguruan tinggi yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang menganut mazhab Hanafi.
Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muhammad Al-Khadhar Husain at-Tunisy. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang tinggi, sama-sama pernah dijobloskan ke dalam bui lantaran mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Pada akhirnya Muhammad Al-Khadhar ditakdirkan oleh Allah menjadi mufti Mesir, beliau pun mendapat kepercayaan menjadi Qadhi di Tunis yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan di Tunisia.
Dalam
muqaddimah tafsir "at-Tahrir wat-Tanwir" beliau menuturkan, satu angan-angan terbesar dalam hidup beliau yang ingin dicapai adalah menafsirkan kitab Allah Swt. sebagai mu'jizat terbesar Nabi Muhammad Saw. Bercita-cita membuat sebuah tafsir yang lengkap dari segi kebahasaan dan maknanya, yang belum pernah ada sebelumnya. Tafsir yang mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Bukan hanya sekedar mengumpulkan perkataan ulama sebelumnya, melainkan memiliki penjelasan-penjelasan yang berasal dari hasil pengetahuan sendiri yang lebih detail dan menyeluruh dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Beliau melihat beberapa tafsir yang ada hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya. Seakan-akan sang pengarang tidak memiliki kontribusi
pendapat sedikit pun kecuAli hanya merunut pendapat ulama lain. Cuma berbeda dari porsi yang diambil, ada yang memaparkannya secara singkat sebaliknya ada yang panjang lebar. Berkat rahmat Allah Swt., angan-angan ini bisa tercapai. Karya beliau bisa rampung tersusun dan ikut meramaikan khazanah ilmu pengetahuan Islam.
2.
Nama Penerbit dan Kota penerbitan
Kitab Tafsir “Al-Tahri>r wa Al-Tanwi>r”
ini diterbitkan
Dar Sahnu>n li Al-Nashri wa Al-Tauzi>’
di Tunisia.
3.
Jumlah Juz Dan Jumlah Halaman
Dalam Setiap
Juznya
Kitab Tafsir “Al-Tahrir wa Al-Tanwir” terdiri dari 12 Jilid dengan rincian jumlah Juz serta jumlah halaman pada masing-masing juznya sebagai berikut:
Kitab Tafsir “Al-Tahrir wa Al-Tanwir” terdiri dari 12 Jilid dengan rincian jumlah Juz serta jumlah halaman pada masing-masing juznya sebagai berikut:
a.
Jilid 1
Jilid yang pertama pada kitab ini terdiri dari dua Juz. Juz pertama terdiri dari 748 halaman, sedangkan juz kedua terdiri dari 503 halaman.
Jilid yang pertama pada kitab ini terdiri dari dua Juz. Juz pertama terdiri dari 748 halaman, sedangkan juz kedua terdiri dari 503 halaman.
b.
Jilid 2
Jilid kedua terdiri dari tiga Juz yaitu juz 3,4 dan 5. Juz ke tiga terdiri dari 308 halaman. Juz ke empat terdiri dari 301 halaman dan Juz ke lima terdiri dari 245 halaman.
Jilid kedua terdiri dari tiga Juz yaitu juz 3,4 dan 5. Juz ke tiga terdiri dari 308 halaman. Juz ke empat terdiri dari 301 halaman dan Juz ke lima terdiri dari 245 halaman.
c.
Jilid 3
Jilid ketiga kitab ini terdiri dari dua Juz yaitu juz ke 6 dan 7. Juz 6 terdiri dari 296 halaman dan juz 7 terdiri dari 444 halaman.
Jilid ketiga kitab ini terdiri dari dua Juz yaitu juz ke 6 dan 7. Juz 6 terdiri dari 296 halaman dan juz 7 terdiri dari 444 halaman.
d.
Jilid 4
Jilid ke empat kitab ini terdiri dari dua juz yaitu juz 8 dan 9. Juz 8 terdiri dari 251 halaman dan juz ke-9 terdiri dari 348 halaman.
Jilid ke empat kitab ini terdiri dari dua juz yaitu juz 8 dan 9. Juz 8 terdiri dari 251 halaman dan juz ke-9 terdiri dari 348 halaman.
e.
Jilid 5
Jilid kelima kitab ini terdiri dari tiga juz yaitu juz 10,11 dan 12. Juz 10 terdiri dari 296 halaman. Juz 11 terdiri
dari 324 halaman dan juz yang ke-12 terdiri dari 293 halaman.
f.
Jilid 6
Jilid ke enam kitab tafsir ini terdiri dari tiga juz yaitu juz 13, 14, dan 15. Juz 13 terdiri dari 255 halaman. Juz 14 terdiri dari 338 halaman dan juz 15 terdiri dari 378 halaman.
Jilid ke enam kitab tafsir ini terdiri dari tiga juz yaitu juz 13, 14, dan 15. Juz 13 terdiri dari 255 halaman. Juz 14 terdiri dari 338 halaman dan juz 15 terdiri dari 378 halaman.
g.
Jilid 7
Jilid ke tujuh kitab tafsir ini terdiri dari dua juz yaitu juz 16 dan 17. Juz 16 terdiri dari 349 halaman. Sedangkan juz 17 terdiri dari 353 halaman
Jilid ke tujuh kitab tafsir ini terdiri dari dua juz yaitu juz 16 dan 17. Juz 16 terdiri dari 349 halaman. Sedangkan juz 17 terdiri dari 353 halaman
h.
Jilid 8
Jilid ke delapan kitab tafsir ini terdiri dari empat juz yaitu juz 18, 19, 20, dan 21. Juz 18 terdiri dari 345 halaman. Juz 19 terdiri dari 289 halaman. Juz 20 terdiri dari 261 halaman. Dan juz ke 21 terdiri dari 320 halaman.
Jilid ke delapan kitab tafsir ini terdiri dari empat juz yaitu juz 18, 19, 20, dan 21. Juz 18 terdiri dari 345 halaman. Juz 19 terdiri dari 289 halaman. Juz 20 terdiri dari 261 halaman. Dan juz ke 21 terdiri dari 320 halaman.
i.
Jilid 9
j.
Jilid 10
k.
Jilid 11
l.
Jilid 12
4.
Biografi Ibnu ‘Asyur, Keahlian Ilmu dan Lain-lain
Ibnu ‘Asyur nama lengkapnya Muhammad Thahir (Thahir II) bin Muhammmad bin
Muhammad Thahir (Thahir I) bin Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir
bin Muhammad bin ‘Asyur. Lahir dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari
andalusia pada tahun 1296 H atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H atau 1973
M. Tempat lahir dan wafatnya sama yaitu di Tunis. Kakek jauhnya yaitu Muhammad
bin ‘Asyur mendatangi Tunisia dan kemudian menetap disana pada tahun 1060 H. Keluarga
‘Asyur terkenal sebagai keluarga religius sekaligus pemikir. Kakek Ibn ‘Asyur,
yaitu Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Syazili adalah seorang ahli
nahwu, ahli fiqih, dan pada tahun 1851 menjabat sebagai ketua qadli di Tunisia.
Bahkan pada tahun 1860 ia dipercaya menjadi Mufti di negaranya. Ibunya bernama
Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad Al- Aziz bu Attar. Ia
menikah dengan Fatimah binti Muhamad bin Mushthafa Muhsin. Dari hasil
perkawinan itu ia mempunyai 3 orang anak laki-laki dan dua orang anak peremuan.
Pertama, al Fadlil menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Aziz Jait. Kedua, Abd
al-Malik menikah dengan Radliya binti al-Habib al-Jluli. Ketiga, Zain al-Abidin
menikah dengan Fatimah binti Shalih ad-Din bin Munshif Bey. Keempat, Umm Hani
menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bashir Ibn al-Khuja dan Syafiya
menikah dengan Syazili al-Asram. Ibn ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan
kondusif bagi seorang yang cinta ilmu. Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan,
tajwid, maupun qiraatnya di sekitar tempat tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an,
ia belajar di Mesjid Zaitunah sampai ia ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Dia
belajar kepada ayahnya Syaikh Muhammad bin ‘Asyur, Syaikh Ibrahim ar-Riyahi,
Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur as-Sahili, dan Syaikh Muhammad al-Khadlar.
Zaitunah adalah sebuah mesjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat
kegiatan keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang
menganut mazhab Hanafi. Kitab yang terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi
kepada dua belas jilid ini merupakan sebuah tafsir kontemporer. Tampilan unik
dan berbeda dengan kitab lain secara kasat mata
Dari sederetan buku tafsir yang ada dalam khazanah penafsiran Al-Quran,
termasuk dalam daftar tafsir terkemuka adalah karangan Ibnu ‘Asyur yang satu
ini. Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur adalah seorang ulama kontemporer, wafat pada
sepuluh tahun terakhir ini tepatnya sekitar tahun 2001. Memulai petualangannya
menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan
az-Zaitunah, Tunis. Azzaitunah ini setaraf dengan al-Azhar di Mesir, dari model
pendidikannya yang berpusat pada sebuah masjid dan begitu pula usia berdiri
atau eksisnya lembaga pendidikan tersebut. Beliau hidup sezaman dengan ulama
ternama di Mesir, Muhammad al-Khadhar Husain at-Tunisy. Keduanya adalah teman
seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa, memiliki tingkat keimanan yang
tinggi, sama-sama pernah dijobloskan ke dalam bui lantaran mempertahankan pemahaman
dan ideologinya serta menanggung penderitaan yang sangat berat demi
memperjuangkan negara dan agama. Pada akhirnya Muhammad al-Khadhar ditakdirkan
oleh Allah menjadi mufti Mesir, beliau pun mendapat kepercayaan menjadi Qadhi
di Tunis yang kemudian diangkat menjadi seorang penentu fatwa keagamaan di
Tunis.
Dalam muqaddimah tafsir “at-Tahrir wat-Tanwir” beliau menuturkan, satu
angan-angan terbesar dalam hidup beliau yang ingin dicapai adalah menafsirkan
kitab Allah Swt. sebagai mu’jizat terbesar Nabi Muhammad Saw. Bercita-cita
membuat sebuah tafsir yang lengkap dari segi kebahasaan dan maknanya, yang
belum pernah ada sebelumnya. Tafsir yang mencakup kemaslahatan dunia dan
akhirat. Bukan hanya sekedar mengumpulkan perkataan ulama sebelumnya, melainkan
memiliki penjelasan-penjelasan yang berasal dari hasil pengetahuan sendiri yang
lebih detail dan menyeluruh dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran. Beliau melihat
beberapa tafsir yang ada hanya mengambil pendapat ulama sebelumnya. Seakan-akan
sang pengarang tidak memiliki kontribusi pendapat sedikit pun kecuali hanya
merunut pendapat ulama lain. Cuma berbeda dari porsi yang diambil, ada yang
memaparkannya secara singkat sebaliknya ada yang panjang lebar. Berkat rahmat Allah
Swt., angan-angan ini bisa tercapai. Karya beliau bisa rampung tersusun dan
ikut meramaikan khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Ibn ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai
pengajar bermula pada tahun 1930 menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua bagi
mazhab Maliki di Mesjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun
1905. Pada tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Shadiqi. Dia
terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Mesjid Zaitunah pada tahun 1908.
Pada tahun berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Shadiqi. Ia
diangkat menjadi qadli (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat
menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun
1927. ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. Ia
terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950
dan anggota majma’ ai-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955. Ia banyak
menulis buku dan menulis berbagai majalah dan koran di Tunisia. Diantara
Karya-Karyanya Adalah Dari Segi Buku dan Koran:
1.
Alaisa ash-Shubh bi Qari>b
2.
Maqa>s}id asy-Shari’ah Al-Isla>miyah
3.
Us}u>l an-Nizha>m Al-Ijtima>‘i
fi> Al-Isla>m
4.
Al-Tahri>r wat-Tahri>r min at-Tafsi>r
5.
Al-Waqfu wa atha>ruhu fi> Al-Isla>m
6.
Uslu>b Al-Ins}a>’i wa Al-Khitha>bah
7.
Mujiz Al-BAla>ghah
8.
Hashiyah Ala> Al-Qathr
9.
Sharh ’Ala Burdah Al-Bushi>ri
10.
Al-Ghaits Al-Ifri>qi
11.
Hashi>yah ’Ala Al-MahAlli ’Ala jam’
Al-Jawami
12.
Hashi>yah ’Ala Ibn Sa’id Al-Usymuni
13.
Hashi>yah ’Ala Syarh Al-Isha>m
li Risa>lati Al-Baya>n
14.
Ta’liq ‘Ala ma Qara’ahu min Shahihi
Muslim
15.
Al Ijtiha>d Al Maqa>sidi
16.
Al Istinsakh fi Dhou’i Al Maqasid
17.
Al Maqa>sid as Shar’iyah: ta’rifuha,
amtsilatuha, hujjiyatuha
18.
Al Maqa>sid as Shar’iyah: wa shila>tuha
bi Al adillah as Shar’iyah wa Al musthAlahat Al us}u>liyah
19.
Al Mas}lahah Al MursAlah
20.
Al Istiqra wa Dauruhu fi Ma’rifati Al
Maqa>sid)
21.
Al Muna>sabah as Shar’iyah
22.
Al Maqa>sid a Shar’iyah fi Al Hajj
Pada separoh
akhir dari abad ke 20 masehi, syaikh Muhammad Thahir Ibn Asyur dan tokoh asal
Maroko Muhammad Alal al Fasi. Mereka berdua hidup dalam satu masa, yang pertama
mutakharij Al-Zaitunah dan yang kedua mutakhorij al Kairouiyien, di tangan
mereka berdua inilah maqasid shari’ah telah diproyeksikan sebagaimana pernah
dicanangkan jauh sebelumnya oleh imam Syatibi. Thahir Ibn Asyur menuangkan ide
maqasidnya secara khusus dalam buku Maqasid as Shari’ah al Islamiyah (tebal 216
halaman), dan secara kondisional dalam karya lainnya semisal tafsir at Tahrir
wa at Tanwir, buku Ushul an Nidzam al Ijtima’i dan Alaisa as Shubhu bi Qarib.
Sedangkan syaikh Alal al Fasi mengkajinya secara komprhensif dalam buku Maqasid
as Shari’ah al Islamiyah wa Makarimuha (tebal 288 halaman) juga menyinggung
secara parsial dalam karyanya yang lain, semisal Difa’ an as Shari’ah, buku Hal
Insan fi hajatin ila al falsafah dan bukunya yang berjudul an Naqd ad Dzati.
Banyak kesamaan ide dan pemikiran dari dua tokoh asalMaghrib Arabi ini, satu
contohnya adalah: pandangan yang menyatakan bahwa maqasid shari’ah berdiri di
atas fitrah manusia. Berangkat dari firman Allah Swt dalam surat ar Ruum ayat
30 dan surat al A’raf ayat 119, Thahir Ibn Asyur dan Alal al Fasi sepakat bahwa
menjaga fitrah manusia adalah termasuk dalam maqasid shari’ah, untuk itu shari’at
Islam tidak akan pernah bertentangan dengan akal manusia, selama ia dalam
kondisi normal. (Thahir Ibn Asyur: hlm. 57 dan Alal al Fasi: hlm. 70) Hanya
saja sisi perbedaan dari keduanya adalah: bahwa Thahir Ibn Asyur lebih
berkonsentrasi pada proyek meng-independenkan maqasid shari’ah sebagai sebuah
disiplin keilmuan tersendiri lepas dari kerangka ilmu ushul fiqh, dengan
merumuskan konsep, kaidah serta substansi kajiannya.
5. Analisis Terhadap Karakter Tafsir Ibnu A’shur
Tafsir karya Ibnu ‘Asyur
dari sisi materi, kitab ini terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua
belas jilid. Masih diterbitkan oleh penerbit tunggal yang masih cukup sulit
kita dapati. Sebuah tafsir kontemporer yang memiliki ciri khas tersendiri dalam
paparannya menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Memiliki tampilan unik dan berbeda
dengan kitab lain secara kasat mata. Memiliki metode penyusunan unik, yang
tidak menghususkan satu jilid untuk satu juz saja melainkan secara acak. Kadang
memuat dua juz bahkan sampai lima juz perjilidnya.
Beliau memulai tafsirnya dengan sekelumit materi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pengetahuan dasar memahami seluk beluk gaya bahasa Al-Quran
secara singkat. Memaparkan muqaddimahnya sampai kepada sepuluh bagian
pembukaan, mulai dari penjelasan tafsir dan ta’wil, penjelasan fenomena tafsir
bil ma’tsur dan bir-ra’yi, asba>bun nuzu>l, sampai kepada i’ja>zuI
Qurân. Itupun sampai menghabiskan seratus halaman pertama untuk penjelasan
sesingkat ini. Mirip dengan uraian singkat Ulumul Quran yang sudah mencapai
tingkat yang cukup rumit.
Mendeskripsikan cakupan
bahasan dalam tafsir ini, beliau mengungkapkan dalam pendahuluan tafsirnya,
“Saya benar-benar berusaha menampilkan dalam tafsir Al-Quran hal-hal langka
yang belum digarap oleh ulama tafsir sebelumnya. Menempatkan diri sebagai
penengah perbedaan pendapat ulama yang pada satu waktu sepaham dengan salah
satunya dan pada waktu lain berseberangan pendapat dengan alasan tersendiri. Dalam
tafsir ini, saya berusaha mengungkap setiap i’jazul Quran, nilai-nilai bala>ghah yang terkandung dalam sebuah kalimat Al-Quran serta
menjelaskan uslub-uslub penggunaannya”. Menjelaskan hubungan antara satu ayat
dengan ayat lainnya, terutama antara satu ayat dengan ayat sebelum dan
sesudahnya. Al-Quran telah didesain dengan sangat luar biasa, memiliki susunan
yang unik namun tetap memiliki ketersambungan antara satu ayat dengan ayat
lain. Tidak melewatkan satu surat pun dalam Al-Quran kecuali berusaha
menjelaskan secara lengkap setiap maksud yang terkandung di dalamnya
secara utuh. Tidak sebatas menjelaskan makna setiap kata dan kalimatnya saja
secara parsial, melainkan merangkai kembali makna tiap kata dan kalimat yang
telah diurai terpisah menjadi satu tujuan atau maksud yang diusung oleh setiap
ayat maupun surah Al-Quran. Dalam metode pemaparan tafsir ini, tidak
terlewatkan penjelasan secara gamblang tinjauan bahasa setiap kata dalam Al-Quran,
menyimak hikmah dari pemilihan kata yang digunakan sampai kepada sisi gramatikal
setiap kalimat. Secara spesifik menilik setiap Al-Quran dari kacamata ilmu
nahwu dan tashrif, turut melengkapi posisi i’rab dari penggalan kata-kata Al-Quran.
Kita mnegetahui bahwa tafsir Ibnu Asyur yang ditafsirkan oleh muhammad Thahir
Ibnu Asyur hanya mencakup satu metodolgi yaitu dengan tafsir bi al-lughah
dengan menggunakan tafsir bi al-lughah maka sebagian orang mengatakan
bahwa dengan menggunakan tafsir bi al-lughah saja lebih sulit di
bandingkan dengan tafsir yang lainya, seperti tafsir Ibnu Katsir, Qurtuby,
Tafsir al-furqan, atau dengan tafsir bil ma’stur karena tafsir bil ma’stur
manggunakan penafsisran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan hadits, al-Qur’an
dan qaul sahabat, tabi>i’n tabi-ut trabiin. Adapun tafsir bi al-lughah
menggunakan bahasa lain tapi juga dengan berbahasa arab dan juga menggunakan
mantiq, tapi di sisi lain walaupun tafsir ibnu Asyur tersebut terkenal dengan
menggunakan tafsir bi al-lughah maka di sisi lain juga menggunakan
tafsir al-Qur dengan Qur’an, al-Qur’an dan hadits, dan al-Qur’an dengan
perkataan sahabat, di bawah ini sebagian bukti bahwa tafsir tersebut tidak
hanya menggunkan bi al-lughah saja.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا
مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
تفريع عن قوله : { ألم تر إلى الذين
يزعمون } [ النساء : 60 ] وما بعده إذْ تضمّن ذلك أنّهم فعلوا ما فعلوا وهم يزعمون
أنّهم مؤمنون ، فكان الزعم إشارة إلى انتفاء إيمانهم ، ثمّ أردف بما هو أصرح وهو أن
أفعالهم تنافي كونهم مؤمنين بقوله : { لا يؤمنون } ، وأكدّه بالقسم وبالتوكيد اللفظي
.
وأصل الكلام : فوربّك لا يؤمنون ، والعرب
تأتي بحرف النفي قبل القسم إذا كان جواب القسم منفياً للتعجيل بإفادة أنّ ما بعد حرف
العطف قسم على النفي لما تضمّنته الجملة المعطوف عليها ، فتقديم النفي للاهتمام بالنفي
، كقول قيس بن عاصم :
فَلا والله أشْرَبُها صَحيحاً ...
ولاَ أشْفَى بها أبداً سقيماً
ويكثر أت يأتوا مع حرف النفي بعد العاطف
بحرف نفي مثله في الجواب ليحصل مع الاهتمام التأكيدُ ، كما في هذه الآية ، وهو الاستعمال
الأكثر ، ولم أر في كلام العرب تقديم ( لاَ ) على حرف العطف إبطالاً للكلام السابق
، ووقع في قول أبي تمّام :
لا والذي هو عالم أنَّ النوى ...
صِبْر وأنَّ أبا الحُسين كريم
وليست ( لا ) هذه هي التي تَرِد مع
فعل القسم مزيدة والكلام معها على الإثبات ، نحو { لاَ أقسم } [ القيامة : 1 ] وفي
غير القسم نحو { لئلاّ يعلم أهل الكتاب } [ الحديد : 29 ] ، لأنّ تلك ليس الكلام معها
على النفي ، وهذه الكلام معها نفي ، فهي تأكيد له على ما اختاره أكثر المحقّقين خِلافاً
لصاحب «الكشّاف» ، ولا يلزم أن تكون مواقع الحرف الواحد متّحدة في المواقع المتقاربة
.
وقد نُفي عن هؤلاء المنافقين أن يكونوا
مؤمنين كما يزعمون في حال يظنّهم الناس مؤمنين ، ولا يشعر الناس بكفرهم ، فلذلك احتاج
الخبر للتأكيد بالقسم وبالتوكيد اللفظي ، لأنّه كشْف لباطن حالهم . والمقسم عليه هو
: الغاية ، وما عطف عليها بثمّ ، معاً ، فإنْ هم حكّموا غير الرسول فيما شجر بينهم
فهم غير مؤمنين ، أي إذا كان انصرافهم عن تحكيم الرسول للخشية من جوره كما هو معلوم
من السياق فافتضح كفرهم ، وأعْلَم الله الأمّة أنّ هؤلاء لا يكونون مؤمنين حتّى يحكّموا
الرسول ولا يجدوا في أنفسهم حرجاً مِن حكمه ، أي حرجاً يصرِفهم عن تحكيمه ، أو يسخطهم
من حكمه بعد تحكيمه ، وقد علم من هذا أنّ المؤمنين لا ينصرفون عن تحكيم الرسول ولا
يجدون في أنفسهم حرجاً من قضائه بحكم قياس الأحرى .
وليس المراد الحرجَ الذي يجده المحكوم
عليه من كراهية ما يُلزم به إذَا لم يخامره شكّ في عدل الرسول وفي إصابته وجه الحقّ
. وقد بيّن الله تعالى في سورة النور كيف يكون الإعراض عن حكم الرسول كفراً ، سواء
كان من منافق أم من مؤمن ، إذ قال في شأن المنافقين «وإذا دُعوا إلى الله ورسوله ليحكم
بينهم إذا فريق منهم معرضون وإن يكن لهم الحقّ يأتوا الله مذعنين أفي قلوبهم مرض أم
ارتابوا أم يخافون أن يحيف الله عليهم ورسوله ثمّ قال إنّما كان قولَ المؤمنين إذَا
دُعوا إلى الله ورسوله ليحكم بينهم أن يقولوا سمعنا وأطعنا» ، لأنّ حكم الرسول بما
شرع الله من الأحكام لا يحتمل الحيف إذ لا يشرع الله إلاّ الحقّ ، ولا يخالف الرسولُ
في حكمه شَرْعَ الله تعالى .
ولهذا كانت هذه الآية خاصّة بحكم الرسول
صلى الله عليه وسلم فأمّا الإعراض عن حكم غير الرسول فليس بكفر إذا جَوَّز المعرض على
الحاكم عدمَ إصابته حكم الله تعالى ، أو عدم العدل في الحكم . وقدْ كَره العباس وعليُّ
حكم أبي بكر وحُكم عمر في قضية ما تركه النبي صلى الله عليه وسلم من أرض فدَكَ ، لأنّهما
كانا يريان أنّ اجتهاد أبي بكر وعمر في ذلك ليس من الصواب . وقد قال عينية بن حصْن
لعمر : «إنّك لا تقسم بالسوية ولا تعدِل في القضية» فلم يُعد طعنه في حكم عمرَ كفراً
منه . ثم إنّ الإعراض عن التقاضي لدى قاضي يحكم بشريعة الإسلام قد يكون للطعن في الأحكام
الإسلامية الثابت كونها حكم الله تعالى ، وذلك كفر لدخوله تحت قوله تعالى : { أفي قلوبهم
مرض أم ارتابوا } [ النور : 50 ] ؛ وقد يكون لمجرّد متابعة الهوى إذا كان الحكم المخالف
للشرع ملائماً لهوى المحكوم له ، وهذا فسوق وضلال ، كشأن كلّ مخالفة يخالف بها المكلّف
أحكام الشريعة لاتّباع الأعْراض الدنيوية ، وقد يكون للطعن في الحاكم وظنّ الجور به
إذا كان غير معصوم ، وهذا فيه مراتب بحسب التمكّن من الانتصاف من الحاكم وتقوميه ،
وسيجيء بيان هذا عند قوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون
} في سورة العقود ( 44 ) .
ومعنى { شَجَر } تداخل واختلف ولم يتبيّن
فيه الإنصاف ، وأصلُه من الشَجَر لأنّه يلتفّ بعضه ببعض وتلتفّ أغصانه . وقالوا : شجر
أمرهم ، أي كان بينهم الشرّ . والحرج : الضيق الشديد { يَجْعَلْ صدره ضَيِّقاً حَرِجاً
} [ الأنعام : 125 ] .
وتفريع قوله : { فلا وربّك لا يؤمنون
} الآية على ما قبله يقتضي أنّ سبب نزول هذه الآية هو قضية الخصُومَة بين اليهودي والمنافق
، وتحاكم المنافق فيها للكاهن ، وهذا هو الذي يقتضيه نظم الكلام ، وعليه جمهور المفسّرين
، وقاله مجاهد ، وعطاء ، والشعبي .
وفي «البخاري» عن الزبير : أحسب هذه
الآية نزلت في خصومة بيني وبين أحد الأنصار في شِرَاج من الحَرَّة ( أي مسيل مياه جمع
شَرْج بفتح فسكون وهو مسيل الماء يأتي من حرّة المدينة إلى الحوائط التي بها ) إلى
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال رسول الله : " اسق يا زبيرُ ثم أرسل الماء إلى
جارك " فقال الأنصاري : لأنْ كانَ ابنَ عمّتك . فتغيّر وجه النبي صلى الله عليه
وسلم وقال : اسق يا زبير حتّى يبلغ الماء الجَدْرَ ثم أرسل إلى جارك واستَوْف حقَّك
( والجدَر هو ما يدار بالنخل من التراب كالجِدار ) فكان قضاؤه الأوّل صلحاً ، وكان
قضاؤه الثاني أخذاً بالحقّ ، وكأنَّ هذا الأنصاري ظمّ أنّ النبي صلى الله عليه وسلم
أراد الصلح بينهم على وجه فيه توفير لحقّ الزبير جبراً لخاطره ، ولم ير في ذلك ما ينافي
العصمة ، فقد كان الصحابة متفاوتين في العلم بحقائق صفات الرسول مدفوعين في سبر النفوس
بما اعتادوه من الأميال والمصانعات ، فنّبههم الله تعالى على أنّ ذلك يجرّ إلى الطعن
في العصمة .
وليس هذا الأنصاري بمنافق ولا شاكّ
في الرسول ، فإنّهم وصفوه بالأنصاري وهو وصف لخيرة من المؤمنين ، وما وصفوه بالمنافق
، ولكنّه جهل وغفل فعفا عنه رسول الله ولم يستتبه . وهذه القضية ترجع إلى النظر في
التكفير بلازم القول والفعل ، وفيها تفصيل حسن لابن رشد في البيان والتحصيل في كتاب
«الجنائز» وكتاب «المرتدّين» . خلاصته : أنّهُ لا بدّ من تنبيه من يصدر منه مثل هذا
على ما يلزم قولَه من لازم الكُفر فإن التزمه ولم يرجع عُدَّ كافراً ، لأنّ المرء قد
يغفل عن دلالة الالتزام ، ويؤخذ هذا على هذا الوجه في سبب النزول من أسلوب الآية لقوله
: { لا يؤمنون } إلى قوله { تسليماً } فنبّه الأنصاري بأنّه قد التبس بحالة تنافي الإيمان
في خفاء إن استمرّ عليها بعد التنبيه على عاقبتها لم يكن مؤمناً .
والأنصاري ، قيل : هو غير معروف ، وحبّذا
إخفاؤه ، وقيل : هو ثعلبة بن حاطب ، ووقع في «الكشاف» أنه حَاطب بن أبي بلتعة ، وهو
سهو من مؤلِفه ، وقيل : ثابت بن قيس بن شمَّاس ، وعلى هذه الرواية في سبب النزول يكون
معنى قوله : { لا يؤمنون } أنّه لا يستمرّ إيمانهم . والظاهر عندي أنّ الحادثتين وقعتا
في زمن متقارب ونزلت الآية في شأن حادثة بشر المُنَافق فظنّها الزبير نزلت في حادثته
مع الأنصاري .
Inilah contoh model penafsiran Ibnu
‘Asyur ketika beliau menafsirkan surat Al-Nisa’ ayat 65. beliau memulai
penjelasan tafsirnya dengan penjelasan tata bahasa ayat tersebut yang
menggunakan kata Qasam yang ia sebut sebagai bentuk penekanan. lalu menjelaskan
pengertiannya dengan menyebutkan tentang keharusan seorang muslim agar terikat
dengan hukumnya Rasulullah SAW yang berdasarkan pada hokum Allah atau
syariahnya. Untuk memperkuat penjelasannya, beliau juga menggunakan ayat Al-qur’an
surat An-Nur 50-51 yang menjelaskan tentang keadaan orang yang tidak mau
terhadap hukum Allah disebabkan ada penyakit dalam hati mereka. padahal
seharusnya seorang muslim ketika diminta taat kepada Allah dan Rasul-Nya
hendaknya mereka hanya menyatakan kami mendengar dan kami taat. Disamping itu
ibnu A’syur menggunakan surat Al-Maidah ayat 44 yang menjelaskan bahwa barang
siapa yang tidak berhukum terhadap hukum yang telah diturunkan oleh Allah, maka
mereka termasuk orang kafir. Ketika menjelaskan tentang sebab turunya ayat ini
beliau juga menggunakan hadits nabi dan penjelasan oleh penafsir yang lain. Dari
model penafsiran ini dapat disimpulkan bahwa tafsir Ibnu A’syur, selain bi al-lughah,
juga menggunakan tafsir bi al-ma’thur. Disamping itu beliau menafsirkan ayat
per ayat di dalam Al-Quran secara terperinci (tahlili).
Daftar pustaka
Al-Baba>ni, Hadiyah al ‘Arifi>n, t.p
Abd al-Hayyi
ibn Al-Kabi>r al-Katta>ni, Fahras al-Faha>ris. Beirut, Da>r
al-Gharb al-Isla>mi,1982.
Majalah al-Ta>rikh al-‘Arabi
Majalah al-Ja>mi’ah al-Isla>miah bi al-Madinah
al-Munawwarah
Majalah al-Ja>mi’ah Ummu al-Qura>