PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui bahwa
ada tiga kelompok besar sistem-sistem
hukum di dunia Islam dewasa ini. Pertama, kelompok yang menggunakan
sistem hukum shariah dan menjadikannya hukum asasi dengan masih menerapkannya
secara utuh. Kedua, kelompok yang sama sekali menanggalkan sistem hukum shariah dan menggantikannya dengan
sistem sekuler. Ketiga, kelompok
yang mengkompromikan sistem hukum antara kedua sistem tersebut. [1]
Ketiga macam sistem dan pola
hukum tersebut muncul sebagai respons sekaligus jawaban atas dinamika kehidupan
dan realitas sosial. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa hukum atau
suatu perundang-undangan bukan merupakan suatu hal yang bersifat eternal (abadi)
melainkan tumbuh dan berubah sesuai perubahan masyarakat dan zamannya atau
dalam arti lain merupakan sebuah bentuk refleksi kehidupan sosial.[2]
Pada bagian selanjutnya, hukum
yang telah di konstruk sedemikian rupa dengan pola-pola atau sistem-sistem yang
telah menyesuaikan dirinya dengan realitas sosial yang ada itu pada tataran
praksisnya dibatasi oleh kompetensi dan yurisdiksi hukum itu sendiri. Dengan
demikian menjadi penting mengetahui kompetensi dan yurisdiksi hukum Islam itu
agar tepat sasarannya dalam merepresentasikan nilai-nilai luhur yang
dikandungnya.
KOMPETENSI DAN YURISDIKSI HUKUM ISLAM
A.
MINIATUR SHARI’AH
Sebelum kita membahas lebih dalam tentang kompetensi dan
yurisdiksi hukum Islam,
perlu kita kaji ulang tatanan hukum Islam itu sendiri. Dalam kajian hukum Islam
terdapat tiga pembidangan wilayah ilmu yang sering dikemukakan oleh
ulama,yaitu: aqidah
(kalam), ilmu fiqih (shari’ah)
dan ilmu tasawuf-akhlak.[3]
Ketiga ilmu tersebut dalam aplikasinya tidak dapat dibedakan atau dipisahkan
terlebih dipertentangkan, karena satu sama lain saling berkaitan.
Pada tahapan selanjutnya ilmu syari’ah dibagi ke dalam dua kelompok besar: ibadah
dan mu’amalah. Ibadah lebih menitik beratkan pada hubungan manusia
dengan Allah (hablun min Allah)
dan oleh karenanya tidak banyak terjadi perbedaan pendapat dalam wilayah ini.
Lain halnya dengan mu’amalah yang bermuatan tentang pola hubungan manusia
dengan sesama manusia yang di sana-sini
sangat dimungkinkan dilakukannya interpretasi atau secara ekplisit disebut
ijtihad.
Adapun muatan dari
syari’ah mua’amalah ini terbagi ke dalam dua bagian: pertama, Perdata
meliputi masalah munakahah, wirathah, hibah, wakaf,zakat dan
sebagainya. Kedua, publik yang meliputi jinayah, khilafah
atau pemerintahan, siyar (hubungan internasional) dan mukhasamah
(hukum acara).[4]
Jika kita meninjau lebih dalam epistimologi hukum Islam maka
terdapat dua dimensi:[5]
1.
Dimensi Ila>hiyah (ajaran suci)
2.
Dimensi Insa>niyah (akomodasi upaya manusia memahami ajaran yang suci
dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqoshid)
dalam dimensi ini produk pemikiran dilahirkan dengan berbagai pendekatan yang
salah satunya yang dikenal dengan istilah ijtihad. Dalam dimensi ini juga hukum
Islam melahirkan berbagai istilah diantaranya, fikih, fatwa dan qadla.
Dari sini jelas bahwa objek kajian tentang siya>sah Islamiyah berada dalam kelompok
mu’amalah dan dalam dimensi insa>niyah yang sudah barang tentu tidak akan terlepas dari upaya
interpretasi hukum dan lebih bersifat ijtihadi. Senada dengan hal
itu Fathutrrahman Djamil dalam dalam
tulisannya mencari format syari’ah multikultural menjelaskan Dinamika syari’ah
dalam lintasan sejarah sebagai berikut:
b.
Al dinu wahid wa al syara’I mukhtalifah[7]
c.
Syari’ah menjadi dua:[8]
1.
Syariah sebagai sumber hukum (legal normatif).
2.
Syari’ah sebagai substansi hukum (legal substantif).
B.
PEMBIDANGAN FIQIH/HUKUM
Para fuqaha
mendefinisikan fiqih dalam dua sisi, yaitu fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai
hasil ilmu.[9]
Selanjutnya pengkajian hukum Islam/fikih dan pranata sosial melahirkan
pembidangan fikih/hukum dan pranata sosial Islam ke dalam disiplin dan
subdisiplin ilmu dengan kerangka sebagai berikut:[10]
BIDANG ILMU
|
DISIPLIN ILMU
|
SUBDISIPLIN ILMU
|
Fikih/hukum dan
Pranata Sosial Islam
|
Fikih Islam
|
Ilmu Fikih
Mazhab Fikih
Perbandingan
Mazhab
Sejarah Hukum Islam
Peradilan Agama
|
Ushul Fikih
|
Ushul Fikih
Ushul Fikih Perbandingan
Filsafat Hukum Islam
|
|
Pranata Sosial
|
Fikih Siyasah
Institusi Masyarakat Islam
|
|
Ilmu Falak
|
Adapun lembaga atau
pranata sosial Islam khususnya di Indonesia membentuk ke dalam lembaga-lembaga
sebagai berikut :[11]
1.
Lembaga Peribadatan,
2.
Lemabaga pendidikan,
3.
Lemabaga kesehatan,
4.
Lembaga sosial,
5.
Lemabaga ekonomi dan koperasi,
6.
Lembaga dakwah,
7.
Lembaga pengembangan swadaya masyarakat,
8.
Lembaga penerbitan,
9.
Lembaga hukum.
Di antara
lembaga hukum yang terdapat di Indonesia adalah peradilan agama. Lembaga ini
memiliki dua kompetensi yaitu: kompetensi absolut[12]
berupa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
(pertama, banding, kasasi) antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:[13]
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi
syari’ah. Sedangkan kompetensi relatif menyangkut yurisdiksi/tempat
kedudukan dimana Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota Kabupaten atau kota, dan
Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota provinsi.[14]
Di samping
kewenangan absolut dan relatif tersebut di atas, penting di ketahui juga terkait hukum materil bagi
peradilan agama itu sendiri. Bahwa berdasarkan Inpres no. 1 tahun 1991 yang
disusul oleh keputusan Menteri Agama no. 154 tahun 1991 memutuskan bahwa
kompilasi hukum dijadikan sebagai sumber materil peradilan agama yang oleh
karena itu instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya sedapat mungkin menggunakan KHI sebagai
pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan disamping peraturan perundangan lainnya.[15]
C.
KETATANEGARAAN ISLAM
1. Menelusuri Konsep
Khilafah
Secara bahasa khila>fah
berasal dari kata khalf yang artinya wakil atau penguasa.[16]
Dalam kamus Lisa>nul Arab
dikatakan bahwa khila>fah sama dengan imarah artinya kekuasaan atau
pemerintahan.[17]
Seseorang yang melaksanakan fungsi khila>fah disebut khali>fah. kata
khali>fah secara bahasa artinya orang yang menggantikan orang sebelumnya
(pengganti).[18]
Atau ada yang mengartikan sulth>an al-a’dhom, raja paling agung.[19]
Menurut istiilah Terdapat banyak pendapt para ulama terkait khila>fah atau imamah, diantaranya:
Ibnu Taimiyah, beliau
berpendapat tugas mendasar seorang kepala negara adalah menciptakan
kemaslahatan bersama dan menciptakan keadilan. Dengan demikian fungsi sebuah
negara adalah alat untuk menjalankan syariat Islam ditengah kehidupan manusia,
menciptakan kemaslahatan bersama bagi seluruh rakyat dan bertanggung jawab
dalam menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.[20]
Maka, dalam mendirikan sebuah negara dia lebih menekankan kepada upaya
mewujudkan kesejahteraan manusia dan melaksanakan syariat Islam. sehingga,
menurutnya sistem khila>fah tidak begitu penting khali>fah bisa
ditiadakan yang penting tujuan tujuan positif bisa dicapai.[21]
Ibn Khaldun, khila>fah
menurutnya adalah jabatan yang berfungsi memimpin ummat sesuai dengan tuntutan
syari’at untuk kemaslahatan dunia akhirat mereka.[22]
Menurut al-Mawardi imamah adalah kepemimpinan setelah nabi untuk menjaga agama
dan memimpin dunia,[23]
sedangkan pengangkatannya adalah wajib dengan ijma’ ulama. al-Mawardi merupakan
tokoh yang banyak dijadikan rujukan oleh kaum suni dan dia adalah orang yang
mempormalakn khali>fah harus dari orang quraish.
Nasiruddin abu Sa’id Abdulloh
bin Umar bin Muhammad asy-Syiroji al-Baidawi berpendapat bahwa imamah adalah
pernyataan yang berkaitan dengan pergantian fungsi Rasulullah SAW oleh seorang
untuk melaksanakan undang-undang hukum Islam (syariat) dan melestarikan
ajaran-ajaran agama yang harus diikuti oleh ummat. Bentuk Imamah bertujuan untuk mengganti kenabian
guna memelihara agama dan mengatur dunia. Sedangkan dalam buku sejarah Islam
dikatakan bahwa khila>fah adalah institusi pemerintahan Islam yang
berdasarkan ajaran al-Quran dan hadist. [24]
Dari berbagi definisi diatas
dapat disimpulakan bahwa khila>fah adalah merupakan institusi pemerintahan Islam
setelah nabi yang diproyeksikan untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Atau
bisa dikatakan upaya melestarikan syariat guna mewujudkan kemaslahatan bagi
semua ummat manusia. Khila>fah dalam sejarah Islam merupakan simbol kesatuan
masyarakat muslim yang bermula sejak terpilihnya abu Bakar as-Siddiq sebagai
pemimpin ummat Islam setelah nabi wafat.
Pada dasarnya dalam konsep
khila>fah ini terdapat dua masalah pokok, pertama, prosedur
pengangkatan pemimpin sebagai pengganti nabi dalam memimpin umat Islam,
sementara baik al-Quran maupun nabi sendiri tidak pernah memberi penjelasan
terhadap hal ini. Kedua, wewenang dan kekuasaan yang diatributkan kepada
para pengganti nabi SAW tersebut. Terkait hal yang pertama yaitu suksesi
kepemimpinan pada umumnya terdapat tiga cara yaitu:[25]
1.
Cara perundingan atau persetujuan tanpa calon dengan jalan
aklamasi. seperti terpilihnya khilafiah Abu Bakar as-Sidiq setelah terjadi
“muktamar politik” yakni diskusi dan dan perdebatan panjang antara kaum ansahr
dan muhajirin dalam pertemuan di Saqifah bani Saidah.
2.
Cara menunjuk kepada seorang calon oleh khali>fah yang
terdahulu. Seperti proses terpilihnya khali>fah Umar bin Khatab, akan tetapi
perlu dijadikan catatan bahwa Abu Bakar sebelum menunjuk Umar melakukan
musyawarah dan konsultasi terlebih dahulu
dengan sahabat utama dan menyampaikannya kepada umat Islam yang
berkumpul di masjid nabawi. Pencalonan tersebut mendapat persetujuan mutlak
umat Islam kemudian persetujuan tersebut dibuat secara tertulis oleh Usman bin
Affan, maka berdasarkan surat itu ketika abu Bakar wafat Umar dibaiat oleh kaum
muslimin sebagai pengganti Abu Bakar.
3.
Pembentukan tim formatur yang disebut dewan syura.
dibentuk oleh Umar dengan beranggotakan enam orang sahabat
utama yang bertugas memilih salah seorang dari mereka atau siapa saja untuk
menggantikan Umar. Proses ini melahirkan khali>fah Usman bin Affan. kemudian
setelah Usman terbunuh Ali terpilih menjadi khali>fah dan menjadi awal
puncak perpecahan perpolitikan Islam. Karena Ali ibn Abi thalib diangkat
menjadi khali>fah yang keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya
jauh dari sempurna.[26]
Al-hasil dari tiga cara diatas
meskipun tidak melahirkan konsep yang jelas, akan tetapi dapat ditarik sebuah
pelajaran bahwa konsep kepemimpinan khilafa melahirkan dua hal penting yang
harus diperhatikan. yaitu mengedepankan musyawarah dan dilaksanakannya bai’ah
oleh kaum muslimin atas kehendak sendiri. Adapun terkait wilayah kekuasan
konsep khila>fah melahirkan kekuasaan yang luas meliputi semua wilayah atau
negara dan seluruh ummat manusia tunduk kepada satu kepemimpinan yang disebut
khali>fah. Namun Pada praktek selanjutnya yaitu pada masa Bani Umayah telah
lebih jauh lagi dari ajaran sebenarnya dibanding dengan prakteknya pada masa
Nabi Muhammad. Pada masa ini hampir tidak ada lagi musyawarah dalam rangka
suksesi. Yang ada adalah system tunjuk terhadap anak dan keturunan yang tidak
jarang melahirkan perebutan kekuasaan dengan kekerasan senjata. Demikian yang
terjadi pada masa abasiyah.[27]
Hingga seiring dengan makin luasnya wilayah Islam mulai muncul gelar sultan
bagi seorang pemimpin.
2.
Nation State ( Wacana khilafah Kontemporer)
Mendiskusikan agama dan Negara menuntut
kita untuk mengetahui hal-hal yang yang mempengaruhinya. Agama dan Negara pada
umumunya dipengaruhi oleh dua dimensi:[28]
1.
Dimensi internal agama, yaitu seberapa jauh agama
menyediakan cetak biru (blueprint) yang mengatur seluruh tata kehidupan,
termasuk relasi agama dan politik, atauka sebaliknya, agama dianggap wilayah
private, yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan penyelenggaraan negara.
2.
Dimensi eksternal, hal ini lebih berkaitan dengan pemahaman
penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama, bagaimana agama harus
diletakan. Apakah agama dipahami tidak ada sangkut pautnya dengan Negara,[29]
atau bahkan mungkin agama harus dijauhkan dari wilayah publik. Secara
empiric bias diartikan seberapa jauh peran pemerintah sebagai penyelenggara
Negara memebrikan ruang pada aktualisai ideology keagamaan, baik dalam bentuk
partai politik maupun dalam meletakan hukum agama (syari’ah) sebagai hukum
positif.
Menurut Fazlur Rahman hubungan Islam
dan Negara bisa dilihat dari pandangan Alqur’an yang secara eksplisit tidak
memberikan konsep yang jelas dan tegas tentang sebuah Negara akan tetapi secara
implisit mengajarkan beberapa etika dan nilai
dalam kehidupan bernegara bagi umat manusia. Dikatakan bahwa Al qur’an
sebagai petunjuk etika bagi bagi mamusia bukan sebagai bukku pedoman politik.[30]
Sementara kaum tradisionalis
sebagaimana diangkat oleh Montgomery watt beranggapan bahwa Pengaitan Islam
dengan politik dipandang sebagai suatu bentuk perlawanan penting terhadap upaya
barat untuk mempribadikan Islam dan menjadikannya sebagai semata-mata urusan
pribadi.[31]
a.
Genealogi Negara
Ada beberapa
langkah dan tahapan dalam memahami sebuah Negara Islam yaitu diawali dengan
menelusuri jejak Genealogi Negara yang peta konsepnya terdapat dalam Al Qur’an.
Berikut genealogi Negara perspektif al qur’an yang dikemukakan oleh Syahrur:[32]
Unsur pertama, adalah Ummah, secara
terminologis berasal dari kata amma yang dalam kamus lisanul ‘arab
mempunyai beragam arti: yaitu Al imam (pemimpin atau pemuka) dasarnya
surat Alfurqon :74, surat Al Isro :71, At Taubah:12, al anbiya:73[33].
Al ummi (bodoh) sebagaimana anggapan kaum yahudi terhadap manusia yang
tidak mengetahui ajaran agama yahudi.[34].Berarti
jalan, cara atau metode, sbagaimana firma Allah Surat Az Zukhruf ayat: 22.[35]
Sedangkan menurut terminologis kontemporer ummat yaitu kebudayaan, yaitu
mata rantai perkembangan secara terus-menerus yang menghubungkan periode
sejarah klasik , pertengahan, dan modern. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman
Allah surat ar ra’du ayat:30, demikianlah;kami telah mengutus kamu pada
suatu ummat yang sungguh telah berlalu beberpa ummat sebelumnya.[36]Setelah
komunitas muslim lahir di Madinah al qur’an dalam surat al baqoroh: 143-128
menamakannya sebagai ummah wasat (komunitas moderat) atau ummah muslimah
(komunitas yang pasrah kepada kemauan Allah).[37]
Unsur kedua, adalah Qaum, berarti “komunitas
manusia berakal baik laki-laki maupun perempuan pada kondisi sosial masyarakat
tertentu.[38]
Pada pokoknya qaum berarti umat atau sekelompok orang, pengikut seorang
pemimpin. Contoh kaum ‘ad pengikut Nabi Hud yang durhaka,[39]
Unsur ketiga,Syu’ub,adalah sekumpulan manusia yang berakal. Mereka mempunyai bahasa
dan berafiliasi dengan satu qaum atau lebih. Memiliki naluri serupa
namun berbeda kebudayaan. Syu’ub telah mencakup ummat dan qaummiyah.[40]
Merupakan gabungan entitas-entitas yang beragam, lalu disatukan oleh hubungan
kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahaan bersama yang ditunagkan dalam bentuk
legislasi dan hukum perundang-undangan. System ini kemudian dipergunakan pada
ranah kehidupan yang dinakamakn dengan tanah air (wathan). Pada gilirannya
hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan Negara. Yang
kekuasaannya meliputi zona-zona territorial tanah air.[41]
Unsur keempat,
yaitu Negara itu sendiri, yaitu media
pengungkapan dari realitas tertentu yang dijadikansebgai ranah kehidupan oleh
bangsa tertentu (terdiri dari multi qaum dan multi ummat, atau
satu qaum dan satu ummat, atau satu qaum dan multi ummat,
serta multi qaum dan satu ummat) secara institusional.[42]
b.
Teori Negara Islam
Perlu
diketahu bahwa ada Tiga system hukum dunia Islam[43]
yang dianut oleh bangsa-bangsa Islam, yaitu: Pertama, Mengakui adanya
syari’ah dan menarapkannya secara utuh, Kedua, Meninggalkan syari’ah dan
menggantikannya dengan sekuler. Ketiga,Mengkompromikan syari’ah murni
dengan sekuler.
c.
Pengertian Negera Islam
Selanjutnya
mengenai pengertian Negara Islam sendiri, tidak semua pemikir Islam baik dari
kalangan modernis maupun fundamentalis mengajukan pengertian yang paten, ada beberapa
pengertian Negara Islam yang penulis temukan. Pertama, konsep pengertian
yang diajukan oleh Fazlur Rahman yang memberikan definisi terhadap Negara Islam
Negara Islam adalah organisasi yang dibuat masyarakat muslim itu dalam rangka
memenuhi keinginan mereka (meleksanakan kehendak Allah sebagai mana tercantum
dalam wahyu Allah) dan tidak untuk kepentingan lain atau dengan kata lain yaitu
suatu Negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi
keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya.[44]
Kedua, adalah konsep yang dikemykakan oleh
Muhammad Asad, beliau memberikan pengertian Negara benar-benar menjadi Islami
hanyalah dengan keharusan pelaksananaan yang sadar ari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa,
dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang Negara, fungsi
suatu Negara Islam hanyalah sebagai sarana untuk memaksakan nilai-nilai moral Islam
dalam kehidupan sosio politik ummat.[45]
Ketiga, pendapat maulana al maududi, beliau
memberikan definisi Negara Islam dengan memberikan tiga Karakteristik Negara Islam,
yaitu:[46]
a.
Kedaulatan ditangan tuhan, manusia hanyalah subjek.
b.
Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak
legislasi ada pada Nya.
c.
Segala hal harus didirikan
berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui
rosulullah.
d.
Proses Pembentukan Negara Islam
Dalam proses
pembuatan Negara Islam itu sendiri penulis sepakat dengan konsep yang
dikemukakan oleh Fazlur Rahaman dimana Proses pembentukan Negara Islam berawal
dari adanya consensus kaum muslimin untuk melaksanakan perintah Allah.[47]
e.
Format Negara Islam
Sebagaimana
tidak adanya konsepsi yang jelas tentang system penyelenggaraan Negara dalam Islam,
hal ini praktis berpengaruh terhadap penentuan format Negar Islam itu sendiri.
Menurut Fazlur Rahman Tidak terdapat format yang jelas dalam implemetasi
penyelenggaraan Negara tapi elemen yang penting yang harus dimiliki adalah
syuro sebagai dasarnya yang melalui ijtihad dalam perumusannya dan dimungkinkan
antara satu Negara dengan Negara yang lainnya berbeda.[48]
Dalam konsep syuro ini maulana al maududi terkesan fundamentalis dimana menurut
beliau hanya ada satu kedaulatan yaitu kedaulatan sehingga bentuk demokrasi
yang diaajukan bersifat teo Demokrasi atau kingdom of God.[49]
Menanggapi
teori kedaulatan Tuhan ini menurut Muhammad Asad adalah tiada lain merupakan
kedaulatan syari’ah atas seluruh warga Negara suatu Negara Islam.[50]
Pandangan
lain yang ekstrim dikemukakan oleh Prof. William Montgomery Watt dimana dia
beranggapan bahwa dalam Sejarah Islam tidak menyediakan model yang jelas untuk
suatu Negara Islam yang tepat dewasa ini.[51] Pendapat ini
kemudian diamini oleh pemikir modernis kita yaitu Nurcholis Majid dia telah
berkesimpulan tidak ada Negara Islam, namun tetap bercita-cita ada Negara yang
memepraktekan ketentuan-ketrentuan yang ada dalam Islam.[52]
f.
Tujuan Negara Islam
Adapun
tujuan Negara Islam itu sendiri menuruf Fazlur Rahman adalah untuk
mempertahankan keselamatan dan integritas Negara, memelihara terlakasananya
undang-undang dan ketertiban serta membangun Negara itu sehingga setiap warga
negaranya menyadari kemampuannya dan bersedia menyumbangkan demi kesejahteraan
seluruh warga Negara.[53]
Secara bergantian Muhammad Asad memberikan pandangannya tentang tujuan Negara Islam
adalah demi pengembangan masyrakat manusia yang mempraktikan persamaan hak dan
keadilan menju yang benar (haq) dan menentang yang salah , untuk menjelmakan
pembelaan keadaan sosial, yang dapat menyelematkan kehidupan manusia lahir maupun batinmenurut undang-undang alam
dari Tuhan yaitu Islam (dasar al Qur’an surat ali-Imron 103-104).[54]
Pertanyaan
selanjutnya perlukah adanya Negara Islam? Pertanyaan ini menimbulkan pro dan
dan kontra. sebagian kaum modernis menilai Mendirikan daulah Islam sama halnya
mencoba memindahkan jarum jam kembali dan hal ini merupakan hal yang tidak
realis, karena tidak ada seorang pun yang dapat membalikkan arah sejarah.[55]
Oleh karenanya menurut kaum modernis Gerakan-gerakan politik dan pemerintahan
yang mendasarkan pada agama dicap sebagai kuno.[56]Agar
bias hidup didunia modern kaum muslimin harus menyesuaikan dengan pemerintahan
sekuler.[57]Khalifah
bukanlah bagian dari Islam karena misi nabi hanya sebatas dakwah. Hanya kecerdikan yang memaksanya berbuat
demikian.[58] Terbukti Konprensi pan-Islam tentang khilafah
pada 1926 gagal mencapai kesepekatan tentang pemulihan jabatan khalifah.[59]oleh
karena itu terbentuknya satu umat harus didasarkan nasionalisme.[60]
Berbicara
konteks keindonesiaan. Apa sebenarnya yang menjadi cita-cita politik Islam.
Paling tidak ada dua Cita-cita politik Islam:[61]pertama,
Fiqh siyasah tidak mementingkan label Islam bagi Negara, tetapi lebih
mengharapkan pada substansinya: hal ini dilandaskan pada qoidah ushul :تصرف
الا مام على الرعية منوط با لمصلحة .
kedua, Alasan menetapkan pancasila sebagai satu-satunya asas
merujuk pada qoidah :ما لا يد رك كله لا يترك كله.
Lalu apa
yang menjadi masalah politik dalam Islam? Pertama,Masalah politik yang
dihadapi umat Islam Indonesia menurut din syamsudin adalah kesulitan untuk
menjalin persatuan atau menyatukan partai politik Islam.[62]kedua,
Masalah klasikal yang dihadapi Indonesia dalam upaya pembaruan hukum Islam
adalah minimnya metodologi atau epistimologi yang dianggap cukup memadai untuk
mendamaikan tarik-menarik kepentingan antara citra Islam dengan kebutuhan
masyarakat.[63]
Selanjutnya
masalah yang dihadapi dalam pembumian hukum Islam. Menurut A Qodri Azizi
problematika yang dihadapi dalam pembumian hukum Islam ditengah hukum nasional
bukan sekedar mencari legitimasi legal formal, akan tetapi lebih kepada
sumbangsihnya bagi kesejahteraan bangsa dan Negara.[64]Menurut
Gusdur hukum Islam harus dibuat lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan manusiawi
masa kini dan masa depan.oleh karena itu Islam sendiri akan mengadakan
penyesuaian sekadar yang diperlukan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai
transendenya yang telah ditetapkan Allah.[65]
Problematika
formalisasi hukum Islam Indonesia:[66]pertama,Kondisi
objektif masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, Pembenahan konsepsi, strategi, dan metode perumusan hukum Islam, sehingga
hasilnya tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyrakat dan sesuai dengan
karakteristik tatanan hukum nasional.
Beberapa
kendala artikulasi cita-cita politik Islam di Indonesia pasca orde baru:[67]
1.
Konsepsional (penjabaran hukum Islam dalam lapangan)
2.
Praktis ( implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada
masyarakat indonesia yang plural)
3.
Umat Islam tidak bersatu
4.
Militer dikuasai abangan ( abangan selalu cemas terhadap
kekuatan Islam yang potensial membangun kekuatan tandingan).
Identitas hukum
nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang sedang dibangun haruslah:
[68]Berlandaskan
pancasila (filosofis) dan UUD 45 (konstitusional), Berfungsi mengayomi,
menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan
hasil-hasil ai pembangunan.
Berbicara
relevansi Negara Islam dengan situasi
umat Islam saat ini ditanggapi oleh para pemikir Islam Indonesia yaitu dengan bagaimana kita memahami dan menafsiri doktrin
ikatan spiritual universal antara orang beriman. Terkait hal itu berikut
Pandangan Syafi’I ma’arif :[69]
a.
Doktrin ikatan spiritual universal antar orang beriman tidak
kemudian dijadikan dalil untuk menciptakan satu pemerintahan muslim yang ketat
dengan seorang kepala Negara.[70]
b.
Jalan kelar dari doktri agama (sesungguhnya orang-orang
beriman itu bersaudara : QS. Al Hujurot:10) adalah dengan menciptakan liga
bangsa-bangsa muslim yang longgar secara organisasi tapi dengan landasan
spiritual yang solid berupa persaudaraan imani universal yang idak boleh
dibinasakan oleh perbedaan-perbedaan politik kontemporer antar Negara muslim.[71]
c.
Dalam perspektif al qur’an, Negara sebagai institusi
kekuasaan diperlukan Islam sebagai instrument yang efektif untuk merealisasikan
ajarannya dalam konteks sejarah.[72]
Sekalipun
kita berbicara dalam konteks Negara-negara Islam, hampir tidak ada Negara Islam
atau Negara dengan mayoritas pemeluknya beragama Islam yang mengaku sebagai
Negara Islam atau menjalankan sepenuhnya aturan-aturan atau syari’at Islam.
D.
SUAKA POLITIK
Suaka politik atau asylum adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu
negarakepada orang yang asing yan terlibat perkara/kejahatan politik dinegra
lain atau atau negara asal pemohon suaka.[73]
Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam
hubungan internasional atas dsar pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak
melindungi orang asing yang meminta suaka politik.[74]
Suaka politik dibedakan menjadi dua, suaka wilayah dan suaka diplomatik.[75]
Pembahasan suaka ini erat kaitannya dengan
pembahasan dar al-Islam dan dar al-harb. Dalam Islam, pengertian al-dur
(دور), biasanya diterjemahkan sebagai divisi dari dunia atau
"rumah", adalah konseptualisasi dari seluruh dunia sebagai terdiri
dari baik "wilayah Muslim" atau "wilayah non-Muslim". dar
bentuk tunggal (دار), diterjemahkan secara harfiah, bisa berarti "rumah"
struktur, '"," tempat "," tanah "atau" negara
".[76]
Ide divisi geografis sepanjang garis agama pertama kali diusulkan oleh ahli
hukum Muslim Sunni awal Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi yurisprudensi Islam.
Namun, adur tidak disebutkan dalam Al Qur'an atau perkataan Nabi dalam hadis,
yang merupakan sumber utama dalam hukum Islam. Namun, beberapa adur berasal
dari sumber-sumber non-Alkitabiah.
Dar al-Islam (دار الإسلام harfiah rumah / wilayah Islam, atau Dar
as-Salam, rumah / tempat tinggal Perdamaian, atau Dar al-Tauhid, rumah / tempat
tinggal Union) adalah istilah yang digunakan oleh sarjana Muslim untuk merujuk
ke negara-negara di mana umat Islam dapat beribadah secara bebas. Ini biasanya
budaya Islam dimana umat Islam merupakan mayoritas penduduk, dan sehingga
pemerintah menjanjikan perlindungan. Kebanyakan Dar al-Islam daerah yang
dikelilingi oleh masyarakat Islam lainnya untuk menjamin perlindungan publik.
Sarjana Muslim mempertahankan bahwa pelabelan suatu negara atau tempat
sebagai bagian dari Dar al-Islam berkisar pada masalah keamanan agama. Ini
berarti bahwa jika suatu praktek muslim Islam bebas di tempat-nya tinggal
meskipun bahwa tempat itu kebetulan sekuler atau tidak Islami, maka dia akan
dianggap sebagai tinggal di Dar al-Islam.
Dar al-Islam juga dikenal dan disebut sebagai Dar al-Salam, atau rumah /
tempat tinggal Damai. Istilah ini muncul dalam Qur'an di sebuah 10,25 6,127
sebagai nama surga. Menurut Abu Hanifah, dianggap sebagai pencetus konsep
tersebut, dua persyaratan bagi suatu negara untuk menjadi bagian dari Dar al-Islam
adalah:
- Muslim harus mampu menikmati perdamaian dan keamanan dengan dan di
dalam negara ini.
- Ini memiliki batas-batas sama
dengan beberapa negara Muslim.
Jika yang pertama tidak berlaku maka sarana fisik seperti Jihad dapat
digunakan untuk memperbaiki situasi dan dalam kasus yang terakhir, individu
diwajibkan untuk melakukan hijrah ke tempat mereka bisa mempraktekkan agama
mereka.
Dar al-Harb ( دار الحرب "rumah perang", adalah istilah
yang klasik merujuk kepada negara-negara dimana hukum Islam tidak berlaku,
dalam hal ibadah dan perlindungan yang setia dan Dhimmi. Wilayah yang memiliki
perjanjian dari nonaggression atau damai dengan Muslim disebut dar al-Ahd atau
dar al-sulh.
Ahl
Dzimmi
Secara istilah, dzimmi (bahasa Arab: ذمي, majemuk: أهل الذمة, ahlul dzimmah, "orang-orang
dzimmah") adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam
yang, sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan
dan keamanan. Hukum mengenai dzimmi berlaku di sebuah negara yang menjalankan
Syariah Islam. Kata dzimmi sendiri berarti "perlindungan". Status
dzimmi mulai berlaku di daerah-daerah Islam dari Samudera Atlantik hingga India
sejak zaman Muhammad di abad ke-7 hingga zaman modern. Dari waktu ke waktu,
banyak orang dzimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama
secara sukarela, kecuali pada beberapa kasus di abad ke-12, misalnya zaman
kekuasaan Muwahidun di Afrika Utara dan Al-Andalus, serta pada masa kekuasaan
Syiah di Persia.
Menurut Qur'an Surat At Taubah ayat 29, orang-orang dzimmi diharuskan
membayar pajak yang disebut jizyah, dan tidak boleh diperangi oleh orang Islam.
Orang-orang dzimmi yang membayar jizyah diperbolehkan menjalankan ibadah agama
mereka, menerima otonomi komunal, harus dilindungi oleh umat Islam jika ada
serangan dari luar, dibebaskan dari wajib militer, dibebaskan dari membayar
zakat serta pajak-pajak yang dikenakan pada umat Islam.
KESIMPULAN
Pertama, bahwa
perlu diketahui ada dua dimensi dalam hukum Islam yang satu sama lain memiliki
keterkaitan yang sangat erat yaitu dimensi ila>hiyah dan dimensi
Insa>niyah.
Kedua, sebagai derivasi dari dua dimensi yang terkandung dalam
hukum Islam maka kemudian hukum Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu hukum
Islam sebagai produk Hukum/Fiqih atau fiqih sebagai ilmu, sedang yang ke dua
adalah hukum sebagai pranata sosial.
Ketiga, fiqih sebagai pranata sosial ini kemudian memunculkan
yurisdiksi dalam mengaplikasikan hukum islam sehingga bahasan selanjutnya yang
menjadi penting adalah konsep ketatanegaraan dalam islam dengan segala
artikulasinya yang menyangkut politik ketatanegaraan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin
Nata.Problematika Politik Islam di Indonesia.2002. Jakarta:
Grasindo,hal.29
Al Maududi, Abul A’la. The Islamic
law and Constitution. Terjemahan Asep Hikmat. Hukum dan Konstitusi Sistem
Politik Islam. 1990. Bandung: Mizan.hal.158
Al-Mawardi,
al-Ahka>m al-Sulth>aniyyah (Bairut: maktabah al-Islami, 1996), 5.
Amiruddin, M Hasbi. Konsep Negara Islam
Menurut Fazlur Rahman, 2000. Yogyakarta: UII Press..
Hal.4
Amiruddin, M Hasbi. Konsep Negara Islam
Menurut Fazlur Rahman, 2000. Yogyakarta: UII Press..hal.90
Baidlowi,
Zakiyudin M. Thoyibi.Reinvensi Islam Multikultural. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial UMS.2005, Hal.141
Ensiklopedia
Islam,
(jakarta: PT ichtiar baru Van hoeve, Vol.3 cet. 7, 2000), 50
H.KN.
Sofyan Hasan. Hukum Islam. Jakarta: Literata,2004
Ibnu
Khaldun, Muqaddimah Ibn Khladun, (Jakarta: Pustaka firdaus, 1986). 166
Jamaluddin
Muhammad bin Mikram bin Mandur, Tahdi>bu al-Lisa>ni al-Arab,
(Libanon: Darul Kutub, juz,1, 1413 H), 360
Jameelah.
Maryam Islam and Modernism. Terjemahan A. Jainuri, Syafiq A. Mughni. Islam
dan Modernisasi. 1982. Surabaya;Usaha Nasional, Hal.63
Jeje
Abdul Rojak, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghozali dan ibn Taimiyah,
(Surabaya; bina ilmu, cet.1, 1999), 166-167
M.
Sirajudin Legislasi Hukum Islam di Indonesia..Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008,Hal.36-37
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan
Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).1996.
Jakarta: Gema Insani Press.Hal.186
Ma’arif.
Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: studi tentang
perdebatan dalam konstituante. 2006. Jakarta;Pustaka LP3ES,.hal. 142
Mahayuddin.
Dkk. Sejarah Islam, (Malaysia: Pajar bakti, cet. 4, 1995), 124
Mu’allim,
Amir. Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta:UII Press,
2001,21
Mubarok, Jaih. Metodologi Ijtihad
Hukum Islam.2002. Yogyakarta: UII Press,
hal. 1
Nugroho,
Taufik. Pasang Surut hungan Islam dan Negara pancasila.2003. Yogyakarta;
PADMA, Hal.118
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan Buku II, Jakarta: MA R.I,
2002, 214
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam,
Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, 95
Said, Umar. Hukum Acara Peradilan
Agama, Surabaya: Cempaka, 2008, 15
Saidi. Anas dkk.Menekuk Agama,
Membangun Tahta. 2004. Jakarta: Desantara,Hal.3
Sjadzali, Munawir.Islam dan Tata
Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. 1990. Jakarta: UI Press.28-29
Syahrur, Muhammad. Dirasat Islamiyah
Muashirah fi ad-Daulah wa al-mujtama’. Terjemahan Syaifudin Zuhri Qudsy.
Tirani Islam Genealogi Masyarakat Islam dan Negara. 2003. Yogyakarta: LKiS.
Teba. Sudirman Islam Menuju Era
Reformasi.2001. Yogyakarta: Tiara Wacana,.hal.14
Undang-undang RI No. 3 tahun 2006
tentang perubahan atas undang-undang no. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama (Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Lengkap, Wacana Intelektual, 2009)