Kompetensi dan Yurisdiksi Hukum Islam


PENDAHULUAN

Sebagaimana diketahui bahwa ada tiga kelompok besar  sistem-sistem hukum di dunia Islam dewasa ini. Pertama, kelompok yang menggunakan sistem hukum shariah dan menjadikannya hukum asasi dengan masih menerapkannya secara utuh. Kedua, kelompok yang sama sekali menanggalkan sistem  hukum shariah dan menggantikannya dengan sistem sekuler. Ketiga,  kelompok yang mengkompromikan sistem hukum antara kedua sistem tersebut. [1]
Ketiga macam sistem dan pola hukum tersebut muncul sebagai respons sekaligus jawaban atas dinamika kehidupan dan realitas sosial. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa hukum atau suatu perundang-undangan bukan merupakan suatu hal yang bersifat eternal (abadi) melainkan tumbuh dan berubah sesuai perubahan masyarakat dan zamannya atau dalam arti lain merupakan sebuah bentuk refleksi kehidupan sosial.[2]
Pada bagian selanjutnya, hukum yang telah di konstruk sedemikian rupa dengan pola-pola atau sistem-sistem yang telah menyesuaikan dirinya dengan realitas sosial yang ada itu pada tataran praksisnya dibatasi oleh kompetensi dan yurisdiksi hukum itu sendiri. Dengan demikian menjadi penting mengetahui kompetensi dan yurisdiksi hukum Islam itu agar tepat sasarannya dalam merepresentasikan nilai-nilai luhur yang dikandungnya.

KOMPETENSI DAN YURISDIKSI HUKUM ISLAM

A.    MINIATUR SHARI’AH
Sebelum kita membahas lebih dalam tentang kompetensi dan yurisdiksi hukum Islam, perlu kita kaji ulang tatanan hukum Islam itu sendiri. Dalam kajian hukum Islam terdapat tiga pembidangan wilayah ilmu yang sering dikemukakan oleh ulama,yaitu: aqidah (kalam), ilmu fiqih (shari’ah) dan ilmu tasawuf-akhlak.[3] Ketiga ilmu tersebut dalam aplikasinya tidak dapat dibedakan atau dipisahkan terlebih dipertentangkan, karena satu sama lain saling berkaitan.
Pada tahapan selanjutnya ilmu syari’ah dibagi ke dalam dua kelompok besar: ibadah dan mu’amalah. Ibadah lebih menitik beratkan pada hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah) dan oleh karenanya tidak banyak terjadi perbedaan pendapat dalam wilayah ini. Lain halnya dengan mu’amalah yang bermuatan tentang pola hubungan manusia dengan sesama manusia yang di sana-sini sangat dimungkinkan dilakukannya interpretasi atau secara ekplisit disebut ijtihad.
Adapun muatan dari syari’ah mua’amalah ini terbagi ke dalam dua bagian: pertama, Perdata meliputi masalah munakahah, wirathah, hibah, wakaf,zakat dan sebagainya. Kedua, publik yang meliputi jinayah, khilafah atau pemerintahan, siyar (hubungan internasional) dan mukhasamah (hukum acara).[4]
Jika kita meninjau lebih dalam epistimologi hukum Islam maka terdapat dua dimensi:[5]
1.      Dimensi Ila>hiyah (ajaran suci)
2.      Dimensi Insa>niyah (akomodasi upaya manusia memahami ajaran yang suci dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan maqoshid) dalam dimensi ini produk pemikiran dilahirkan dengan berbagai pendekatan yang salah satunya yang dikenal dengan istilah ijtihad. Dalam dimensi ini juga hukum Islam melahirkan berbagai istilah diantaranya, fikih, fatwa dan qadla.
Dari sini jelas bahwa objek kajian tentang siya>sah Islamiyah berada dalam kelompok mu’amalah dan dalam dimensi insa>niyah yang sudah barang tentu tidak akan terlepas dari upaya interpretasi hukum dan lebih bersifat ijtihadi. Senada dengan hal itu Fathutrrahman Djamil dalam dalam tulisannya mencari format syari’ah multikultural menjelaskan Dinamika syari’ah dalam lintasan sejarah sebagai berikut:
a.       Norma syari’ah bersifat divine atau ila>hiyat, sebagai variable indevenden[6]
b.      Al dinu wahid wa al syara’I mukhtalifah[7]
c.       Syari’ah menjadi dua:[8]
1.      Syariah sebagai sumber hukum (legal normatif).
2.      Syari’ah sebagai substansi hukum (legal substantif).

B.     PEMBIDANGAN FIQIH/HUKUM
Para fuqaha mendefinisikan fiqih dalam dua sisi, yaitu fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hasil ilmu.[9] Selanjutnya pengkajian hukum Islam/fikih dan pranata sosial melahirkan pembidangan fikih/hukum dan pranata sosial Islam ke dalam disiplin dan subdisiplin ilmu dengan kerangka sebagai berikut:[10]

BIDANG ILMU
DISIPLIN ILMU
SUBDISIPLIN ILMU
Fikih/hukum dan Pranata Sosial Islam
Fikih Islam
Ilmu Fikih
Mazhab Fikih
Perbandingan Mazhab
Sejarah Hukum Islam
Peradilan Agama
Ushul Fikih
Ushul Fikih
Ushul Fikih Perbandingan
Filsafat Hukum Islam
Pranata Sosial
Fikih Siyasah
Institusi Masyarakat Islam
Ilmu Falak


Adapun  lembaga atau pranata sosial Islam khususnya di Indonesia membentuk ke dalam lembaga-lembaga sebagai berikut :[11]
1.      Lembaga Peribadatan,
2.      Lemabaga pendidikan,
3.      Lemabaga kesehatan,
4.      Lembaga sosial,
5.      Lemabaga ekonomi dan koperasi,
6.      Lembaga dakwah,
7.      Lembaga pengembangan swadaya masyarakat,
8.      Lembaga penerbitan,
9.      Lembaga hukum.
Di antara lembaga hukum yang terdapat di Indonesia adalah peradilan agama. Lembaga ini memiliki dua kompetensi yaitu: kompetensi absolut[12] berupa kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat (pertama, banding, kasasi) antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:[13] perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Sedangkan kompetensi relatif menyangkut yurisdiksi/tempat kedudukan dimana Pengadilan Agama berkedudukan di Ibukota Kabupaten atau kota, dan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota provinsi.[14]
Di samping kewenangan absolut dan relatif tersebut di atas, penting di ketahui juga terkait hukum materil bagi peradilan agama itu sendiri. Bahwa berdasarkan Inpres no. 1 tahun 1991 yang disusul oleh keputusan Menteri Agama no. 154 tahun 1991 memutuskan bahwa kompilasi hukum dijadikan sebagai sumber materil peradilan agama yang oleh karena itu instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya  sedapat mungkin menggunakan KHI sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan disamping peraturan perundangan lainnya.[15]

C.    KETATANEGARAAN ISLAM
1.      Menelusuri Konsep Khilafah
Secara bahasa khila>fah berasal dari kata khalf yang artinya wakil atau penguasa.[16] Dalam  kamus Lisa>nul Arab dikatakan bahwa khila>fah sama dengan imarah artinya kekuasaan atau pemerintahan.[17] Seseorang yang melaksanakan fungsi khila>fah disebut khali>fah. kata khali>fah secara bahasa artinya orang yang menggantikan orang sebelumnya (pengganti).[18] Atau ada yang mengartikan sulth>an al-a’dhom, raja paling agung.[19] Menurut istiilah Terdapat banyak pendapt para ulama terkait  khila>fah atau imamah, diantaranya:
Ibnu Taimiyah, beliau berpendapat tugas mendasar seorang kepala negara adalah menciptakan kemaslahatan bersama dan menciptakan keadilan. Dengan demikian fungsi sebuah negara adalah alat untuk menjalankan syariat Islam ditengah kehidupan manusia, menciptakan kemaslahatan bersama bagi seluruh rakyat dan bertanggung jawab dalam menjalankan amanah dan menciptakan keadilan.[20] Maka, dalam mendirikan sebuah negara dia lebih menekankan kepada upaya mewujudkan kesejahteraan manusia dan melaksanakan syariat Islam. sehingga, menurutnya sistem khila>fah tidak begitu penting khali>fah bisa ditiadakan yang penting tujuan tujuan positif bisa dicapai.[21]
Ibn Khaldun, khila>fah menurutnya adalah jabatan yang berfungsi memimpin ummat sesuai dengan tuntutan syari’at untuk kemaslahatan dunia akhirat mereka.[22] Menurut al-Mawardi imamah adalah kepemimpinan setelah nabi untuk menjaga agama dan memimpin dunia,[23] sedangkan pengangkatannya adalah wajib dengan ijma’ ulama. al-Mawardi merupakan tokoh yang banyak dijadikan rujukan oleh kaum suni dan dia adalah orang yang mempormalakn khali>fah harus dari orang quraish.
Nasiruddin abu Sa’id Abdulloh bin Umar bin Muhammad asy-Syiroji al-Baidawi berpendapat bahwa imamah adalah pernyataan yang berkaitan dengan pergantian fungsi Rasulullah SAW oleh seorang untuk melaksanakan undang-undang hukum Islam (syariat) dan melestarikan ajaran-ajaran agama yang harus diikuti oleh ummat. Bentuk  Imamah bertujuan untuk mengganti kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Sedangkan dalam buku sejarah Islam dikatakan bahwa khila>fah adalah institusi pemerintahan Islam yang berdasarkan ajaran al-Quran dan hadist. [24]
Dari berbagi definisi diatas dapat disimpulakan bahwa khila>fah adalah merupakan institusi pemerintahan Islam setelah nabi yang diproyeksikan untuk memelihara agama dan mengatur dunia. Atau bisa dikatakan upaya melestarikan syariat guna mewujudkan kemaslahatan bagi semua ummat manusia. Khila>fah dalam sejarah Islam merupakan simbol kesatuan masyarakat muslim yang bermula sejak terpilihnya abu Bakar as-Siddiq sebagai pemimpin ummat Islam setelah nabi wafat.
Pada dasarnya dalam konsep khila>fah ini terdapat dua masalah pokok, pertama, prosedur pengangkatan pemimpin sebagai pengganti nabi dalam memimpin umat Islam, sementara baik al-Quran maupun nabi sendiri tidak pernah memberi penjelasan terhadap hal ini. Kedua, wewenang dan kekuasaan yang diatributkan kepada para pengganti nabi SAW tersebut. Terkait hal yang pertama yaitu suksesi kepemimpinan pada umumnya terdapat tiga cara yaitu:[25]
1.      Cara perundingan atau persetujuan tanpa calon dengan jalan aklamasi. seperti terpilihnya khilafiah Abu Bakar as-Sidiq setelah terjadi “muktamar politik” yakni diskusi dan dan perdebatan panjang antara kaum ansahr dan muhajirin dalam pertemuan di Saqifah bani Saidah.
2.      Cara menunjuk kepada seorang calon oleh khali>fah yang terdahulu. Seperti proses terpilihnya khali>fah Umar bin Khatab, akan tetapi perlu dijadikan catatan bahwa Abu Bakar sebelum menunjuk Umar melakukan musyawarah dan konsultasi terlebih dahulu  dengan sahabat utama dan menyampaikannya kepada umat Islam yang berkumpul di masjid nabawi. Pencalonan tersebut mendapat persetujuan mutlak umat Islam kemudian persetujuan tersebut dibuat secara tertulis oleh Usman bin Affan, maka berdasarkan surat itu ketika abu Bakar wafat Umar dibaiat oleh kaum muslimin sebagai pengganti Abu Bakar.
3.      Pembentukan tim formatur yang disebut dewan syura.  dibentuk oleh Umar dengan beranggotakan enam orang sahabat utama yang bertugas memilih salah seorang dari mereka atau siapa saja untuk menggantikan Umar. Proses ini melahirkan khali>fah Usman bin Affan. kemudian setelah Usman terbunuh Ali terpilih menjadi khali>fah dan menjadi awal puncak perpecahan perpolitikan Islam. Karena Ali ibn Abi thalib diangkat menjadi khali>fah yang keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna.[26]

Al-hasil dari tiga cara diatas meskipun tidak melahirkan konsep yang jelas, akan tetapi dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa konsep kepemimpinan khilafa melahirkan dua hal penting yang harus diperhatikan. yaitu mengedepankan musyawarah dan dilaksanakannya bai’ah oleh kaum muslimin atas kehendak sendiri. Adapun terkait wilayah kekuasan konsep khila>fah melahirkan kekuasaan yang luas meliputi semua wilayah atau negara dan seluruh ummat manusia tunduk kepada satu kepemimpinan yang disebut khali>fah. Namun Pada praktek selanjutnya yaitu pada masa Bani Umayah telah lebih jauh lagi dari ajaran sebenarnya dibanding dengan prakteknya pada masa Nabi Muhammad. Pada masa ini hampir tidak ada lagi musyawarah dalam rangka suksesi. Yang ada adalah system tunjuk terhadap anak dan keturunan yang tidak jarang melahirkan perebutan kekuasaan dengan kekerasan senjata. Demikian yang terjadi pada masa abasiyah.[27] Hingga seiring dengan makin luasnya wilayah Islam mulai muncul gelar sultan bagi seorang pemimpin.

2.      Nation State ( Wacana khilafah Kontemporer)
Mendiskusikan agama dan Negara menuntut kita untuk mengetahui hal-hal yang yang mempengaruhinya. Agama dan Negara pada umumunya dipengaruhi oleh dua dimensi:[28]
1.      Dimensi internal agama, yaitu seberapa jauh agama menyediakan cetak biru (blueprint) yang mengatur seluruh tata kehidupan, termasuk relasi agama dan politik, atauka sebaliknya, agama dianggap wilayah private, yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan penyelenggaraan negara.
2.      Dimensi eksternal, hal ini lebih berkaitan dengan pemahaman penyelenggara Negara terhadap nilai-nilai agama, bagaimana agama harus diletakan. Apakah agama dipahami tidak ada sangkut pautnya dengan Negara,[29] atau bahkan mungkin agama harus dijauhkan dari wilayah publik. Secara empiric bias diartikan seberapa jauh peran pemerintah sebagai penyelenggara Negara memebrikan ruang pada aktualisai ideology keagamaan, baik dalam bentuk partai politik maupun dalam meletakan hukum agama (syari’ah) sebagai hukum positif.
Menurut Fazlur Rahman hubungan Islam dan Negara bisa dilihat dari pandangan Alqur’an yang secara eksplisit tidak memberikan konsep yang jelas dan tegas tentang sebuah Negara akan tetapi secara implisit mengajarkan beberapa etika dan nilai  dalam kehidupan bernegara bagi umat manusia. Dikatakan bahwa Al qur’an sebagai petunjuk etika bagi bagi mamusia bukan sebagai bukku pedoman politik.[30]
Sementara kaum tradisionalis sebagaimana diangkat oleh Montgomery watt beranggapan bahwa Pengaitan Islam dengan politik dipandang sebagai suatu bentuk perlawanan penting terhadap upaya barat untuk mempribadikan Islam dan menjadikannya sebagai semata-mata urusan pribadi.[31]
a.       Genealogi Negara
Ada beberapa langkah dan tahapan dalam memahami sebuah Negara Islam yaitu diawali dengan menelusuri jejak Genealogi Negara yang peta konsepnya terdapat dalam Al Qur’an. Berikut genealogi Negara perspektif al qur’an yang dikemukakan oleh Syahrur:[32]
Unsur pertama, adalah Ummah, secara terminologis berasal dari kata amma yang dalam kamus lisanul ‘arab mempunyai beragam arti: yaitu Al imam (pemimpin atau pemuka) dasarnya surat Alfurqon :74, surat Al Isro :71, At Taubah:12, al anbiya:73[33]. Al ummi (bodoh) sebagaimana anggapan kaum yahudi terhadap manusia yang tidak mengetahui ajaran agama yahudi.[34].Berarti jalan, cara atau metode, sbagaimana firma Allah Surat Az Zukhruf ayat: 22.[35] Sedangkan menurut terminologis kontemporer ummat yaitu kebudayaan, yaitu mata rantai perkembangan secara terus-menerus yang menghubungkan periode sejarah klasik , pertengahan, dan modern. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah surat ar ra’du ayat:30, demikianlah;kami telah mengutus kamu pada suatu ummat yang sungguh telah berlalu beberpa ummat sebelumnya.[36]Setelah komunitas muslim lahir di Madinah al qur’an dalam surat al baqoroh: 143-128 menamakannya sebagai ummah wasat (komunitas moderat) atau ummah muslimah (komunitas yang pasrah kepada kemauan Allah).[37]
Unsur kedua, adalah Qaum, berarti “komunitas manusia berakal baik laki-laki maupun perempuan pada kondisi sosial masyarakat tertentu.[38] Pada pokoknya qaum berarti umat atau sekelompok orang, pengikut seorang pemimpin. Contoh kaum ‘ad pengikut Nabi Hud yang durhaka,[39]
Unsur ketiga,Syu’ub,adalah sekumpulan  manusia yang berakal. Mereka mempunyai bahasa dan berafiliasi dengan satu qaum atau lebih. Memiliki naluri serupa namun berbeda kebudayaan. Syu’ub telah mencakup ummat dan qaummiyah.[40] Merupakan gabungan entitas-entitas yang beragam, lalu disatukan oleh hubungan kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahaan bersama yang ditunagkan dalam bentuk legislasi dan hukum perundang-undangan. System ini kemudian dipergunakan pada ranah kehidupan yang dinakamakn dengan tanah air (wathan). Pada gilirannya hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan Negara. Yang kekuasaannya meliputi zona-zona territorial tanah air.[41]
Unsur keempat,  yaitu Negara itu sendiri, yaitu media pengungkapan dari realitas tertentu yang dijadikansebgai ranah kehidupan oleh bangsa tertentu (terdiri dari multi qaum dan multi ummat, atau satu qaum dan satu ummat, atau satu qaum dan multi ummat, serta multi qaum dan satu ummat) secara institusional.[42]


b.      Teori Negara Islam
Perlu diketahu bahwa ada Tiga system hukum dunia Islam[43] yang dianut oleh bangsa-bangsa Islam, yaitu: Pertama, Mengakui adanya syari’ah dan menarapkannya secara utuh, Kedua, Meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan sekuler. Ketiga,Mengkompromikan syari’ah murni dengan sekuler.

c.       Pengertian Negera Islam
Selanjutnya mengenai pengertian Negara Islam sendiri, tidak semua pemikir Islam baik dari kalangan modernis maupun fundamentalis mengajukan  pengertian yang paten, ada beberapa pengertian Negara Islam yang penulis temukan. Pertama, konsep pengertian yang diajukan oleh Fazlur Rahman yang memberikan definisi terhadap Negara Islam Negara Islam adalah organisasi yang dibuat masyarakat muslim itu dalam rangka memenuhi keinginan mereka (meleksanakan kehendak Allah sebagai mana tercantum dalam wahyu Allah) dan tidak untuk kepentingan lain atau dengan kata lain yaitu suatu Negara yang didirikan atau dihuni oleh umat Islam dalam rangka memenuhi keinginan mereka untuk melaksanakan perintah Allah melalui wahyu-Nya.[44]
Kedua, adalah konsep yang dikemykakan oleh Muhammad Asad, beliau memberikan pengertian Negara benar-benar menjadi Islami hanyalah dengan keharusan pelaksananaan yang sadar  ari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang Negara, fungsi suatu Negara Islam hanyalah sebagai sarana untuk memaksakan nilai-nilai moral Islam dalam kehidupan sosio politik ummat.[45]
Ketiga, pendapat maulana al maududi, beliau memberikan definisi Negara Islam dengan memberikan tiga Karakteristik Negara Islam, yaitu:[46]
a.       Kedaulatan ditangan tuhan, manusia hanyalah subjek.
b.      Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada Nya.
c.       Segala hal harus didirikan  berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui rosulullah.

d.      Proses Pembentukan Negara Islam
Dalam proses pembuatan Negara Islam itu sendiri penulis sepakat dengan konsep yang dikemukakan oleh Fazlur Rahaman dimana Proses pembentukan Negara Islam berawal dari adanya consensus kaum muslimin untuk melaksanakan perintah Allah.[47]

e.       Format Negara Islam
Sebagaimana tidak adanya konsepsi yang jelas tentang system penyelenggaraan Negara dalam Islam, hal ini praktis berpengaruh terhadap penentuan format Negar Islam itu sendiri. Menurut Fazlur Rahman Tidak terdapat format yang jelas dalam implemetasi penyelenggaraan Negara tapi elemen yang penting yang harus dimiliki adalah syuro sebagai dasarnya yang melalui ijtihad dalam perumusannya dan dimungkinkan antara satu Negara dengan Negara yang lainnya berbeda.[48] Dalam konsep syuro ini maulana al maududi terkesan fundamentalis dimana menurut beliau hanya ada satu kedaulatan yaitu kedaulatan sehingga bentuk demokrasi yang diaajukan bersifat teo Demokrasi atau kingdom of God.[49]
Menanggapi teori kedaulatan Tuhan ini menurut Muhammad Asad adalah tiada lain merupakan kedaulatan syari’ah atas seluruh warga Negara suatu Negara Islam.[50]
Pandangan lain yang ekstrim dikemukakan oleh Prof. William Montgomery Watt dimana dia beranggapan bahwa dalam Sejarah Islam tidak menyediakan model yang jelas untuk suatu Negara Islam yang tepat dewasa ini.[51] Pendapat ini kemudian diamini oleh pemikir modernis kita yaitu Nurcholis Majid dia telah berkesimpulan tidak ada Negara Islam, namun tetap bercita-cita ada Negara yang memepraktekan ketentuan-ketrentuan yang ada dalam Islam.[52]


f.       Tujuan Negara Islam
Adapun tujuan Negara Islam itu sendiri menuruf Fazlur Rahman adalah untuk mempertahankan keselamatan dan integritas Negara, memelihara terlakasananya undang-undang dan ketertiban serta membangun Negara itu sehingga setiap warga negaranya menyadari kemampuannya dan bersedia menyumbangkan demi kesejahteraan seluruh warga Negara.[53] Secara bergantian Muhammad Asad memberikan pandangannya tentang tujuan Negara Islam adalah demi pengembangan masyrakat manusia yang mempraktikan persamaan hak dan keadilan menju yang benar (haq) dan menentang yang salah , untuk menjelmakan pembelaan keadaan sosial, yang dapat menyelematkan kehidupan manusia  lahir maupun batinmenurut undang-undang alam dari Tuhan yaitu Islam (dasar al Qur’an surat ali-Imron 103-104).[54]
Pertanyaan selanjutnya perlukah adanya Negara Islam? Pertanyaan ini menimbulkan pro dan dan kontra. sebagian kaum modernis menilai Mendirikan daulah Islam sama halnya mencoba memindahkan jarum jam kembali dan hal ini merupakan hal yang tidak realis, karena tidak ada seorang pun yang dapat membalikkan arah sejarah.[55] Oleh karenanya menurut kaum modernis Gerakan-gerakan politik dan pemerintahan yang mendasarkan pada agama dicap sebagai kuno.[56]Agar bias hidup didunia modern kaum muslimin harus menyesuaikan dengan pemerintahan sekuler.[57]Khalifah bukanlah bagian dari Islam karena misi nabi hanya sebatas dakwah.  Hanya kecerdikan yang memaksanya berbuat demikian.[58]  Terbukti Konprensi pan-Islam tentang khilafah pada 1926 gagal mencapai kesepekatan tentang pemulihan jabatan khalifah.[59]oleh karena itu terbentuknya satu umat harus didasarkan nasionalisme.[60]
Berbicara konteks keindonesiaan. Apa sebenarnya yang menjadi cita-cita politik Islam. Paling tidak ada dua Cita-cita politik Islam:[61]pertama, Fiqh siyasah tidak mementingkan label Islam bagi Negara, tetapi lebih mengharapkan pada substansinya: hal ini dilandaskan pada qoidah ushul :تصرف الا مام على الرعية منوط با لمصلحة . kedua, Alasan menetapkan pancasila sebagai satu-satunya asas merujuk pada qoidah :ما لا يد رك كله لا يترك كله.
Lalu apa yang menjadi masalah politik dalam Islam? Pertama,Masalah politik yang dihadapi umat Islam Indonesia menurut din syamsudin adalah kesulitan untuk menjalin persatuan atau menyatukan partai politik Islam.[62]kedua, Masalah klasikal yang dihadapi Indonesia dalam upaya pembaruan hukum Islam adalah minimnya metodologi atau epistimologi yang dianggap cukup memadai untuk mendamaikan tarik-menarik kepentingan antara citra Islam dengan kebutuhan masyarakat.[63]
Selanjutnya masalah yang dihadapi dalam pembumian hukum Islam. Menurut A Qodri Azizi problematika yang dihadapi dalam pembumian hukum Islam ditengah hukum nasional bukan sekedar mencari legitimasi legal formal, akan tetapi lebih kepada sumbangsihnya bagi kesejahteraan bangsa dan Negara.[64]Menurut Gusdur hukum Islam harus dibuat lebih peka kepada kebutuhan-kebutuhan manusiawi masa kini dan masa depan.oleh karena itu Islam sendiri akan mengadakan penyesuaian sekadar yang diperlukan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai transendenya yang telah ditetapkan Allah.[65]
Problematika formalisasi hukum Islam Indonesia:[66]pertama,Kondisi objektif masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kedua, Pembenahan konsepsi, strategi,  dan metode perumusan hukum Islam, sehingga hasilnya tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyrakat dan sesuai dengan karakteristik tatanan hukum nasional.
Beberapa kendala artikulasi cita-cita politik Islam di Indonesia pasca orde baru:[67]
1.      Konsepsional (penjabaran hukum Islam dalam lapangan)
2.      Praktis ( implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat indonesia yang plural)
3.      Umat Islam tidak bersatu
4.      Militer dikuasai abangan ( abangan selalu cemas terhadap kekuatan Islam yang potensial membangun kekuatan tandingan).

Identitas hukum nasional merekomendasikan bahwa hukum nasional yang  sedang dibangun haruslah: [68]Berlandaskan pancasila (filosofis) dan UUD 45 (konstitusional), Berfungsi mengayomi, menciptakan ketertiban sosial, mendukung pelaksanaan pembangunan, dan mengamankan hasil-hasil ai pembangunan.
Berbicara relevansi  Negara Islam dengan situasi umat Islam saat ini ditanggapi oleh para pemikir  Islam Indonesia yaitu dengan  bagaimana kita memahami dan menafsiri doktrin ikatan spiritual universal antara orang beriman. Terkait hal itu berikut Pandangan Syafi’I ma’arif :[69]
a.       Doktrin ikatan spiritual universal antar orang beriman tidak kemudian dijadikan dalil untuk menciptakan satu pemerintahan muslim yang ketat dengan seorang kepala Negara.[70]
b.      Jalan kelar dari doktri agama (sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara : QS. Al Hujurot:10) adalah dengan menciptakan liga bangsa-bangsa muslim yang longgar secara organisasi tapi dengan landasan spiritual yang solid berupa persaudaraan imani universal yang idak boleh dibinasakan oleh perbedaan-perbedaan politik kontemporer antar Negara muslim.[71]
c.       Dalam perspektif al qur’an, Negara sebagai institusi kekuasaan diperlukan Islam sebagai instrument yang efektif untuk merealisasikan ajarannya dalam konteks sejarah.[72]
Sekalipun kita berbicara dalam konteks Negara-negara Islam, hampir tidak ada Negara Islam atau Negara dengan mayoritas pemeluknya beragama Islam yang mengaku sebagai Negara Islam atau menjalankan sepenuhnya aturan-aturan atau syari’at Islam.

D.    SUAKA POLITIK
Suaka politik atau asylum  adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negarakepada orang yang asing yan terlibat perkara/kejahatan politik dinegra lain atau atau negara asal pemohon suaka.[73] Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hubungan internasional atas dsar pertimbangan kemanusiaan. Setiap negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik.[74] Suaka politik dibedakan menjadi dua, suaka wilayah dan suaka diplomatik.[75]
Pembahasan suaka ini erat kaitannya dengan pembahasan dar al-Islam dan dar al-harb. Dalam Islam, pengertian al-dur (دور), biasanya diterjemahkan sebagai divisi dari dunia atau "rumah", adalah konseptualisasi dari seluruh dunia sebagai terdiri dari baik "wilayah Muslim" atau "wilayah non-Muslim". dar bentuk tunggal (دار), diterjemahkan secara harfiah, bisa berarti "rumah" struktur, '"," tempat "," tanah "atau" negara ".[76]
Ide divisi geografis sepanjang garis agama pertama kali diusulkan oleh ahli hukum Muslim Sunni awal Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi yurisprudensi Islam. Namun, adur tidak disebutkan dalam Al Qur'an atau perkataan Nabi dalam hadis, yang merupakan sumber utama dalam hukum Islam. Namun, beberapa adur berasal dari sumber-sumber non-Alkitabiah.
Dar al-Islam (دار الإسلام harfiah rumah / wilayah Islam, atau Dar as-Salam, rumah / tempat tinggal Perdamaian, atau Dar al-Tauhid, rumah / tempat tinggal Union) adalah istilah yang digunakan oleh sarjana Muslim untuk merujuk ke negara-negara di mana umat Islam dapat beribadah secara bebas. Ini biasanya budaya Islam dimana umat Islam merupakan mayoritas penduduk, dan sehingga pemerintah menjanjikan perlindungan. Kebanyakan Dar al-Islam daerah yang dikelilingi oleh masyarakat Islam lainnya untuk menjamin perlindungan publik.
Sarjana Muslim mempertahankan bahwa pelabelan suatu negara atau tempat sebagai bagian dari Dar al-Islam berkisar pada masalah keamanan agama. Ini berarti bahwa jika suatu praktek muslim Islam bebas di tempat-nya tinggal meskipun bahwa tempat itu kebetulan sekuler atau tidak Islami, maka dia akan dianggap sebagai tinggal di Dar al-Islam.
Dar al-Islam juga dikenal dan disebut sebagai Dar al-Salam, atau rumah / tempat tinggal Damai. Istilah ini muncul dalam Qur'an di sebuah 10,25 6,127 sebagai nama surga. Menurut Abu Hanifah, dianggap sebagai pencetus konsep tersebut, dua persyaratan bagi suatu negara untuk menjadi bagian dari Dar al-Islam adalah:
  1. Muslim harus mampu menikmati perdamaian dan keamanan dengan dan di dalam negara ini.
  2.  Ini memiliki batas-batas sama dengan beberapa negara Muslim.
Jika yang pertama tidak berlaku maka sarana fisik seperti Jihad dapat digunakan untuk memperbaiki situasi dan dalam kasus yang terakhir, individu diwajibkan untuk melakukan hijrah ke tempat mereka bisa mempraktekkan agama mereka.
Dar al-Harb ( دار الحرب "rumah perang", adalah istilah yang klasik merujuk kepada negara-negara dimana hukum Islam tidak berlaku, dalam hal ibadah dan perlindungan yang setia dan Dhimmi. Wilayah yang memiliki perjanjian dari nonaggression atau damai dengan Muslim disebut dar al-Ahd atau dar al-sulh.
Ahl Dzimmi
Secara istilah, dzimmi (bahasa Arab: ذمي, majemuk: أهل الذمة, ahlul dzimmah, "orang-orang dzimmah") adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam yang, sebagai balasan karena membayar pajak perorangan, menerima perlindungan dan keamanan. Hukum mengenai dzimmi berlaku di sebuah negara yang menjalankan Syariah Islam. Kata dzimmi sendiri berarti "perlindungan". Status dzimmi mulai berlaku di daerah-daerah Islam dari Samudera Atlantik hingga India sejak zaman Muhammad di abad ke-7 hingga zaman modern. Dari waktu ke waktu, banyak orang dzimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama secara sukarela, kecuali pada beberapa kasus di abad ke-12, misalnya zaman kekuasaan Muwahidun di Afrika Utara dan Al-Andalus, serta pada masa kekuasaan Syiah di Persia.
Menurut Qur'an Surat At Taubah ayat 29, orang-orang dzimmi diharuskan membayar pajak yang disebut jizyah, dan tidak boleh diperangi oleh orang Islam. Orang-orang dzimmi yang membayar jizyah diperbolehkan menjalankan ibadah agama mereka, menerima otonomi komunal, harus dilindungi oleh umat Islam jika ada serangan dari luar, dibebaskan dari wajib militer, dibebaskan dari membayar zakat serta pajak-pajak yang dikenakan pada umat Islam.

KESIMPULAN
Pertama, bahwa perlu diketahui ada dua dimensi dalam hukum Islam yang satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat yaitu dimensi ila>hiyah dan dimensi Insa>niyah.
Kedua, sebagai derivasi dari dua dimensi yang terkandung dalam hukum Islam maka kemudian hukum Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu hukum Islam sebagai produk Hukum/Fiqih atau fiqih sebagai ilmu, sedang yang ke dua adalah hukum sebagai pranata sosial.
Ketiga, fiqih sebagai pranata sosial ini kemudian memunculkan yurisdiksi dalam mengaplikasikan hukum islam sehingga bahasan selanjutnya yang menjadi penting adalah konsep ketatanegaraan dalam islam dengan segala artikulasinya yang menyangkut politik ketatanegaraan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata.Problematika Politik Islam di Indonesia.2002. Jakarta: Grasindo,hal.29
Al Maududi, Abul A’la. The Islamic law and Constitution. Terjemahan Asep Hikmat. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. 1990. Bandung: Mizan.hal.158
Al-Mawardi, al-Ahka>m al-Sulth>aniyyah (Bairut: maktabah al-Islami, 1996), 5.
Amiruddin, M Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, 2000. Yogyakarta: UII Press.. Hal.4
Amiruddin, M Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, 2000. Yogyakarta: UII Press..hal.90
Baidlowi, Zakiyudin M. Thoyibi.Reinvensi Islam Multikultural.  Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS.2005, Hal.141
Ensiklopedia Islam, (jakarta: PT ichtiar baru Van hoeve, Vol.3 cet. 7, 2000),  50
H.KN. Sofyan Hasan. Hukum Islam. Jakarta: Literata,2004
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khladun, (Jakarta: Pustaka firdaus, 1986). 166
Jamaluddin Muhammad bin Mikram bin Mandur, Tahdi>bu al-Lisa>ni al-Arab, (Libanon: Darul Kutub, juz,1, 1413 H), 360
Jameelah. Maryam Islam and Modernism. Terjemahan A. Jainuri, Syafiq A. Mughni. Islam dan Modernisasi. 1982. Surabaya;Usaha Nasional, Hal.63
Jeje Abdul Rojak, Politik Kenegaraan Pemikiran al-Ghozali dan ibn Taimiyah, (Surabaya; bina ilmu, cet.1, 1999), 166-167
M. Sirajudin Legislasi Hukum Islam di Indonesia..Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008,Hal.36-37
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).1996. Jakarta: Gema Insani Press.Hal.186
Ma’arif. Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: studi tentang perdebatan dalam konstituante. 2006. Jakarta;Pustaka LP3ES,.hal. 142
Mahayuddin. Dkk. Sejarah Islam, (Malaysia: Pajar bakti, cet. 4, 1995), 124
Mu’allim, Amir. Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta:UII Press, 2001,21
Mubarok, Jaih. Metodologi Ijtihad Hukum Islam.2002. Yogyakarta: UII Press,  hal. 1
Nugroho, Taufik. Pasang Surut hungan Islam dan Negara pancasila.2003. Yogyakarta; PADMA, Hal.118
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Jakarta: MA R.I, 2002, 214
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, 95
Said, Umar. Hukum Acara Peradilan Agama, Surabaya: Cempaka, 2008, 15
Saidi. Anas dkk.Menekuk Agama, Membangun Tahta. 2004. Jakarta: Desantara,Hal.3
Sjadzali, Munawir.Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. 1990. Jakarta: UI Press.28-29
Syahrur, Muhammad. Dirasat Islamiyah Muashirah fi ad-Daulah wa al-mujtama’. Terjemahan Syaifudin Zuhri Qudsy. Tirani Islam Genealogi Masyarakat Islam dan Negara. 2003. Yogyakarta: LKiS.
Teba. Sudirman Islam Menuju Era Reformasi.2001. Yogyakarta: Tiara Wacana,.hal.14
Undang-undang RI No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang no. 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama (Himpunan Peraturan Perundang-undangan Lengkap, Wacana Intelektual, 2009)



Postingan terkait: