Istihsan dalam Perspektif Usuliyyun



PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang utama dan pertama, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam dua periode: yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Sumber hukum Islam yang kedua adalah al-Hadits yang berfungsi sebagai penjelas hukum-hukum yang ada dalam al-Quran, mempreinci ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global, dan menetapkan hukum yang belum ada dalam al-Qur’an.
Ketika Islam berkembang semakin luas, ternyata tidak semua persoalan yang timbul dapat diselesaikan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber itu, para ulama melakukan Ijtihad. Karena wahyu tidak turun lagi dan Nabi sebagai tempat bertanya pun telah wafat maka tidak ada suatu alat penguji yang kuat untuk menyatakan benar atau tidaknya hasil ijtihad. Untuk mengatasi masalah itu dipakailah ijma’ dengan demikian putusan hukum yang diambil secara bulat bersama lebih kuat daripada putusan hukum yang dibuat oleh perseorangan.­
Kondisi seperti ini pun tidak bisa dipertahankan ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas. Dengan terpencar-pencarnya para ulama’, ijma’ tidak mungkin dapat dilakukan lagi, akhirnya masing-masing ulama’ melakukan istinbat hukum sendiri-sendiri. Maka lahirlah bermacam-macam metode istimbat hukum, seperti Qiya>s{, Istihs{a>n, Istisla>h, ‘Urf, Istish{a>b dan lain-lain. Dan metode-metode istimbat hukum itu menjadi obyek kajian ilmu ushul fiqh.
Pada makalah ini kami lebih fokuskan pada permasalahan istih}s>an, terutama perbedaan ulama’ dalam penggunaan istih}s>an sebagai dalil syar’i>. Rumusan masalahnya adalah :
a.       Pengertian Istih}s>an
b.      Macam-macam Istih}s>an
c.       Perbedaan ulama’ dalam penggunaan istih}s>an dan contoh kasusnya

PEMBAHASAN
A.    Definisi istih}s>an versi ulama’ hanafiyah
Secara etimologi Istih}s>an berarti menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu. Dalam kamus lisan al- arab, istih}s>an menurut bahasa adalah: kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.[1]
Sedangkan pengertian Istih{san secara terminologi memiliki  banyak definisi  di antara para ulama, antara lain:
1.      Ibn Qudamah (ahli ushul fiqh Hambali) mendefinisikan:
Istih}s>an adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari ayat al-Qur’an maupun dari Sunnah Rasul.[2]
2.      Abu Ishaq al-Shat}ibi> (ahli ushul fiqh Maliki) mengatakan:
Istih}s>an adalah memberlakukan kemaslahatan juz’i ketika berhadapan dengan kaidah umum.[3]
3.      Abdul wahab Khalaf mendefinisikan :
Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan qiyas yamg khafi (samar), dari hukum kulli( umum) kepada hukum istisnay (pengecualian ) ada dalil yang menyebabakan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.[4]
4.      Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan istih}s>an
Beralihnya seseorang dari menghikum suatu masalah dengan yang serupa karena adanya kesamaan- kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan  beralih dari yang pertama.[5]
5.      Al Qarafi mendefinisikan Istih}s>an
Meninggalkan salah satu bentuk ijtihad  yang tidak yang tidak mencakup seluruh lafadznya  karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[6]
Ulama’ yang paling sering mengunakan istih}s>an adalah ulama’ hanafiyah. Akan tetapi para ulama’ mutaqaddimun tidak memberikan definisi yang tegas terhadap istih}s>an itu sendiri. Oleh karena itu ulama’ periode selanjutnya (mutakhkhirun) mencoba memberikan definisi walaupun masih belum sempurna. Definisi istih}s>an menurut muataqaddimun adalah berpalingnya mujtahid dari suatu masalah hukum tertentu kepada hukum yang lain, karena ditemukan dalil yang menjadi motif untuk berpaling.[7]
Sebenanrnya definisi ini terlalu luas dan tidak fokus, karena bisa saja konsep tentang naskh dan takhs}i>s> masuk dalam pembahasan ini.
Oleh karena itu Ha>shim Jami>l ‘Abdullah lebih memilih definisi yang diberikan oleh Usta>z Zakiyuddin Sha’ba>n dengan pertimbangan definisi tersebut cukup merepresentasikan konsep istih}s>an yang dimaksud dalam fiqh hanafi. Definisi istih}s>an tercakup dalam dua kategori:
  1. Mentarjih qiyas khafi> (karena illatnya yang samar) dari pada qiyas za>hir / jali> (karena illatnya bisa langsung dicerna akal) karena ada dalil yang mendukungnya.
Dengan artian bahwa kadang suatu masalah hukum tidak ditemukan dalilnya di nas} dan ijma’, lalu mujathid menjadikan qiyas sebagai dasar hukum. Akan tetapi dalam aplikasinya kadang ada keserupaan antara dua hukum asal yang akan dianalogikakan kepada hukum cabang dengan rincian bahwa, hukum asal yang pertama bersifat jelas dan langsung dicerna oleh akal ketika dianalogikakan, sedangkan hukum asal yang kedua sifatnya samar dan tidak langsung dicerna akal. Menurut kaidah qiyas yang ada, maka seharusnya mujtahid menganalogikakan hukum furu’ itu kepada hukum asal yang jelas (qiyas jali>). Akan tetapi dalam permasalahan tertentu justru mujtahid dituntut untuk menganalogikakn hukum furu’ dengan hukum asal yang samar (qiyas khafi>). Qiyas khafi> inilah yang disebut istih}s>an menurut kalangan hana>fiyah.
  1. Memberlalakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya, baik dalil itu berupa nas}, ijma’, d}aru>rah, ‘urf, mas}lahah, dan lainnya.
Pada dasarnya, dalam aplikasi sebuah hukum mujtahid diharuskan menggunakan kaidah atau dalil umum sesuai ketentuan yang ada. Dalam bahasa hukum wad}i> bisa disebut dengan ‘azi>mah. Akan tetapi dalam keadaan tertentu mujtahid dituntut mengaplikasikan hukum tertentu berbeda dengan hukum asalnya sebagai pengecualian. Pengecualian inilah yang selanjutnya oleh hanafiyah disebut istihsa>n.[8]

B.     Macam-macam istih}s>an menurut hana>fiyah
Menurut hanafiyah, istih}s>an terbagi menjadi 6 macam dilihat dari segi sandaran dalilnya, yaitu:
1.      Al-istihsa>n bi al-nas}
Macam istih}s>an ini mencakup semua contoh yang ada di nas} al-Qur’an dan hadis, yang menjelaskan tentang hukum tertentu yang menyalahi ketetapan hukum kulli berdasarkan dalil-dalil tertentu. [9]
Contoh konkritnya dalam al-Qur’an adalah Dalam masalah wasiat, menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang ang berwasiat tidak cakap lagi yaitu setelah ia wafat. Tetapi kaidah umum ini dikecualikan melalui firman Allah dalam surat annisa’:11
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”( annisa; : 11)
Sedangkan pada hadis nabi contohnya adalah akad salam.[10] Menurut kaidah umumnya akad salam salah termasuk jenis jual beli yang tidak sah karena barang yang diperjual belikan tidak ada. Ketentuan ini dipertegas dengan hadis nabi لا تبع ما ليس عندك
Akan tetapi ada pengecualian terhadap hadis ini, yaitu berupa akad salam yang ditegaskan oleh hadis nabi yang lain في كيل معلوم إلى أجل معلوم  من أسلف فليسلف
2.      Al-isithsa>n bi al-ijma>’
Isithsan ini terealisasi dengan fatwa para mujtahid yang menyalahi dalil atau kaidah umum yang berlaku, atau terealisasi jika para mujtahid tidak berkomentar setuju atau menolak tentang hukum tertentu yang dilakukan oleh segenap orang islam, yang hukum tersebut berbeda dengan ajaran pokok yang berlaku.[11]
Contoh konkritnya adalah upah penggunaan kamar mandi di kamar mandi umum, dimana pada praktek tersebut tidak ada kejelasan mengenai berapa ukuran air yang sudah digunakan, dan berapa lama seseorang berada di kamar mandi itu.
Pada dasarnya ketidakjelasan dalam akad itu menyebabkan batalnya akad. Akan tetapi praktek seperti ini dibolehkan dengan pertimbangan istih}s>an dengan alasan bahwa tidak ada penolakan dari ahli fiqh terkait praktek ini[12]
3.      Al-istih}s>an bi al-D}aru>rah wa al-Ha>jah
Maksunya ada keadaan – keadaan dharurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaedah umum atau qiyas. demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
Contoh yang representatif adalah kesucian kolam dan sumur jika kejatuhan najis dengan cara menuangkan air ke dalamnya. Cara pensucian seperti ini sebenarnya bertentangan dengan kaidah yang menjadi pijakan umum, yaitu menguras sebagian air tidak menyebabkan sisa airnya menjadi suci.da juga, menguras semua air yang ada tidak mengakibatkan sesuatu yang tumbuh disekitar sumur menjadi suci. Hal ini karena najis yang terjatuh ke sumur tersebut bisa saja bercampur dan mengenai dasar sumur atau dinding sumur sehingga menjadi mutanajjis.[13]
Contoh lainnya adalah adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada Istih}s>an dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
4.      Al-istih}s>an bi al-Qiya>s al-Khafi>
Istih}s>an macam ini terjadi jika dalam suatu permasalah hukum terdapat dua qiyas, jail> dan khafi>[14]. Contoh konkritnya adalah:
Misanya bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istih}s>an, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali>), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istih}s>an hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istih}s>an.[15]
5.      Al-istih}s>an bi al-‘Urf
Istih}s>an ini mencakup semua pembolehan ahli fiqh tentang hukum tertentu yang menyalahi kaidah umum berdasarkan urf.[16]
Contohnya terkait dengan wakaf, yaitu kebolehan mewakafkan benda-benda yang bisa dipindahkan seperti wakaf kitab. Pada dasarnya kebolehan ini melanggar aturan umum yang berlaku, dimana benda yang diwakafkan haruslah bersifat kekal.
Contoh lain adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar Istih}s>an, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.[17]
6.      Al-istih}s>an bi al-Maslah}ah
Contohnya adalah ketentuan umum menetapkan bahwa buruh  di pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi barang yang diproduksi di pabrik tersebut kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka. Akan tetapi demi kemaslahatan dalam pemeliharaan harta orang lain dari sikap yang tidak bertanggung jawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagaian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama hanafiyah menggunakan istih}s>an dengan menyatakan  bahwa buruh pabrik harus bertanggung jawab atas kerusakan setiapa produk pabrik, baik disengaja maupun tidak.
Ulama malikiyah mencontohkan kebolehan seorang dokter melihat aurot pasien wanita yang sedang berobat. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka baju wanita untuk didiaknosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan orang itu, menurut kaidah istih}s>an seorang dokter boleh melihat aurot wanita yang sedang berobat.
C.    Komentar ulama’ selain hanafiyah terhadap istih}s>an
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, ulama’ yang sangat sering menggunakan istih}s>an adalah golongan hanafiyah. Sedangkan imam mazhab yang lain juga menggunakan dalil istih}s>an ini walaupun porsi penggunaannya lebih sedikit. Rinciannya adalah sebagai berikut:
1.      Ma>likiyah
Ma>likiyah memiliki posisi yang sama dengan hana>fiyah, yaitu sepakat dalam penggunaan istih}s>an sebagai dalil. Golongan ma>likiyah membagi istihsan dalam 4 hal:
a.       Mengenyampingkan dalil karena ‘urf
b.      Mengenyampingkan dalil karena ijma’
c.       Mengenyampingkan dalil karena maslahah
d.      Mengenyampingkan dalil karena pertimbangan kemudahan dan menghindarkan kesulitan[18]
Akan tetapi menurut ha>shim jami>l, porsi penggunaan istih}s>an oleh malikiyah tidak seluas dan sebanyak yang dilakukan oleh hana>fiyah.[19]
2.      Hana>bilah
Tidak jauh beda dengan ma>likiyah, hana>bilah juga sepakat dalam penggunaan istih}s>an sebagai dalil. Definisi yang ditawarkannya pun hamper mirip dengan definisi kalangan hana>fiyah. Konsep istih}s>an menurut hana>bilah sangatlah luas, walau dalam aplikasi konkritnya sangatlah sedikit. Bahkan salah satu pengikut hana>bilah, yaitu ibnu taimiyah menolah pendapat hana>fiyah dalam bidang transaksi jika disandarkan pada istih}s>an yang menyalahi qiyas[20]
Contoh penggunaan isithsan versi hana>bilah adalah kewajiban bertayammum tiap kali melaksanakan shalat. Padahal seharusnya tidak seperti itu jika diqiyaskan pada air. Contoh lain adalah kebolehan menjual mushaf al-Qur’an, padahal kaidah dasarnya adalah adanya larangan menjual mushaf al-Qur’an.[21]
3.      Zaidiyah
Sama seperti ulama’ sebelumnya, zaidiyah juga menggunakan istih}s>an sebagai dalil. Definisi isithsan menurut mereka adalah berpaling dari qiyas karena ada peristiwa yang baru dating sehingga menuntut untuk menggunakan dalil yang lebih kuat. [22]
4.      Imam Syafi’i
Dalam kitab al-Um dan al-Risalah, imam syafi’i secara khusus memberi porsi untuk membahas kehujjahan istih}s>an sebagai dalil syar’i. Dibawah ini kami kutip beberapa perkataan imam syafi’i dalam kitab al-Risalah tentang istih}s>an:
قال : هذا كما قلتَ والاجتهاد لا يكون إلا على مطلوب والمطلوب لا يكون أبداً إلا على عين قائمة تُطلب بدلالةٍ  يُقصد بها إليها أو تشبيهٍ على عين قائمة وهذا يبين أن حراماً على أحد أن يقول بالاستحسان إذا خالف الاستحسانُ الخبرَ والخبرُ - من الكتاب والسنة - عينٌ يتأخَّى معناها المجتهدُ ليصيبه كما البيتُ يتأخَّاه مَن غاب عنه ليصيبه أو قَصَدَه بالقياس وأن ليس لأحد أن يقول إلا من جهة الاجتهاد والاجتهادُ ما وصفتَ من طلب الحق . فهل تجيز أنت أن يقول الرجل : أستحسنُ بغير قياس ؟
 فقلت : لا يجوز هذا عندي - والله أعلم - لأحد وإنما كان لأهل العلم أن يقولوا دون غيرهم لأن يقولوا في الخبر باتباعه فيما ليس فيه الخبرُ بالقياس على الخبر ولو جاز تعطيلُ القياس جاز لأهل العقولِ من غير أهل العلم أن يقولوا فيما ليس فيه خبر بما يحضرهم من الاستحسان وإن القول بغير خبر ولا قياس لَغَير جائز بما ذكرتُ من كتاب الله وسنة رسوله ولا في القياس  فقال : أما الكتاب والسنة فيدلان على ذلك لأنه إذا أمر النبي بالاجتهاد فالاجتهاد أبداً لا يكون إلا على طلب شيء وطلبُ الشيء لا يكون إلا بدلائل والدلائلُ هي القياس قال : فأين القياس مع الدلائل على ما وصفتَ ؟[23]
وإنما الاستحسان تلذُّذ ولا يقول فيه إلا عالم بالأخبار عاقلٌ للتشبيه عليها وإذا كان هذا هكذا كان على العالم أن لايقول إلا من جهة العلم - وجهةُ العلم الخبر اللازم - بالقياس بالدلائل على الصواب حتى يكون صاحب العلم أبداً متبعاً خبراً وطالبَ الخبر بالقياس كما يكون متبعَ البيت بالعِيان وطالبً قصْدَه بالاستدلال بالأعلام مجتهداً ولو قال بلا خبر لازم و قياسٍ كان أقربَ من الإثم من الذي قال وهو غير عالم وكان القول لغير أهل العلم جائزاً ولم يجعل الله لأحد بعد رسول الله أن يقول إلا من جهة علمٍ مضى قبله وجهةُ العلمِ بعدُ الكتابُ والسنةُ والإجماعُ والآثارُ وما وصفتُ من القياس عليها[24]
Sepintas kita pahami bahwa imam syafi’i menolak keras penggunaan istih}s>an dalam penggalian hukum islam. Dari kutipan diatas dapat kami simpulkan bahwa ada beberpa alasan imam syafi’i menolak istih}s>an, diantaranya:
a.       Isitihsan identik dengan tidak adanya usaha berijtihad  dalam penggalian hukum. Apalagi jika isithsan itu menyalahi al-Qur’an dan sunnah, maka istih}s>an secara tegas ditolak
b.      Istihsan bersifat mengenyampingkan khabar dan qiyas, yang jelas-jelas tidak boleh dilakukan
c.       Istihsan bersifat mengenakkan diri sendiri dalam penggalian hukum
d.      Dan lain-lain
Akan tetapi pemerhati dan para us}u>liyyu>n selanjutnya, termasuk juga penulis kitab us}u>l fiqh belakangan ini mengkaji lebih mendalam tentang penolakan imam syafi’i terhadap istih}s>an dan alasan yang dikemukakannya.
Wahbah Zuhaili> menjelaskan bahwa sebenarnya imam syafi’i menolak istihsan karena disandarkan pada penggunaan akal semata dan pendapat yang disandarkan pada kemauannya sendiri tanpa ada dalil kuat yang menjadi sandaran. Jika yang dimaksud isihsan seperti ini, maka hana>fiyahpun akan melokanya. Hal ini ditegaskan oleh al-Bazdawi, bahwa imam abu hanifah adalah orang yang sangat menjag adiri untuk berpendapat tentang urusan agama yang hanya disandarkan pada kemauan dan kepentingan dirinya semata[25]
Lalu Wahbah Zuhaili mengutip perkataan al-Qaffa>l yang bermazhab syafi’i, bahwa jika yang dimaksud dengna istih}s>an adalah apa yang sudah dijelaskan oleh ahli us}u>l, maka istih}s>an seperti itu bisa kamai terima sebagai hujjah dan kami tidak menolaknya.[26]
Hal ini senada dengan pendapat ‘Abdul Kari>m Zaida>n. Menurutnya, istih}s>an yang hanya disandarkan kepada hawa nafsu semata dan tanpa didasarkan pada dalil, maka isitihsan seperti itu tidak disepakati oleh semua ulama’. Sebaliknya, jika yang dimaksud istih}s>an adalah apa yang dijelaskan oleh para ahli us}u>l, maka semua ulama’ menerimanya.[27]
Lebih lanjut Ha>shim Ja>mil menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat terkait istih}s>an ini hanyalah perbedaan dalam lafaz saja. Pada hakikatnya, semua al- maza>hib al-arbaah dan zaidiyah menggunakan istih}s>an sebagai dalil syar’i walaupun porsi pengunaannya berbeda-beda. Mazhab yang paling sering menggunakan isithsan adalah hanafiyah, lalu ma>likiyah, dan zaidiyah. Lalu porsi penggunaanya semakin kecil oleh syafi’iyah dan hana>bilah.[28]
5.      Zahiriah dan Imamiyah
Menurut ha>shim jami>l, dua mazhab ini sepakat untuk menolah penggunaan istih}s>an sebagai dalil syar’i>.[29]

D.    Contoh perbedaan penggunaan istih}s>an dalam praktek hukum
Contoh ini langsung dikutip dalam buku Masa>il Min al-Fiqh Al-Muqa>ran karya Ha>shim Jami>l ‘Abdullah. Contohnya adalah perbedaan ulama’ terkait akad shuf’ah pada buah-buahan. [30]
Menurut malikiyah, jika salah satu pihak syari>kain (dua orang yang berserikat/memiliki hak) menjual buah-buahan yang tumbuh di tanah milik bersama, maka pihak yang lain boleh mengambil buah-buahan itu dari tangan pembeli dengan alasan masih menjadi bagian dari tanah milik bersama selama buah tersebut belum kering. Ini berdasarkan istih}s>an untuk mencegak bahaya dari masing-masing pihak.
Sedangkan hana>fiyah berpendapat kebolehan akad syuf’ah terhadap tanaman dan buah-buahan yang diikutkan pada tanahnya, dengan syarat harus ada perjanjian di awal. Ini berdasarkan istih}s>an karena tanaman dan buah-buahan itu ikut pada tanahnya.
Menurut shafi’iyah, hana>bilah, dan ima>miyah, tidak boleh melakukan akad syuf’ah pada tanaman dan buah-buahan secara mutlaq. Pendapat ini disandarkan pada hadis nabi
لا شفعة إلا في ربع او عقار

PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Definisi isithsan ada dua: 1) Mentarjih qiyas khafi> (karena illatnya yang samar) dari pada qiyas za>hir / jali> (karena illatnya bisa langsung dicerna akal) karena ada dalil yang mendukungnya. 2) Memberlalakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya, baik dalil itu berupa nas}, ijma’, d}aru>rah, ‘urf, mas}lahah, dan lainnya.
2.      Ada beberapa macam istih}s>an dilahat dari sandaran hukumnya, yaitu Al-istihsa>n bi al-nas}, Al-isithsa>n bi al-ijma>’, Al-istih}s>an bi al-D}aru>rah wa al-Ha>jah, Al-istih}s>an bi al-Qiya>s al-Khafi>, Al-istih}s>an bi al-‘Urf, dan Al-istih}s>an bi al-Maslah}ah
3.      Perbedaan pendapat terkait penggunaan istih}s>an ini hanyalah perbedaan dalam lafaz saja. Pada hakikatnya, semua al- maza>hib al-arbaah dan zaidiyah menggunakan istih}s>an sebagai dalil syar’i walaupun porsi pengunaannya berbeda-beda. Mazhab yang paling sering menggunakan isithsan adalah hanafiyah, lalu ma>likiyah, dan zaidiyah. Lalu porsi penggunaanya semakin kecil oleh syafi’iyah dan hana>bilah.
Contoh konkritnya adalah perbedaan ulama’ tentang akad shuf’ah pada tanaman dan buah-buahan. Menurut hana>fiyah dan ma>likyah, boleh. Sedangkan menurut shafi’iyah dan hana>bilah, tidak boleh.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdul Kari>m Zaida>n, al-Waji>z fi us}u>l al-Fiqh, ‘Amma>n, Maktabah al-Batha>ir, 1994
Abi> Abdillah Muhammad bin Idri>s al-Syafi’i>, al-Risalah, tk, tp, 1309
Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur , Lisan al-‘Arab,  Beirut,  Dar Shadir, 1410 H
Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwa>faqa>t fi> us{u>l al-Shari>’ah. Juz IV, Beirut,  Da>r al-Ma’rifah
Abdul Wahab Khalaf, ilm ushl al fiqh, terj. Moh. Zuhri dan A. Qorib, Semarang, Dina Utama,1994
Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Quddamah al-Maqdisy, Raudhah al-Nazhir wa Jannah al-Muntazhir, Riyadh, Maktabah al-Rusyd, 1416 H
Abu Zahroh, Us}ul al- Fiqh, Dar al fikri al aroby,tt
Al Qorofi, Nafais al Us}ul fi Sharh al- Mahsul, Arab Saudi,  Maktabah Nazzar  Mustthofa al Bazz,1998
Ha>shim Jami>l ‘Abdullah, Masa>il Min al-Fiqh Al-Muqa>ran, Bagdad, Bait al-Hikmah, 1989
Sya’ban Muhammad Isma’il,  Us}ul al- Fiqh al-Muyassar, Kairo, Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415 H
Wahbah Zuhaili>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>, juz 2, Beirut,  Dar al-Fikr, 1998


Postingan terkait: