Al - Mantuq Wa Al - Mafhum




PENDAHULUAN

Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq dan mafhum serta kehujahannya.


PEMBAHASAN

A.    Mantuq dan Pembagiannya
Mantuq secara bahasa  adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah[1], dilâlah  lafal nash dibagi kepada dua macam,  yaitu  dilâlat  al-mantûq  (دلالـة الـمـنطوق)  dan  dilâlat  al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم)). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq[2] ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.
1.      Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili[3] yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[4]
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir, dan mu’awwal:[5]
a.       Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[6]
b.      Zahir
Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2.      Mantûq Ghairu Sarih 
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:
a.       Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[7]
b.      Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”[8]
c.       Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[9]

B.     Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
      Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.      Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[10]
a.       Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b.      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).
2.      Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.       Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[11]
Mafhum sifat ada 3 macam:
1)      Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2)      Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3)      ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b.      Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[12]
c.       Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
d.      Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.[13]
e.       Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.[14]
f.       Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[15]

C.    Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:[16]
a.       Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b.      Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.


KESIMPULAN

Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan  menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Tim Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta : Penerbit Kencana, 2009.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Sya’ban, al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj. Jakarta: Halim Jaya, 2009.


Postingan terkait: