Tafsir Ruh Al-Ma'ani




     A.    Pendahuluan
Kajian al-Quran memiliki wilayah yang sangat luas, sehingga tidak berlebihan jika ia diibaratkan sebagai lautan ilmu yang tidak bertepi. Berbagai macam ilmu telah muncul berkat kehadiran al-Quran, mulai dari asbab al-nuzul, nsikh mansukh, muhkam-mutasyabih hingga makki-madani dan begitu seterusnya. Al-Quran memang memiliki daya magnet yang luar biasa, tidak saja bagi orang muslim (insider), tetapi juga bagi non-muslim atau orientalis (outsider).
Secara metodologis, wilayah kajian terhadap al-Quran dapat dipetakan menjadi tiga, yaitu Pertama, kajian mengenai teks al-Quran yang dilakukan untuk membuktikan otentisitas al-Quran atau untuk mengkaji isi kandungan al-Quran. Kedua kajian mengenai hasil penafsiran orang terhadap al-Quran yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, yang biasanya dimaksudkan untuk mendukung, menolak, menguji atau mengkritisi hasil penafsiran para ulama. Ketiga kajian tentang respon masyarakat terhadap al-Quran yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, atau yang juga dapat disebut living Quran, seperti fenomena semaan al-Quran, proses penghafalan al-Quran, ruqyah (baca: suwuk) menggunakan ayat-ayat al-Quran, doa-doa dari ayat al-Quran yang digunakan untuk kekebalan tubuh dan sebagainya. Dengan kerangka teori tersebut, maka posisi kajian penulis dalam hal ini berada pada wilayah kajian  yang kedua, yakni penulis ingin mengkaji hasil penafsiran orang (dalam hal ini al-Alusi) mengenai al-Quran.
Makalah ini akan berusaha mengkaji karya monumental al Alusi. Fokus kajian makalah ini  yaitu: riwayat hidup pengarang (nama penulis,nama kitap tafsir,kota serta nama penerbit, jumlah juz serta jumlah halaman dalam setiap juz, keahlian ilmu dan kitab-kitab yang pernah dikarang oleh penafsir), analisis tafsir sufi, metode kitab tafsirnya, kecenderungan aliran (naz’ah/ittijah) dan  komentar penulis tentang keistimewaan serta kelemahannya.


B.     Pembahasan
  1. Riwayat Hidup al-Alusi
Nama lengkap al-Alusi adalah Abu Tsana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi.[1] Nama al Alusi diambil dari nama suatu tempat di tepi barat Sungai Eufrat yang terletak di antara kota Abu Kamal dan kota Ramadi, Irak. Beliau lahir dari keluarga besar yang terpelajar di Baghdad pada tahun 1217 H / 1802 M.[2] Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alusi juga berguru kepada Syaikh al-Naqshabandi. Dari yang terakhir ini beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteris).
Al-Alusi dikenal sangat kuat hafalannya (dabit)  dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar.
Pada tahun 1248 beliau diangkat sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjaniyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun tafsir al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan tafsir Ruh al-Ma’ani.[3] Setelah karya itu selesai, ia kemudian menunjukkanya kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari sultan.
Secara akademis, al-Alusi relatif sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika  beliau dijuluki dengan Hujjatul Udaba’ dan sebagai rujukan bagi para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain: Hasyiyyah ‘ala al-Qatr, Syarh al-Salim dalam ilmu logika, al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah `an As’ilah al-Lahoriyyah, al-Ajwibah al-Iraqiyyah ala As’ilah al-Iraniyyah, Durrah al-Gawâs fi Awhâm al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fiAdab al-Bahs Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-`Azîm wa al-Sab’i al-Mas|ani dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terkhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alusi atau Ruh al-Ma’ani.
            Sebenarnya sudah sejak lama al-Alusi ingin menuangkan buah pikirannya ke dalam sebuah kitab. Namun karena merasa belum mampu dan kurangnya kesempatan, maka keinginan tersebut sempat tertunda. Hingga pada suatu Malam Jum’at di bulan Rajab tahun 1252 H.  beliau bermimpi diperintah Allah SWT untuk melipat langit dan bumi. Kemudian (masih dalam keadaan mimpi) beliau mengangkat satu tangan ke arah langit dan satu tangan ke tempat mata air, kemudian beliau terbangun. Setelah mencari makna dari mimpinya, ternyata tafsir mimpi beliau adalah bahwa beliau diperintah mengarang sebuah kitab tafsir. Maka mulailah beliau mengarang pada tanggal 16 Sya’ban 1252 H, pada waktu beliau berusia 34 tahun pada zaman pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul Hamid Khan.[4]
            Setelah kitab ini selesai disusun, beliau mendapat kesulitan dalam memberikan nama yang sesuai. Akhirnya beliau melaporkan hal ini kepada Perdana Menteri Ali Ridho Pasha. Secara sepontan beliau memberinya nama Tafsir Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Quran al Azim wa al Sab’ al Masani, dimana di dalamnya terdiri dari 16 jilid, jilid 1:635 halaman, 2:272 halaman, 3:416 halaman, 4:319 halaman, 5:270 halaman, 6:238 halaman, 7:399 halaman, 8:395 halaman, 9:431 halaman, 10:380 halaman, 11:251 halaman, 12:347 halaman, 13:206 halaman, 14:300 halaman, 15:248 halaman, dan 16:523 halaman. Dierbitkan Beirut dengan penerbit: Dar al Kutub al Ilmiyah. Setelah beliau meninggal, kitab ini disempurnakan oleh putranya, Sayyid Nu’man al Alusi.[5]
Dalam bidang fiqih beliau bermadzhab Shafi’i, namun dalam banyak hal beliau mengikuti mazhab Hanafi. Bahkan beliau juga memiliki kecenderungan berijtihad. Sedangkan dalam aqidah mengikuti aqidah Sunni.[6] Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma’ruf al-Karakhi, salah seorang tokoh sufi yang sangt terkenal di kota Kurkh.[7]


  1. Analisis Tafsir Sufi
Tafsir Sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi[8]. Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsir al isyari.
Untuk lebih mengenal tentang pengertian tafsir sufi, sudah selayaknya kita harus mengetahui tentang latar belakang atau sejarah dari tafsir sufi itu sendiri. Yakni pada awal munculnya tafsir sufi kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan para sufi yang umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
 لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”

            Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untuk menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Quran tersimpan makna batin. Mereka menganggap makna batin dari sebuah ayat merupakan faktor yang sangat penting. Nashruddin misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati.[9] Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Quran. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Quran. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَك ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tapi carilah wajah Allah semata”. Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
            Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash Al-Quran dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi itu melihat nash Al-Quran sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari, yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Quran tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oleh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
            Jadi, isyarat-isyarat Al-Quran lah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Quran. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah. Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Quran tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99) ( وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَى يَاْتِيَكَ الْيَقِيْنُ ). Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban baginya”.6
            Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh melalui kasyaf. Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Quran sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian?

  1. Metode Tafsir al-Quran Ruh al Ma’ani Al-Alusi
Berbicara mengenai metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan. Yang termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber-sumber penafsiran. Sacara leksikal metode diartikan sebagai way of doing anything, yaitu suatu cara yang ditempuh untuk mengerjakan sesuatu agar sampai kepada suatu tujuan. Sedangkan pendekatan (approach) adalah perspektif yang dipakai mufassir dalam melakukan penafsiran. 
Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan al-Quran adalah metode tahlili. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain. Hal ini juga yang menyebabkan beliau termasuk orang yang sangat selektif terhadap riwayat-riwayat israiliyyat, disebabkan karena beliau mau menekuni ilmu hadis. Namun biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir komprehensif, sehingga  seringkali terkesan parsial. Akibatnya pendangan dunia (world view) al-Quran mengenai persoalan yang dibicarakan sering dikesampingkan.
a.       Sumber Penafsiran
Dilihat dari sumbernya, Tafsir Ruh al Ma’ani  menggunakan dalil nash al-Quran, al Hadis, aqwal al ‘ulama dan juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar porsinya. Sehingga tidak heran apabila Dr. Jam’ah memasukkannya ke dalam golongan Tafsir bil Ra’yi.[10] al-Alusi juga menggunakan analisis linguistik dan bahkan informasi para sejarawan yang dinilai akurat. Akan tetapi menurut hemat penulis, dengan mengutip dari apa yang dikatakan oleh Ridwan Narsir bahwa Tafsir Ruh al Ma’ani bisa juga dikelompokkan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani, yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga menggunakan ra’yu.[11]
Selain itu masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai, al-Alusi  berusaha memadukan sumber ma’tsûr (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsiran al-Qur’an dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan bahasa, seperti nahwu-saraf balagah dan sebagainya. Bahkan sebagaimana penilaian al-Dzahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.
Dala memberikan penjelasan, al Alusi banyak mengutip pendapat para ahli tafsir pendahulunya, dan tentunya yang berkompeten di bidangnya. Ia juga seringkali memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap kurang tepat di antara pendapat-pendapat yang disebutkannya, jika di lihat dari caranya menjelaskan tersebut, maka Tafsir Ruh al Ma’ani dapat digolongkan ke dala kelompok Tafsir Muqarin/Komparatif.
Penjelasan yang diberikan oleh al Alusi bisa dikatakan sangat detail, sehingga tepatlah jika Tafsir Ruh al Ma’ani dimasukkan ke dalam golongan Tafsir Ithnabi (Tafsili)/Detail. Hal tersebut dapat kita temukan pada penjelasan  beliau pada setiap awal surat yang biasanya diawali dari nama surat, asbabun nuzul, munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata i’rab, pendapat para ulama, dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz (makna isyari) dan jika pembahasannya panjang terkadang juga ia beri kesimpulan.
b.      Sasaran dan Tertib Ayat yang ditafsirkan
Adapun sistematika sebagai langkah metodis yang ditempuhnya, biasanya  al-Alusi menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbabun nuzul terlebih dahulu, namun  kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi’in.
Dalam menjelaskan makna kandungan ayat yang ditafsirkan, al-Alusi sering mengutip pendapat para mufassir sebelumnya, baik salaf maupun khalaf, kemudian beliau memilih pendapat yang dianggap paling tepat. Selain itu, Tafsir Ruh al Ma’ani memberikan penjelasan terhadap al Quran secara berurutan sesuai dengan tertib mushaf. Dimulai dari Surat al Fatihah diakhiri dengan Surat an Nas. Sehingga tafsir ini masuk dalam golongan Tafsir Tahlili.
c.       Kecenderungan Aliran (Naz’ah / Ittijah)
Naz’ah/ittijah adalah sekumpulan dari dasar pijakan, pemikiran yang jelas yang tercakup dalam suatu teori dan yang mengarah pada satu tujuan. Dalam penjelasannya al Alusi memiliki kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi[12].
Menurut aliran ini ayat memiliki dua makna, makna dhahir dan makna bathin yang berupa isyarat samar. Isyarat tersebut hanya dapat ditangkap oleh nabi SAW atau para wali atau Arbab al Suluk (orang-orang yang menapaki jalan untuk mendekati Allah SWT)[13]. Tafsir semacam ini apabila didasari istinbath yang bagus, sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan memiliki dalil penguat yang menunjukkan kebenarannya tanpa ada yang menentang maka dapat diterima. Apabila tidak demikian maka danggap pembodohan.[14]
Menurut Ibn al Qayyim.[15] Tafsir Isyari/Sufi dapat diterima dengan empat syarat, yaitu:
1)      Tidak berlawanan dengan makna ayat
2)      Makna yang diajukan itu sendiri benar
3)      Di dalam lafad terdapat isyarat makna tersebut
4)      Antara makna isyari dan makna ayat ada pertalian dan talazum (saling menetapkan)
d.      Pendapat para ulama
Tafsir Ruh al-Ma’ani ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta’wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Zahabi dengan menyatakan  bahwa tafsir  Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Zahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji)[16].
Penulis cenderung sependapat al-Zahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Quran berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih.  Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Seharusnya menetukan corak suatu tafsir bersadasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alûsi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balaghah dan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi  dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Zahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjihan terhahadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab[17], Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta’akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun demikian, al-Alusi tidak luput dari kritikan, antara lain dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.

C. Komentar Pribadi Penulis
1.      Keistimewaan dan Kelemahannya
a.       Keistimewaan
Menurut penulis terlepas dari berbagai pendapat para ulama, penjelasan yang diberikan dalam kitabnya, al-Alusi sangat luas dengan memperhatikan qiraah (cara baca), munasabah (hubungan antar surat/ayat), asbab al nuzul (sebab turunnya al Quran), i’rab (ketata bahasaan) banyak merujuk pendapat para ahli tafsir terdahulu dan sya’ir-syair Arab. Dan juga banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh ayat yang sulit dijangkau oleh orang awam, sehingga memperkaya khazanah keilmuan, menambah ketakjuban dan keyakinan terhadap al Quran.
Selain itu, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi ini memiliki keunikan tersendiri. Antara lain bahwa kitab tafsir tersebut sering dianggap oleh sebagian ulama sebagai kitab tafsir bernuansa sufistik, namun ternyata tidak semua penafsirannya demikian. Bahkan jika tafsir yang bernuansa sufistik dianggap tidak ma’qul, atau bertentangan dengan kaedah kebahasaan,  maka al-Alusi akan menolaknya.
Keunikan kedua, tafsir Ruh al-Ma’ani dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir ensiklopedis, yang memuat pendapat-pendapat mufassir sebelumnya, terutama pendapat al-Zamakhsyari dan al-Baidlawi dan ulama-ulama yang lain, namun al-Alusi cenderung bersifat eklektik dan selektif  (intiqa’iyyah). Artinya dalam melakukan eksplorasi penafsiran, al-Alusi tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama sebelumnya, tanpa memberikan penilaian terhadap pendapat tersebut, melainkan juga melakukan kritik dan bahkan penolakan terhadap pendapat tersebut jika dinilai tidak tepat. 
b.      Kelemahan
Sejauh yang penulis pahamai, keluasan pembahasan terkadang juga menjemukan, terutama bagi pembaca pemula seperti penulis, munasabah dan asbab al nuzul jarang dijelaskan dan sangat jarang mengemukakan dalil nash baik al Quran maupun al Hadits.

D.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa;
1.   Yang dimaksud dengan tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi, yang dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sering menggunakan makna batin dari pada makna dzohir.
2.   Tafsir al-Alusi termasuk kitab corak tafsir bil ra’yi al-mahmud dengan metode tahlili, sebab porsi sufistiknya ternyata relatif sangat sedikit.
3.   Dibanding tafsir-tafsir lain, tafsir al-Alusi relatif lebih selektif dalam mengutip riwayat dan pendapat dari orang lain.
4.   Sumber-sumber yang dipakai disamping ayat al-Qur’an dan hadis, al-Alusi menggunakan analisis linguistik dan bahkan informasi para sejarawan yang dinilai akurat.
5.   Al-Alusi termasuk orang yang sangat selektif terhadap riwayat-riwayat israiliyyat, disebabkan karena beliau mau menekuni ilmu hadis.
Akhirnya hanya itu yang dapat penulis sampaikan, dan kesan penulis, bahwa Tafsir Ruhul Ma’ani dengan kelebihan dan kelemahannya merupakan karya tafsir yang perlu dibaca. Karena di sana banyak hal yang tidak terdapat dalam Kitab Tafsir lain.



DAFTAR PUSTAKA

Al Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud. Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Quran al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1. Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1994
al-Baidawi, Nasruddi.n Abu Sa’id Abdullah Ibn Umar bin Muhammad al-Syirazi.  Anwar al-Tanzil wa Asra r at-Ta’wil.  Bairut: Dar Shadr, t.th.
al-Zahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wal Mufassirun, Juz. I, Maktabah al-Islamiyah, 2004
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
Nasir, Ridlwan. Diktat Mata Kuliah Studi al Quran. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004
Shihab, M. Quraish.  Studi Kritis Tafsir al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
Qadir, Jam’ah Ali Abd.  Zad al Raghibin fi Manahij al Mufassirin. Kairo:Jami’ah al-Azhar, Kuliah Ushul al Din, 1986



[1]al-Zahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wal Mufassirun, Juz. I, (Maktabah al-Islamiyah, 2004), 250
[2]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 130
[3] Jam’ah Ali Abd Qadir, Zad al Raghibin fi Manahij al Mufassirin, (Kairo: Jami’ah al Azhar, Kuliah Ushul al Din, 1986), 127
[4]Al Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud, Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qura>n al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1 (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1994),  4-5
[5] Al Alusi, Ruh al Ma’ani,. 5
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. 130
[7]ibid 130
[8]Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), 208
[9] al-Baidawi, Nasruddi.n Abu Sa’id Abdullah Ibn Umar bin Muhammad al-Syirazi.  Anwar al-Tanzil wa Asra r at-Ta’wil.  (Bairut: Dar Shadr, t.th.), 203
[10] Jam’ah, Zad al Raghibin, tt. Hal.  76
[11]Ridlwan Nasir, Diktat Mata Kuliah Studi al Quran (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004), 2
[12] Ridlwan Nasir, Diktat, 2.
[13] Al Alusi, Ruh al Ma’ani, 103.
[14] Jam’ah, Zad al Raghibin, 122.
[15] dalam Jam’ah, Zad al Raghibin, 123.
[16] al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wal Mufassiru.n  Juz I , t.tp: tp, 1976. 255
[17] Shihab, M. Quraish.  Studi Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.), 268

Postingan terkait: