PENDAHULUAN
Secara
teoritis bahwa urutan sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah yang
merupakan dua sumber pokok (mas}a>dir) hukum Islam. Hasil pemikiran
dan pendapat para ulama kemudian menjadi sumber hukum berikutnya. Pendapat yang
disepakati semua ulama (ijma>k) tentu lebih tinggi nilai dan
kemungkinan benarnya hingga menjadi sumber ketiga. Sedangkan yang bersifat
metode khusus yang menganalogikan apa yang terdapat dalam nash dengan masalah
yang tidak tercantum dalam nash tetapi memiliki krakteristik yang sama (al-qiya>s)
menjadi sumber keempat.
Setelah
sumber perimer ini, ada seperangkat dalil hukum yang bersifat melengkapi dan
keberadaannya
belum disepakati semua ulama diantaranya adalah ‘urf. ‘Urf ini
merupakan salah satu sumber hukum yang diambil mazhab Hanafi dan Maliki, yang
berada di luar
lingkup nash. Secara historis, ‘urf digunakan di kalangan ahli fiqh
sejak berkembangnya permasalahan yang menyangkut furu’iyah yang terdapat
dalam nash tetapi sebagian hukum yang ada dalam nash sudah menjadi kebiasaan (‘urf)
masyarakat ketika itu. Kebiasaan itu dapat diterima oleh Islam selama tidak
bertentangan dengan nash. Maka dalam makalah ini penulis akan mencoba
menjelaskan tentang hukum Islam terkait dengan budaya lokal.
PEMBAHASAN
A.
Universalisme Islam
Universalisme (al-'Alamiyah) Islam
adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang
besar berkarakteristikkan: (1) Rabbaniyyah, (2) Insaniyyah (humanistik),
(3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan
menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4)
Wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) Waqi'iyah (realitas), (6) Jelas
dan gamblang, (7) Integrasi antara al-T{abat wa al-Muru>nah
(permanen dan elastis).[1]
Universalisme Islam yang dimaksud
adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa
serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu
yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua
manusia harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah
untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini
termaktub abadi dalam firman-Nya:
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya: "Dan tidak Kami utus
engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam".[2]
Ayat-ayat di atas yang nota bene
Makkiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian orientalis yang menyatakan
bahwa Muhammad Saw tidak memproklamirkan pengutusan dirinya untuk seluruh umat
manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat kemenangan atas
bangsa Arab.[3]
Universalisme Islam menampakkan diri
dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam
ajaran-ajarannya.[4]
Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang
sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan
sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan
utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum shari'ah yaitu;
menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan.
Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social
values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar shari'ah
yaitu; keadilan, ukhuwah, taka>ful, kebebasan dan kehormatan.[5]
Semua ini akhirnya bermuara pada
keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, bahwa pandangan
hidup (world view, weltanschawung)
yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial.[6]
B.
Kosmopolotalisme Kebudayaan Islam
Selain merupakan pancaran makna Islam
itu sendiri serta pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah; the
unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu, serta konsisten dengan
semangat prinsip-prinsip itu semua, kosmopolitanisme budaya Islam juga mendapat
pengesahan-pengesahan langsung dari kitab suci seperti suatu pengesahan
berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wih}dat
al-insa>niyah; the
unity of humanity) yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wah}da>niyat atau tauh}i>d; the unity of god).
Kesatuan asasi ummat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam Firman-Nya:
tb%x. â¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur y]yèt7sù ª!$# z`¿ÍhÎ;¨Y9$# úïÌÏe±u;ãB tûïÍÉYãBur tAtRr&ur ãNßgyètB |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3ósuÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# $yJÏù (#qàÿn=tF÷z$# ÏmÏù 4 $tBur y#n=tG÷z$# ÏmÏù wÎ) tûïÏ%©!$# çnqè?ré& .`ÏB Ï÷èt/ $tB ÞOßgø?uä!%y` àM»oYÉit6ø9$# $Jøót/ óOßgoY÷t/ ( yygsù ª!$# úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä $yJÏ9 (#qàÿn=tF÷z$# ÏmÏù z`ÏB Èd,ysø9$# ¾ÏmÏRøÎ*Î/ 3 ª!$#ur Ïôgt `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuÅÀ ?LìÉ)tGó¡B ÇËÊÌÈ
"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang tunggal,
kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi
peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa
kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang
mereka perselisihkan...".[7]
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan
untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan
kesadaran itu mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola
budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari seluruh budaya
ummat manusia.[8]
Refleksi dan manifestasi
kosmopolitanisme Islam bisa dilacak dalam etalase sejarah kebudayaan Islam
sejak jaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti konsep-konsep
pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan
sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi
sebuah pelepah kurma.
Kemudian, tatkala kuantitas kaum
muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia
membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk
khutbah Jum’at dan muna>sabah-muna>sabah lainnya. Kemudian dalam perang
Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq)
di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi.
Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak mengatakan: "Ini
metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para sahabat juga meniru manajemen
administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak keberatan
dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan Nas.
Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan)
berasal dari Romawi.[9]
Pengaruh filsafat Yunani dan budaya
Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran
Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya
Persia juga amat besar sahamnya dalam pengembangan budaya Islam. Jika dinasti
Umawiyah di Damaskus menggunakan sistem administratif dan birokratif Byzantium
dalam menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di Baghdad (dekat
Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) meminjam sistem Persia. Dan dalam
pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme atau Aryanisme (Iranisme)
yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini terpantul dengan jelas dalam buku
al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi), Nashihat al-Mulk, siyasat namah
(pedoman pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran
Persi.[10]
Islam, Bias Arabisme dan Akulturasi
Timbal Balik dengan Budaya Lokal Walaupun Islam sebagai agama bersifat
universal yang menembus batas-batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak bisa
dinapikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada
hubungan kuat yang mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai
agama dengan unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa
hal :
1.
Islam
diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Juga, mukjizat terbesar
agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas (al-Mubi>n),
yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan terkemuka
Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan menguasai al-Qur’a>n sangat
sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya
jika ingin menyelami dan mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya
mengarabkan diri.
2.
Dalam
menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di garda depan,
dengan pimpinan kearaban Nabi dan al-Qur’a>n, kebangkitan realita Arab dari
segi "sebab turunnya wahyu" dengan peran sebagai buku catatan
interpretatif terhadap al-Qur'a>n dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah
Arab sebagai "peleton pertama terdepan" di barisan tentara dakwahnya.
3.
Jika
agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam
lokal, kondisional dan temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan universal
dan mondial, maka posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama Islam
adalah menembus batas wilayah mereka.[11]
Walaupun
begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan muslim
terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa mayoritas ulama dan
cendekiawan dalam agama Islam adalah 'Ajam (non Arab), baik dalam
ilmu-ilmu shari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh di antara mereka orang
Arab secara nasab, tetapi mereka 'Ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan
gurunya.[12]
Lebih
lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan meluasnya daerah Islam,
muncullah banyak masalah dan bid'ah, bahasa Arab sudah mulai terpolusikan, maka
dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu syari'at menjadi keterampilan atau
keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu
pendukung yang menjadi cara-cara dan metode-metode berupa pengetahuan
undang-undang bahasa Arab dan aturan-aturan istinbath, qiyas yang diserap dari
aqidah-aqidah keimanan berikut dalil-dalilnya, karena saat itu muncul
bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah ilmu-ilmu ini semua
ilmu-ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran. Hal ini masuk dalam
golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa komoditi
industri adalah peradaban orang kota sedangkan orang Arab adalah sangat jauh
dari hal ini.[13]
Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai kontribusi
sangat besar dalam ilmu nahwu seperti Imam Sibawaih, al-Farisi, dan al-Zujjaj.
Mereka semua adalah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual dalam bidang
hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda Rasulullah; "Jika
saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh orang-orang dari
Persia".[14]
Kita
lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang pernah jaya dan saat Islam masuk;
ia sedang menyusut, adalah memiliki pengaruh yang demikian dalam, luas, dinamis
dan kreatif terhadap perkembangan peradaban Islam. Lihat saja al-Ghazali,
meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab sesuai konvesi besar
kesarjanaan saat itu, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Persi. Lebih
dari itu, dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya, dalam menandaskan mutlaknya
nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh
pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah bijaksana
khususnya Umar bin Khat}t}a>b, tetapi juga al-Nushirwan, seorang raja Persia
dari dinasti Sasan.[15]
Menarik
untuk diketengahkan juga walaupun saat ini Persia atau Iran menjadikan Syiah
sebagai mad}hab, namun lima dari penulis kumpulan hadits Sunni dan Kutub
as-Sittah berasal dari Persia. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim
al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al-Sijistani, Imam al Turmud}i dan Imam al-Nasai.
Dari
paparan di atas, menunjukkan kepada kita betapa kebudayaan dan peradaban Islam
dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan, persamaan dan kreatifitas dari dalam
diri Islam yang universal dengan akulturasi timbal balik dari budaya-budaya
lokal luar Arab yang terislamkan. Pun tidak hendak mempertentangkan antara Arab
dan non Arab. Semuanya tetap bersatu dalam label "muslim".
"Yang terbaik dan
termulia adalah yang paling taqwa".[16]
C.
Akulturasi
Islam dengan Budaya di Indonesia
Seperti di kemukakan di atas, Islam
adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchawung)
mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki
konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari
seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.[18]
Pada saat yang sama, dalam
menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter
dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata
cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi
Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara
agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak
bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau
akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari
konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan
susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan
tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya,
orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari
pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan)
dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.[19]
Hal ini berbeda dengan Kristen yang
membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini
memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke
Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak
memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya
akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa
Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam.
Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam
bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas
mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.[20]
Yang patut diamati pula, kebudayaan
populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol
Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan
yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu
banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan
istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa
Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan
dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali
misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru
yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer.[21]
Dalam hal penggunaan istilah-istilah
yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi",
mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma
Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta
bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau
hanya bersifat pinggiran.[22]
Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari
kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna
substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi
peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga
mengganti salam Islam "Assala>mu'alaikum" dengan
"Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan
penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan
"Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri
memang dianjurkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya.
D.
Kedudukan ‘Urf dalam Hukum Islam
1.
Pengertian ‘Urf
Secara
etimologi ‘Urf berarti “yang baik”. Para ulama Ushul fiqh membedakan antara
adat dengan ‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum syara’. Adat didefenisikan dengan.[23] “Sesuatu
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.
Menurut
defenisi ini bahwa apabila perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut
hukum akal, tidak dinamakan adat. Tetapi adat itu mencakup persoalan yang amat
luas yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam
tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalah yang
menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran
yang baik dan buruk. Adat bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak,
seperti korupsi, sebagaimana juga adat bisa muncul dari kasus tertentu, seperti
perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing.
Menurut
Abdul Wahab Khalla>f, ‘Urf adalah sesuatu yang telah sering dikenal
oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan, perbuatan
ataupun hal meninggalkan sesuatu juga disebut Adat.[24]
Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan diantara ‘urf dengan adat, maka ‘urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaannya tanpa shigat yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al-wadad adalah anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga pengertian mereka agar tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna daging atas al-samak yang bermakna ikan tawar. Jadi ‘urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan ijmak, karena ijmak itu adalah tradisi dan kesepakatan para mujtahidin secara khusus dan umum, dan tidak termasuk ikut membentuk di dalammnya.[25]
Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan diantara ‘urf dengan adat, maka ‘urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaannya tanpa shigat yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al-wadad adalah anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga pengertian mereka agar tidak mengitlakkan lafal al-lahm yang bermakna daging atas al-samak yang bermakna ikan tawar. Jadi ‘urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya. Berbeda dengan ijmak, karena ijmak itu adalah tradisi dan kesepakatan para mujtahidin secara khusus dan umum, dan tidak termasuk ikut membentuk di dalammnya.[25]
Defenisi
lain dari ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal manusia dan tetap dalam
menjalankannya baik berupa ucapan dan perbuatan. ‘urf yang dimaksud adalah yang
baik bukan yang mungkar. Dan ‘urf juga disebut adat, karena sesuatu yang
dikerjakan secara berulang-ulang untuk menghasilkan tujuannya. Dan adat lebih
penting dari ‘urf, karena adat sudah menjadi kebiasaan seseorang pribadi
tertentu, maka tidak dinamakan ‘urf tetapi kebiasaan yang sudah menjadi
kesepakatan bersama, itulah yang dinamakan dengan‘urf baik bersifat khusus
maupun bersifat umum.[26]
E.
Macam-macam ‘Urf
Ulama ushul fiqh
membagi urf kepada:[27]
1.
Dari
segi obyeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘Urf al-Lafz}i (kebiasaan
yang menyangkut ungkapan) dan al-‘Urf al-‘Amali (kebiasaan yang
berbentuk perbuatan).
a.
al-‘Urf
al-Lafz}i adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal/ ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam fikiran masyarakat.
Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata-kata
“daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual
daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu
pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram”, pedagang itu langsung
mengambilkan daging sapi, karena kebaiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan
penggunaan kata daging pada daging sapi.[28]
Apabila
dalam memahami ungkapan itu diperlukan indikator lain, maka tidak dinamakan
‘urf . Misalnya, seseorang datang dalam keadaan marah dan ditangannya ada
tongkat kecil, seraya berucap “jika saya bertemu dia saya akan bunuh dengan
tongkat ini”. Dari ucapannya ini dipahami bahwa yang dia maksud dengan membunuh
tersebut adalah memukulnya dengan tongkat. Ungkapan ini tidak dinamakan ‘urf
tetapi termasuk dalam majaz (metafora).[29]
b.
al-‘Urf
al-‘Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang
berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amanah keperdataan. Dimaksud dengan
“perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja
pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu dalam
memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun
yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam
melakukan akad/ transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat
dalam berjaul beli barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli
oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat atau besar, seperti
lemari es, ataupun peralatan rumah tangga lainya, tanpa dibebani biaya
tambahan. Contoh lain adalah kebiasaa masyarakat dalam berjual beli dengan
mengambil barang dan membayar uang, tanpa adanya akad secara jelas, seperti
yang berlaku dipasar-pasar swalayan. Jual beli seperti ini adalah fiqh Islam
disebut dengan bayu’ al-mu’athoh.[30]
Contoh lain adalah pemakaian kamar mandi atau WC umum dengan membayar tarif tertentu tanpa batas waktu tertentu. Dengan demikian: “sewa tertentu”, cukup untuk pemakaian kamar mandi atau WC umum tersebut dalam rentang waktu sesuai kebutuhan.
Contoh lain adalah pemakaian kamar mandi atau WC umum dengan membayar tarif tertentu tanpa batas waktu tertentu. Dengan demikian: “sewa tertentu”, cukup untuk pemakaian kamar mandi atau WC umum tersebut dalam rentang waktu sesuai kebutuhan.
2.
Dari
segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang
bersifat umum) dan al-‘urf al-khas (kebiasaan yang bersifat khusus)
a.
al-‘urf
al-‘am, adalah kebiasaan tertentu yang
berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam
jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak dan ban serep, termasuk dalam harga jual, tanpa akad
sendiri dan biaya tambahan, mandi dikolam dimana sebagian orang terkadang
melihat aurat temannya. Ulama mazhab Hanafi menetapkan bahwa ‘urf ini (‘Urf
‘Am) dapat mengalahkan qiyas.[31]
b.
al-‘Urf
al-Khas, adalah kebiasaan yang berlaku didaerah
dan masyarakat tertentu, misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat
cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat
lainya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut.
Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garasi terhadap barang tertentu.
3.
Dilihat
dari segi keabsahannya ‘urf dibagi kepada :
a.
‘Urf
yang Fa>sid (rusak/ jelak) yang tidak bias diterima, yaitu ‘urf yang
bertentangan dengan nash qath’iy. Misalnya, tentang makan riba.
b.
‘Urf
yang S{ahih (baik/ benar) ‘Urf shahih adalah suatu yang telah dikenal
manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’.[32]
‘Urf ini bisa diterima dan dipandang sebagai sumber pokok hukum Islam.[33]
‘Urf ini tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib,
seperti saling mengerti mausia tentang kontrak pemborogan, atau pembagian mas
kawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan atau yang diakhirkan.
F.
Syarat-syarat ‘Urf
Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu
‘urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[34]
1.
‘Urf itu baik (baik yang bersifat
khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan dan ucapan), berlaku secara
umum. Artinya, ‘urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi
ditengan-tengah masyarakat dan dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
2.
‘Urf telah memasyarakat ketika
persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya, ‘urf yang akan
dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan
ditetapkan hukumnya. Dalam kaitannya dengan hal ini terdapat kaidah ushuliyyah
yang mengatakan : “Urf yang datang, kemudian tidak dapat dijadikan sandaran
hukum terhadap kasus yang telah lama”
3.
‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi
apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus
dilakukan, seperti dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan
penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli
kerumahnya. Sekalipun ‘urf menentukan bahwa lemari es yang dibeli dihantarkan
pedagang kerumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah
sepakat bahwa pembeli akan membawa barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka
‘urf itu tidak berlaku lagi.
4.
‘Urf itu tidak bertentangan dengan nash
sehingga menyebabkan hukum yang dikandung itu tidak bisa diterapkan. ‘Urf
seperti ini tidak bisa dijadikan dalil syara’, karena kehujjahan ‘urf bisa
diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang
dihadapi.
G.
Kehujjahan ‘Urf
Ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘Urf
al-S{ah}ih}, yaitu ‘urf yang tidak bertetangan dengan syara’. Baik yang
menyangkut ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan
dengan ‘urf al-lafz}i dan ‘urf al-amali, dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hukum syara’.[35]
Dan para ulama telah menjadikan dalil ‘urf sebagai hujjah
dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1.
Firman Allah Swt. Dalam surat al-A’raf
ayat 199 :
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/
óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya:
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
2.
Hadis Rasulullah saw :
Rasulullah Saw berkata kepada Hindun isteri Abu Sufyan,
ketika menceritakan kepada Rasul tentang kebakhilan suaminya kepadanya akan
nafkah hidupnya :
Al-Qurthubi mengatakan, hadis ini merupakan I’tibar bahwa ‘urf merupakan syari’at.[36]
Al-Qurthubi mengatakan, hadis ini merupakan I’tibar bahwa ‘urf merupakan syari’at.[36]
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu
hukum, menurut Imam al-Qarafi (w. 684 H /1285 M. ahli fiqh Maliki),[37]
harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Seluruh Imam
mazhab, menurut al-Syatibi (w. 970 H. / ahli ushul fiqh Maliki), dan Imam Ibn
Qoyyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M / ahli ushul fiqh Hanbali), menerima
dan menjadikan ‘urf sebagai dalil shara’, dalam menatapkan hukum, apabila tidak
ada nash yang mejelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang
yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia
dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Akan
tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas ditengah-tengah masyarakat,
sehingga seluruh ulama mazhab menganggap sah akad ini. Alasan mereka adalah
‘urf al-‘amali yang berlaku.
Para ulama juga sepakat mengatakan
bahwa ketika ayat-ayat Alqur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang
mengukuhkan kebiasaan yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya,
kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum Islam. H{adis Rasulullah juga banyak
menunjukkan keberadaan ‘urf yang berlaku dimasyarakat seperti H{adis tentang
jual beli pesanan (salam). Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan Ibn Abba>s
dikatakan bahwa Rasulullah Saw. Hijrah kemadinah, beliau melihat penduduk
setempat melakukan jual beli salam tersebut. Lalu Rasululllah Saw, bersabda:
“Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka hendaklah ditentukan
jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya”. (HR al-Bukhari). Dari beberapa
kasus ‘urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh
yang terkaitan dengan‘urf diantaranya adalah yang paling mendasar. العدة
محكمة
“Adat
kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.
لا ينكر تغير الاحكام بتغير لازمنةوالامكنة Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat. المعروف عرفا كالمشروط شرطا Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagimana yang disyaratkan itu menjadi syarat. الثابت بالعرف كالثانت بالنص Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat atau hadis) Hukum-hukum yang diasarkan kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.
لا ينكر تغير الاحكام بتغير لازمنةوالامكنة Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat. المعروف عرفا كالمشروط شرطا Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagimana yang disyaratkan itu menjadi syarat. الثابت بالعرف كالثانت بالنص Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat atau hadis) Hukum-hukum yang diasarkan kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman tertentu dan tempat tertentu.
H.
Pertentangan ‘Urf dengan Dalil Syara’
‘Urf yang berlaku dimasyarakat
adakalanya bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) dan adakalanya
bertentangan dengan dalil syara’ lainnya. Dalam pertentagan ‘urf dengan nash,
ulama us}u>l fiqh memberikan perincian sebagai
berikut:
1.
Pertentanag ‘urf dengan nash yang
bersifat khusus/ rinci.
Apabila petentangan ‘urf dengan nash
khusus menyebutkan tidak berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka ‘urf
tidak dapat diterima. Misalnya, kebiasaan di zaman Jahiliyah dalam mengadopsi
anak, dimana anak yang diadopsi statusnya sama dengan anak kandung, sehingga
mereka mendapat waris apabila ayah angkatnya wafat. ‘Urf seperti ini tidak
berlaku dan tidak dapat diterima. Dalam Al-qur’a>n dijelaskan, bahwa
pengangkatan anak (adopsi) yang menjadikannya berstatus sebagai anak kandung
sendiri, Islam melarang hal ini dengan turunnya ayat Al-qur’a>n al-Ahza>b
ayat 37 :
øÎ)ur
ãAqà)s?
üÏ%©#Ï9
zNyè÷Rr&
ª!$#
Ïmøn=tã
|MôJyè÷Rr&ur
Ïmøn=tã
ô7Å¡øBr&
y7øn=tã
y7y_÷ry
È,¨?$#ur
©!$#
Å"øéBur
Îû
Å¡øÿtR
$tB
ª!$#
ÏmÏö7ãB
Óy´ørBur
}¨$¨Z9$#
ª!$#ur
,ymr&
br&
çm9t±ørB
(
$£Jn=sù
4Ó|Ós%
Ó÷y
$pk÷]ÏiB
#\sÛur
$ygs3»oYô_¨ry
ös5Ï9
w
tbqä3t
n?tã
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
Óltym
þÎû
Ælºurør&
öNÎgͬ!$uÏã÷r&
#sÎ)
(#öqÒs%
£`åk÷]ÏB
#\sÛur
4
c%x.ur
ãøBr&
«!$#
ZwqãèøÿtB
ÇÌÐÈ
Artinya: “Maka tatkala Zaid telah
mengakhiri kepreluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu
dengan dia (setelah habis iddahnya) supaya tidak ada keberatan bagi orang
mukmin untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isteri-isterinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.
2.
Pertentangan ‘urf dengan nash yang
bersifat umum Must}afa Ahmad al-Zarqa> mengatakan, apabila ‘urf telah ada
ketika datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara ‘urf
al-lafz}i dengan ‘urf al-‘amali. Apabila ‘urf tersebut adalah ‘urf
al-lafzhi, maka ‘urf itu bisa diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan
sebatas ‘urf al-lafz}i yang telah berlaku tersebut, dengan syarat, tidak ada
indikator yang menunjukkan bahwa nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh
‘urf. Misalnya, kata-kata shalat, puasa, haji dan jual beli, diartikan dengan
makna ‘urf kecuali ada indikator yang menunjukkan bahwa kata-kata itu
dimaksudkan sesuai dengan arti etimologinya.
Apabila ‘urf yang ada ketika datangnya
nash yang bersifat umum itu adalah ‘urf al-‘amali, maka terdapat perbedaan
pendapat ulama tentang kehujjahanya. Menurut ulama Hanafiyah, apabila ‘urf
al-‘amali itu bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash
yang umum, karena pengkhususan itu, menurut ulama Hanafiyah hanya sebatas
al-‘urf al-‘amali yang belaku, diluar itu nash yang bersifat umum tersebut
tetap berlaku. Misalnya, dalam sebuah Hadis Rasulullah saw : “Nabi melarang
menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan memberi keringanan dalam jual
beli pesanan “ (HR al-Bukhari dan Abu Daud) H{adis ini, menurut Abu Yusuf,
bersifat umum dan berlaku untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum
ada, kecuali dalam jual beli pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istis}na’ (akad yang berkaitan dengan produk
suatu industri). Akan tetapi karena akad istisna’ ini telah menjadi ‘urf dalam
masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh, termasuk Jumhur
ulama membolehkannya sesuai dengan ‘urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan
hukum umum yang dikandung nash tersebut.
3.
‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash
umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut.
Apabila suatu ‘urf terbentuk setelah
datangnya nash yang bersifat umum dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka
seluruh ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik yang
bersifat lafzhi maupun ‘amali, tidak dapat dijadikan dalil-dalil dalam
menetapkan hukum syara’, karena keberadaan ‘urf ini muncul ketika nash syara’
telah menetukan hukum secara umum.
Akan tetapi apabila illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam arti turunnya nash didasarka atas ‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf itu baru tercipta maka ketika illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Misalnya, dijelaskan dalam sebuah hadis Rsulullah Saw, bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izin untuk dikawinkan, adalah “diamnya”, atau diamnya adalah kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai perkembangan zaman, hal ini demikian hampir tidak dijumpai lagi bahwa anak perawan lebih agresif untuk mengungkapkan keinginannya untuk dikawinkan dengan lelaki yang ia sukai. Menurut Must}afa al-Zarqa>, ‘urf para anak gadis saat ini telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan apabila diminta izinnya lalu diam, tidak dapat lagi diamnya itu dijadikan persetujuan. Dan harus menunggu keterusterangan dari anak perawan itu. Dalam hal ini, ‘urf gadis remaja dalam menyangkut persetujuannya untuk dinikahkan telah berubah dari yang tercantum dalam Hadis diatas maka hukumnya pun berubah.
Akan tetapi apabila illat suatu nash syara’ adalah ‘urf itu sendiri, dalam arti turunnya nash didasarka atas ‘urf al-‘amali sekalipun ‘urf itu baru tercipta maka ketika illat nash itu hilang, hukumnya pun berubah. Misalnya, dijelaskan dalam sebuah hadis Rsulullah Saw, bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta izin untuk dikawinkan, adalah “diamnya”, atau diamnya adalah kerelaannya, karena sudah menjadi tabiat wanita merasa malu untuk menyatakan kehendak mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai perkembangan zaman, hal ini demikian hampir tidak dijumpai lagi bahwa anak perawan lebih agresif untuk mengungkapkan keinginannya untuk dikawinkan dengan lelaki yang ia sukai. Menurut Must}afa al-Zarqa>, ‘urf para anak gadis saat ini telah berubah. Dengan demikian, untuk menikahkan anak perawan apabila diminta izinnya lalu diam, tidak dapat lagi diamnya itu dijadikan persetujuan. Dan harus menunggu keterusterangan dari anak perawan itu. Dalam hal ini, ‘urf gadis remaja dalam menyangkut persetujuannya untuk dinikahkan telah berubah dari yang tercantum dalam Hadis diatas maka hukumnya pun berubah.
PENUTUP
Sejarah rekonsiliasi antara Islam
sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum
legitimatif dari shara' berupa 'urf dan mashlahah. Maka untuk strategi
pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Kenapa
harus budaya? Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang,
sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan
kultural lebih integratif dan massal sifatnya.
Kebiasaan
yang dilakukan oleh manusia ditengah-tengah masyarakat tertentu apabila tidak
bertentangan dengan syara’ dapat diterima sebagai ‘urf. Dan disamping tidak
bertentangan dengan syara’ harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan
oleh ulama ushul fiqh untuk dapat dijadikan hujjah. Dilihat dari pembagian ‘urf
ada ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid, maka ‘urf yang shahih diterima sebagai
dasar hukum, terhadap satu persoalan yang harus dicari jawabannya.
Pada
perinsipnya ‘urf tidak memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan
hukum Islam, tetapi memberikan dampak positif dan membantu kekurangan hukum
Islam itu sendiri. Karena tidak semua kebutuhan manusia ada dalam nash karena
masalah akan terus berkembang dari masa ke masa.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Us}u>l al-Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000.
Qardhawi, Yusuf, Al-khas}a>ish al-'Amiyah al-Islam Beirut cet. VIII, 1993.
Haroen, Nasrun, Us}u>l al-Fiqh, Lohgos; Wacana Ilmu, 1991.
Khaldun, Ibnu, "Muqaddimah Ibnu
Khaldun", Beirut, cet. VII, 1989.
Imarah, Muhammad, "Al-Isla>m wa al-'Arubah “, al-Haiahal-Mashriyah
al-'Ammah li al-Kitab, 1996.
Kuntowijoyo, "Paridigma
Islam", Mizan, cet. III, 1991.
Khallaf, Abd Wahab, al-, Ilmu Us}u>l al- Fiqh, terj. Noer Iskandar Al- Barsany,
Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Khayyat , Abd Aziz, al-, Naz}a>riyyah
al-‘Urf, ‘Amman : Maktabah al-Aqsha, t.t.
Qardhawi,
Yusuf, "Madkhal li al-Dira>sat al-Isla>miyah", Beirut, cet. I,1993.
Qarafi, Ahmad ibn Idris, Shiha>bu al-Di>n al-, Anwa>r al-Baru>q fi Anwa’ al-Furu’, Mesir Dar al-‘Ihya> al-Kutub
al-‘Arabiyah, 1344 H.
Sunnah, Abu, Ahmad Fahmi,
Al-‘urf wa al-Adah fi Ra’yi al-Fuqaha>, Mesir: Da>r al-Fikri al-“Arabi,
t.t.
Subri, Zakaria al-, Mas}a>dir
al-Ahka>m Isla>miyah, Mesir: al-Qa>hirah, 1975.
Syafe’i, Rachmad, Ilmu Us}u>l
Fiqh, Bandung, CV Pustaka Setia, 1999.
Wahid, Abdurrahman, "Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah". Yayasan Paramadina, cet. I, Mei 1994.
Wahid, Abdurrahman, "Pribumisasi Islam dalam Islam
Indonesia, Menatap Masa Depan", akarta, cet. I, 1989.
Zarqa>’, Ahmad bin Muhammad, Al-, Sharh al-Qawa>’id al-Fiqhiyah. Beirut: al-Qalam, 1988.