Pendahuluan
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperdebatkan, diperselisihkan
kepada al-Qur`an dan Sunnah, adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya dengan jalan
ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadith yang barangkali tidak mudah
untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah kaidah
umum yang disimpulkan dari al-Qur`an dan Sunnah, seperti menyamakan hukum
sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam
al-Qur`an dan Sunnah karena persamaan `illatnya seperti dalam praktik qiyas /
analogi, atau dengan meneliti kebijaksanaan kebijaksanaan shari`at. Melakukan
ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan
Rasulnya.[2]
Betapa
pentingnya kedudukan ijtihad disamping al-Qur`an dan Sunnah, ijtihad berfungsi
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadith yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi
untuk mengembangkan prinsip prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur`an dan
Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Pengembangan
prinsip prinsip hukum dalam al-Qur`an dan Sunnah adalah penting, karena dengan
itu ayat ayat dan hadith hadith hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat
menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
Dari
gambaran tentang ijtihad diatas terlihat bahwa ijtihad itu adalah kegiatan
orang yang memenuhi syarat tertentu dengan melakukan penggalian terhadap hukum
Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hukum
tertentu. Dari sini tampak bahwa unsure pokok dalam berijtihad adalah ; (1)
orang yang melakukan ijtihad yang disebut mujtahid, (2) dugaan kuat tentang
hukum Allah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi sasaran ijtihad yang
disebut mujtahad.
Tidak
mudah melakukan ijtihad, ada syarat syarat tertentu, yang tanpa syarat itu
seseorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia melakukan
ijtihad, maka hasilnya diragukan kebenarannya.
Berfilsafat adalah berfikir secara mendasar, sampai ke akar akarnya,
begitu juga berijtihad, mengerahkan segala pikiran dan tenaga, berfikir secara
mendalam. Dalam meng-istimbat-kan sebuah hukum, seorang mujtahid mengikuti pola
pikir seorang filosof (mendasar, sampai ke akar akarnya).
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
IJTIHAD
Sebelum kita berbicara panjang lebar
tentang etika dan kode etik mujtahid, terlebih dahulu kita ketahui pengertian dari
ijtihad itu sendiri. Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh sungguh
dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran. Ijtihad menurut ulama ushul
ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk
menggali hukum yang bersifat amaliah / praktis dari dalil dalil yang
terperinci.[3]
Sementara itu, sebagian ulama yang lain memberikan definisi ijtihad adalah
usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan
hukum shara` maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.[4]
Ibnu `Abd al-Syakur, dari kalangan
Hanafiyah mendefinisikan ijtihad sebagai berikut ; pengerahan kemampuan untuk
menemukan kesimpulan hukum shara` sampai ke tingkat Danni / dugaan keras
sehingga mujtahid itu merasakan tidak lagi bisa berupaya lebih dari itu.[5]
Sedangkan al-Baidawi, ahli ushul dari kalangan Syafi`iyah mendefinisikannya
sebagai berikut ; pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum
hukum shara`.[6]
Abu Zahrah, ahli ushul fiqh yang
hidup pada awal abad ke duapuluh, mendefinisikan ijtihad sebagai berikut ;
pengerahan seorang ahli fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.[7]
Pada definisi ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu
adalah ahli fiqh, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum hukum itu adalah
dalil dalilnya.
Definisi ijtihad lain yang
dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah ; mencurahkan seluruh kemampuan secara
maksimal, baik untuk meng-istimbat-kan hukum shara` maupun dalam penerapannya.
Berdasarkan definisi ini, ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk
membentuk atau meng-istimbat-kan hukum dari dalilnya, dan ijtihad untuk
menerapkannya. Menurut Abu Zahrah, ijtihad bentuk pertama itu khusus dilakukan
oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk meng-istimbat-kan hukum dari
dalilnya.[8]
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada
masa tertentu mungkin terjadi kevakuman dari ijtihad seperti ini bilamana hasil
ijtihad di masa lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah masalah yang
muncul di kalangan umat Islam.Menurut kalangan Hanabilah, tidak ada satu masa
yang boleh kosong dari kegiatan ijtihad seperti ini karena selalu banyak
masalah masalah baru yang harus dijawab.
Sedangkan ijtihad dalam bentuk kedua,
yaitu ijtihad dalam penerapan hukum, akan selalu ada di setiap masa, selama
umat Islam mengamalkan ajaran agama mereka, karena tugas mujtahid semacam ini
adalah untuk menerapkan hukum Islam termasuk hasil hasil ijtihad para ulama
terdahulu.[9]
DASAR
HUKUM IJTIHAD
Perintah mengembalikan sesuatu yang
diperdebatkan kepada al-Qur`an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan
agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada
Allah dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau
hadith yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad
dengan menerapkan kaidah kaidah umum yang disimpulkan dari al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya
dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur`an karena persamaan `illatnya
seperti dalam praktek qiyas / analogi, atau dengan meneliti kebijaksanaan
kebijaksanaan shari`at. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud
mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasulnya seperti yang termaktub dalam
QS. An-Nisa` : 59.
FUNGSI
IJTIHAD
Imam Syafi`I, penyusun pertama ushul
fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika
menggambarkan kesempurnaan al-Qur`an menegaskan ; maka tidak terjadi suatu
peristiwapun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah
terdapat petunjuk tentang hukumnya. Menurutnya, hukum hukum yang dikandung oleh
al-Qur`an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan
kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hambanya
untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum hukum dari sumbernya itu.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk
melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hambanya dalam
hal hal yang diwajibkan lainnya.[10]
Pernyataan Imam Syafi`I diatas,
menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat
hadith yang tidak sampai ke tingkat hadith mutawattir seperti hadith ahad, atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadith yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi
untuk mengembangkan prinsip prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur`an dan
Sunnah seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut
terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip prinsip hukum dalam al-Qur`an dan
Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat ayat dan hadith hadith hukum yang
sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak
terbatas jumlahnya.
Dari gambaran umum tentang ijtihad
yang diuraikan diatas terlihat bahwa ijtihad itu adalah kegiatan orang yang
memenuhi syarat tertentu dengan melakukan penggalian terhadap hukum Allah dari
petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hukum tertentu.
Dari sini tampak bahwa unsur pokok dalam
berijtihad adalah ; (1) orang yang melakukan ijtihad yang disebit mujtahid, (2)
dugaan kuat tentang hukum Allah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi
sasaran ijtihad yang disebut mujtahad.
SYARAT
MENJADI MUJTAHID
Dalam literatur ushul fiqh terlihat bahwa
para ahli ushul memberikan rumusan yang berbeda tentang syarat mujtahid.
Perbedaan rumusan itu banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda tentang
mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesamaan diantara mereka
dalam memandang dua titik pada seorang mujtahid
itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemampuannya. Untuk kedua
hal tersebut para ahli menetapkan syarat atau criteria tertentu yang tanpa
syarat dan keriteria itu seseorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan
kalaupun ia melakukan ijtihad, maka hasilnya diragukan kebenarannya.
SYARAT
YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPRIBADIAN
Syarat
kepribadian ini menyangkut dua hal ;
SYARAT UMUM yang harus dimiliki
seorang mujtahid adalah telah baligh dan berakal.
Seorang mujtahid itu harus telah
dewasa, karena hanya pada orang yang telah dewasa dapat ditemukan adanya
kemampuan. Orang yang belum dewasa atau anak anak tidak akan mungkin melakukan
ijtihad. Kemudian, seseorang mujtahid itu harus berakal atau sempurna akalnya,
karena pada orang yang berakal ditemukan adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu
sendiri adalah suatu karya ilmiah. Orang yang tidak sempurna akalnya seperti
orang gila tidak akan mungkin melakukan ijtihad.
Dua syarat tersebut merupakan sebagian
dari syarat pembebanan hukum shara` secara penuh terhadap seseorang, yang
disebut taklif. Ada
dua syarat taklif yang tidak terdapat disini yaitu syarat “ kemerdekaan dan
laki laki “. Kedua syarat itu ditemukan dalam beberapa persyaratan taklif. Hal
ini mengandung arti bahwa berijtihad itu dapat dilakukan oleh hamba sahaya,
karena ternyata banyak hamba sahaya mempunyai kemampuan berijtihad yang tidak
kalah dari orang merdeka. Ijtihad juga dapat dilakukan oleh perempuan ; karena
dalam kenyataanya banyak perempuan yang mempunyai kemampuan ilmiah yang setara
( melebihi ) kemampuan laki laki.[11]
SYARAT KEPRIBADIAN KHUSUS. Ijtihad
itu merupakan karya ilmiah secara umum. Namun yang dilakukan dan dihasilkan
didalamnya adalah hukum yang dinisbatkan kepada Allah. Oleh karena itu dituntut
pada seorang mujtahid adanya persyaratan kepribadian khusus yaitu keimanan. Ia
harus beriman kepada Allah secara sempurna, baik yang berkenaan dengan zat,
sifat dan perbuatannya. Ia percaya akan keberadaan dan kemahakuasaan Allah dan
percaya akan adanya hukum Allah yang mengatur segala segi kehidupan manusia. Ia
percaya kepada kerasulan nabi Muhammad SAW dan percaya pula akan fungsi beliau
sebagai penyampai dan penjelas hukum Allah kepada umat manusia.
Imam al-Ghazali mensyaratkan sifat
adil dalam kepribadian ini. Yang dimaksud dengan adil disini adalah adil yang
dipersyaratkan dalam periwayatan hadith dan dalam kewalian, yaitu malakah atau
potensi yang melekat dalam pribadi seseorang yang tidak memungkinkannya untuk
melakukan dosa besar dan tidak berketerusan dalam berbuat dosa kecil.
Adapun beberapa sifat utama seperti ;
zuhud, wara`, tawadhu`, dan lainnya tidak merupakan persyaratan untuk sahnya
sebuah ijtihad, tetapi merupakan sifat keutamaan bagi seseorang mufti yang
menyampaikan hasiil ijtihadnya.[12]
SYARAT
YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEMAMPUAN
- Megetahui ilmu alat, seperti ; ilmu
nahwu, sharaf, bayan, ma`ani dan badi`
- Pengetahuan tentang al-Qur`an.
Mengerti dengan makna makna yang dikandung oleh ayat ayat hukum dalam
al-Qur`an baik secara bahasa maupun menurut istilah shara`. Tidak perlu
menghafal diluar kepala dan tidak pula perlu menghafal seluruh al-Qur`an.
Seorang mujtahid cukup mengetahui tempat tempat dimana ayat ayat hukum itu
berada sehingga mudah baginya menemukan yang dibutuhkan. Menurut imam
al-Ghazali, jumlah ayat ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500
ayat. Pembatasan jumlah ayat ayat hukum seperti dikemukakan al-Ghazali itu
oleh sebagian ulama tidak disepakati. Al-Syaukani umpamanya menyebutkan
bahwa ayat ayat hukum dalam al-Qur`an bisa jadi berlipat ganda dari jumlah
yang disebutkan al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan
mungkin meng-istimbat-kan hukum dari ayat ayat dalam bentuk kisah umat
umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat yang dikemukakan al-Ghazali itu,
demikian komentar al-Syaukani, bisa dianggap benar bilamana yang dimaksud
adalah ayat ayat yang dengan langsung menunjukkan hukum, dalam arti belum
termasuk kedalamnya ayat ayat yang tidak langsung menunjukkan hukum.
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna makna
mufrad / tunggal dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu
redaksi. Pengetahuan seperti itu mungkin didapatkannya karena bakat atau
karena tumbuh di kalangan masyarakat yang menguasai seluk beluk bahasa
arab atau dengan cara mempelajari ilmu bahasa arab. Adapun pengetahuan
tentang makna makna ayat secara shara` ialah dengan mengetahui berbagai
segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti melalui mantuq / makna
tersurat, lewat mafhum muwafaqah / makna tersirat, mafhum mukhalafah /
makna kebalikan dari makna tersurat, serta mengetahui lafal dari segi
cakupannya, seperti lafal umum dan lafal
khusus, dan mengerti pula dengan tingkatan kejelasan dan
ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap maknanya. Disamping
itu, juga mengetahui tentang `illat atau alasan logis mengapa sesuatu
diperintah dan mengapa dilarang.
- Mengetahui tentang hadith hadith hukum
baik secara bahasa maupun dalam pemakaian shara`, seperti telah diuraikan
pada syarat pertama. Seperti halnya al-Qur`an, maka dalam masalah hadith
juga tidak mesti dihafal seluruh hadith yang berhubungan dengan hukum,
tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadith hadith hukum yang dapat dijangkau
bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu al-`Arabi, ahli
tafsir dari kalangan Malikiyah, seperrti dinukil Wahbah al-Zuhayli, jumlah
hadith hadith hukum sekitar 3000 hadith, sedangkan menurut riwayat dari
Ahmad bin Hanbal bahwa hadith hadith hukum sekitar 1200 hadith. Namun,
Wahbah al-Zuhayli tidak sependapat dengan pembatasan jumlah hadith hukum
itu. Menurutnya, yang penting bagi seorang mujtahid mengerti dengan
seluruh hadith hadith hukum yang terdapat didalam kitab kitab hadith besar
yang sudah diakui, seperti sahih al-Bukhari, sahih Muslim,dll. Hadith
hadith hukum harus diketahui, disamping pengertiannya secara bahasa dan
secara shara`, juga mengetahui kesahihannya.
- Mengetahui tentang mana ayat atau
hadith yang telah dimansukh ( telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Allah atau Rasulnya ), dan mana ayat atau hadith yang menasakh atau
sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang
mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadith yang sudah
dinyatakan tidak lagi berlaku.
- Mempunyai pengetahuan tentang masalah
masalah yang sudah terjadi ijma` tentang hukumnya dan mengetahui tempat
tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam
ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
- Mengetahui tentang seluk beluk qiyas,
seperti syarat syaratnya, rukun rukunnya, tentang `illat hukum dan cara
menemukan `illat itu dari ayat atau hadith, dan mengetahui kemaslahatan
yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip prinsip umum shari`at
Islam.
- Menguasai bahasa arab serta ilmu ilmu
Bantu yng berhubungan dengannya, pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat
al-Qur`an dan Sunnah adalah berbahasa arab. Seseorang tidak akan bisa
meng-istimbat-kan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk
beluk bahasa arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dab
mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq
dan muqayyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya.
Penguasaan bahasa arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekedar
mampu memahami secara benar ungkapan ungkapan dalam bahasa arab dan
kebiasaan orang arab dalam pemakaiannya.
- Menguasai ilmu ushul fiqh, seperti
tentang hukum dan macam macamnya, tentang sumber sumber hukum atau dalil
dalilnya, tentang kaidah kaidah dan cara meng-istimbat-kan hukum dari
sumber sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini
diperlukan karena ushul fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam
melakukan ijtihad.
- Mampu menangkap tujuan shari`at dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat tergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-Shari`ah memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Disamping itu, dan yang terpenting, dengan penguasaan bidang ini prinsip prinsip hukum dalam al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.
KESIMPULAN
Tidak semua orang bisa menjadi
mujtahid, karena hal itu tidaklah mudah, ada syarat syarat tertentu yang tanpa
syarat itu seseorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia
melakukan ijtihad, maka hasilnya diragukan kebenarannya, bisa berakibat sesat
dan menyesatkan.Ada kemiripan antara seorang filosof dengan seorang mujtahid,
mereka sama sama memiliki tingkat kecerdasan yang sangat luar biasa, pola pikir
mereka sangat mendasar, bisa meneliti sesuatu secara mendalam, detail, sampai
ke akar akarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Kencana Prenada Media Group, 2008.
Satria Effendi, Ushul Fiqh,
Prenada Media, 2005.
Jaih Mubarak, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Uli Press, 2002.
Jaih Mubarak, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Uli Press, 2002.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dzikrul
Hakim, 2005
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
Dzikrul Hakim, 2005.