Ra’y Sebagai Sumber Dan Metode


PENDAHULUAN

Semua makhluk hidup itu pasti mempunyai masalah. Baik masalah dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lain sebagainya. Karena zaman itu berkembang, maka masalah yang muncul itu tidak akan sama dengan masalah yang dahulu akan tetapi sebaliknya, masalah-masalah yang muncul adalah masalah-masalah baru yang terkadang tidak terdapat ketentuannya dalam nas} baik nas al-Qur’an dan hadith.
Namun, setiap masalah pasti ada solusi dan sandaran hukumnya. Begitu juga terhadap masalah-masalah yang baru muncul yang terkadang tidak ada sandaran hukumnya. Untuk menemukan solusi dan sandaran hukumnya dapat menggunakan akal pikiran untuk berfikir. Menggunakan akal pikiran untuk berfikir inilah yang disebut sebagai ra’y. Ra’y ini lah yang akan digunakan sebagai media dalam menggali dan menetapkan hukum masalah yang baru muncul yang hukumnya tidak terdapat dalam nas}. Namun penggunaan ra’y ini tidak boleh bebas sesuka hati, akan tetapi harus sesuai dengan tujuan hukum Islam yaitu Maqa>sid Al-Shari>’ah. Dan pemikiran dengan ra’y ini menghasilkan metode-metode istinbath hukum diantaranya adalah qiya>s, istih}sa>n, al-maslahah al-mursalah, dan sad al-dhari>’ah.

2. 


PEMBAHASAN
1.      Definisi Ra’y
Ra’y  merupakan mas}dar dari kata رأي  yang secara bahasa artinya adalah melihat. Melihat di sini bisa melihat sesuatu yang nampak dan bisa pula melihat yang tidak nampak (abstrak). Terhadap obyek yang nampak, kata رأي berarti melihat dengan mata kepala atau memperhatikan. Seperti firman Allah dalam surat al-An’am ayat 78:
$£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çŽt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»tƒ ÎoTÎ) Öäü̍t/ $£JÏiB tbqä.ÎŽô³è@ ÇÐÑÈ  
Artinya: Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

Sedangkan terhadap obyek yang tidak nampak, kata رأي diartikan dengan melihat dengan mata hati atau dapat dikatakan mempunyai arti memikirkan.  Seperti firman Allah dalam surat Luqman ayat 20:
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3 z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ãAÏ»pgä Îû «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ Ÿwur Wèd Ÿwur 5=»tGÏ. 9ŽÏZB ÇËÉÈ
Artinya: Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.

Kata رأي dalam ayat ini adalah dalam artian yang kedua yaitu memikirkan. [1] Ternyata untuk makna berpikir tidak hanya menggunakan kata رأي, tapi juga menggunakan kataنظر عقل, فكر yang keseluruhannya mendorong umat untuk menggunakan pikirannya, baik dengan menggunakan arti berpikirlah maupun arti kenapa tidak kamu pikirkan.
Kata ra’y juga terdapat dalam hadith Nabi yaitu dalam kitab Sunan Abu Dawud bab al-Aqdhiyah No. 3119:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ حَدَّثَنِي أَبُو عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ
Dari hadith ini lah, dapat diketahui bahwa Nabi memberi peluang kepada sahabat-sahabatnya yang memiliki kemampuan berijtihad untuk menjawab sendiri persoalan yang muncul dalam masyarakat yaitu dengan menggunakan ra’y (akal pikiran). Karena masyarakat itu dinamis maka masalah yang timbul pun tidak semuanya dapat dipecahkan hanya berdasarkan sumber hukum Islam primer yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Maka untuk memecahkannya, dibutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh dalam menggali dan memformulasikan masalah tersebut ke dalam bentuk hukum. Usaha ini lah yang disebut kegiatan ijtihad dengan menggunakan ra’y  atau biasa disebut ijtihad bi al-ra’y. Menurut Muhammad Salam Madkur bahwa ra’y mencakup banyak hal, termasuk ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad adalah bagian dari ra’y.[2]
Al-Syaukani membedakan antara penerapan ra’y secara bebas dan ijtihad bi al-ra’y. Menurutnya, penerapan ra’y secara bebas adalah bagian dari aktivitas yang didasarkan atas hawa nafsu sedangkan ijtihad bi al-ra’y ini, ra’y tidak pernah lepas dari koridor-koridor nas}-nas} al-Qur’an dan as-Sunnah. Penerapan ra’y secara bebas dilarang oleh agama. Berbeda dengan penggunaan ra’y secara bebas, ijtihad bi al-ra’y adalah pengerahan kemampuan pikiran secara optimal dalam mendapatkan hukum dari nas}-nas} yang mengandung makna implisit. Untuk itu, menurut al-Syaukani, makna ijtihad bi al- ra’y dalam hadith tersebut bukan berarti menggunakan ra’y untuk mendapatkan hukum di luar al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi mengeluarkan hukum dari kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah yang bersifat implisit dengan menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiya>s dalam pengertian penerapan mafhum nas} dan bara>’ah al-as}liyah.[3]
Muhammad Abu Zahrah dan Abd al- Wahab Khalaf menjelaskan definisi ijtihad bi al-ra’y. Terlebih dahulu Abd al-Wahab Khalaf menjelaskan  definisi رأي menurut istilah yaitu “pengerahan akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang shari’at mengantarkannya pada petunjuk Allah dalam menggali hukum (istinbath) terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nas}.” Atas dasar arti رأي tersebut, Abd al-Wahab Khalaf menjelaskan bahwa ijtihad bi al-ra’y adalah kesungguhan usaha untuk mendapatkan kepastian hukum sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nas}, dengan berpikir dan menggunakan beberapa media yang ditunjuk oleh shari’at, untuk menentukan hukum sesuatu yang tidak ada nas}nya.
Penjelasan ijtihad bi al-ra’y yang lebih rinci dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Menurutnya  yang dimaksud ijtihad bi al-ra’y adalah perenungan dan pemikiran dalam upaya untuk mengetahui sesuatu yang dekat kepada al-Qur’an dan as-sunnah sama saja, apakah ia lebih dekat kepada al-Qur’an secara ayat per ayat (ayat dan as-Sunnah tertentu), itulah yang disebut qiya>s, atau ia lebih dekat kepada tujuan umum al-Qur’an dan as-Sunnah, itulah yang disebut al-maslahat.
Mengacu kepada istilah ijtihad bi al-ra’y di atas, ditemukan dua pandangan ulama us}ul. Pertama, ulama us}ul yang melihat bahwa ijtihad bi al-ra’y sebagai pengerahan kemampuan untuk sampai kepada suatu ketentuan hukum dalam suatu peristiwa yang tidak ada nas} nya, dengan melakukan penalaran dan menggunakan sarana yang ditunjukkan oleh shara’.  Jadi, ijtihad bi al-ra’y hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa yang tidak ada nas}-nya. Kedua, ulama ushul yang melihat bahwa ijtihad bi al-ra’y tidak hanya menyangkut peristiwa yang tidak ada nas}-nya, tetapi juga peristiwa yang ada nas}-nya yang bersifat zanni. [4] 
 Sedangkan Ismail Muhammad Syah berpendapat  bahwa ijtihad bi al-ra’y tidak hanya digunakan dalam menetapkan hukum yang tidak ada nas}h-nya, akan tetapi juga dapat digunakan terhadap hal-hal yang sudah diatur oleh nas} yang bersifat zanni.[5]
Dan pendapat terakhir ini lah yang penulis gunakan dalam membatasi ruang lingkup ijtihad bi al-ra’y. Maka di sinilah peran ra’y sebagai sumber dalam berijtihad dan menemukan hukum.
Ada pepatah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita yaitu “kita ada karena berpikir”. Hal ini menunjukkan bahwa hakikat keberadaan kita tergantung pada kemauan kita untuk menggunakan akal untuk berpikir. Segala aktifitas kehidupan memerlukan suatu pemikiran. Ini berarti akal tidak hanya digunakan untuk menggali suatu hukum baru atau peraturan baru tetapi juga sebagai alat tercapainya hakikat keberadaan kita di dunia ini.

2.      Evolusi Ra’y
Peran ra’y sebagai sumber dalam berijtihad ternyata dalam perkembangannya melahirkan beberapa metode-metode istinbath hukum seperti: qiya>s, istih}sa>n, al-maslahah al-mursalah, dan sad al-dhari>’ah. Hal ini demi terwujudnya tujuan hukum islam yaitu demi kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan yaitu:
a.      Qiya>s
Secara bahasa qiya>s adalah menduga dan mempersamakan, sedangkan menurut istilah, qiya>s  adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki nas} hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nas} hukum, karena mempunyai illat hukum yang sama.[6] Jika ada nas} yang menunjukkan hukum pada suatu peristiwa dan dapat diketahui illat hukumnya, kemudian terjadi peristiwa lain yang sama illat hukumnya, maka hukum kedua masalah itu disamakan karena memiliki kesamaan dalam hal illat hukum.
Berdasarkan definisi tersebut, ada 4 unsur yang harus ada dalam menggunakan metode qiya>s yaitu:
·         Al-‘ashl, yaitu kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nas} yang disebut al-Maqis ‘alaih, al-Mahmu>l ‘alaih, dan al-Mushabbah bih (yang digunakan sebagai pembanding, ukuran atau sebagai penyamaan).
·         Al-far’u, yaitu kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nas}. Maksudnya yaitu soal yang disamakan/diqiya>skan dengan al-ashl dalam hukumnya. Disebut juga al-Maqis
·         Al-hukm al-‘ashl, yaitu hukum syara’ yang dibawa oleh nas} dalam masalah asal. Tujuannya adalah menjadi hukum dasar bagi masalah baru.
·         Al-Illat, yaitu alasan yang dijadikan dasar oleh hukum asal dan digunakan untuk menyamakan masalah yang baru dengan masalah asal dalam hukumnya.[7]
Dari ke empat unsur tersebut, unsur yang terakhir (illat) sangat penting dan sangat menentukan. Ada atau tidak adanya hukum dalam kasus yang baru sangat tergantung pada ada atau tidak adanya illat.[8]
Contohnya seperti minum khamr adalah masalah asal, karena hukumnya telah disebutkan dalam nas}} al-Qur’an yang menujukkan keharaman meminumnya dengan illat memabukkan. Perasan anggur merupakan masalah baru (al-far’u) karena hukumnya tidak disebutkan dalam nas}}. Perasan anggur itu memiliki kesamaan dengan khamr yakni sama-sama memabukkan, maka hukumnya disamakan yaitu haram.    
Selain unsur-unsur tersebut, Abd al-Wahhab Khallaf memberikan syarat-syarat qiya>s yang harus dipenuhi:
·         Qiya>s harus berupa hukum syara’ sebangsa perbuatan yang ditetapkan dalam nas}}.
·         Qiya>s harus  berupa hukum asal yang illatnya dapat ditangkap oleh akal manusia. Jika akal tidak mampu menangkap atau tidak menemukan illat hukumnya maka tidak mungkin masalah tersebut dijangkau dengan qiya>s.
·         Hukum asal itu tidak bersifat khusus. Qiya>s tidak boleh dilakukan pada soal-soal yang ketentuan hukumnya terbatas pada kejdian yang khusus. [9]
Sabhi Mahmassani berpendapat bahwa qiya>s tidak boleh dipandang benar dan tidak boleh dianggap sebagai bagian dari dalil hukum syari’at kecuali jika telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut qiya>s berpangkal pada kaidah logika ilmiah, berbeda dengan hanya pendapat yang berdasarkan kecondongan.[10]



Dalil kehujjahan Qiyas terdapat dalam firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ [11]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Berbicara tentang qiya>s sangat erat kaitannya dengan illat. Karena qiya>s tidak akan terjadi tanpa ada illat hukum yang sama.  Illat juga selalu dikaitkan dengan hikmah. Dalam ilmu us}ul fiqh, illat adalah sifat hukum asal yang dijadikan dasar hukum, yang dengan sifat itu dapat diketahui hukum pada masalah baru. Sedangkan hikmah adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan manusia. Jadi perbedaan antara keduanya terletak pada peranannya dalam menentukan ada atau tidak adanya hukum. Illat merupakan tujuan yang dekat dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum, sedangkan hikmah merupakan tujuan yang jauh dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. [12] Sedangkan syarat-syarat illat menurut Abd al-Wahhab Khallaf yang telah disepakati ada 4 yaitu:  
·         Illat harus berupa sifat yang nyata, yakni materi yang mampu dijangkau oleh panca indra.
·         Berupa sifat yang mengikat, mengikat artinya memiliki sifat yang nyata, tertentu, terbatas. Maksudnya, keberadaan illat mampu dinyatakan pada masalah baru dengan batasannya
·         Berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum, sesuai artinya sifat itu menjadi tempat dugaan untuk menerapkan hikmah hukum yakni hubungan hukum dengan sifat tersebut ada atau tidaknya dapat diterapkan pada tujuan pembuat hukum dalam menetapkan hukum syara’ tersebut, menarik manfaat dan menolak bahaya.
·         Berupa sifat yang bukan hanya untuk masalah asal.  Maksudnya harus berupa sifat yang mungkin untuk diterapkan pada beberapa masalah dan terdapat pada selain masalah asal.
Contoh yang sering digunakan dalam bidang ibadah adalah mengenai shalat qashr. Untuk menetapkan boleh atau tidaknya shalat qashr telah ditetapkan bahwa safar merupakan illat dibolehkannya shalat qashr, sedangkan mashaqqah merupakan hikmah dibolehkannya shalat tersebut. Jadi, boleh atau tidaknya melakukan shalat qashr menurut ushuliyyun tergantung pada ada atau tidak adanya illat yakni safar, sebab bepergian dianggap sebagai indikator adanya mashaqqah.
Banyak perbedaan pendapat mengenai penggunaan qiya>s dalam pembuatan pertimbangan hukum sehingga menimbulkan perbedaan yang tajam antar fuqaha’ karena bidang yang diberikan untuk menggunakan akal melampaui batas. Malikiyah menuntut hanya sifat (illat) tanpa sebab-sebab sudah cukup menjadi dasar bagi penggunaan qiya>s. Ahmad Ibn Hanbal di sisi lain lebih bertumpu pada hadith dhaif. Di sini, sangat diperlukan peran ra’y namun bukan penggunaan ra’y yang bebas tapi ra’y yang tetap mengacu pada sumber-sumber pokok hukum Islam.[13]
Mayoritas ulama sepakat menggunakan qiya>s sebagai salah satu cara penetapan hukum. Namun madhhab Zahiriyah, sebagian Mu’tazilah dan Syi’ah Imamiyah menolaknya.
Untuk  menemukan illat hukum pada suatu masalah hukum yang belum diketahui hukumnya maka harus menggali illat tersebut dengan menggunakan alat yaitu ra’y tadi. Yaitu dengan cara berfikir dengan sungguh-sungguh untuk menemukan illat suatu peristiwa yang baru.  Dalam metode ini ra’y juga tidak sendirian akan tetapi masih bersinggungan dengan teks.
b.      Istih}sa>n
Memang menurut asalnya hukum dari kejadian yang baru muncul dikaitkan secara langsung kepada kejadian yang ada kepastian hukumnya dalam nas} dan kaitan itu harus jelas dan pasti serta kuat (qiya>s). Namun ada kalanya untuk mewujudkan kemaslahatan yang lebih banyak, seorang mujtahid mencoba mencairkan kaitannya kepada yang lain walaupun kaitan tersebut tidak kuat.
Ra’y dikerahkan untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat kemaslahatan pada dua dalil yang berbeda  dalam memutuskan suatu masalah dan mengunggulkan dalil yang mempunyai tingkat kemaslahatan yang lebih tinggi walaupun dalil itu adalah dalil juz’i. Dalam metode ini ra’y tidak bekerja sendiri akan tetapi bekerja sama dengan teks wahyu. Ini lah yang dimaksud dengan istih}sa>n.
Secara etimologi istih}sa>n berarti memandang baik terhadap sesuatu dan meyakininya. Dalam kamus Lisan al-‘Arab istih}sa>n adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah ataupun maknawaiyah, meskipun dianggap tidak baik oleh orang lain.[14] Sedangkan secara terminology istih}sa>n memiliki banyak definisi yaitu: Ibn al-Qudamah mendefinisakn istih}sa>n adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik dari nas} al-Qur’an maupun sunnah.[15] Abdul Wahab al-Khallaf mendefinisikan istih}sa>n dengan berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiya>s jali (nyata) kepada qiya>s khafi (samar), dari hukum kulli kepada hukum istisna’ karena ada kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu.  Menurut al-Qarafi, istih}sa>n adalah meninggalkan salah satu bentuk ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya. [16]
Sehingga dapat dikatakan bahwa istih}sa>n sebenarnya merupakan pengecualian hukum juz’I dari hukum kulli atau kaidah umum didasarkan dalil khusus yang mendukungnya.[17]
Ulama’ yang paling sering menggunakan istih}sa>n adalah ulama’ Hanafiyah. Selain Hanafiyah, madhhab lain yang menggunakan istih}sa>n sebagai dalil adalah madhhab Malikiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah. Sedangkan Syafi’iyah menolak istih}sa>n dengan beberapa alasan yaitu karena menurut Imam Syafi’I, istih}sa>n identik dengan tidak adanya usaha berijtihad dalam penggalian hukum, istih}sa>n bersifat mengenyampingkan khabar dan qiya>s yang jelas tidak boleh dilakukann, dan istih}sa>n dinilai menuruti hawa nafsu dalam penggalian hukum. Namun ternyata setelah diteliti lagi oleh us}uliyyun tentang penolakan Syafi’I terhadap istih}sa>n, ternyata Imam Syafi’I menolak istih}sa>n yang disandarkan pada penggunaan akal semata dan pendapat yang disandarkan pada kemauannya sendiri tanpa ada dalil kuat yang menjadi sandaran.[18]
Muhammad Muslehuddin yang pro dengan Imam Syafi’i mengatakan bahwa:[19]
”Kalau analogi dimaksudkan untuk melindungi shari’ah dari penggunaan akal secara bebas, maka istih}sa>n dan al-maslahah al-mursalah membela kebebasan seseorang menggunakan akal. Istih}sa>n merupakan teori yang dikemukakan oleh Abu Hanifah yang mewakili madhhab ra’y. Istih}sa>n disini bermakna pilihan.”

Dari sini dapat diketahui bahwa ada kesalah pahaman antara Imam Syafi’i dan us}uliyyun mengenai konsep istih}sa>n. Bahwa sebenarnya istih}sa>n tidak hanya didasarkan pada akal (ra’y) semata tetapi juga didasarkan pada nas} baik nas} al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiya>s, ’urf, dan maslahah
Salah satu contoh istih}sa>n  adalah akad salam. Kaidah umumnya akad salam termasuk salah satu jenis jual beli yang tidak sah karena barang yang diperjual belikan tidak ada. Ketentuan ini dipertegas oleh dengan hadith Nabi yaitu لاتبع ماليس عندك
Tetapi ada pengecualian terhadap hadith ini, yaitu  diperbolehkannya akad salam dengan pesan memesan, sewa menyewa. Ditegaskan oleh hadith yang lain.
 من أسلف فليسلف في كيل معلوم إلا أجل معلوم

c.       Al-Maslahah al-Mursalah
Ketika suatu masalah tidak didapati hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun hadith maka ra’y berusaha menemukan hukumnya melalui asas kemaslahatan. Metode  al-maslahah al-mursalah terikat pada konsep bahwa shari’ah ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudharatan.[20]
Dalil kehujjahan al-maslahah al-mursalah adalah hadith Nabi Muhammad mengenai pengakuan Nabi terhadap Muadz Ibn Jabal untuk berijtihad dengan pendapatnya sendiri ketika diutus ke Yaman seperti yang telah penulis sebutkan di atas.
Tokoh madhhab Syafi’I, al-Ghazali merupakan tokoh yang paling banyak berbicara dan menaruh perhatian terhadap al-maslahah al-mursalah. Sehingga tidak heran jika al-maslahah al-mursalah ini dibahas dalam keempat karyanya. Berbicara mengenai al-maslahah al-mursalah, al-Ghazali terlebih dahulu mengartikan tentang al-maslahah itu sendiri. Menurutnya al-maslahah adalah upaya menarik manfaat (upaya memelihara tujuan hukum Islam  yaitu memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta benda), serta  menolak mudharat (merusak dan menafikan tujuan hukum Islam tersebut).[21] al-Ghazali membagi al-maslahah menjadi tiga yaitu:
1)      Al-Maslahah al-mu’tabarah yaitu maslahat yang diakui shari’at dan ditunjukkan oleh nas}/dalil tertentu. Maslahah ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum.
2)      Al-maslahah al-mulghah yaitu maslahah yang dibatalkan oleh dalil tertentu. Maslahah ini tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum.
3)      Al-maslahah al-mursalah yaitu maslahah yang tidak ditemukan dalil tertentu yang membenarkan atau menolaknya.  
Sedangkan syarat al-maslahah al-mursalah yang dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum menurut al-Ghazali yaitu:
§  Al-maslahah harus berupa al-maslahah al-daruriyat atau al-maslahah al-hajiyat yang menempati kedudukan al-daruriyat. Sedangkan al-maslahah al-tahsiniyat tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum Islam.
§  Harus sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’/penetapan hukum Islam yang dimaksudkan untuk memelihara agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan.
§  Pada kasus-kasus tertentu, al-maslahah harus bersifat kulliyah (umum dan menyeluruh) dan qat}’iyah (pasti).  
Ulama’ yang menerima dan menggunakan al-maslahah al-mursalah sebagai hujjah dalam penetapa hukum adalah Malikiyah, Zaidiyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah. Sedangkan ulama’ yang menolak al-maslahah al-mursalah adalah zahiriyah, imamiyyah, Hnafiyah, dan sebagian Syafi’iyah.
Ra’y di sini berperan optimal tanpa terkait dengan teks wahyu akan tetapi berdasarkan asas kemaslahatan. Yaitu mencari maslahah pada masalah-masalah yang baru.

d.      Sad al-dhari>’ah
Dalam melakukan suatu perbuatan harus juga dipertimbangkan perantara dari terlaksananya perbuatan tersebut. Apakah perantaranya tadi baik atau malah sebaliknya sehingga mengakibatkan perbuatan yang berbahaya. Untuk meneliti hal ini ra’y  berupaya untuk menutup/melarang perantara dari suatu perbuatan yang mengakibatkan kemafsadahan.
Sad artinya adalah menutup. Sedangkan Al-Dhari>’ah secara bahasa artinya jalan atau perantara. Sedangkan menurut terminologi ada beberapa pendapat yaitu:
Ø  Menurut Mustafa Ibrahim al-Zalami al-dhari>’ah adalah suatu perantara mubah yang membawa kepada sesuatu yang dicegah atas mafsadahnya.
Ø  Menurut Satria Effendi adalah jalan kepada suatu tujuan.
Ø  Menurut Muhammad Abu Zahrah adalah perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.
Ø  Menurut Imran Ahsan Khan Nyazee adalah perantara yang dibolehkan (mubah) yang membawa kepada kerusakan.[22]
Sehingga sad al-Dhari>’ah dapat diartikan sebagai menutup jalan atau perantara yang mubah yang membawa kepada perbuatan yang mengandung mafsadah.

Dalil kehujjahan sad al-Dhari>’ah adalah

Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ[23] [24]
Artinya: ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada sesuatu yang mafsadah adalah:[25]
1)      Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan tetapi merupakan esensi perbuatan itu sendiri adalah haram. Maka, keharaman seperti itu tidak termasuk dalam kajian sad al-dhari>’ah.
2)      Perbuatan yang mubah namun perbuatan itu memungkinkan untuk dijadikan wasi>lah kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan ini dibagi lagi menjadi 4 macam:
ü  Perbuatan yang pasti menyebabkan mafsadah. Contohnya, menggali lubang di jalan umum yang dapat dipastikan akan menjebak orang yang melaluinya. Dalam perbuatan seperti ini, sad al-dhari>’ah hukumnya wajib.
ü  Perbuatan yang mengandung kemungkinan yang kecil. Contohnya, menjual buah anggur kepada produsen biasa. Perbuatan ini boleh dilakukan karena kemungkinan akan membawa mafsadah sangat sedikit dibandingkan manfaat yang diperoleh.
ü  Perbuatan yang mubah yang kemungkinannya akan membawa kepada mafsadah lebih besar daripada maslahat yang diperoleh. Contoh, menjual senjata kepada musuh. Maka perbuatan ini haram dan wajib ditutup.
ü  Perbuatan yang mengandung maslahah juga mengandung mafsadah. Contohnya, jual beli ‘inah. Yaitu si A menjual barang kepada si B dengan harga tertentu dengan cara berhutang, kemudian  si A membeli kembali barang tersebut dari si B dengan harga yang lebih rendah. Jual beli seperti ini tidak dibolehkan dengan alasan akan menjadi perantara perbuatan riba.  
Mengenai kebolehan dalam menggunakan metode ini sebagai hujjah terjadi perbedaan pendapat. Diantara yang banyak menggunakan metode ini sebagai hujjah adalah Imam Malik.[26] Selain Imam Malik, yang mendukung sad al-Dhari>’ah adalah Hanabilah dan Ibn al-Qayyim. Menurut mereka sad al-Dhari’ah merupakan asal yang berdiri sendiri.
Sedangkan ulama  yang tidak menggunakan metode ini adalah Zahiriyah, Hanafiyah dan Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa sad al-Dhari’ah bukan merupakan asal yang berdiri sendiri.

3.      Hubungan ra’y dalam qiya>s, istih}sa>n, al-maslahah al-mursalah dan sad al-dhari’ah
Sudah dijelaskan di muka tentang definisi ra’y dan ijtihad bi al-ra’y. Dari definisi di atas, kita dapat mengetahui hubungan ra’y dalam qiya>s, istih}sa>n, al-maslahah al-mursalah dan sad al-dhari>’ah.
Metode-metode tersebut digunakan untuk menggali dan menetapkan  hukum suatu masalah–masalah yang baru baik yang ada ketentuannya dalam nas} (zanni) maupun yang tidak ada ketentuannya dalam nas}. Dan untuk menggali serta menetapkan hukum masalah yang baru tersebut dibutuhkan peran ra’y. Sehingga ra’y disini berperan sebagai sumber sekaligus metode dalam penggalian hukum. Namun peran ra’y  disini juga tidak boleh lepas dari koridor-koridor shari>’at serta harus sesuai dengan tujuan utama shari>’at yaitu untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan baik di dunia maupun di akhirat.[27] Karena segala peristiwa hukum baik yang diatur dalam al-Qur’an dan hadith secara eksplisit maupun yang dihasilkan melalui ijtihad harus bertitik tolak pada tujuan tersebut. dan ternyata setelah diteliti ra’y disini digunakan sebagai sumber dan metode untuk mencapai tujuan shari’at tersebut yaitu melalui jalan qiya>s, istih}sa>n, al-maslahah al-mursalah dan sad al-dhari’ah. Sehingga keempat metode tersebut dapat digunakan sebagai sumber/dalil dalam memecahkan masalah-masalah baru yang muncul.

4.      Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2500 tahun yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari aspek sejarah, menurut Friedman  bahwa aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum  alam di sini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai aliran hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.  Dilihat dari sumbernya, aliran hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (irasional) dan yang bersumber dari akal (rasio) manusia. Aliran Hukum  Alam Irasional memandang bahwa hukum yang universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan sedangkan Aliran Hukum Alam Rasional memandang bahwa hukum yang universal dan abadi itu bersumber  dari rasio manusia. Aliran hukum alam yang kedua ini lah yang mempunyai hubungan yang erat dengan peran akal (ra’y) sebagai sumber dan metode dalam penemuan hukum Islam. Bahwa ternyata dalam Barat, akal juga digunakan sebagai sumber dari adanya hukum yang universal dan abadi.
Lebih jelas lagi menurut Lili Rasjidi yang mengutip tulisan Satjipto Raharjo bahwa hukum alam ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi.
”Hukum alam sebagai metode berarti yang tertua yang dap[at dikenali sejak zaman kuno sampai permulaan abad pertengahan. Ia memusatkan dirinya pada usaha untuk menemukan metode yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlainan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, ia tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan hanya memebri tahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Sedangkan hukum alam sebagai substansi bersisikan norma-norma. Ciri hukum alam yang terakhir muncul pada abad ke-17 dan ke-18.” [28]

Hal ini mengibaratkan bahwa ternyata akal memang sangat berperan baik sebagai sumber ataupun sebagai metode penemuan hukum baik dalam hukum Barat maupun hukum Islam. Yang membedakan adalah penggunaan rasio dalam hukum Barat digunakan dengan tanpa batas  atau berasaskan liberal sedangkan penggunaan ra’y dalam Islam terdapat batasan-batasannya dan juga berdasarkan pada maqa>sid al-shari>’ah.

PENUTUP
Ø  Ra’y adalah menggunakan akal untuk berfikir. Sedangkan ijtihad bi al-ra’y adalah  pemikiran dan pengerahan akal dalam menggali dan menetapkan suatu hukum pada permasalahan baru yang ketentuannya terdapat dalam nas} namun zanni dan permasalahan yang tidak ada ketentuannya dalam nas}.
Ø  Evolulsi Ra’y :
·         Qiya>s : Ra’y digunakan untuk mengaitkan peristiwa yang tidak ada ketentuan dalam nas}h kepada peristiwa yang ada ketentuannya dalam nas}.
·         Istih}sa>n: Ra’y digunakan untuk mengalihkan peristiwa hukum dari hukum kulli kepada hukum juz’i.
·         Al-maslahah al-mursalah: Ra’y digunakan untuk Menggali dan menetapkan peristiwa hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nas} sama sekali berdasarkan asas manfaat dan menghindari mafsadah.
·         Sad-al-Dhari>’ahRa’y digunakan untuk menutup jalan/perantara yang mengantarkan kepada perbuatan yang menimbulkan mafsadah.
Ø  Hubungan ra’y dalam qiya>s, istih}sa>n, al-maslahah al-mursalah dan sad al-dhari’>ah  yaitu ra’y  digunakan sebagai sumber dalam berijtihad / menetapkan metode istinbath hukum yang kemudian metode–metode tersebut digunakan kembali sebagai sumber/dalil hukum Islam yang sekunder. Yang mana semua itu dilakukan untuk mencapai tujuan hukum Islam yaitu untuk menarik manfaat dan menolak mafsadah.
Ø  Ra’y  dalam hukum Islam mempunyai fungsi dan peran yang sama dengan rasio hukum Barat. Akal sama-sama digunakan sebagai sumber dan  metode dalam penetapan suatu norma atau hukum. Perbedaannya akal/rasio dalam hukum Barat digunakan tanpa batas/liberal sedangkan akal/ra’y dalam hukum Islam digunakan sesuai koridor hukum Islam. 


DAFTAR PUSTAKA

‘Abdullah, Hashim Jamil, Masa>il Min al-Fiqh al-Muqa>ran, Baghdad: Bait al-Hikmah, 1989.

Al-Ghazali, al-Mus}tasfa> Min ‘ilm al-‘Us}u>l, Juz 1, Beirut: al-Muassisah Al-Risa>lah, 1997.

al-Maqdisy,  Abu Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah ,  Raudhah al-Nazhir Wa Jannah al-Muntazhir, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 1416 H.

Al-Qarafi, Nafa>is al-Us}ul Fi Sharh al-Mahsul, Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthafa al-Bazz, 1998.

Efendi, Satria, Us}u>l Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.
Ibn Manzhur, Abu al-Fadhl Muhammad Ibn Mukrim, Lisa>n al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, 1410H.

Khallaf, Abd al-Wahhab, Us}u>l Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Mahmassani, Sabhi, Falsafah at-Tashri>’ fi al-Isla>m, Terj. Ahmad Sudjono, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976.

Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.

Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1991.

Nyazee, Imran Ahsan Khan, Islamic Jurispundence, Malaysia: The Other Press, 2003.

Rasjidi, Lili, Filsafat Hukum, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1993.
Rusli, Nas}run, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999.
Syah, Ismail Muhammad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Zuhaili, Wahbah, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi, juz 2, Beirut: Dar al-Fikr,1998.

.

Postingan terkait: