PENDAHULUAN
Sebagai disiplin ilmu yang mencari pengetahuan tentang hukum yang benar,
hukum yang adil atas dasar-dasar dari kenyataan, suatu bentuk dari berfikir
sistematis yang hanya merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari pemikiran
itu sendiri dan yang mencari hubungan teorikal terefleksi, yang di dalamnya
gejala hukum dapat dimengerti dan dapat dipikirkan. Sebagai disiplin yang
mencari pengetahun tentang hakikat (sifat) dari keadilan, tentang bentuk
keberadaan transenden dan imanen dari hukum, tentang nilai-nilai yang di dalam
berperan tentang hubungan antara hukum dengan keadilan, tentang struktur dari
pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum, tentang hubungan antara hukum
dan moral.
Perlu ditegaskan dari awal bahwa filsafat hukum bukan cabang ilmu hukum,
melainkan cabang filsafat. Mengingat filsafat hukum adalah cabang dari
filsafat, dalam banyak hal, sejarah filsafat hukum berjalan seiring dengan
sejarah filsafat pada umumnya. Aliran-aliran filsafat hukum sesungguhnya dapat
dikembalikan ke dalam beberapa kelompok besar filsafat. Hukum terdapat di
seluruh dunia, di mana terdapat pergaulan hidup manusia.
Hukum demikian halnya dengan bahasa. Akan tetapi, isi hukum tidak
dimana-mana sama: tidak ada hukum dunia, sebagaimana juga tidak ada bahasa
dunia. Dunia, pergaulan hidup manusia, dibagi-bagi dalam sejumlah persekutuan
bangsa dan tiap-tiap persekutuan mempunyai hukumnya sendiri. itu tidak berarti,
pada perbandingan hukum tersebut sama sekali tidak terlihat persamaan.
Sebaliknya adalah benar. Dalam beberapa hal ada persamaan antara hukum dari
pelbagai bangsa. Maka dalam hal ini perlu adanya penjelasan tentang hakikat
akan hukum itu sendiri atau sering disebut dengan filsafat hukum.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Filsafat Hukum
Purnadi Purbasraka dan Soerjono Soekanto mengatakan “filsafat hukum adalah
perenungan dan perumusan nilai-nilai, filsafat hukum juga mencakup penyerasian
nilai-nilai misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara
kebendaan dengan keakraban, dan antara kelanggengan konservatisme dengan
pembaharuan”.[1]
Menurut Muhadi berpendapat: “filsafat hukum adalah falsafah tentang hukum,
falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam
sampai ke akar-akarnya secara sistematis.
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan filsafat hukum adalah pendirian atau
penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang
hakikat ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum.
Van Apeldoorn menguraikan sebagai berikut: “filsafat hukum menghendaki
jawaban atas pertanyaan : apakah hukum itu? Ia menghendaki agar kita berpikir
secara mendalam tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang
sebenarnya kita anggap tentang hukum”.[2]
Rumusan lain adalah dari E.Utrecht, mengetengahkan sebagai berikut :
“filsafat hukum memberikan jawaban atas pertanyaan seperti : apakah hukum itu
sebenarnya? (persoalan : adanya dan tujuan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan
yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum, tetapi juga bagi orang jawaban
ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat
hukum sebagai sutau gejal saja, yang menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit”
belaka.[3]
Selanjutnya Gustaf Radbruch merumuskan : Fisafat hukum adalah cabang
filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedang Langemeyer, mengatakan bahwa
filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.[4]
Penulis lain yaitu Anthoni D’Amato menyatakan: “Jurisprudensi atau filsafat
hukum adalah acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dari pengertian
hukum secara abstrak”. Selain itu Theo Huijbers menyatakan bahawa filsafat
hukum memiliki arti yang mendalam dimana adanya penetapan hukum kepada sebuah
komunitas oleh pimpinan kelompok.[5]
Menurut Bruse D.Fischer: Jurisprudensi adalah suatu studi tentang filsafat
hukum. Kata ini berasal dari bahasa latin yang berarti kebijaksanaan (“prudencce”)
berkenaan dengan hukum (“juris”) sehingga secara tata bahasa berarti
studi tentang filsafat hukum”.
Berbeda dengan para penulis diatas, Kari N. Llewellyn menyatakan: kesulitan
dalam memberikan kerangka dan konsep tentang hukum adalah karena terlampau
banyaknya perihal yang terkait sementara satu sama lain di antara perihal yang
terkait ini sangat berbeda sekali.
Filsafat hukum
adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Di samping
menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga
membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika)
dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.[6]
Penulis berpendapat Filsafat hukum
adalah salah satu bagian dari filsafat yang membahas secara mendalam tentang
hukum dan yang terkait dengan hukum baik fungsi maupun manfaat adanya hukum itu
sendiri, yang kemudian membicarakan secara konkrit tentang filsafat hukum
dimana ada relefansinya dengan etika dan moral dalam sebuah tatanan masyarakat.
Dan pengertian
tersebut juga dapat ditinjau dari beberapa segi : Pertama: Segi
semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,yang
berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’
cinta, suka (loving), dan ‘sophia’ pengetahuan, hikmah(wisdom).[7]
Jadi’philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran.
Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang
cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘fa>ilasuf”.
Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya,
atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. Kedua: Segi
praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’
atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir
bererti berfilsafat.
Berfilsafat adalah
berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa
“setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia
berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua
manusia yang berpikir adalah filsuf.
Kajian tentang
filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam
ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif
yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM. Landasan
filsafat negara sangat menentukan bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang
bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun
Pancasialis. Pancasila sebagai philosophische gronslag bangsa Indonesia
merupakan dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar
dari hukum dan praktek hukum di Indonesia. perenungan dan perumusan nilai-nilai
filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian
antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan
antara kelanggengan dengan konservatisme dengan pembaharuan.[8]
B. Metodologi
Filsafat Hukum
Sebagaimana filsafat
pada umumnya yang memiliki kesamaan didalam metodologi begitu juga filsafat
hukum juga memiliki metodologi diantaranya adalah:
1.
Radikal, artinya
berpikir sampai ke akar-akamya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang
dipikirkan.
2.
Universal artinya
pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir
filsafat menurut Jaspers terfetak pada aspek keumumannya.
3.
Konseptual, artinya
merupakan hasil generallsasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya :
apakah kebebasan itu?
4.
Koheren dan konsisten
(runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpfikir logis.
Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5.
Sistematik, artinya
pendapat kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan
terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6.
Komprehensif, artinya
menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha menjelaskan alam semesta
secara keseluruhan.
7.
Bebas, artinya sampal
batas-batas yang luas, pemikiran filsafat boleh dikatakan merupakan hasil
pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural, bahkan relijius.
8.
Bertanggungjawab,
artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus
bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati
nuraninya sendiri.
C. POSISI DAN
OBJEK FILSAFAT HUKUM
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian khusus dari
filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum
secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam
pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak
begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari
hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi
dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai
filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan
dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat
hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik
antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.[9]
Maka
kemudian jelaslah posisi filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat
tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain,
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Sehingga
karena posisi filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat maka tak ubahnya
seperti filsafat pendidikan, filsafat ekonomi, dan filsafat yang lain.
Oleh
karena itu objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[10]
Pertanyaan
tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum
juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi
jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn, hal
tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak.
Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh
pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat.
Sementara
itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu
hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi
berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia
penyelelidikan ilmu hukum.[11]
Hakikat
hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum.
Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para
ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang
hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut
mana mereka melihatnya.
Ahli
hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan
ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat.
Pendapat
tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa
hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku
dalam suatu negara.[12]
Hans
Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus
berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono
Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai
tingkah laku orang-orang sebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan
satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan
tata tertib dalam masyarakat itu.
Selanjutnya
Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang
tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan
manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua
asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam
masyarakat.
Definisi-definisi
tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum
itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan
menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai
:
Pertama, ilmu pengetahuan, yakni
pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. Kedua,
disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala
yang dihadapi. Ketiga, norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak
atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Keempat, tata hukum, yakni struktur dan proses
perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu
serta berbentuk tertulis. Kelima, petugas, yakni pribadi-pribadi yang
merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law
enforcement officer). Keenam, keputusan penguasa, yakni hasil proses
diskresi, Ketuju proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik
antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan. Kedelapan, sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang
teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian. Kesembilan, jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang
dianggap baik dan buruk.[13]
Dengan
demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus
dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling
tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat
objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas
oleh filsafat hukum itu pun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri,
seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum
positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada
masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan
etika profesi hukum.
Selanjutnya
Apeldorn, menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum,
yaitu : Pertama, adakah pengertian hukum yang berlaku umum. Kedua,
apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum, dan Ketiga, adakah sesuatau
hukum kodrat.
Lili
Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain
: Pertama, hubungan hukum dengan kekuasaan. Kedua, hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial
budaya. Ketiga, apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang. Keempat,
apa sebab orang menaati hukum. Kelima, masalah pertanggungjawaban. Keenam,
masalah hak milik. Ketuju, masalah kontrak. Kedelapan, masalah
peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.[14]
Apabila
kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi
tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan
filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan
zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni
dunian filsafat hukum.
D. URGENSI
FILSAFAT HUKUM
Kita tidak dapat memungkiri,
bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesatnya. Dengan ilmu yang
dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam
semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut,
yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti
bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa.
Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja
ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak
lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan
filsafat, Namun menurut Theo Huijbers menyatakan bahwa fungsi adanya filsafat
hukum adalah mengatur alam supaya menurut garis tertentu yang sesuai dengan
hakikat.[15]
Sebagaimana berfikir secara
kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau
karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat
hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan
cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat
hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai
pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat
hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum,
tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih
tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.[16]
Kemudian filsafat hukum dengan
sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang
hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan
demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau
menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum,
pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya.
Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai
yang berasal dari hidup dan pemikiran. Ciri yang kedua, filsafat hukum juga
memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan
mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu
masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal.[17]
Dengan mempelajari dan memahami
filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum
positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak
akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu
menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak
selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah
pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh
diartikan secara negatif sebagai sifat gamblang. Sebagaimana dinyatakan oleh
Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat
spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum
untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu
ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu
saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif
dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan
bersama.[18]
Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan
pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu
menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung
dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka
jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan
radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi
adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum
berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara
rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban
tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak,
tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu.
Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara
bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat
hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada,
melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk
memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai
hukum.[19]
Filsafat itu juga bersifat
introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat
tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi
tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut.
Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan
permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan
sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak
hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.[20]
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.[20]
Adanya karakteristik khusus dari
pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya.
Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan
karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu
alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap
berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses
reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum
dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai
dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan
pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis
filsafat hukum, maka para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan
cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta
mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang
memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan
dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di
negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya
melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa
pendekatan lain sekaligus (interdisipliner atau multidisipliner). Tidak ada
lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan
pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain
hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena
masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan
keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau
dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah
yang saling menopang satu sama lain.[21]
Apalagi krisis permasalahan yang
melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional
sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral
dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian
yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada.
Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari
berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi
dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat
harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua
bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan
permusuhan.[22]
Maka Jika ahli hukum saat ini menggunakan pendekatan dan kerangka berfikir
filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian
krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia.
KESIMPULAN
Filsafat hukum
adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab
pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas
soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat
tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain,
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek
filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai
kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
filsafat hukum
berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara
rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus, maka
sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut
membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis
permasalahan.