Filsafat Hukum Barat


PENDAHULUAN
Sebagai disiplin ilmu yang mencari pengetahuan tentang hukum yang benar, hukum yang adil atas dasar-dasar dari kenyataan, suatu bentuk dari berfikir sistematis yang hanya merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari pemikiran itu sendiri dan yang mencari hubungan teorikal terefleksi, yang di dalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan dapat dipikirkan. Sebagai disiplin yang mencari pengetahun tentang hakikat (sifat) dari keadilan, tentang bentuk keberadaan transenden dan imanen dari hukum, tentang nilai-nilai yang di dalam berperan tentang hubungan antara hukum dengan keadilan, tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum, tentang hubungan antara hukum dan moral.
Perlu ditegaskan dari awal bahwa filsafat hukum bukan cabang ilmu hukum, melainkan cabang filsafat. Mengingat filsafat hukum adalah cabang dari filsafat, dalam banyak hal, sejarah filsafat hukum berjalan seiring dengan sejarah filsafat pada umumnya. Aliran-aliran filsafat hukum sesungguhnya dapat dikembalikan ke dalam beberapa kelompok besar filsafat. Hukum terdapat di seluruh dunia, di mana terdapat pergaulan hidup manusia.
Hukum demikian halnya dengan bahasa. Akan tetapi, isi hukum tidak dimana-mana sama: tidak ada hukum dunia, sebagaimana juga tidak ada bahasa dunia. Dunia, pergaulan hidup manusia, dibagi-bagi dalam sejumlah persekutuan bangsa dan tiap-tiap persekutuan mempunyai hukumnya sendiri. itu tidak berarti, pada perbandingan hukum tersebut sama sekali tidak terlihat persamaan. Sebaliknya adalah benar. Dalam beberapa hal ada persamaan antara hukum dari pelbagai bangsa. Maka dalam hal ini perlu adanya penjelasan tentang hakikat akan hukum itu sendiri atau sering disebut dengan filsafat hukum.


PEMBAHASAN

A.       Pengertian Filsafat Hukum
Purnadi Purbasraka dan Soerjono Soekanto mengatakan “filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara kebendaan dengan keakraban, dan antara kelanggengan konservatisme dengan pembaharuan”.[1]
Menurut Muhadi berpendapat: “filsafat hukum adalah falsafah tentang hukum, falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis.
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum.
Van Apeldoorn menguraikan sebagai berikut: “filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan : apakah hukum itu? Ia menghendaki agar kita berpikir secara mendalam tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita anggap tentang hukum”.[2]
Rumusan lain adalah dari E.Utrecht, mengetengahkan sebagai berikut : “filsafat hukum memberikan jawaban atas pertanyaan seperti : apakah hukum itu sebenarnya? (persoalan : adanya dan tujuan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum, tetapi juga bagi orang jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai sutau gejal saja, yang menerima hukum sebagai suatu “gegebenheit” belaka.[3]
Selanjutnya Gustaf Radbruch merumuskan : Fisafat hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedang Langemeyer, mengatakan bahwa filsafat hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.[4]
Penulis lain yaitu Anthoni D’Amato menyatakan: “Jurisprudensi atau filsafat hukum adalah acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dari pengertian hukum secara abstrak”. Selain itu Theo Huijbers menyatakan bahawa filsafat hukum memiliki arti yang mendalam dimana adanya penetapan hukum kepada sebuah komunitas oleh pimpinan kelompok.[5]
Menurut Bruse D.Fischer: Jurisprudensi adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa latin yang berarti kebijaksanaan (“prudencce”) berkenaan dengan hukum (“juris”) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum”.
Berbeda dengan para penulis diatas, Kari N. Llewellyn menyatakan: kesulitan dalam memberikan kerangka dan konsep tentang hukum adalah karena terlampau banyaknya perihal yang terkait sementara satu sama lain di antara perihal yang terkait ini sangat berbeda sekali.
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Di samping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.[6]
Penulis berpendapat Filsafat hukum adalah salah satu bagian dari filsafat yang membahas secara mendalam tentang hukum dan yang terkait dengan hukum baik fungsi maupun manfaat adanya hukum itu sendiri, yang kemudian membicarakan secara konkrit tentang filsafat hukum dimana ada relefansinya dengan etika dan moral dalam sebuah tatanan masyarakat.
Dan pengertian tersebut juga dapat ditinjau dari beberapa segi : Pertama: Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ cinta, suka (loving), dan ‘sophia’ pengetahuan, hikmah(wisdom).[7] Jadi’philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘fa>ilasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan. Kedua: Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat.
Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM. Landasan filsafat negara sangat menentukan bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun Pancasialis. Pancasila sebagai philosophische gronslag bangsa Indonesia merupakan dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar dari hukum dan praktek hukum di Indonesia. perenungan dan perumusan nilai-nilai filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan dengan konservatisme dengan pembaharuan.[8]

B.       Metodologi Filsafat Hukum
Sebagaimana filsafat pada umumnya yang memiliki kesamaan didalam metodologi begitu juga filsafat hukum juga memiliki metodologi diantaranya adalah:
1.      Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akamya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
2.      Universal artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir filsafat menurut Jaspers terfetak pada aspek keumumannya.
3.      Konseptual, artinya merupakan hasil generallsasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : apakah kebebasan itu?
4.      Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpfikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5.      Sistematik, artinya pendapat kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6.      Komprehensif, artinya menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7.      Bebas, artinya sampal batas-batas yang luas, pemikiran filsafat boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
8.      Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.

C.       POSISI DAN OBJEK FILSAFAT HUKUM
Ada pendapat yang mengatakan bahwa filsafat hukum merupakan bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan.[9]
Maka kemudian jelaslah posisi filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Sehingga karena posisi filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat maka tak ubahnya seperti filsafat pendidikan, filsafat ekonomi, dan filsafat yang lain.
Oleh karena itu objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.[10]
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldorn, hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.[11]
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat.
Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara.[12]
Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebgai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu.
Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut mereka, hukum dapat diartikan sebagai :
Pertama, ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. Kedua, disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. Ketiga, norma, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Keempat,  tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. Kelima, petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer). Keenam, keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi, Ketuju proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan. Kedelapan,  sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian. Kesembilan, jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.[13]
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itu pun antara lain berkaitan dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn, menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu : Pertama, adakah pengertian hukum yang berlaku umum. Kedua, apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum, dan Ketiga, adakah sesuatau hukum kodrat.
Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain : Pertama, hubungan hukum dengan kekuasaan. Kedua,  hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya. Ketiga, apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang. Keempat, apa sebab orang menaati hukum. Kelima, masalah pertanggungjawaban. Keenam, masalah hak milik. Ketuju, masalah kontrak. Kedelapan, masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.[14]
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.

D.       URGENSI FILSAFAT HUKUM
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi begitu pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi, teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi pekerjaan filsafat, Namun menurut Theo Huijbers menyatakan bahwa fungsi adanya filsafat hukum adalah mengatur alam supaya menurut garis tertentu yang sesuai dengan hakikat.[15]
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.[16]
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran. Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal.[17]
Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gamblang. Sebagaimana dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama.[18] Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.[19]
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.[20]
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para pejabat, tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus (interdisipliner atau multidisipliner). Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu sama lain.[21]
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi, politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya, tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan.[22] Maka Jika ahli hukum saat ini menggunakan pendekatan dan kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia.

KESIMPULAN

Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan.




Postingan terkait: