a.
Latar Belakang Masalah
Norma hukum dibuat oleh lembaga-lembaga
tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa
orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu
sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman
fisik (dipenjara,
hukuman mati).
Pelaksanaan norma hukum memerlukan
kekuatan agar masyarakat mau mentaatinya. Para
pemikir muslim berbeda pendapat terhadap perlu tidaknya sebuah institusi Negara
Islam dibentuk agar hukum Islam dapat terlaksana.
b.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah bentuk-bentuk
penegakan hukum (law enforcement) dalam Islam?
2.
Bagaimanakah filosofi penerapan
sanksi itu?
3.
Perlukah legislasi hukum Islam
sebagai logical extention (konsekuensi logis) dari penegakan hukum Islam?
4.
Bagaimanakah teori hubungan
Negara, agama dan hokum serta pandangan para tokoh mengenai hal tersebut?
5.
Apa sajakah tujuan hukum Islam?
6.
Perlukah sebuah institusi Negara Islam
dibentuk agar hukum Islam dapat terlaksana dan bagaimana pandangan tokoh-tokoh
muslim terhadap teori hubungan Negara, agama dan hukum?
PEMBAHASAN
a.
Penegakan Hukum (law
inforcement) dalam Islam
Salah satu
permasalahan penting dalam filsafat hukum yaitu apakah sebabnya negara berhak
menghukum seseorang. Hubungan antara hukum dan kekuasaan digambarkan dalam
suatu slogan “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan angan , kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman“ (Mochtar Kusumaatmadja).
Peperzak
mengemukakan hubungan antara hukum
dengan kekuasaan dengan dua cara :
1.
konsep sanksi, yaitu bahwa perilaku
yang menyimpang memerlukan sanksi bagi penegakan aturan aturan hukum.
Penggunaan sansi memerlukan legitimasi yuridis agar menjadi kekerasan yang sah.
2.
Konsep penegakan konstitusi, yaitu
termasuk penegakan prosedur yang benar dalam pembinaan hukum mengasumsikan
digunakannya kekuatan ( force ).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
pelaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum
merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang
merupakan hakikat dari penegakan hukum.[1]
Faktor-faktor penegakan hukum menurut Soerjono
Soekanto meliputi :
1.
Faktor hukumnya sendiri, misalnya
undang-undang.
2.
Faktor penegak hukum, yaitu pihak
yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
4.
Faktor kebudayaan, yaitu hasil
karya, cipta dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Pelaksanaan Hukum dalam Islam dilaksanakan tanpa pandang bulu. Rasulullah Saw.
menyebutkan :
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ
قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ
أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
"Sesungguhnya
hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah lantaran bila ada seorang bangsawan
(orang kuat) mencuri mereka biarkan, sedangkan bila orang lemah mencuri, mereka
menegakkan hukum hudud atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di dalam
genggaman-Nya, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad saw. mencuri, pasti akan
kupotong tangannya…" (Sahih al-Bukhari 5/192).
Sikap tegas dan tanpa pandang bulu dalam penegakan
hukum hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang taqwa kepada Allah SWT. Sebab
taqwa ini melahirkan sikap adil (QS. Al-Maidah 8).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
Sikap adil itu diberlakukan tanpa pandang bulu
walaupun kepada diri sendiri. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا
فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ
تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا.
Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan
kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan (QS. An Nisa 135).
Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yaitu: [3]
1. Hudu>d
Secara
bahasa, hudu>d berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal.
Secara syar‘i>, hudu>d bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah
ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah.
Disebut
hudu>d karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa.
Sebutan hudu>d dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya
terdapat hak Allah. Hudu>d hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan
berikut:
(1) zina
(pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr
muhshan/belum menikah]);
(2) homoseksual/liwa>t}
(pelaku dibunuh);
(3) qaz}af/menuduh berzina tanpa didukung
4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);
(4) minum
khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);
(5) murtad yang
tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);
(6) membegal/hira>bah
(pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan disalib
jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang
jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan
masyarakat.
(7) memberontak
terhadap Negara/bug}a>t (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif,
yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.
(8) Mencuri
(pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi
syaratuntuk dipotong).
2. Jina>ya>t
Jina>ya>t adalah penganiayaan atau
penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qis}a>s} (balasan
setimpal) atau diya>t (denda). Penganiayaan di sini mencakup
penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:
(1)Pembunuhan/penganiayaan
yang berakhir dengan pembunuhan;
(2)Penganiayaan
tanpa berakhir dengan pembunuhan.
Qis}a>s} diberlakukan jika tindakan
penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diya>t)
diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika
tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qis}a>s} ataupun diya>t
tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak
menuntutnya.
3. Ta‘zi>r
Ta’zi>r secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zi>r adalah hukuman edukatif (ta‘di>b) dengan maksud menakut-nakuti (tanki>f). Sedangkan secara syar‘i>, ta’zi>r bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada h}ad dan kafa>rat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.
Kasus ta‘zi>r secara umum terbagi menjadi:
Ta’zi>r secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zi>r adalah hukuman edukatif (ta‘di>b) dengan maksud menakut-nakuti (tanki>f). Sedangkan secara syar‘i>, ta’zi>r bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada h}ad dan kafa>rat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.
Kasus ta‘zi>r secara umum terbagi menjadi:
(1)
pelanggaran terhadap kehormatan;
(2)
pelanggaran terhadap kemuliaan;
(3)
perbuatan yang merusak akal;
(4)
pelanggaran terhadap harta;
(5)
gangguan keamanan;
(6)
subversi;
(7)
pelanggaran yang berhubungan dengan agama.
Sanksi ta‘zi>r dapat
berupa:
(1)
hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4)
pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8)
peyitaan harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11)
nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagain hak kekayaan (hurmân);
(13) pencelaan (tawbi>kh); (14) pewartaan (tasyhi>r).
4. Mukha>lafa>t
Mukha>lafa>t
adalah
pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara. Syariat telah
memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya,
menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan
sanksi atas para pelanggarnya.
b.
Filosofi Penerapan Sanksi
Menurut Dr. Mohammad M. Ismail dalam bukunya al-Fikr al-Isla>mi>,
Allah telah menetapkan hukum-hukum uqu>ba>t
(hukum pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai pencegah
dan penebus. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari
tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa
seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat.[4]
Uqu>ba>t
Sebagai Pencegah
Keberadaan uqu>ba>t
dalam islam yang berfungsi sebagai telah ditetapkan dalam nash Al Qur’an,
sebagaimana firman Allah “Dalam qis{as}
(hukuman mati) itu ada kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang
berakal” (QS Al Baqarah: 179). Maksud dari
firman Allah “Dalam qis{as itu ada
kehidupan” sebagai akibat penjatuhan hukum qis{as
adalah melestarikan kehidupan, dan yang dimaksud bukan berarti melestarikan
hidup orang yang dijatuhi hukuman
qis{as. Sebab bagi Dia, yang ada adalah kematian, bukan kehidupan.
Kehidupan itu hanya bagi orang-orang yang menyaksikan hukuman qis{as tersebut. Pada
umumnya, bagi orang-orang yang berakal, tidak akan berani melakukan pembunuhan,
jika ia mengetahui apabila membunuh orang lain, maka akibatnya ia akan dibunuh.
Demikian pula halnya dengan semua bentuk pencegahan.
Namun demikian hukuman uqubaat tidak boleh dijatuhkan kecuali
terhadap para pelaku kejahatan (tindakan kriminal). Sebab, arti keberadaannya
sebagai pencegah, adalah mencegah manusia agar tidak melakukan tindakan kriminal.
Maksud dari tindak kriminal, adalah suatu perbuatan yang
tercela; dan yang dikatakan tercela, adalah karena syara’ memandangnya
sebagai perbuatan tercela. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak dapat
dikatakan sebagai tindak kriminal, kecuali jika syara’ telah
menentu¬kannya dengan nash sebagai perbuatan tercela, maka barulah dianggap
sebagai tindakan kriminal. Tindak kriminal tidak ada dalam fitrah manusia; dan
bukan termasuk sesuatu yang berasal dari keturunan (genetis); juga, bukan
termasuk penyakit yang diderita oleh manusia (sebagaimana yang dianut
ilmu/teori psikologi). Tindak kriminal adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap
tata aturan yang mengatur perbuatan manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah, dan dalam dirinya
diciptakan pula naluri-naluri dan berbagai kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan
kebutuhan jasmani tersebut adalah suatu potensi (yang menggerakkan) semangat
hidup dalam diri manusia. Ia berfungsi sebagai penggerak usaha manusia untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Jadi, manusia melakukan semua tindakannya,
adalah untuk memuaskan kebutuhan hidupnya. Membiarkan pemuasan terhadap
kebutuhan tanpa terikat dengan aturan, tentu akan menyebabkan kekacauan,
kerusakan, dan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang.
Allah SWT telah mengatur tata cara pemuasan
naluri-naluri dan kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia, dan mengatur perbuatan
manusia tersebut melalui hukum-hukum syara’. Syari’at Islam telah menjelaskan
pemecahan terhadap seluruh perbuatan manusia dalam garis-garis besar yang telah
ditentukan yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Garis-garis besar tersebut telah
dijadikan sebagai sumber hukum untuk setiap kejadian yang muncul dalam
kehidupan manusia, sehingga dari garis-garis besar tersebut dapat digali hukum
bagi setiap perbuatan manusia. Syari’at Islam telah menetapkan hukum halal dan
haram terhadap segala sesuatu yang digunakan oleh manusia.
Oleh karena itu, syara’ telah datang dalam
bentuk perintah dan larangan, serta mewajibkan kepada manusia untuk
melaksanakan setiap perintah Allah dan menjauhi setiap laranganNya. Jika
manusia melanggar perintah dan larangan tersebut, berarti ia telah melakukan
perbuatan tercela atau melakukan tindak kriminal; baik pelanggaran terse¬but
berupa pengabaian perintah atau mengerjakan hal-hal yang terlarang. Dalam kedua
kondisi tersebut, ia dianggap telah melakukan tindak krimi¬nal, sehingga harus
dijatuhi hukuman terhadap tindakan tersebut, agar manusia melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi laranganNya. Sebab, tanpa adanya hukuman setiap pelanggar, maka
perintah dan larangan tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa.
Perintah apapun yang menuntut mengerjakan sesuatu, tak
akan memiliki nilai jika tak ada balasan bagi pelanggarnya yang mengabaikan
perintah tersebut berupa hukuman, baik perintah itu berkenaan dengan tuntutan
untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Syari’at Islam telah menjelaskan, bahwa pelaku
tindakan-tindakan kriminal akan mendapat hukuman, di dunia maupun di akhirat.
Hukuman di akhirat, akan dijatuhkan oleh Allah terhadap para pelakunya. Allah
akan mengazhab mereka pada hari kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam firman-firmanNya:
“Orang-orang
yang berbuat kejahatan dapat dikenal dari tanda-tandanya. Maka direnggutlah
mereka dari ubun-ubun dan kaki-kaki mere¬ka” (QS Ar Rahman: 41)
“Bagi orang
yang kafir disediakan neraka jahanam” (QS Al Fathir: 36)
“Begitulah
keadaan mereka, dan sesungguhnya bagi orang-orang durhaka, disediakan tempat
kembali yang buruk. Yaitu neraka jahanam yang mereka masuk ke dalamnya, maka
amat buruklah jahanam itu seba¬gia tempat tinggal” (QS Shaad: 55-56)
“Sungguh kami
sediakan bagi orang-orang kafir, rantai-rantai/ belenggu-belenggu dan neraka
yang menyala-nyala” (QS Al Insaan: 4).
Allah SWT telah menjelaskan hukaman-hukuman itu secara
gamblang dalam Al Qur’an. Siksaan-siksaan itu benar-benar merupakan suatu
kenya¬taan, sebab tercantum dalam ayat-ayat yang pasti sumbernya (qat}’iyat al-thubu>t)
dan pasti penunjukan maknanya (qat}’iyat
al-dala>lah). Sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah:
“Ketika belenggu
dan rantai dipasang di leher mereka, supaya mereka diseret ke dalam air yang
panas, kemudian ia dibakar dalam api” (QS. Al-Mukmin: 71-72)
“Maka tidak ada
seorang teman pun baginya pada hari ini disini, dan tidak ada makanan kecuali
darah bercampur nanah, dan tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang
berdosa” (QS. Al-Ha>qqah:
35-37)
“Disiramkan air
mendidih ke atas kepala mereka” (QS. Al-Hajj: 19)
“Sesungguhnya
orang-orang jahat berada dalam kesesatan (di dunia) dan berada di neraka (di
akhirat), yaitu pada hari dimana mereka diseret ke neraka atas muka mereka.
(Dikatakan kapada mereka): ‘Rasa¬kanlah sentuhan api neraka” (QS. Al Qamar:
47-48).
“(Dan golongan
kiri itu) ada dalam siksaan angin yang amat panas dan air yang mendidih serta
kepungan asap yang hitam” (QS.
Al-Wa>qi’ah: 42-43)
“….dan kamu
memakan pohon zaqqum, dan perutmu akan penuh dengannya; dan kamu akan meminum
air mendidih. Kamu meminumnya seperti onta yang kehausan” (QS Al-Wa>qi’ah: 52-55)
“(Dan) dia
mendapatkan hidangan berupa air mendidih dan dilemparkan ke neraka jahim” (QS Al-Wa>qi’ah: 93-94)
“Sekali-kali
tidak. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak dan mengelupaskan
kulit kepada” (QS
Al-Ma’a>rij: 15-16)
“(Allah
memerintahkan), Ambil dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian
lemparkan ke dalam neraka jahim, dan belitlah dia dengan rantai sepanjang tujuh
puluh hasta” (QS Al-H>aqqah:
30-33)
“Setiap kulit
mereka hangus, maka Kami ganti kulit mereka dengan kulit lain, supaya mereka
merasakan azab” (QS An-Nisa>’:
52)
Demikianlah, banyak ayat-ayat yang menjelaskan azab
Allah secara pasti dengan gaya
bahasa yang merupakan mukjizat. Jika manusia mendengarnya, tentu mereka akan
merasa ngeri disertai rasa takut. Mereka akan menganggap enteng semua siksa di
dunia dan seluruh kesuli¬tan materiil, tatkala membayangkan bagaimana pedih dan
ngerinya azab di akhirat. Mereka takkan berani melanggar perintah dan larangan
Allah, kecuali jika mereka melupakan kengerian azab akhirat tersebut.
Demikianlah siksaan yang akan ditimpakan di akhirat.
Demikianlah siksaan yang akan ditimpakan di akhirat.
Adapun siksaan/hukuman di dunia, Allah telah menjelaskannya dalam Al
Qur’an dan Hadits, baik secara global maupun terperinci. Dan Allah SWT telah
memberikan wewenang pelaksanaan hukuman tersebut kepada negara. Jadi, hukuman
dalam Islam yang telah dijelaskan pelaksanaannya terhadap para penjahat di
dunia ini, dilaksanakan oleh Imam (khalifah) atau wakilnya (hakim), yaitu
dengan menerapkan sanksi-sanksi yang dilakukan oleh Daulah Islamiyah, baik yang
berupa had, ta’zir dan atau kafarat (denda). Hukuman yang dijatuhkan oleh
daulah di dunia ini akan menggugurkan siksaan di akhirat terhadap si pelaku
kejahatan. Sehingga, hukuman uquubaat tersebut bersifat sebagai pencegah dan
penebus, yaitu akan mencegah manusia dari perbuatan dosa atau melakukan
tindakan kriminal, sekaligus berfungsi sebagai penebus siksaan di akhirat
nanti, sehingga gugurlah siksaan itu bagi seorang muslim yang melakukannya.
Sebagai dalil, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, yang mengatakan: ‘Rasulullah saw telah
ber¬sabda kepada kami, di sebuah majlis:
“Kalian
berbai’at kepadaKu untuk tidak mennyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun,
tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anamu, tidak membuat-buat
dusta yang kalian ada-adakan sendiri, dan tidak bermaksiyat dalam kebaikan.
Siap saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang
melanggarnya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus
baginya. Dan siapa saja melanggarnya kemudian Allah menutupinya (tidak sempat
dihukum di dunia), maka urusaan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah
berkehendak, maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak, maka akan
memaafkannya.” Lalu (‘Ubadah bin Ash Shamit melanjutkan:) kamipun membai’at
Rasul saw atas hal-hal tersebut”.
Dari sini jelaslah, bahwa hukuman di dunia yang
dijatuhkan oleh Imam (Khali>fah)
atau wakilnya (Hakim) terhadap dosa tertentu, akan mengugurkan siksaan di
akhirat. Oleh karena itulah banyak kaum muslimin yang datang kepada Rasulullah
saw untuk mengakui kejahatan-kejaha¬tan yang mereka lakukan, agar beliau
menjatuhkan hukuman atas mereka di dunia, sehingga mereka terbebas dari azab
Allah di hari kiamat nanti. Mereka menahan sakitnya hukuman H}ad dan qis}as} di dunia, sebab
hal itu jauh lebih ringan dibandingkan azab di akhirat nanti.
c.
Legislasi hukum Islam
sebagai Logical Extension (konsekuensi logis) dari Pengamalan Ajaran Islam
Muh}ammad Khud}a>ri> Bek
dalam bukunya, Ta>ri>kh
at-Tasyri’ al-Isla>my (Sejarah Pembentukan Hukum Islam) membagi Periodisasi
Legislasi hukum Islam dalam enam periode, yaitu:
1.
|
Periode awal,
sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
|
2.
|
Periode para
sahabat besar;
|
3.
|
Periode
sahabat kecil dan thabi’in;
|
4.
|
Periode awal
abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
|
5.
|
Periode
berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
|
6.
|
Periode
jatuhnya
|
Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’
dalam bukunya, al-Madkhal
al-Fiqhi al-’A>mm (Pengantar Umum fiqh Islam) membagi
Periodisasi Legislasi hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan
pembagian Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam
menjadi dua bagian, yaitu:
1.
|
Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah
(Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
|
2.
|
Periode sejak munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah sampai
sekarang.
|
Sejak munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah sampai
sekarang. Ada
tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.
Munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah sebagai
hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
|
2.
Berkembangnya upaya kodifikasi
hukum Islam; dan
|
3.
Munculnya pemikiran untuk
memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan
kebutuhan zaman.
|
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah dilatarbelakangi
oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di
pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering
dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari
berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di
samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani
berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan
diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia
kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum
perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah yang
terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah, para
penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki
Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang
perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan
ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari
berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat
itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi
juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat
dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari
berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab
hukum keluarga (al-Ah}wa>l
al-Syakhs}iyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat
mazhab.
Al-Ah}wa>l
al-Syakhs}iyyah memuat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih
sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam
berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab
hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam
berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh
merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai
daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai
negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke
berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk
kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat
diterapkan saat ini.
Lebih jauh lagi, menurut, Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’ di daerah
yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa
penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam
telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab,
seperti di Yordania, Suriah , Sudan , Maroko , Afghanistan , Turki ,
Iran , Pakistan , Malaysia
dan Indonesia .
‘Ali>
H}asaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan
hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan
dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada
kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber
aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad
jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari
berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin
ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum
fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab
berbagai mazhab.[5]
Metode penyusunan Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah;
Awalnya
dibentuklah panitia yang bertugas untuk mengkodifikasikan ketentuan – ketentuan
hukum syara’ mengenai perkara –perkara yang bersifat muamalah atau perkara –
perkara perdata tertentu yang banyak terjadi pada masa itu. Pengambilan hukum
mengadopsi dari madzhab hanafi yang pada saat itu menjadi madzhab resmi Negara.
Dalam pengambilan hukum tidak perlu mengambil pendapat yang paling kuat dari mazhab
Hanafi, akan tetapi diperioritaskan pendapat tersebut bisa memenuhi
kemaslahatan masyarakat.
Subtansi/isi Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah;
Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah terdiri dari 1851 pasal yang berisikan;
Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah terdiri dari 1851 pasal yang berisikan;
a. Muqaddimah, tentang definisi ilm fiqh, pembagiannya serta
penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
b. Bab – bab muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab terdiri
dari 16 kitab. yaitu;
1.
Jual beli / buyu>’
2. Sewa menyewa dan perburuhan/ al-ija>rah
3. Tanggungan/ al-kafa>lah
4. Pemindahan hutang atau piutang / al-h}iwa>lah
5. Gadai/ rahn
6. Titipan / al-ama>nah
7. Pemberian / al-hibah
8. Rampasan dan pengrusakan / al-g}as}b wa al-itla>f
9. Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa / al-hajr, al-ikra>h, dan al-syuf’ah
10. Serikat dagang / al-syari>kah
11. Perwakilan / al-waka>lah
12. Perdamnaian dan pembebasan hak / al-sulh} wa al-ibra>’
13. Pengakuan / al-iqra>r
14. Pembuktian dan sumpah / al-bayyinah wa al-tahlif
15. Gugatan / al-da’wa>
16. Peradilan dan pemeriksaan di pengadilan / al-qad}a>’
2. Sewa menyewa dan perburuhan/ al-ija>rah
3. Tanggungan/ al-kafa>lah
4. Pemindahan hutang atau piutang / al-h}iwa>lah
5. Gadai/ rahn
6. Titipan / al-ama>nah
7. Pemberian / al-hibah
8. Rampasan dan pengrusakan / al-g}as}b wa al-itla>f
9. Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa / al-hajr, al-ikra>h, dan al-syuf’ah
10. Serikat dagang / al-syari>kah
11. Perwakilan / al-waka>lah
12. Perdamnaian dan pembebasan hak / al-sulh} wa al-ibra>’
13. Pengakuan / al-iqra>r
14. Pembuktian dan sumpah / al-bayyinah wa al-tahlif
15. Gugatan / al-da’wa>
16. Peradilan dan pemeriksaan di pengadilan / al-qad}a>’
Implikasi yuridis
Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah dalam
dunia hukum Islam
Sebagai
kitab rujukan sehingga dalam mencantumkan suatu penyelesaian masalah hanya
menerapkan satu pendapat saja, tanpa mencantumkan pendapat lain seperti halnya
dalam kitab-kitab fiqh pada umumnya. Cara ini adalah cara yang biasa dipakai
dalam formulasi undang-undang, karena dalam undang-undang tidak diperkenankan
mencantumkan suatu yang tidak harus dilaksanakan. Tempat mencantumkan berbagai
pendapat bukanlah undang-undang melainkan kitab-kitab tafsir hukum yang biasa
digunakan untuk sumber pelajaran hukum. Karena hal inilah, Majallah al
ahkam al adliyah sangat berpengaruh pada perubahan system perundangan pada
Negara-negara muslin di dunia.
c.
Tujuan Hukum Islam
Muh}ammad Abu>
Zahra dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah
kemaslahatan. kemaslahatan menurut al-Syat}ibi>
adalah sebagai berikut :
هذه الشر يعة... وضعت لتحقيق مقا صد الشا رع فى قيا م مصا لحهم
في الدين والدنيا معا
sesungguhnya
syari'at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat".
Kemaslahatan dapat diwujudkan jika memenuhi lima unsur pokok, yaitu : agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta. dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok ini, al-Syat}ibi membagi kepada tiga tingkat
yaitu :
- Maqa>s}id
al-D}aru>riyya>t
(primer)
- Maqa>s}id
al-H}a>jiyya>t
(sekunder)
- Maqa>s}id
al-Tah}siniya>t
(tersier)
Maqa>s}id
al-D}aru>riyya>t
dimaksudkan untuk memelihara lima
unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas tersebut. Maqa>s}id al-H}a>jiyya>t dimaksudkan untuk
menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima
unsur pokok menjadi lebih baik lagi, sedangkan Maqa>s}id al-Tah}siniya>t dimaksudkan agar manusia
dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.[6]
d.
Teori Hubungan Negara,
Agama dan Hukum dan Pemikiran Para Tokoh
1)
Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)
Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai
kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini
memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling
menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.
Berkaitan dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma
integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara
selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan. Menurut
paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan
politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine
sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan
berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.[8]
Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama
atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan
sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama,
karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan.
Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga
diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. [9]
Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan
(2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan
filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam
berasal dari Tuhan.[10]
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua
bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung.
Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan
secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan,
dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut
pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri,
melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang
diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. [11]
Tipologi integralistik melihat bahwa Islam adalah agama
sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara
Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara
benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama
sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi.
Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi
seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler,
tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala
aspek kehidupan, termasuk politik. Tokoh-tokoh yang memiliki pandangan integralistik
antara lain :
Rasyi>d
Rid}a>
Rasyi>d Rid}a> ,
sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga
kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka
bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap
despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata
politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan
umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk
mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan
pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun
menghendakinya. Ia merupakan
penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan
mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan
al-Maududi.
Sayyid Qutub dan al-Maududi
Seperti halnya Rasyid Ridha,
Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh
dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan,
mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan
penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara
penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun
sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan
penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga
al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia
adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya
menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena
manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia
tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep
politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.
Pemikiran pembaruan politik
al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip.
Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity
of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate
(khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara
keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
§ Tauhid berarti hanya
Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah
penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian,
segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang
pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
§ Risalah menurut
Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan
melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan
perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang
berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.
§ Khilafah, ia jelaskan
dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai
Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi.
Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima
prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini
adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap
manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan
tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah
perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan
menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan
kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah
itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian
dengan nama khilafah kolektif.
Untuk memperjelas mekanisme
khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan
ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang
bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat.
Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus
mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga,
pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah
ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi
perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.
2)
Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)
Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai
hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan.
Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling
memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara,
agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan
agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
(Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)
Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih
mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah
tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini
menjadi tiga jenis, yaitu:
§ Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan
yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke
negara sekular;
§ Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi,
sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama;
§ Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga
negara demikian sangat mendekati negara agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibn Taimiyah
mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan
kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama
tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibn Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa
antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak
saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh
hukum Agama.
Tipologi ini menolak klaim
ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan
termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa
Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam
tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam
Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang
untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik.
Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad
Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.
Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam
Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang
langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya
tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak
secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya,
tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di
bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui
pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan
menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga
pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam
dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang
bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar
peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua,
prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan
antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi
prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa
keadilan, dan takwa.
Muhammad Abduh, meskipun hidup
jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori
ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan.
Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan
maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini
me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu
pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi
perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep
teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di
atas.
Jelasnya menurut Abduh, Islam
tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan
kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas
nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak
membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan
urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk
memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang
lain.
3)
Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai
gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas)
agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.[12]
Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu
sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya
harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar
pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum
yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract
dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.
Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara
sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham
ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan
dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini,
menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif
dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas
kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan,
meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama.
Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya
Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang
mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama
(Syari’at).[13]
Kebalikan dari tipoligi
pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan
agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara.
Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi
al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924, Kemal
Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari
negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak
awal. Setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali
Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku
kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari
eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang
luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku
tersebut adalah al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm.
1.
Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat
spritual.
2.
Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena
umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
3.
Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak
memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh
orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi
legitimasi religius.
4.
Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan
dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan
dekadensi umat Islam.
1.
Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah
beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan
bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu
keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi
agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2.
Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang
perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya
disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan
negara.
3.
Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga
khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha
membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah
dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar
dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din
Al-Rayis adalah pandangannya
bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya
kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun
bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya
duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd
al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an
maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti
yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas
baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus
dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih
lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam
al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau
imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan
untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar
al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu
ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi
Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah,
bukan raja atau pun pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd al-Raziq
bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi
kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis
cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik
Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad,
tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya,
Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat
yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut
tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama
sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak
perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan
perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam
dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan
kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu
pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali
menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak
bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi
politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq
pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada
dasarnya bersifat sekuler.
Filsafat
hukum mengemukakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan untuk kedudukanya, serta
kekuasaan diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Pembahasan ini juga
mendapat perhatian para pemikir Islam. Mereka berbeda pendapat apakah hukum
islam itu perlu ditegakkan dengan kekuasaan dalam bingkai Negara islam ataukah
tidak.
Filsafat hukum mengemukakan bahwa hak negara menghukum
seseorang dapat ditinjau dari teori-teori tentang mengapa orang mentaati
hukum.beberapa teori mengenai penyebab seseorang mentaati hukum sebagai berikut
:
1.
Teori kedaulatan Tuhan
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa segala hukum
adalah hukum ketuhanan. Tuhan sendirilah yang menetapkan hukum, dan pemerintah
pemerinta duniawi adalah pesuruh pesuruh kehendak Tuhan “
Hukum dianggap sebagai kehendak Tuhan. Manusia sebagai
salah satu ciptaan-Nya wajib patuh pada hukum ketuhanan ini.
2.
Teori perjanjian sosial
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa orang taat dan
tunduk pada oleh karena berjanji untuk mentaatinya . Hukum dianggap sebagai
kehendak bersama, suatu hasil konsensus
(perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
Dalam kegiatan dan perjanjian sosial, Thomas Hobbes dalam bukunya “de
cive“ (1642) dan “leviathan” (1651) pada intinya mengemukakan bahwa
:
§
pada mulanya manusia hidup
dalam berperang (bella omnium contra omnes) .agar tercipta suasana damai
dan tentram.
§
Maka diadakanlah perjanjian
antara mereka (Pactum unionis) , disusul dengan perjanjian antara mereka
dengan seseorang tertentu (pactum sibjectionis) yang diserahi kekuasaan
tersebut bersifat absolut.
Berbeda dengan Hobbes, John Locke dalam bukunya “Le
treatises on civil government” berpendapat bahwa pada saat perjanjian
diadakan disertakan syarat- syarat pembatasan kekuasaan dan tidak boleh melanggar HAM.
3.
Teori kedaulatan Negara
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa ditaatinya hukum
itu karena negara menghendakinya. Hans kalsen dalam salah satu bukunya “Das
problem der souveranitat und die Theorie vas volkerecsht “, Menganggap
bahwa orang tunduk pada hukum karena merasa wajib mentaatinya karena hukum itu
adalah kehendak negara (wille des staates)
Karena negaralah yang berdaulat, maka hanya negara itu
sendiri yang berhak menghukum seseorang yang mencoba mengganggu ketertiban
dalam masyarakat. Negara yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus
tunduk pada negara. Adanya hukum karena adanya negara. Hukum sendiri sebenarnya
juga kekuasaan. . Hukum merupakan salah satu sumber kekuasaan.. Hukum merupakan
pembatas kekuasaan guna menghindari penyalah gunaan kekuasaan (abuse of
power)
4.
Teori kedaulatan hukum
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa Hukum mengikat
bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari
kesadarn hukum rakyat.
H. Krabbe berpendapat bahwa kesadaran hukum yang
dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan
bagaimana hukum itu seharusnya.Kesadaran setiap individu kemudahaan oleh krebbe
dimaksudkan berasal dari perasaan hukum bagian tersebar dari anggota
masyarakat.
5.
Teori kedaulatan sosial
Negara adalah badan yang mewakili tuhan didunia yang
memiliki kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum didunia . Para pelanggar ketertiban itu perlu memperoleh hukuman
agar hukuman agar ketertiban hukum tetap terjamin
6.
Teori perjanjian sosial
Otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak
manusia itu sendiri yang menghendaki adanya kedamaian ketentraman dalam
masyarakat
Mereka telah memberikan kuasa kepada negara untuk
menghukum seseorang yang melanggar ketertiban
Abdul Aziz dalam bukunya Chiefdom Madinah: Salah
Paham Negara Islam menyebutkan tiga pandangan mengenai perlu tidaknya
pembentukan Negara Islam, yaitu :
1.
Pandangan yang mewajibkan
pendirian negara Islam yang tunduk pada syariat Islam.
Jika
diruntut, ideologisasi negara Islam berawal dari krisis legitimasi menyangkut
kekuasaan imamah (pemimpin) dan kesatuan ummah (rakyat). Sebagai
respons terhadap situasi ini, Ibnu Taimiyah tampil sebagai pemikir muslim yang
pertama kali menjadikan penegakan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fikih
politik. Ibnu Taymiyah memandang perlu untuk merumuskan syariat Islam yang
murni (hlm. 148).
2.
Pandangan sekuler dengan
memisahkan negara dan agama.
pandangan
ini dimotori oleh ulama-ulama kontemporer semisal Jamaluddin Al-Afghani dan
Rashid Rido', sementara di Indonesia ,
tokoh yang santer menyuarakan pandangan ini adalah almarhum Cak Nur (Nurcholish
Madjid). Pandangan Cak Nur ini tersirat dalam slogan kontroversialnya, "Islam
Yes, Partai Islam No".
3.
Pandangan akan internalisasi
nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam
dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler.
Dalam
konteks ini, Islam dan tradisi kultur serta konteks kebangsaan sama-sama
berperan. Kesemuanya bisa mengentaskan masyarakat yang semula tak bernegara (stateless)
menuju masyarakat dengan sebentuk pranata kekuasaan terpusat, disebut dengan chiefdom.
Akhmad Muzakki dalam tulisannya Teologi Politik
: Konsep Negara Dalam Al-Quran,
membagi para pemikir politik Islam ada periode pembaharuan (purifikasi) menjadi
tiga varian besar, yaitu:
1.
Kelompok Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma
ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang
sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat
manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan
al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.
2.
Kelompok Modernis
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan
kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok
ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
3.
Kelompok Liberal
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan
radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan
mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh
kelompok ini adalah 'Ali>
'Abd al-R>aziq dan T}aha> H}usayn.[15]
Proses bernegara sangatlah penting mengembangkan
demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung
dengan konsep negara Islam. Sebab, Islam akan tampil pada isinya, bukan
kulitnya. Indonesia ,
dengan konsep Pancasila, sebanarnya sudah mengandung nilai-nila keIslaman yang
justru sangat substansial dan egaliter.
Pendapat pemikir abad pertengahan mengenai Negara Islam
Dunia
ilmu pengetahuan pada masa pemerintahan
'Abbasiyah mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama
dari lima ratus
tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para
penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat
melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran
Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan
masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam
beserta gagasannya. Misalnya, Syiha>b al-Di>n Ahmad Ibn Abi> Ra>bi'
kemudian disusul al-Farabi, al-Ma>wardi, al-G}azali, Ibn Taimiyah yang hidup
setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup
pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili
pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum
mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas, yaitu :
1.
pada pendapat mereka tampak jelas
adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar
pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
2.
selain al-Farabi, mereka
mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada
pada zaman mereka masing-masing.[16]
Pendapat beberapa pemikir abad pertengahan mengenai
Negara Islam sebagai berikut :
1.
al-Ma>wardi (Teori Kontrak
Sosial)
Manusia
menurut merupakan mahluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama
lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia
sepakat untuk mendirikan Negara
Adanya
Negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela.
Karena itu al-Ma>wardi
berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di
dalam memelihara agama dan mengatur dunia dan mengesahkannya.[17]
2. Ibn Khaldun (Teori ‘As}abiyah)
‘As}abiyah adalah
rasa cinta/fanatisme seseorang terhadap keturunannya, keluarga dan golongannya.
Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘as}abiyah
(solidaritas/fanatisme) oleh Ibn Khaldun di sini adalah solidaritas yang
didasarkan pada faktor-faktor agama atau faktor duniawi yang legal, bukan
solidaritas yang didasarkan pada sikap sombong, takabur, dan keinginan untuk
bergabung hanya dengan suku yang kuat dan terhormat.[18]
Pemerintahan
syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga
adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf
nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah
lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya,
termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih
baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh
pemimpin muslim yang dzalim.”[20]
Bermula
dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini,
Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak
lain demi tegaknya keadilan universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan
universal adalah suatu yang paralel dan harus berjalan seiring.
Negara
dan agama menurut Ibnu Taimiyah saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang
bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara
pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn,
organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi
mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka
sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Hakikat
pemerintahan menurut Ibn Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan
jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin
hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan
kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan
yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama.
Penguasa dengan demikian, dapat menuntut kepatuhan dari rakyatnya, karena
sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada
perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa
dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita”.[21]
Hanya
saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah
kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah
adalah lembaga h}isbah
yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi
perekonomian dan pasar. Lembaga h}isbah
adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang
perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah
apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip
keadilan sebagai penopang lembaga h}isbah
dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat
datangnya pertolongan Tuhan.
Taimiyah
berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh negara dalam rangka
mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan. Menegakkan hukum adalah
tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban
maupun delik mengerjakan larangan.
Selanjutnya,
Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam
pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental
dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah
membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah).
Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut
sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan
dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Pendapat Pemikir Kontemporer mengenai Negara Islam
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang
menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal,
yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan
pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan
pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan
gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang
melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah
jatuhnya Baghdad
atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M, yaitu :
1.
kemunduran dan kerapuhan dunia Islam
yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan
pembaharuan dan pemurnian.
2.
rongrongan Barat terhadap keutuhan
kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau
penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat
rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan
berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
3.
keunggulan Barat dalam bidang
ilmu, teknologi, dan organisasi.
Jama>l
al-Banna> dalam bukunya Al-Isla>m
Di>n wa Umma Laisa Dina>n wa Daulatan, terj. Runtuhnya
Negara Madina, Islam Kemasyarakatan Versus Islam Kenegaraan menyatakan
bahwa eksprimen pendirian negara Islam selalu gagal di implementasikan. Ini
wajar karena “Negara Madinah” masa Rasulullah adalah negara yang sangat
spesifik sekali yang di dalamnya terdapat karakteristik yang istimewah. Apalagi
motifasi pendirian negara Islam tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam
sesunguhnya, akan tetapi lebih didasarkan pada emosi, perang, kekuasaan,
perebutan sumberdaya alam, dan perbudakan rakyat (hal. 5).
Su’udiyah, Aljazair , Sudan , Turki dan Iran adalah beberapa catatan negara
yang gagal dalam melakukan eksprimen pendirian negara. Bahkan, di dalamnya bisa
dikatakan hampir lebih bobrok dari sistem politik di Eropa dan Amerika. Sebab,
di situ terdapat penindasan, pengekangan kebebasan, penjara, krisis ekonomi,
inflasi, kemiskinan, ketiadaan oposisi politik, memenjara orang-orang yang
dianggap bersebrangan dan mempraktekkan cara-cara penyiksaan.
Fakta sejarah dunia muslim telah mencatat bahwa ketika
konsep negara telah dijadikan ideologi dalam negara, baik secara progresif
maupun tidak, umat harus menerima konsekwensinya. Sejarah juga membuktikan
bahwa perusakan yang dilakukan kekuasaan tidak hanya terhadap akidah Islam,
akan tetapi juga menghancurkan dan merusak semua akidah yang mempunyai
nilai-nilai dan ide-ide yang luhur. Misalnya, bagaimana kekuasaan telah merusak
paham Syiah Al-Alawiyah menjadi paham Syiah Safawy. Bagaimana kekuasaan merusak
agama Kristen dari sebuah agama kasih sayang menjadi sebuah “Institusi
Inkuisisi”. Bagaimana kekuasaan merusak agama Yahudi dan menjadi zionisme. Dan
bagaimana kekuasaan merusak sosialisme dan menjadi pemerintahan totaliter.
Begitu juga yang terjadi di dunia sekuler. Turki
dengan pemerintahan sekulernya, Jerman dengan demokrasi nazinya dan atau
Amerika dengan rasialisme. Semua itu adalah bukti cacat sejarah dalam praktek
politik kenegaraan.
Karena itu, kekuasaan (apapun ideologinya) jika tidak
memihak pada umat dan hanya menjadikannya sebagai alat pengendalian dan
penindasan, maka ia tidak akan mampu membangkitkan misi dakwah dan atau
memperjuangkan penerapan nilai-nilai agama. Karena sesungguhnya negara hadir
untuk memberikan keadilan dan mensejahterakan bagi masyarakatnya. [22]
Pandangan Hizbut Tahrir tentang penegakan hukum dalam Islam
Hizbut
Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“(Dan) hendaklah ada di antara
kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih
kebaikan, yaitu memeluk Islam),
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Hizbut
Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat
parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan
hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan
pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali
Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah
Swt dapat diberlakukan kembali.
Hizbut Tahrir bertujuan mengajak kaum muslimin kembali
hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh
kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’.[23]
M. Shiddiq al-Jawi, salah seorang
tokoh Hizbut Tahrir Indonesia, dalam
tulisannya Keharusan
Mengganti Total Sistem Hukum Sekarang dengan Sistem Hukum Islam, menyatakan bahwa Sistem hukum yang
ada sekarang wajib diganti dengan sistem hukum Islam secara total dan
menyeluruh, mengingat setidaknya dua alasan berikut :
1.
alasan normatif, yaitu sistem hukum
sekarang pada dasarnya bertentangan dengan syariah Islam.
2.
alasan empiris, yaitu sistem hukum yang
sekarang telah gagal melakukan penegakan hukum.
Secara normatif, dapat ditegaskan menerapkan hukum Islam
adalah wajib dan sebaliknya menerapkan hukum-hukum yang bukan hukum Islam
adalah haram. Allah SWT berfirman:
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara
yang mereka perselisihkan,…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 65).
M. Shiddiq al-Jawi menyatakan Tidak
dapat diterima dalih yang menyatakan boleh saja mengambil hukum-hukum selain Islam
(buatan manusia), selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pendapat ini
tidak benar. Sebab “hukum —selain hukum Islam— yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam” faktanya tetap bukanlah hukum Islam. Sebab hukum Islam (al-h}ukm
al- sya>ri’) adalah khit}a>b al- sya>ri’
(seruan Allah SWT) yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Selama sebuah hukum
tidak bersumber dari khit}a>b al- sya>ri’—yang
terwujud dalam Al Kitab dan As Sunnah— maka dari segi apa pun dia bukanlah
hukum Islam, walau pun ia tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jadi, yang
menjadi masalah itu sebenarnya bukanlah suatu hukum itu bertentangan atau tidak
dengan hukum Islam, melainkan apakah suatu hukum itu hukum Islam atau bukan
Lebih lanjut, M. Shiddiq
al-Jawi berpendapat secara empiris, sistem hukum yang ada
telah gagal total dalam penegakan hukum. Indikasinya adalah bahwa hukum hanya
menjerat kaum lemah, tapi gagal menjerat yang kuat. Itu seperti kata pepatah: Laws
are spider webs, they hold the weak and delicate; Who are caught in their
meshes, But are torn in pieces by the rich and powerful (Hukum adalah
sarang laba-laba, ia menjaring yang lemah dan lunak, tetapi jaring sarang itu
akan robek jika ia menjaring “si kaya” dan “penguasa”).
M. Shiddiq al-Jawi memaparkan
bahwa Islam mempunyai konsep yang khas dalam memperbaiki kerusakan atau
penyimpangan yang terjadi, baik pada tataran, individu, institusi, masyarakat,
atau negara. Secara garis besar, ada dua jenis perubahan dalam Islam, yaitu tag}yi>r
(perubahan total), dan is}la>h (perubahan parsial).
Tag}yi>r
adalah perubahan yang bersifat total yang diawali dari asas (ide dasar/aqidah).
Asas ini merupakan ide dasar yang melahirkan berbagai ide cabang. Dalam
individu seorang muslim, juga dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas, adalah
Aqidah Islamiyah. Perubahan total ini tertuju pada kerusakan sesuatu yang
bersifat mendasar dan fatal, sehingga harus diadakan perubahan pada asasnya,
yang berlanjut pada cabang-cabangnya.
Is}la>h
adalah perubahan yang bersifat parsial. Asumsinya, asas yang ada masih
selamat/benar, atau hanya terkotori oleh sesuatu ide asing. Yang mengalami
kerusakan bukan pada asasnya, tetapi cabang-cabangnya. Maka, perubahan parsial
ini hanya tertuju pada aspek cabang, bukan aspek asas.
Akhirnya, M. Shiddiq
al-Jawi sampai pada kesimpulan bahwa memperbaiki sistem
hukum yang ada sekarang tidaklah cukup, tetapi harus diganti secara total
dengan sistem hukum Islam secara keseluruhan mulai dari asasnya. Sebab asas
itulah yang melahirkan sumber-sumber hukum, yang selanjutnya akan melahirkan
undang-undang dasar dan segala macam perundang-undangan lainnya untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Perubahan total sistem hukum ini
akan berjalan seiring dengan perubahan sistem-sistem sosial lainnya yang juga
berubah menjadi sistem yang Islami, seperti lahirnya sistem pemerintahan,
sistem ekonomi, dan sistem pendidikan Islam.[24]
Pemakalah berpendapat bahwa
setiap muslim hendaknya memiliki keinginan untuk menegakkan hukum Islam di
dunia ini, terlepas dari perbedaan pendapat tentang perlu atau tidaknya bentuk
Negara Islam secara formal. Meminjam pendapat Hasan al-Banna, pemakalah lebih
cenderung agar penerapan ajaran islam (termasuk hukum islam) hendaknya dimulai
dari bagian terkecil masyarakat, yaitu masing-masing individu. Bila
masing-masing individu telah baik, maka akan terbentuk keluarga (usrah)
yang baik dan akhirnya terbentuk masyarakat yang baik. Apapun bentuk Negara
dimana masyarakat tinggal, akan terwujudlah hukum islam yang tegak, baik terformulasikan
lewat negara, maupun tidak. Karena sudah menjadi habit di masyarakat. [25]
Kesimpulan
Pembahasan
mengenai daya paksa hukum dalam Islam dan peranan Negara di atas menghasilkan
beberapa kesimpulan, yaitu :
1.
Pelaksanaan Hukum dalam
Islam dilaksanakan tanpa pandang bulu.
Bentuk-bentuk penegakan hukum dalam Islam berupa sanksi yang diberikan atas
pelanggaran yang dilakukan. Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yaitu h}udu>d, jina>ya>t,
ta’zi>r dan mukha>lafa>t.
2. Legislasi hukum sebagai logical extention (konsekuensi
logis) dari penegakan hukum juga terdapat dalam sejarah Islam. Pada tahun 1286
H, kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah yang
terdiri atas 1.851 pasal yang merupakan hukum perdata Turki Usmani berhasil
disusun.
Menurut Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’,
upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat
mulai berkembang di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam.
3. Tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Kemaslahatan
dapat diwujudkan jika memenuhi lima
unsur pokok, yaitu : agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.
4.
Terdapat tiga pandangan mengenai
perlu tidaknya pembentukan Negara Islam, yaitu pandangan yang mewajibkan
pendirian negara Islam yang tunduk pada syariat Islam, pandangan sekuler dengan
memisahkan negara dan agama serta pandangan akan internalisasi nilai-nilai
Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek
bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler. Dari sini dapat
diketahui bahwa kelompok yanguberpendapat wajibnya pendirian negara Islam
berkeyakinan bahwa hukum Islam hanya bisa ditegakkan dengan tegaknya negara
Islam secara formal. Sementara kelompok yang lain berpendapat tidak perlu
pendirian negara Islam secara formal untuk menegakkan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syahbah, Muhammad. al-Hudud fi al-Islam, Kairo : al-Amiriyah,
1974.
Dahlan, Abdul Aziz ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Intermasa, 2001.
Djazuli,
A. , Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu
Syari’ah, Jakarta
: Jakarta Putra Grafika, 2007.
Hourani, Albert Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung : Mizan, 2004.
Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers,
2004.
Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik
Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta :
LKiS, 2001.
Muhammad Syah, Ismail. Filsafat Hukum Islam, .Jakarta : Bumi
Aksara, 1992.
Rais, M. Dhiauddin. Al-Nadhaiyyat al-Siyasah al-Islamiyah,
terj. Abdul Hayyie dkk. Teori Politik Islam. Jakarta , Gema Insani Press, 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : ajaran,
sejarah dan pemikiran. Jakarta
: UI Press, 2003.
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Iilmu Hukum. Jakarta : Prestasi
Pustakarya, 2006.
Kaelan.
Makalah”Relasi Negara dan
Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”.. Yogyakarta , tanggal
1 Juni 2009