Daya Paksa Hukum Dalam Islam Dan Peranan Negara

                       
a.      Latar Belakang Masalah
Norma hukum dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, hukuman mati).
Pelaksanaan norma hukum memerlukan kekuatan agar masyarakat mau mentaatinya. Para pemikir muslim berbeda pendapat terhadap perlu tidaknya sebuah institusi Negara Islam dibentuk agar hukum Islam dapat terlaksana.
Ada beberapa pertanyaan penting yang hingga kini belum terjawab dengan tuntas menyangkut diskursus tentang relasi Islam dan negara. Apakah negara Islam itu benar-benar ada atau tidak. terdapat sekolompok orang yang ingin memperjuangkan syariat Islam dalam bernegara karena dianggap pilihan ideal untuk menjawab segala persoalan dan problem kemanusiaan dan keumatan. Sementara, perjuangan menegakkan syariat dikhawatirkan justru akan menjadikan agama sebagai alat legitimasi politik belaka.

b.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah bentuk-bentuk penegakan hukum (law enforcement) dalam Islam?
2.      Bagaimanakah filosofi penerapan sanksi itu?
3.      Perlukah legislasi hukum Islam sebagai logical extention (konsekuensi logis) dari penegakan hukum Islam?
4.      Bagaimanakah teori hubungan Negara, agama dan hokum serta pandangan para tokoh mengenai hal tersebut?
5.      Apa sajakah tujuan hukum Islam?
6.      Perlukah sebuah institusi Negara Islam dibentuk agar hukum Islam dapat terlaksana dan bagaimana pandangan tokoh-tokoh muslim terhadap teori hubungan Negara, agama dan hukum?

PEMBAHASAN

a.      Penegakan Hukum (law inforcement) dalam Islam
            Salah satu permasalahan penting dalam filsafat hukum yaitu apakah sebabnya negara berhak menghukum seseorang. Hubungan antara hukum dan kekuasaan digambarkan dalam suatu slogan “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan angan , kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman“ (Mochtar Kusumaatmadja).
            Peperzak mengemukakan hubungan antara  hukum dengan kekuasaan dengan dua cara :
1.      konsep sanksi, yaitu bahwa perilaku yang menyimpang memerlukan sanksi bagi penegakan aturan aturan hukum. Penggunaan sansi memerlukan legitimasi yuridis agar menjadi kekerasan yang sah.
2.      Konsep penegakan konstitusi, yaitu termasuk penegakan prosedur yang benar dalam pembinaan hukum mengasumsikan digunakannya kekuatan ( force ).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.[1]
Faktor-faktor penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto meliputi :
1.      Faktor hukumnya sendiri, misalnya undang-undang.
2.      Faktor penegak hukum, yaitu pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.      Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.      Faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
5.      Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. [2]
Pelaksanaan Hukum dalam Islam dilaksanakan  tanpa pandang bulu. Rasulullah Saw. menyebutkan :
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ النَّاسَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
"Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah lantaran bila ada seorang bangsawan (orang kuat) mencuri mereka biarkan, sedangkan bila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum hudud atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di dalam genggaman-Nya, kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad saw. mencuri, pasti akan kupotong tangannya…" (Sahih al-Bukhari 5/192).

Sikap tegas dan tanpa pandang bulu dalam penegakan hukum hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang taqwa kepada Allah SWT. Sebab taqwa ini melahirkan sikap adil (QS. Al-Maidah 8).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
Sikap adil itu diberlakukan tanpa pandang bulu walaupun kepada diri sendiri. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan (QS. An Nisa 135).





Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yaitu: [3]
1.      Hudu>d
Secara bahasa, hudu>d berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal. Secara syar‘i>, hudu>d bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah.
Disebut hudu>d karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan hudu>d dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat hak Allah. Hudu>d hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut:
(1)    zina (pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika ghayr muhshan/belum menikah]);
(2)    homoseksual/liwa>t} (pelaku dibunuh);
(3)    qaz}af/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi (pelaku dicambuk 80 kali);
(4)    minum khamar (pelaku dicambuk 40/80 kali);
(5)    murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);
(6)    membegal/hira>bah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta; dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat.
(7)    memberontak terhadap Negara/bug}a>t (pelaku diperangi dengan perang yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara, bukan untuk dihancurkan.
(8)    Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syaratuntuk dipotong).
2.   Jina>ya>t
Jina>ya>t adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang mewajibkan adanya qis}a>s} (balasan setimpal) atau diya>t (denda).  Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Jenis-jenisnya adalah:
(1)Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan pembunuhan;
(2)Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.
Qis}a>s} diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan sengaja, sementara denda (diya>t) diberlakukan jika penganiayaan dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan korban. Qis}a>s} ataupun diya>t tidak diberlakukan jika korban membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.
3.   Ta‘zi>r
Ta’zi>r secara bahasa bermakna pencegahan (al-man‘u). Secara istilah ta’zi>r adalah hukuman edukatif (ta‘di>b) dengan maksud menakut-nakuti (tanki>f). Sedangkan secara syar‘i>, ta’zi>r bermakna sanksi yang yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada h}ad dan kafa>rat. Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.
Kasus ta‘zi>r secara umum terbagi menjadi:
(1) pelanggaran terhadap kehormatan;
(2) pelanggaran terhadap kemuliaan;
(3) perbuatan yang merusak akal;
(4) pelanggaran terhadap harta;
(5) gangguan keamanan;
(6) subversi;
(7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.
            Sanksi ta‘zi>r dapat berupa:
(1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6) salib; (7) ganti rugi (ghuramah); (8) peyitaan  harta; (9) mengubah bentuk barang; (10) ancaman yang nyata; (11) nasihat dan peringatan; (12) pencabutan sebagain hak kekayaan (hurmân); (13) pencelaan (tawbi>kh); (14) pewartaan (tasyhi>r).
4. Mukha>lafa>t
Mukha>lafa>t adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan negara.  Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.



b.      Filosofi Penerapan Sanksi
Menurut Dr. Mohammad M. Ismail dalam bukunya al-Fikr al-Isla>mi>, Allah telah menetapkan hukum-hukum uqu>ba>t (hukum pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai pencegah dan penebus. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat.[4]
Uqu>ba>t Sebagai Pencegah
Keberadaan uqu>ba>t dalam islam yang berfungsi sebagai telah ditetapkan dalam nash Al Qur’an, sebagaimana firman Allah “Dalam qis{as} (hukuman mati) itu ada kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal” (QS Al Baqarah: 179). Maksud  dari  firman Allah “Dalam qis{as itu ada kehidupan” sebagai akibat penjatuhan hukum qis{as adalah melestarikan kehidupan, dan yang dimaksud bukan berarti melestarikan hidup orang yang dijatuhi hukuman qis{as. Sebab bagi Dia, yang ada adalah kematian, bukan kehidupan. Kehidupan itu hanya bagi orang-orang yang menyaksikan hukuman qis{as tersebut. Pada umumnya, bagi orang-orang yang berakal, tidak akan berani melakukan pembunuhan, jika ia mengetahui apabila membunuh orang lain, maka akibatnya ia akan dibunuh. Demikian pula halnya dengan semua bentuk pencegahan.
Namun demikian hukuman uqubaat tidak boleh dijatuhkan kecuali terhadap para pelaku kejahatan (tindakan kriminal). Sebab, arti keberadaannya sebagai pencegah, adalah mencegah manusia agar tidak melakukan tindakan kriminal.
Maksud dari tindak kriminal, adalah suatu perbuatan yang tercela; dan yang dikatakan tercela, adalah karena syara’ memandangnya sebagai perbuatan tercela. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak kriminal, kecuali jika syara’ telah menentu¬kannya dengan nash sebagai perbuatan tercela, maka barulah dianggap sebagai tindakan kriminal. Tindak kriminal tidak ada dalam fitrah manusia; dan bukan termasuk sesuatu yang berasal dari keturunan (genetis); juga, bukan termasuk penyakit yang diderita oleh manusia (sebagaimana yang dianut ilmu/teori psikologi). Tindak kriminal adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap tata aturan yang mengatur perbuatan manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah, dan dalam dirinya diciptakan pula naluri-naluri dan berbagai kebutuhan jasmani. Naluri-naluri dan kebutuhan jasmani tersebut adalah suatu potensi (yang menggerakkan) semangat hidup dalam diri manusia. Ia berfungsi sebagai penggerak usaha manusia untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Jadi, manusia melakukan semua tindakannya, adalah untuk memuaskan kebutuhan hidupnya. Membiarkan pemuasan terhadap kebutuhan tanpa terikat dengan aturan, tentu akan menyebabkan kekacauan, kerusakan, dan menjurus ke arah pemuasan yang salah dan menyimpang.
Allah SWT telah mengatur tata cara pemuasan naluri-naluri dan kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia, dan mengatur perbuatan manusia tersebut melalui hukum-hukum syara’. Syari’at Islam telah menjelaskan pemecahan terhadap seluruh perbuatan manusia dalam garis-garis besar yang telah ditentukan yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Garis-garis besar tersebut telah dijadikan sebagai sumber hukum untuk setiap kejadian yang muncul dalam kehidupan manusia, sehingga dari garis-garis besar tersebut dapat digali hukum bagi setiap perbuatan manusia. Syari’at Islam telah menetapkan hukum halal dan haram terhadap segala sesuatu yang digunakan oleh manusia.
Oleh karena itu, syara’ telah datang dalam bentuk perintah dan larangan, serta mewajibkan kepada manusia untuk melaksanakan setiap perintah Allah dan menjauhi setiap laranganNya. Jika manusia melanggar perintah dan larangan tersebut, berarti ia telah melakukan perbuatan tercela atau melakukan tindak kriminal; baik pelanggaran terse¬but berupa pengabaian perintah atau mengerjakan hal-hal yang terlarang. Dalam kedua kondisi tersebut, ia dianggap telah melakukan tindak krimi¬nal, sehingga harus dijatuhi hukuman terhadap tindakan tersebut, agar manusia melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Sebab, tanpa adanya hukuman setiap pelanggar, maka perintah dan larangan tersebut tidak akan memiliki arti apa-apa.
Perintah apapun yang menuntut mengerjakan sesuatu, tak akan memiliki nilai jika tak ada balasan bagi pelanggarnya yang mengabaikan perintah tersebut berupa hukuman, baik perintah itu berkenaan dengan tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Syari’at Islam telah menjelaskan, bahwa pelaku tindakan-tindakan kriminal akan mendapat hukuman, di dunia maupun di akhirat. Hukuman di akhirat, akan dijatuhkan oleh Allah terhadap para pelakunya. Allah akan mengazhab mereka pada hari kiamat, sebagaimana dijelaskan dalam firman-firmanNya:
“Orang-orang yang berbuat kejahatan dapat dikenal dari tanda-tandanya. Maka direnggutlah mereka dari ubun-ubun dan kaki-kaki mere¬ka” (QS Ar Rahman: 41)
“Bagi orang yang kafir disediakan neraka jahanam” (QS Al Fathir: 36)
“Begitulah keadaan mereka, dan sesungguhnya bagi orang-orang durhaka, disediakan tempat kembali yang buruk. Yaitu neraka jahanam yang mereka masuk ke dalamnya, maka amat buruklah jahanam itu seba¬gia tempat tinggal” (QS Shaad: 55-56)
“Sungguh kami sediakan bagi orang-orang kafir, rantai-rantai/ belenggu-belenggu dan neraka yang menyala-nyala” (QS Al Insaan: 4).

Allah SWT telah menjelaskan hukaman-hukuman itu secara gamblang dalam Al Qur’an. Siksaan-siksaan itu benar-benar merupakan suatu kenya¬taan, sebab tercantum dalam ayat-ayat yang pasti sumbernya (qat}’iyat al-thubu>t) dan pasti penunjukan maknanya (qat}’iyat al-dala>lah). Sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah:
“Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, supaya mereka diseret ke dalam air yang panas, kemudian ia dibakar dalam api” (QS. Al-Mukmin: 71-72)
“Maka tidak ada seorang teman pun baginya pada hari ini disini, dan tidak ada makanan kecuali darah bercampur nanah, dan tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa” (QS. Al-Ha>qqah: 35-37)
“Disiramkan air mendidih ke atas kepala mereka” (QS. Al-Hajj: 19)
“Sesungguhnya orang-orang jahat berada dalam kesesatan (di dunia) dan berada di neraka (di akhirat), yaitu pada hari dimana mereka diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kapada mereka): ‘Rasa¬kanlah sentuhan api neraka” (QS. Al Qamar: 47-48).
“(Dan golongan kiri itu) ada dalam siksaan angin yang amat panas dan air yang mendidih serta kepungan asap yang hitam” (QS. Al-Wa>qi’ah: 42-43)
“….dan kamu memakan pohon zaqqum, dan perutmu akan penuh dengannya; dan kamu akan meminum air mendidih. Kamu meminumnya seperti onta yang kehausan” (QS Al-Wa>qi’ah: 52-55)
“(Dan) dia mendapatkan hidangan berupa air mendidih dan dilemparkan ke neraka jahim” (QS Al-Wa>qi’ah: 93-94)
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak dan mengelupaskan kulit kepada” (QS Al-Ma’a>rij: 15-16)
“(Allah memerintahkan), Ambil dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya, kemudian lemparkan ke dalam neraka jahim, dan belitlah dia dengan rantai sepanjang tujuh puluh hasta” (QS Al-H>aqqah: 30-33)
“Setiap kulit mereka hangus, maka Kami ganti kulit mereka dengan kulit lain, supaya mereka merasakan azab” (QS An-Nisa>’: 52)

Demikianlah, banyak ayat-ayat yang menjelaskan azab Allah secara pasti dengan gaya bahasa yang merupakan mukjizat. Jika manusia mendengarnya, tentu mereka akan merasa ngeri disertai rasa takut. Mereka akan menganggap enteng semua siksa di dunia dan seluruh kesuli¬tan materiil, tatkala membayangkan bagaimana pedih dan ngerinya azab di akhirat. Mereka takkan berani melanggar perintah dan larangan Allah, kecuali jika mereka melupakan kengerian azab akhirat tersebut.
Demikianlah siksaan yang akan ditimpakan di akhirat.
Adapun siksaan/hukuman di dunia, Allah telah menjelaskannya dalam Al Qur’an dan Hadits, baik secara global maupun terperinci. Dan Allah SWT telah memberikan wewenang pelaksanaan hukuman tersebut kepada negara. Jadi, hukuman dalam Islam yang telah dijelaskan pelaksanaannya terhadap para penjahat di dunia ini, dilaksanakan oleh Imam (khalifah) atau wakilnya (hakim), yaitu dengan menerapkan sanksi-sanksi yang dilakukan oleh Daulah Islamiyah, baik yang berupa had, ta’zir dan atau kafarat (denda). Hukuman yang dijatuhkan oleh daulah di dunia ini akan menggugurkan siksaan di akhirat terhadap si pelaku kejahatan. Sehingga, hukuman uquubaat tersebut bersifat sebagai pencegah dan penebus, yaitu akan mencegah manusia dari perbuatan dosa atau melakukan tindakan kriminal, sekaligus berfungsi sebagai penebus siksaan di akhirat nanti, sehingga gugurlah siksaan itu bagi seorang muslim yang melakukannya.
Sebagai dalil, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, yang mengatakan: ‘Rasulullah saw telah ber¬sabda kepada kami, di sebuah majlis:
“Kalian berbai’at kepadaKu untuk tidak mennyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anamu, tidak membuat-buat dusta yang kalian ada-adakan sendiri, dan tidak bermaksiyat dalam kebaikan. Siap saja menepatinya maka Allah akan menyediakan pahala; dan siapa saja yang melanggarnya kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu akan menjadi penebus baginya. Dan siapa saja melanggarnya kemudian Allah menutupinya (tidak sempat dihukum di dunia), maka urusaan itu diserahkan kepada Allah. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan menyiksanya; dan jika Dia berkehendak, maka akan memaafkannya.” Lalu (‘Ubadah bin Ash Shamit melanjutkan:) kamipun membai’at Rasul saw atas hal-hal tersebut”.

Dari sini jelaslah, bahwa hukuman di dunia yang dijatuhkan oleh Imam (Khali>fah) atau wakilnya (Hakim) terhadap dosa tertentu, akan mengugurkan siksaan di akhirat. Oleh karena itulah banyak kaum muslimin yang datang kepada Rasulullah saw untuk mengakui kejahatan-kejaha¬tan yang mereka lakukan, agar beliau menjatuhkan hukuman atas mereka di dunia, sehingga mereka terbebas dari azab Allah di hari kiamat nanti. Mereka menahan sakitnya hukuman H}ad dan qis}as} di dunia, sebab hal itu jauh lebih ringan dibandingkan azab di akhirat nanti.

c.       Legislasi hukum Islam sebagai Logical Extension (konsekuensi logis) dari Pengamalan Ajaran Islam
Muh}ammad Khud}a>ri> Bek dalam bukunya, Ta>ri>kh at-Tasyri’ al-Isla>my (Sejarah Pembentukan Hukum Islam) membagi Periodisasi Legislasi hukum Islam dalam enam periode, yaitu:
1.
Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul;
2.
Periode para sahabat besar;
3.
Periode sahabat kecil dan thabi’in;
4.
Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H;
5.
Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan
6.
Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan [1217-1265] ) sampai sekarang.   
Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’ dalam bukunya, al-Madkhal al-Fiqhi al-’A>mm  (Pengantar Umum fiqh Islam) membagi Periodisasi Legislasi hukum Islam dalam tujuh periode. Ia setuju dengan pembagian Khudari Bek sampai periode kelima, tetapi ia membagi periode keenam menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Periode sejak pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada tahun 1286 H; dan
2.
Periode sejak munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah sampai sekarang.


Sejak munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah sampai sekarang. Ada tiga ciri pembentukan fiqh Islam pada periode ini, yaitu:
1.      Munculnya Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah sebagai hukum perdata umum yang diambilkan dari fiqh Mazhab Hanafi;
2.      Berkembangnya upaya kodifikasi hukum Islam; dan
3.      Munculnya pemikiran untuk memanfaatkan berbagai pendapat yang ada di seluruh mazhab, sesuai dengan kebutuhan zaman.
Munculnya kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah dilatarbelakangi oleh kesulitan para hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan di pengadilan, sementara kitab-kitab fiqh muncul dari berbagai mazhab dan sering dalam satu masalah terdapat beberapa pendapat. Memilih pendapat terkuat dari berbagai kitab fiqh merupakan kesulitan bagi para hakim di pengadilan, di samping memerlukan waktu yang lama. Oleh sebab itu, pemerintah Turki Usmani berpendapat bahwa harus ada satu kitab fiqh/hukum yang bisa dirujuk dan diterapkan di pengadilan.
Untuk mencapai tujuan ini dibentuklah sebuah panitia kodifikasi hukum perdata. Pada tahun 1286 H panitia ini berhasil menyusun hukum perdata Turki Usmani yang dinamai dengan Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal. Setelah berhasil dengan penyusunan Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah, para penguasa di negeri-negeri Islam yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Turki Usmani mulai pula menyusun kodifikasi hukum secara terbatas, baik bidang perdata, pidana, maupun ketatanegaraan.
Pada abad ke-19 muncul berbagai pemikiran di kalangan ulama dari berbagai negara Islam untuk mengambil pendapat-pendapat dari berbagai mazhab serta menimbang dalil yang paling kuat diantara semua pendapat itu. Pengambilan pendapat dilakukan tidak saja dari mazhab yang empat, tetapi juga dari para sahabat dan thabi’in, dengan syarat bahwa pendapat itu lebih tepat dan sesuai. Bersumber dari berbagai pendapat atas pendapat terkuat dari berbagai mazhab, maka pada tahun 1333 H pemerintah Turki Usmani menyusun kitab hukum keluarga (al-Ah}wa>l al-Syakhs}iyyah) yang merupakan gabungan dari berbagai pendapat mazhab.
Al-Ah}wa>l al-Syakhs}iyyah memuat berbagai pemikiran mazhab yang dianggap lebih sesuai diterapkan. Sejak saat itu bermunculanlah kodifikasi hukum Islam dalam berbagai bidang hukum. Pada tahun 1920 dan 1925 pemerintah Mesir menyusun kitab hukum perdata dan hukum keluarga yang disaring dari pendapat yang ada dalam berbagai kitab fiqh. Dengan demikian, seluruh pendapat dalam mazhab fiqh merupakan suatu kumpulan hukum dan boleh dipilih untuk diterapkan di berbagai daerah sesuai dengan kebutuhan.
Semangat kodifikasi hukum (fiqh) Islam di berbagai negara Islam ikut didorong oleh pengaruh hukum Barat yang mulai merambat ke berbagai dunia Islam. Pengaruh hukum Barat ini menyadarkan ulama untuk merujuk kembali khazanah intelektual mereka dan memilih pendapat mazhab yang tepat diterapkan saat ini.
Lebih jauh lagi, menurut, Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’ di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang. Di banyak negara Islam telah bermunculan hukum keluarga yang diambil dari berbagai pendapat mazhab, seperti di Yordania, Suriah, Sudan, Maroko, Afghanistan, Turki, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia.
‘Ali> H}asaballah, ahli fiqh dari Mesir, mengatakan bahwa upaya penerapan hukum Islam di berbagai neqara Islam semakin tampak. Akan tetapi, pembentukan dan pengembangan hukum Islam tersebut, menurutnya, tidak harus mengacu kepada kitab-kitab fiqh yang ada, tetapi dengan melakukan ijtihad kembali ke sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Menurutnya, ijtihad jama’i (kolektif) harus dikembangkan dengan melibatkan berbagai ulama dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya ulama fiqh, tetapi juga ulama dari disiplin ilmu lainnya, seperti bidang kedokteran dan sosiologi. Dengan demikian, hukum fiqh menjadi lebih akomodatif jika dibandingkan dengan hukum fiqh dalam kitab berbagai mazhab.[5]
Metode penyusunan Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah;
Awalnya dibentuklah panitia yang bertugas untuk mengkodifikasikan ketentuan – ketentuan hukum syara’ mengenai perkara –perkara yang bersifat muamalah atau perkara – perkara perdata tertentu yang banyak terjadi pada masa itu. Pengambilan hukum mengadopsi dari madzhab hanafi yang pada saat itu menjadi madzhab resmi Negara. Dalam pengambilan hukum tidak perlu mengambil pendapat yang paling kuat dari mazhab Hanafi, akan tetapi diperioritaskan pendapat tersebut bisa memenuhi kemaslahatan masyarakat.
Subtansi/isi Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah;
Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah terdiri dari 1851 pasal yang berisikan;
a.      Muqaddimah, tentang definisi ilm fiqh, pembagiannya serta penjelasan kaidah-kaidah fiqhiyah.
b.      Bab – bab muamalah yang dibedakan untuk setiap kitab terdiri dari 16 kitab. yaitu;
1.    Jual beli / buyu>’
2.    Sewa menyewa dan perburuhan/ al-ija>rah
3.    Tanggungan/ al-kafa>lah
4.    Pemindahan hutang atau piutang / al-h}iwa>lah
5.    Gadai/ rahn
6.    Titipan / al-ama>nah
7.    Pemberian / al-hibah
8.    Rampasan dan pengrusakan / al-g}as}b wa al-itla>f
9.    Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa / al-hajr, al-ikra>h, dan al-syuf’ah
10.    Serikat dagang / al-syari>kah
11.    Perwakilan / al-waka>lah
12.    Perdamnaian dan pembebasan hak / al-sulh} wa al-ibra>’
13.    Pengakuan / al-iqra>r
14.    Pembuktian dan sumpah / al-bayyinah wa al-tahlif
15.    Gugatan / al-da’wa>
16.    Peradilan dan pemeriksaan di pengadilan / al-qad}a>’



Implikasi yuridis Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah dalam dunia hukum Islam
Sebagai kitab rujukan sehingga dalam mencantumkan suatu penyelesaian masalah hanya menerapkan satu pendapat saja, tanpa mencantumkan pendapat lain seperti halnya dalam kitab-kitab fiqh pada umumnya. Cara ini adalah cara yang biasa dipakai dalam formulasi undang-undang, karena dalam undang-undang tidak diperkenankan mencantumkan suatu yang tidak harus dilaksanakan. Tempat mencantumkan berbagai pendapat bukanlah undang-undang melainkan kitab-kitab tafsir hukum yang biasa digunakan untuk sumber pelajaran hukum. Karena hal inilah, Majallah al ahkam al adliyah sangat berpengaruh pada perubahan system perundangan pada Negara-negara muslin di dunia.

c.       Tujuan Hukum Islam
Muh}ammad Abu> Zahra dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. kemaslahatan  menurut al-Syat}ibi> adalah sebagai berikut :
هذه الشر يعة... وضعت لتحقيق مقا صد الشا رع فى قيا م مصا لحهم في الدين والدنيا معا
sesungguhnya syari'at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat".

Kemaslahatan dapat diwujudkan jika memenuhi lima unsur pokok, yaitu : agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok ini, al-Syat}ibi membagi kepada tiga tingkat yaitu :
  1. Maqa>s}id al-D}aru>riyya>t (primer)
  2. Maqa>s}id al-H}a>jiyya>t (sekunder)
  3. Maqa>s}id al-Tah}siniya>t (tersier)
Maqa>s}id al-D}aru>riyya>t dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia diatas tersebut. Maqa>s}id al-H}a>jiyya>t dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi, sedangkan Maqa>s}id al-Tah}siniya>t dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.[6]

d.      Teori Hubungan Negara, Agama dan Hukum dan Pemikiran Para Tokoh
Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.[7]
1)      Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)
Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.
Berkaitan dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan. Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.[8]
Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. [9]
Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.[10]
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan. [11]
Tipologi integralistik melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Tokoh-tokoh yang memiliki pandangan integralistik antara lain :
Rasyi>d Rid}a>
Rasyi>d Rid}a> , sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya. Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi.
Sayyid Qutub dan al-Maududi
Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
§  Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
§  Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.
§  Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.
Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.
2)      Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)
Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)
Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu:
§  Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular;
§  Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama;
§  Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibn Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama.
Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.
Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.
Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.
3)      Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.[12]
Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.
Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama (Syari’at).[13]
Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm.


Tesis utama dari buku ini adalah:
1.      Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spritual.
2.      Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk pemerintahan apa pun yang dirasa cocok.
3.      Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
4.      Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian.
1.      Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
2.      Dalam bagia kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam, tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3.      Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa’u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4: 26) yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada mufassir besar al-Qur’an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.

e.       Pandangan tentang perlu tidaknya pendirian Negara Islam[14]
            Filsafat hukum mengemukakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan untuk kedudukanya, serta kekuasaan diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Pembahasan ini juga mendapat perhatian para pemikir Islam. Mereka berbeda pendapat apakah hukum islam itu perlu ditegakkan dengan kekuasaan dalam bingkai Negara islam ataukah tidak.
Filsafat hukum mengemukakan bahwa hak negara menghukum seseorang dapat ditinjau dari teori-teori tentang mengapa orang mentaati hukum.beberapa teori mengenai penyebab seseorang mentaati hukum sebagai berikut :
1.      Teori kedaulatan Tuhan
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa segala hukum adalah hukum ketuhanan. Tuhan sendirilah yang menetapkan hukum, dan pemerintah pemerinta duniawi adalah pesuruh pesuruh kehendak Tuhan “
Hukum dianggap sebagai kehendak Tuhan. Manusia sebagai salah satu ciptaan-Nya wajib patuh pada hukum ketuhanan ini.
2.      Teori perjanjian sosial
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa orang taat dan tunduk pada oleh karena berjanji untuk mentaatinya . Hukum dianggap sebagai kehendak bersama, suatu hasil konsensus  (perjanjian) dari segenap anggota masyarakat.
Dalam kegiatan dan perjanjian sosial, Thomas Hobbes dalam bukunya “de cive“ (1642) dan “leviathan” (1651) pada intinya mengemukakan bahwa :
§  pada mulanya manusia hidup dalam berperang (bella omnium contra omnes) .agar tercipta suasana damai dan tentram.
§  Maka diadakanlah perjanjian antara mereka (Pactum unionis) , disusul dengan perjanjian antara mereka dengan seseorang tertentu (pactum sibjectionis) yang diserahi kekuasaan tersebut bersifat absolut.
Berbeda dengan Hobbes, John Locke dalam bukunya “Le treatises on civil government” berpendapat bahwa pada saat perjanjian diadakan disertakan syarat- syarat pembatasan kekuasaan dan  tidak boleh melanggar HAM.
3.      Teori kedaulatan Negara
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa ditaatinya hukum itu karena negara menghendakinya. Hans kalsen dalam salah satu bukunya “Das problem der souveranitat und die Theorie vas volkerecsht “, Menganggap bahwa orang tunduk pada hukum karena merasa wajib mentaatinya karena hukum itu adalah kehendak negara (wille des staates)
Karena negaralah yang berdaulat, maka hanya negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang mencoba mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Negara yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk pada negara. Adanya hukum karena adanya negara. Hukum sendiri sebenarnya juga kekuasaan. . Hukum merupakan salah satu sumber kekuasaan.. Hukum merupakan pembatas kekuasaan guna menghindari penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power)
4.      Teori kedaulatan hukum
Inti pemikiran teori ini adalah bahwa Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadarn hukum rakyat.
H. Krabbe berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana hukum itu seharusnya.Kesadaran setiap individu kemudahaan oleh krebbe dimaksudkan berasal dari perasaan hukum bagian tersebar dari anggota masyarakat.



5.      Teori kedaulatan sosial
Negara adalah badan yang mewakili tuhan didunia yang memiliki kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hukum didunia . Para pelanggar ketertiban itu perlu memperoleh hukuman agar hukuman agar ketertiban hukum tetap terjamin
6.      Teori perjanjian sosial
Otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak manusia itu sendiri yang menghendaki adanya kedamaian ketentraman dalam masyarakat
Mereka telah memberikan kuasa kepada negara untuk menghukum seseorang yang melanggar ketertiban
Abdul Aziz dalam bukunya Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam menyebutkan tiga pandangan mengenai perlu tidaknya pembentukan Negara Islam, yaitu :
1.      Pandangan yang mewajibkan pendirian negara Islam yang tunduk pada syariat Islam.
Jika diruntut, ideologisasi negara Islam berawal dari krisis legitimasi menyangkut kekuasaan imamah (pemimpin) dan kesatuan ummah (rakyat). Sebagai respons terhadap situasi ini, Ibnu Taimiyah tampil sebagai pemikir muslim yang pertama kali menjadikan penegakan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fikih politik. Ibnu Taymiyah memandang perlu untuk merumuskan syariat Islam yang murni (hlm. 148).
2.      Pandangan sekuler dengan memisahkan negara dan agama.
pandangan ini dimotori oleh ulama-ulama kontemporer semisal Jamaluddin Al-Afghani dan Rashid Rido', sementara di Indonesia, tokoh yang santer menyuarakan pandangan ini adalah almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid). Pandangan Cak Nur ini tersirat dalam slogan kontroversialnya, "Islam Yes, Partai Islam No".
3.      Pandangan akan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler.
Dalam konteks ini, Islam dan tradisi kultur serta konteks kebangsaan sama-sama berperan. Kesemuanya bisa mengentaskan masyarakat yang semula tak bernegara (stateless) menuju masyarakat dengan sebentuk pranata kekuasaan terpusat, disebut dengan chiefdom.
Akhmad Muzakki dalam tulisannya Teologi Politik :  Konsep Negara Dalam Al-Quran, membagi para pemikir politik Islam ada periode pembaharuan (purifikasi) menjadi tiga varian besar, yaitu:
1.      Kelompok Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.
2.      Kelompok Modernis
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
3.      Kelompok Liberal
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali> 'Abd al-R>aziq dan T}aha> H}usayn.[15]
Proses bernegara sangatlah penting  mengembangkan demokrasi politik dengan landasan nilai-nilai Islam tanpa harus menggaung dengan konsep negara Islam. Sebab, Islam akan tampil pada isinya, bukan kulitnya. Indonesia, dengan konsep Pancasila, sebanarnya sudah mengandung nilai-nila keIslaman yang justru sangat substansial dan egaliter.

Pendapat pemikir abad pertengahan mengenai Negara Islam
Dunia ilmu pengetahuan pada masa  pemerintahan 'Abbasiyah mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syiha>b al-Di>n Ahmad Ibn Abi> Ra>bi' kemudian disusul al-Farabi, al-Ma>wardi, al-G}azali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas, yaitu :
1.      pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
2.      selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.[16]
Pendapat beberapa pemikir abad pertengahan mengenai Negara Islam sebagai berikut :
1.      al-Ma>wardi (Teori Kontrak Sosial)
Manusia menurut merupakan mahluk sosial, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara
Adanya Negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu al-Ma>wardi berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengatur dunia dan mengesahkannya.[17]

2.      Ibn Khaldun (Teori ‘As}abiyah)
‘As}abiyah adalah rasa cinta/fanatisme seseorang terhadap keturunannya, keluarga dan golongannya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘as}abiyah (solidaritas/fanatisme) oleh Ibn Khaldun di sini adalah solidaritas yang didasarkan pada faktor-faktor agama atau faktor duniawi yang legal, bukan solidaritas yang didasarkan pada sikap sombong, takabur, dan keinginan untuk bergabung hanya dengan suku yang kuat dan terhormat.[18]
3.      Ibn Taimiyah[19]
Pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim.”[20]
Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal. Dengan demikian syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang paralel dan harus berjalan seiring.
Negara dan agama menurut Ibnu Taimiyah saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Hakikat pemerintahan menurut Ibn Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut  kepatuhan dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita”.[21]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga h}isbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga h}isbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga h}isbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.
Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh negara dalam rangka mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan. Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Pendapat Pemikir Kontemporer mengenai Negara Islam
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M, yaitu :
1.      kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.
2.      rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
3.      keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Jama>l al-Banna> dalam bukunya Al-Isla>m Di>n wa Umma Laisa Dina>n wa Daulatan, terj. Runtuhnya Negara Madina, Islam Kemasyarakatan Versus Islam Kenegaraan menyatakan bahwa eksprimen pendirian negara Islam selalu gagal di implementasikan. Ini wajar karena “Negara Madinah” masa Rasulullah adalah negara yang sangat spesifik sekali yang di dalamnya terdapat karakteristik yang istimewah. Apalagi motifasi pendirian negara Islam tidak didasarkan pada prinsip-prinsip Islam sesunguhnya, akan tetapi lebih didasarkan pada emosi, perang, kekuasaan, perebutan sumberdaya alam, dan perbudakan rakyat (hal. 5).
Su’udiyah, Aljazair, Sudan, Turki dan Iran adalah beberapa catatan negara yang gagal dalam melakukan eksprimen pendirian negara. Bahkan, di dalamnya bisa dikatakan hampir lebih bobrok dari sistem politik di Eropa dan Amerika. Sebab, di situ terdapat penindasan, pengekangan kebebasan, penjara, krisis ekonomi, inflasi, kemiskinan, ketiadaan oposisi politik, memenjara orang-orang yang dianggap bersebrangan dan mempraktekkan cara-cara penyiksaan.
Fakta sejarah dunia muslim telah mencatat bahwa ketika konsep negara telah dijadikan ideologi dalam negara, baik secara progresif maupun tidak, umat harus menerima konsekwensinya. Sejarah juga membuktikan bahwa perusakan yang dilakukan kekuasaan tidak hanya terhadap akidah Islam, akan tetapi juga menghancurkan dan merusak semua akidah yang mempunyai nilai-nilai dan ide-ide yang luhur. Misalnya, bagaimana kekuasaan telah merusak paham Syiah Al-Alawiyah menjadi paham Syiah Safawy. Bagaimana kekuasaan merusak agama Kristen dari sebuah agama kasih sayang menjadi sebuah “Institusi Inkuisisi”. Bagaimana kekuasaan merusak agama Yahudi dan menjadi zionisme. Dan bagaimana kekuasaan merusak sosialisme dan menjadi pemerintahan totaliter.
Begitu juga yang terjadi di dunia sekuler. Turki dengan pemerintahan sekulernya, Jerman dengan demokrasi nazinya dan atau Amerika dengan rasialisme. Semua itu adalah bukti cacat sejarah dalam praktek politik kenegaraan.
Karena itu, kekuasaan (apapun ideologinya) jika tidak memihak pada umat dan hanya menjadikannya sebagai alat pengendalian dan penindasan, maka ia tidak akan mampu membangkitkan misi dakwah dan atau memperjuangkan penerapan nilai-nilai agama. Karena sesungguhnya negara hadir untuk memberikan keadilan dan mensejahterakan bagi masyarakatnya. [22]

Pandangan Hizbut Tahrir tentang penegakan hukum dalam Islam
Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam), memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.
Hizbut Tahrir bertujuan mengajak kaum muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam. Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’.[23]

M. Shiddiq al-Jawi, salah seorang tokoh  Hizbut Tahrir Indonesia, dalam tulisannya Keharusan Mengganti Total Sistem Hukum Sekarang dengan Sistem Hukum Islam, menyatakan bahwa Sistem hukum yang ada sekarang wajib diganti dengan sistem hukum Islam secara total dan menyeluruh, mengingat setidaknya dua alasan berikut :

1.      alasan normatif, yaitu sistem hukum sekarang pada dasarnya bertentangan dengan syariah Islam.

2.      alasan empiris, yaitu sistem hukum yang sekarang telah gagal melakukan penegakan hukum.

Secara normatif, dapat ditegaskan menerapkan hukum Islam adalah wajib dan sebaliknya menerapkan hukum-hukum yang bukan hukum Islam adalah haram. Allah SWT berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan,…” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 65).

M. Shiddiq al-Jawi menyatakan Tidak dapat diterima dalih yang menyatakan boleh saja mengambil hukum-hukum selain Islam (buatan manusia), selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pendapat ini tidak benar. Sebab “hukum —selain hukum Islam— yang tidak bertentangan dengan hukum Islam” faktanya tetap bukanlah hukum Islam. Sebab hukum Islam (al-h}ukm al- sya>ri’) adalah khit}a>b al- sya>ri’ (seruan Allah SWT) yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Selama sebuah hukum tidak bersumber dari khit}a>b al- sya>ri’—yang terwujud dalam Al Kitab dan As Sunnah— maka dari segi apa pun dia bukanlah hukum Islam, walau pun ia tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jadi, yang menjadi masalah itu sebenarnya bukanlah suatu hukum itu bertentangan atau tidak dengan hukum Islam, melainkan apakah suatu hukum itu hukum Islam atau bukan
Lebih lanjut, M. Shiddiq al-Jawi berpendapat secara empiris, sistem hukum yang ada telah gagal total dalam penegakan hukum. Indikasinya adalah bahwa hukum hanya menjerat kaum lemah, tapi gagal menjerat yang kuat. Itu seperti kata pepatah: Laws are spider webs, they hold the weak and delicate; Who are caught in their meshes, But are torn in pieces by the rich and powerful (Hukum adalah sarang laba-laba, ia menjaring yang lemah dan lunak, tetapi jaring sarang itu akan robek jika ia menjaring “si kaya” dan “penguasa”).
M. Shiddiq al-Jawi memaparkan bahwa Islam mempunyai konsep yang khas dalam memperbaiki kerusakan atau penyimpangan yang terjadi, baik pada tataran, individu, institusi, masyarakat, atau negara. Secara garis besar, ada dua jenis perubahan dalam Islam, yaitu tag}yi>r (perubahan total), dan is}la>h (perubahan parsial).
Tag}yi>r adalah perubahan yang bersifat total yang diawali dari asas (ide dasar/aqidah). Asas ini merupakan ide dasar yang melahirkan berbagai ide cabang. Dalam individu seorang muslim, juga dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas, adalah Aqidah Islamiyah. Perubahan total ini tertuju pada kerusakan sesuatu yang bersifat mendasar dan fatal, sehingga harus diadakan perubahan pada asasnya, yang berlanjut pada cabang-cabangnya.
Is}la>h adalah perubahan yang bersifat parsial. Asumsinya, asas yang ada masih selamat/benar, atau hanya terkotori oleh sesuatu ide asing. Yang mengalami kerusakan bukan pada asasnya, tetapi cabang-cabangnya. Maka, perubahan parsial ini hanya tertuju pada aspek cabang, bukan aspek asas.
Akhirnya, M. Shiddiq al-Jawi sampai pada kesimpulan bahwa memperbaiki sistem hukum yang ada sekarang tidaklah cukup, tetapi harus diganti secara total dengan sistem hukum Islam secara keseluruhan mulai dari asasnya. Sebab asas itulah yang melahirkan sumber-sumber hukum, yang selanjutnya akan melahirkan undang-undang dasar dan segala macam perundang-undangan lainnya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Perubahan total sistem hukum ini akan berjalan seiring dengan perubahan sistem-sistem sosial lainnya yang juga berubah menjadi sistem yang Islami, seperti lahirnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, dan sistem pendidikan Islam.[24]
Pemakalah berpendapat bahwa setiap muslim hendaknya memiliki keinginan untuk menegakkan hukum Islam di dunia ini, terlepas dari perbedaan pendapat tentang perlu atau tidaknya bentuk Negara Islam secara formal. Meminjam pendapat Hasan al-Banna, pemakalah lebih cenderung agar penerapan ajaran islam (termasuk hukum islam) hendaknya dimulai dari bagian terkecil masyarakat, yaitu masing-masing individu. Bila masing-masing individu telah baik, maka akan terbentuk keluarga (usrah) yang baik dan akhirnya terbentuk masyarakat yang baik. Apapun bentuk Negara dimana masyarakat tinggal, akan terwujudlah hukum islam yang tegak, baik terformulasikan lewat negara, maupun tidak. Karena sudah menjadi habit di masyarakat. [25]

     Kesimpulan
Pembahasan mengenai daya paksa hukum dalam Islam dan peranan Negara di atas menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1.      Pelaksanaan Hukum dalam Islam dilaksanakan  tanpa pandang bulu. Bentuk-bentuk penegakan hukum dalam Islam berupa sanksi yang diberikan atas pelanggaran yang dilakukan. Jenis-jenis hukuman dalam Islam ada empat, yaitu h}udu>d, jina>ya>t, ta’zi>r dan mukha>lafa>t.
2.      Legislasi hukum sebagai logical extention (konsekuensi logis) dari penegakan hukum juga terdapat dalam sejarah Islam. Pada tahun 1286 H, kodifikasi hukum Islam dalam bentuk Majallah al-Ah}ka>m al-’Adliyyah yang terdiri atas 1.851 pasal yang merupakan hukum perdata Turki Usmani berhasil disusun.
Menurut Must}afa> Ah}mad al-Zarqa>’, upaya penerapan hukum Islam dengan beberapa penyesuaian dengan kondisi setempat mulai berkembang di daerah yang berpenduduk mayoritas Islam.
3.      Tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dapat diwujudkan jika memenuhi lima unsur pokok, yaitu : agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.
4.      Terdapat tiga pandangan mengenai perlu tidaknya pembentukan Negara Islam, yaitu pandangan yang mewajibkan pendirian negara Islam yang tunduk pada syariat Islam, pandangan sekuler dengan memisahkan negara dan agama serta pandangan akan internalisasi nilai-nilai Islam dalam bernegara dengan konsep kombinasi nilai-nilai Islam dalam praktek bernegara tanpa menyematkan negara Islam atau negara sekuler. Dari sini dapat diketahui bahwa kelompok yanguberpendapat wajibnya pendirian negara Islam berkeyakinan bahwa hukum Islam hanya bisa ditegakkan dengan tegaknya negara Islam secara formal. Sementara kelompok yang lain berpendapat tidak perlu pendirian negara Islam secara formal untuk menegakkan hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Syahbah,  Muhammad.  al-Hudud fi al-Islam, Kairo : al-Amiriyah, 1974.
Dahlan, Abdul Aziz ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Intermasa, 2001.
Djazuli, A. , Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syari’ah, Jakarta : Jakarta Putra Grafika, 2007.
Hourani, Albert Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Bandung : Mizan, 2004.
Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2004.
Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Muhammad Syah, Ismail. Filsafat Hukum Islam, .Jakarta : Bumi Aksara, 1992.
Rais, M. Dhiauddin. Al-Nadhaiyyat al-Siyasah al-Islamiyah, terj. Abdul Hayyie dkk. Teori Politik Islam. Jakarta, Gema Insani Press, 2001.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta : UI Press, 2003.
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Iilmu Hukum. Jakarta : Prestasi Pustakarya, 2006.
Kaelan. MakalahRelasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”.. Yogyakarta, tanggal 1 Juni 2009

Postingan terkait: