PENDAHULUAN
Dalam sejarah
penyelenggaraan pendidikan di negara kita, tercatat sebanyak lima kali
perubahan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berbarengan dengan
perubahan strategi belajar mengajar. Kurikulum pertama dirancang pada tahun
1968 yang menekankan pada pentingnya pembinaan moral, budi pekerti, agama,
kecerdasan dan keterampilan, serta fisik yang kuat dan sehat (Sularto, 2005).
Kurikulum 1968 dianggap belum sempurna sekalipun penyusunannya berdasarkan
hasil kajian mendalam terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, pemerintah, para ahli, dan praktisi pendidikan melakukan inovasi
dan uji coba terhadap model desain pembelajaran yang pada akhirnya terakumulasi
dalam perwujudan kurikulum 1975. Kurikulum 1975 pun dipandang belum mampu
mengakomodasi upaya menciptakan manusia Indonesia seutuhnya yang berindikasi
pada pengembangan tiga aspek kogniTIF, afektif, dan psikomotor. Maka
dirancanglah kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan kurikulum sebelumnya yang
menekankan pada Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional di Indonesia tiap kali ada penggantian kurikulum dengan
pendekatannya. Pada tahun 1976 Kurikulum 1975 menggantikan kurikulum
sebelumnya. Kurikulum ini berorientasi pada tujuan dan menggunakan pendekatan
PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang dikembangkan melalui
satuan pelajaran. Pada tahun 1984 Kurikulum 1975 diganti dengan Kurikulum 1984
yang menggunakan pendekatan keterampilan proses yang pelaksanaannya
menggunakan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Khusus untuk pelajaran bahasa
digunakan pendekatan komunikatif dan untuk mendukung pendekatan ini dimasukkan
pokok bahasan pragmatik. Selanjutnya
Kurikulum 1984 diganti dengan Kurikulum 1994 disempurnakan dengan kurikulum
2004 (KBK), serta KTSP yamg berlaku sampai sekarang
Ada dugaan bahwa di
lapangan banyak guru yang kurang paham tentang konsep keterampilan proses
sehingga pelaksanaan pendekatan itu belum seperti yang diharapkan. Cara belajar
siswa aktif pun sesungguhnya bukan barang baru karena salah satu prinsip
didaktik adalah siswa harus aktif.
Seiring dengan
perubahan situasi politik, tarik-menarik kepentingan pun sering terjadi
sehingga mempengaruhi sistem pendidikan yang diselenggarakan di negeri ini.
Setelah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun, implementasi kurikulum
tahun 1984 terasa terlalu membebani guru dan murid mengingat jumlah materi yang
terlalu banyak jika dibandingkan dengan waktu yang tersedia. Dengan demikian,
perubahan kembali dilakukan dengan lahirnya kurikulum 1994 sebagai
penyederhanaan kurikulum 1984. Mutu pendidikan yang semakin terpuruk hingga
berada pada level ke-12 dari 12 negara di Asia seolah mengindikasikan hanya
dengan perubahan kurikulum kemudian keterpurukan itu dapat didongkrak ke arah
yang lebih baik, maka lahirlah kurikulum 2004 yang dikenal dengan (KBK) yang
terus berkembang menjadi KTSP.
Perubahan kurikulum
1968 hingga kurikulum 2004 menunjukkan kuatnya anggapan bahwa kegagalan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia hanya disebabkan oleh kesalahan
rancangan kurikulum. Anggapan seperti itu telah mengabaikan faktor lain yang
juga ikut mempengaruhi terjadinya kegagalan itu sendiri. Beberapa faktor yang
dimaksud adalah kompetensi guru dalam melaksanakan kurikulum, ketidaktersediaan
sarana dan prasarana sekolah, kurangnya keterlibatan stakeholder, tidak
terciptanya kerjasama yang baik antara perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga
guru, pemerintah, dan sekolah, sistem evaluasi dan standarisasi nasional dan
daerah yang tidak akurat, serta ketidakjelasan arah serta model pendidikan yang
diselenggarakan. Dalam artikel sederhana ini penulis tidak bermaksud mengupas
berbagai faktor yang disebutkan di atas, melainkan hanya berkisar pada
tingginya harapan terhadap kurikulum dan model pembelajaran di satu sisi dan
rendahnya kenyataan hasil pendidikan yang kita peroleh di sisi lain berikut
kemungkinan solusi yang ditawarkan guna mengatasi lebarnya gap antara desired
status (status yang ingin dicapai) dan actual status (status yang
sebenarnya).
Pengembangan kurikulum
Tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mengacu pada standar nasional pendidikan
bertujuan untuk menjamin pencapaian tunjuan pendidikakan nasional, standar
nasional pendidikan terdiri atas Standar Isi dan Standar Proses, Kompetensi
Lulusan, Tenaga Kependidikan, sarana dan prasarana. Undang-undang No.20 tahun
2003 tentang SISDIKNAS dan PP No.19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan mengamanatkan KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun
oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada SI, SKL, dan panduan yang disusun
oleh BSNP serta ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU N0. 20 tahun
2003 dan PP No. 19 Tahun 2995.[1]
LANDASAN KURIKULUM
Ada tiga landasan pokok dalam melaksanakan, membina, dan mengembangkan kurikulum. Ketiga
landasan tersebut adalah landasan filosofis, sosial budaya, dan psikologis.
1.
Landasan
Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama
halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran
filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme,
progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun
senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan
mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan
merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan
tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan
pengembangan kurikulum.
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan,
kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan
sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran
absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran
ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai
dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama
halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa
lalu.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu?.
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan
individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses.
Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada
rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping
menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir
kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan
mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu ? Penganut aliran ini
menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Masing-masing aliran
filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu,
dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung
dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan
berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan.
2.
Landasan
Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat
dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku
individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji
tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek
perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang
berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan
ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar.
Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar,
serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan
kurikulum.[2]
Sementara itu, berkenaan
dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi
yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi yang berbasis kompetensi. Dengan
mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi
bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang
merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau
penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Masih dalam konteks
Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek
perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya
terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan
dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan;
(2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta
didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.[3]
3.
Landasan
Sosial-Budaya-IPTEK
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil
pendidikan. Kita maklum bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta
didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk
pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta
nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di
masyarakat.
Peserta didik berasal
dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam
lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan
dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita
tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari
lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat
lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu,
tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi,
karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan
masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur
pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek
penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur
cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut
dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan
perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut
berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan
dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar
masyarakat.
Israel Scheffer (Nana
Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal
peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban
masa yang akan datang.
Pada awalnya, ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun
sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan
teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya
akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu
menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada
jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa
menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil
mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil
menginjakkan kaki di Bulan.
Perkembangan dalam bidang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu,
kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan
sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan
kelangsungan hidup manusia.
Berkenaan dengan pengembangan
Kurikulum Berbasis Kompetensi, Ella Yulaelawati memaparkan kondisi-kondisi
sosiologis yang terjadi saat ini. Dikemukakan, bahwa kurikulum perlu merespons
terhadap perubahan yang terjadi dalam interaksi masyarakat lokal dan masyarakat
global.
Kemajuan cepat dunia
dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah
berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia
sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan
politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan
cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad
pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui
belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan
keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih,
sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan
kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn)
dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang
ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian. Kurikulum juga perlu memuat
isu-isu global, seperti : demokrasi, hak dan kewajiban manusia, isu lingkungan,
dan peningkatan konsensus terhadap nilai-nilai lokal dan universal.
Landasan kurikulum yang
paling mendasar adalah berdasarkan pada kebudayaan bangsa dan berdasarkan
pancasila dan UUD 1945.
A.
STRUKTUR
KURIKULUM MADRASAH TSANAWIYAH ( MTs)
KOMPONEN
|
KELAS DAN
ALOKASI WAKTU
|
||
VII
|
VIII
|
IX
|
|
A. Mata
Pelajaran
|
|||
1. Aqidah
Akhlak
|
2
|
2
|
2
|
2. Al-Quran
Hadist
|
2
|
2
|
2
|
3. Fiqih
|
2
|
2
|
2
|
4. Sejarah
Kebudayaan Islam
|
2
|
2
|
2
|
5. Bahasa
Arab
|
2
|
2
|
2
|
6.
Pendidikan kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
3. Bahasa
Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
4. Bahasa
Inggris
|
4
|
4
|
4
|
5.
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
6. Ilmu
Pengetahuan Alam
|
4
|
4
|
4
|
7. Ilmu
Pengetahuan Sosial
|
4
|
4
|
4
|
8. Seni
Budaya
|
2
|
2
|
2
|
9.Pendidikan
Jasmani, olahraga, dan kesehatan
|
2
|
2
|
2
|
10.
Keterampilan/teknologi informasi
|
2
|
2
|
2
|
11. Muatan
Lokal
|
|||
a. Bahasa Jawa
|
2
|
2
|
2
|
b. Keterampilan PKK
(Tata Boga)
|
1
|
1
|
1
|
c. Praktikum Bahasa
Inggris
|
1
|
1
|
1
|
d. Aplikasi Komputer
|
|||
B.
Pengembangan Diri
|
2*)
|
2*)
|
2*)
|
1. Pelayan Konseling
|
|||
2. Kepramukaan
|
|||
3. Olahraga/ Permainan
|
|||
Jumlah
|
42
|
42
|
42
|
2*). Ekuevalen 2 Jam
Pembelajaran
B.
PELAKSANAAN
a. Waktu Belajar
Kurikulum Madrasah Tsanawiyah (MTs) merupakan sistem Semester (6 Bulan)
b. Sistem Guru
Madrasah Tsanawiyah menggunakan sistem Guru Mata Pelajaran atau guru yang
sesuai dengan bidangnya. Misalnya mata pelajaran Matematika di ajarkan oleh
guru lulusan matematika dan seterusnya.
C.
KURIKULUM 2004
(KBK)
Landasan dalam
kebijakan :
1.
UUD 1945 dan Perubahannya
2.
Tap MPR No. IV/MPR/1999/ tentang GBHN
3.
Undang Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
4.
Undang Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah
5.
PP No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
1.
Prinsip-Prinsip KBK
Dalam Pelayanan
Profesional Kurikulum 2004 “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK) yang dikeluarkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional (2003) dijelaskan bahwa prinsip-prinsip
implementasi meliputi (1) kegiatan belajar mengajar, (2) penilaian berbasis
kelas, dan (3) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah.
1.
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)
Ada dua hal yang perlu ditegaskan sebagai prinsip dasar KBM.
Pertama, mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik sehingga
menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir logis,
kritis, dan kreatif. Kedua, kegiatan belajar mengajar yang berorientasi pada
pemberdayaan peserta didik seperti mengembangkan kreativitas, menciptakan
lingkungan yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan
yang bermuatan nilai, menciptakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar
melalui berbuat (DEPDIKNAS, 2003).
Istilah mengembangkan dan memberdayakan merujuk pada adanya
pengetahuan dasar yang dibawa oleh masing-masing peserta didik untuk
dikembangkan dalam lingkungan kelas. Dalam pengertian lain, tidak ada seorang
anak pun yang datang ke sekolah tanpa membawa pengetahuan yang terkait dengan
mata pelajaran yang hendak dipelajari. Dengan
demikian, proses belajar bukan hanya berlangsung dalam lingkungan sekolah saja
melainkan akan berlanjut ke lingkungan rumah tangga dan masyarakat.
Sebagai seorang pendidik
yang hidup di negara yang sedang berkembang yang sarana belajarnya serba
terbatas, penulis merasa kawatir jika beban yang dimuat dalam kurikulum
berbasis kompetensi terasa jauh lebih berat dibandingkan kurikulum 1994. Dapat
dibayangkan bahwa jumlah mata pelajaran dalam setiap hari yang berkisar antara
tujuh sampai delapan mata pelajaran akan sangat tidak mungkin dapat dipenuhi
oleh peserta didik jika setiap mata pelajaran memiliki tugas dan pekerjaan
rumah sebagai mana yang tercantum dalam kurikulum. Di sisi lain terbatasnya
peralatan belajar seperti komputer dan Internet akan memaksa orang tua untuk
mengeluarkan dana tambahan demi untuk menyewa peralatan tersebut.
Berbeda dengan Indonesia,
negera-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya hampir tidak memiliki
kendala yang berarti dalam mengimplementasikan model pembelajaran
konstruktivisme (agak mirip dengan KBK di Indonesia) karena ditunjang oleh
sarana teknologi yang sangat memadai. Setiap peserta didik dapat dikatakan
memiliki peralatan komputer dan fasilitas Internet yang serba gratis di rumah.
Jumlah mata pelajaran setiap hari yang hanya berkisar antara tiga sampai empat
mata pelajaran dengan alokasi waktu yang cukup panjang (pukul 8.30 hingga pukul
4 sore) serta jumlah peserta didik yang hanya 15-20 yang ditangani oleh 1 orang
guru inti dan 2-3 orang guru bantu ditambah dengan sarana komputer lengkap
dengan fasilitas Internetnya di setiap kelas menyebabkan efektifitas dan
efisiensi kerja guru terasa lebih nyaman. Apa lagi air conditioning, AC, yang
dilengkapi di setiap sudut-sudut ruangan kelas.
Jika rancangan KBM yang diadopsi dari model pembelajaran
konstruktivisme seperti yang dikembangkan di beberapa negara maju saat ini akan
diterapkan di suatu negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia
tanpa mengadaptasi ketersediaan sarana dan prasarana serta adat-istiadat,
budaya, dan tradisi yang dianut secara menyeluruh oleh bangsa Indonesia bukan
tidak mungkin produk pendidikan yang diselenggarakan akan menuai kegagalan yang
lebih parah dari keterpurukan mutu pendidikan sebelumnya.
Bayangkan data dari hasil survai yang dilakukan oleh the
Asian-South Pacific Bureau of Adult Education and the Global Campaign for
Education, menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu menduduki rangking 10 dari
14 negara di kawasan Asia Pasifik. Jika dikalkulasi Indonesia hanya mencapai 42
dari 100 skor maksimal, atau mendapat angka E dalam komitmen kepada pendidikan
dasar. Sedangkan Thailand dan Malaysia menduduki nilai A, yang kemudian diikuti
Srilanka dengan nilai B. Sedangkan Filipina, Cina, Vietnam, Bangladesh,
Kamboja, dan India mendapat nilai antara C dan F. Indonesia lebih baik hanya
jika dibandingkan dengan Nepal, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Pakistan
(Azra. Republika, 7 Juli 2005).
2.
Penilaian
Berbasis Kelas
Ketika kita berbicara masalah penilaian, model standarisasi yang
menjadi patokan dasar penilaian terhadap pencapaian prestasi belajar peserta
didik harus diestimasi berdasarkan tingkat kesulitan isi materi dan proses
pembelajaran. Aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian mencakup kumpulan kerja
peserta didik (portfolio), hasil karya (product), penugasan (project),
unjuk kerja (performance), dan tes tertulis (paper and pencil test).
Oleh sebab itu, model penilaian bukan berdasarkan pada hasil, melainkan
berorientasi pada proses.
Peranan guru menjadi semakin kompleks karena bukan hanya menjadi
fasilitator di dalam ruangan kelas melainkan juga menjadi designer
(perancang) dari sejumlah aspek yang menjadi bahan penilaian tersebut di atas.
Guru dituntut untuk mampu mendesain learning episode (tahapan-tahapan
belajar) yang disusun secara sistematis dan berkelanjutan, membuat agenda
belajar, menyediakan kuis-kuis, menyususun modul, dan merancang rubrik yang
dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan portfolio, product, project,
performance, dan bahkan untuk paper and pencil test.
Tradisi behaviorisme yang mengendepankan hasil dari pada proses
menjadi beban yang sangat berat bagi kebanyakan guru di Indonesia. Perubahan
yang sangat drastis untuk meninggalkan praktek-praktek behaviorisme menuju
konstruktivisme yang berorientasi kepada proses seperti yang diimplementasikan
melalui KBK masih sangat sulit diwujudkan. Bukan hanya itu, learning style
(gaya belajar) peserta didik di negara kita yang lebih suka mendengar dan
melihat menjadi hambatan tersendiri jika dihadapkan pada budaya membaca dan
tradisi kerja yang sistematis dan kontinuitas. Tradisi peserta didik yang
cenderung membantu kerja kerabat, saudara, dan orang tua di rumah setelah
pulang dari sekolah juga akan menghambat tingkat keberhasilan mereka. Walaupun
demikian, rasa optimisme untuk mengubah cara berpikir, cara pandang, dan cara
kerja putra-putri bangsa Indonesia harus dilakukan sekarang ini demi untuk
meraih kejayaan di masa yang akan datang.
Selanjutnya, prinsip dasar penilaian berbasis kelas dapat diamati
melalui keikutsertaan peserta didik dalam memberikan penilaian terhadap teman
dalam satu kelompok (peer evaluation). Mereka akan dimintai penilaian
terhadap kontribusi, kerja sama, serta tanggung jawab yang diberikan oleh
masing-masing peserta didik dalam suatu kelompok. Hasil penilaian itu akan
dibagi dengan hasil penilaian dari aspek lain oleh baik guru kelas maupun guru
bantu (jika ada). Peserta didik pun berhak untuk memberikan penilaian terhadap
cara kerja, pengetahuan, dan sikap guru selama berlangsungnya proses belajar
mengajar. Penilaian tersebut dapat dijadikan dasar oleh kepala sekolah untuk
membina kinerja guru dalam melakasanakan tugas fungsional mereka sebagai
pendidik.
Objektivitas penilaian peserta didik baik terhadap teman sekelompok
mereka maupun terhadap guru mata pelajaran dapat dipastikan masih sangat sulit
diwujudkan mengingat tradisi kasih-mengasihani masih sangat kental dalam
prilaku keseharian kita. Akibatnya, rekayasa penilaian sangat mungkin terjadi
apalagi antara sesama peserta didik dan bahkan mungkin antara pendidik dan
peserta didik.
3.
Pengelolaan
Kurikulum Berbasis Sekolah
Prinsip dasar pengelolaan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) dapat
diterjemahkan dari istilah yang lebih populer digunakan seperti “kesatuan dalam
kebijaksanaan dan keberagaman dalam pelaksanaan”. Perangkat dan dokumen yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah DEPDIKNAS dapat digunakan oleh
seluruh sekolah pada seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia menunjukkan
adanya kesatuan dalam kebijaksanaan. Sedangkan keberagaman dalam pelaksanaan
dapat menjangkau keberagaman silabus, modul, learning episode, rubrik, agenda
pembelajaran, dan bahkan berbagai pendekatan dalam menyampaikan materi
pembelajaran.
KBK, dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya telah mengangkat
peranan sekolah lebih besar dengan memberikan kewenangan sepenuhnya untuk
mengembangkan ilmu dan keterampilan yang dimiliki peserta didik sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut dalam lingkungan sekolah tersebut. Kewenangan ini boleh
jadi akan memupuk dan memberi peluang kepada sekolah baik pendidik (guru),
administrator, dan kepala sekolah untuk merancang dan mengembangankan model
pembelajaran yang inovatif dan reformatif. Hal ini dapat terwujud jika sumber
daya manusia yang mengelola sekolah itu lebih kompeten dalam bidang mereka
masing-masing. Jika tidak, sekolah pun
akan tertinggal jauh dari apa yang kita harapkan bersama.
Hasil survei dari Human
Development Index (HDI) menunjukkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP,
43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan
nasional. Lebih berbahaya lagi jika dilihat dari hasil temuan yang menunjukkan
17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka Toharuddin (Oktober
2005). Seandainya setiap sekolah di Indonesia memiliki angka kualitas guru
rata-rata seperti disebutkan di atas, maka perubahan kurikulum hampir tidak
akan menyentuh keinginan besar dari pemerintah dan para perancang kurikulum itu
sebelum dilakukan pembenahan secara fundamental terhadap kualitas guru pada
setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah.
2. Beberapa Inovasi dalam
kurikulum KBK dengan Kurikulum Sebelumnya.
No.
|
Kurikulum
1994 dan sebelumnya
|
KBK/KTSP
|
1
2
3
.
4.
5
6
7
8
9.
|
Menggunakan pendekatan
penguasaan ilmu, isi, berupa pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analsisi
sintetis, dan evaluasi yang diambil dari bidang-bidang ilmu pengetahuan.
Standar akademis yang
diterapkan seragam bagi setiap peserta didik.
Berbasis konten dan transfer
of knowledge.
Bersifat Sentralistik.
Materi yang
dikembangkan tidak melihat potensi sekolah serta kebutuhan masyarakat.
Guru merupakan
kurikulum yang menentukan apa yang terjadi dalam kelas.
Pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dikembangkan melalui latihan seperti mengerjakan
sosial.
Pembelajaran dilakukan
di dalam kelas.
Evaluasi nasional yang
tidak dapat menyentuh aspek-aspek kepribadian peserta didik.
|
-
Menggunaklan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pemahaman
kemampuan atau kompetensi tertentu di sekolah yang berakaiatan dengan yang
ada di masyarakat
-
Standar kompetensi yang memperhatiakn perbedaan individu baik kemampuan,
kecepatan belajar, maupun konteks sosial budaya
-
Berbasis Kompetensi
-
Desentralistik
-
Sekolah diberi kekuasaan menyusun silabus sesuai dengan potensi sekolah
-
Guru sebagi Fasilitator
-
Dikembangkan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi
individual
-
Pembelajaran dilakukan mendorong terjalinnya kerjasama antara sekolah,
masyarakat dan dunia kerja
-
Evaluasi berbasis kelas yang menekankan pada proses dan hasil belajar
|
3.
Solusi Alternatif terhadap pelaksanaan kurikulum masa kini dan yang akan
datang
Penulis menggunakan
istilah solusi alternatif karena boleh jadi pemerintah, pemikir, dan sudah menyiapkan sejumlah solusi terhadap kemungkinan berbagai
persoalan yang timbul setelah melakukan uji coba terhadap pelaksanaan KTSP di
beberapa sekolah di Indonesia. Walaupun
demikian, apa yang ditawarkan dalam tulisan ini mudah-mudahan dapat dijadikan
bahan pertimbangan demi menata dan mengembangkan sistem pendidikan di negara
kita yang lebih bermutu dan bermartabat.
1.
Perlunya mengadaptasi dan bukan mengadopsi kegiatan belajar mengajar dari
barat.
2.
Sistem perekrutan dan pemberdayaan
guru hendaknya dilakukan secara merata dan berkesimbungan
Jika dilihat dari hasil
rumusan DEPDIKNAS dalam Pelayanan Profesional Kurikulum 2004, keterlibatan
seluruh unsur stakeholder pendidikan seperti institusi pendidikan, institusi
pembinaan guru, pusat kurikulum dan perbukuan, sekolah, orang tua, masyarakat,
LSM, dewan pendidikan komite sekolah, dan perguruan tinggi kelompok asosiasi
sangat diperlukan. Hanya saja, terkesan stakeholder yang disebutkan di atas
hanyalah sebatas nama tanpa peran. Seharusnya gambaran wilayah kerja dan agenda
kegiatan seluruh unsur yang terkait betul-betul diwujudkan agar tidak terjadi overlapping
yang mengganggu pelaksanaan kurikulum itu sendiri.
Pengalaman di masa lalu
menunjukkan bahwa perguruan tinggi (IKIP, dan Fakultas Pendidikan yang ada di
berbagai universitas) sebagai pencetak tenaga pengajar, jangankan dilibatkan
dalam merumuskan berbagai langkah yang diambil sedangkan sosialisasi kurikulum
pun tidak sampai ke tangan mereka. Ada pun keterlibatan pihak perguruan tinggi
hanya diwakili secara personal oleh pakar-pakar tertentu dan tidak melembaga
secara substantif. Akibatnya, kepincangan pun terjadi. Sekolah jalan sendiri,
pemerintah melakukan tambal sulam, dan perguruan tinggi merancang pembelajaran
yang tidak berorientasi kepada kebutuhan sesuai kurikulum yang berlaku. Jangan
heran, jika alumni sebuah fakultas pendidikan dari perguruan tinggi mengenal
kurikulum setelah berkecimpung dengan sekolah di mana mereka berada.
PENUTUP
Berbicara
mengenai kurikulum berbagai pihak menganalsis dan melihat perlunya diterapkan
kurikulum yang dapat membekali perserta didik dengan berbagai kemampuan sesuai
dengan tuntuan kemampuan jaman dan reformasi yang sedang bergulir, guna
menjawab tantangan arus globalisasi berkontribusi pada pembangunan masyarakat
dan kesejahteraan sosial, lentur dan adaptif terhadap berbagai perubahan. Dalam
hal ini kurikulum yang berlaku diharapkan mampu memecahkan berbagai persoalan
bangsa khususnya dalam bidang pendidikan dengan mempersiapkan peserta didik
melalui perencanaan pelaksanaan dan evaluasi terahadap sistem pendidikan secara
efektif dan efisien dan berhasil guna
Harapan
penulis berdasarkan sejarah kurikulum yang telah kita bahas di muka dengan
segala solusi alternatifnya, diharapkan mampu membawa pendidikan kita kearah
yang lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan perseta didik dan perkembangan
jaman serta kemajuan teknologi, sehingga pendidikan di indonesia mampu
diperhitungkan dikancah dunia
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Penyempurnaan/Penyesuaian
Kurikulum 1994 (Suplemen GBPP) Satuan Pendidikan SLPT/ MTs
Mulyasa, 2002. Kurikulum
Berbasis Kompetensi: Konsep, karakteristik, dan Implementasi. Bandung:
Rosdakarya
PP No. 19
Tahun 2005. Tentang Standar Nasional Pendidikan
Permendiknas No. 22 tahun
2006. Standar Isi
Permendiknas No. 23 tahun
2006. Standar Kompetensi Lulusan
Suparman, 2006. Model
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) SLTP dan MTs. Solo: Tiga
Serangkai
Undang-Undang
Nomor 20
tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional