PENDAHULUAN
Kajian tentang atribusi telah banyak dilakukan oleh para ahli. Mereka
mengatakan setiap individu pada dasarnya berusaha untuk mengerti tingkah laku
orang lain dengan mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi sampai
mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang sebab-sebab orang lain
bertingkah laku tertentu. Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk
mencari sebab kenapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan kita
melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia, kita ingin
mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian. Terdapat dua fokus
perhatian dalam mencari penyebab suatu kejadian yakni sesuatu di dalam diri
atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian karena
sifat dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar dirinya,
dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya uang untuk
membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita (individu)
melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena
sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita (individu) tersebut
melakukan atribusi internal (internal attribution). Tetapi jika kita (individu)
melihat atau menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dikarenakan oleh tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri untuk beli obat)
maka kita melakukan atribusi eksternal (external attribution)[1].
Beragam teori dan pendapat dari tokoh psikologi yang mengamati
kondisi jiwa manusia terhadap respon yang diterima dan diamati kemudian
tersimpulkan pada sebuah aksi dan diwujudkan dalam proses belajar. Salah satu
teori yang digunakan dalam proses belajar adalah teori atribusi yang diharapkan
dapat menjelaskan penyebab dari suatu kejadian. Memahami sebuah kondisi
emosional atau kejiwaan seseorang dapat bermanfaat dalam beberapa hal. Akan
tetapi hal ini hanya langkah pertama dalam pembahasan psikologi. Biasanya kita
ingin memahami hal tersebut lebih jauh agar dapat mengetahui sifat-sifat
individu yang bersifat tetap dan mengetahui penyebab di balik perilaku mereka.
Dengan kata lain, kita hanya sekedar ingin mengetahui bagaimana seseorang
berbuat, namun lebih jauh lagi kita ingin mengetahui mengapa mereka berbuat
demikian. Penyebab dari suatu kejadian proses dimana kita mencari informasi ini
disebut dengan atribusi (attribution). Karena atribusi adalah proses yang
kompleks, sederetan teori telah lahir demi menjelaskan berbagai proses lainnya[2].
Salah seorang pakar teori ini adalah Bernard Weiner. Makalah ini akan mengupas
tentang asas motivasi belajar, asas-asas pembelajaran, aplikasi teori atribusi
dalam pembelajaran.
PEMBAHASAN
A.
ASAS MOTIVASI DALAM BELAJAR
Mengapa beberapa siswa ketika
menghadapi tugas yang menantang, bekerja sangat keras untuk
menyelesaikan setiap detail dari tugas tersebut dan mengapa beberapa siswa yang
lainnya menyerah tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun untuk menyelesaikan tugas
tersebut? Apa sajakah yang memotivasi siswa untuk berhasrat dalam belajar dan
menyelesaikan tugas-tugas mereka? Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang akan
kita diskusikan dalam makalah ini. Secara khusus, kita akan membahas tiga
jawaban yang mungkin menjawab pertanyaan di atas tentang hal-hal apakah yang
memotivasi siswa untuk belajar dengan keras.
Ketiga jawaban tersebut kita kenal sebagai tiga asas motivasi dalam
belajar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
asas adalah hukum dasar; suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar.
Sedangkan prinsip adalah asas atau dasar yang dijadikan pokok
berpikir, bertindak, dan sebagainya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa asas
dan prinsip sebenarnya adalah sama, karena menjadi pokok dasar baik bertindak
maupun berpikir.
Hukum dasar atau asas yang dibahas
dalam artikel ini adalah hukum dasar atas asas terkait motivasi dalam belajar.
Sebenarnya ada banyak teori terkait dengan asas motivasi ini, namun makalah ini
akan membahas beberapa beberapa saja yang dianggap memiliki pengaruh besar
dalam dunia pendidikan utamanya dalam teori belajar.
Asas pertama[3]
adalah siswa mendapatkan motovasi dari apa yang disebut sebagai interest (kesenanagan)
mereka. Asas ini dikenal sebagai based interest motivation. Siswa
akan bekerja/belajar sangat keras ketika mereka menjumpai nilai atau keuntungan
dari apa yang mereka kerjakan, yaitu ketika mereka menyadari bahwa
bekerja/belajar sangat penting dan menyenangkan
bagi mereka
Asas kedua adalah siswa mendapatkan motivasi dari apa yang disebut
kepercayaan diri. Asas ini dikenal sebagai sebagai based on self-efficacy
motivation. Siswa akan bekerja dan belajar dengan keras jika mereka
menyadari bahwa mereka mampu mengerjakan pekerjaan atau kegiatan belajar di
sekolah. Dengan kata lain, siswa akan menjadi sangatberkembang ketika mereka
memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk mengerjakan tugas-tugas di sekolah.
Asas ketiga adalah siswa mendapat motivasi dari apa yang disebut
atribusi (inferensi terhadap penyebab). Asas ini dikenal sebagai sebagai based
on attribution motivation. Siswa akan bekerja sangat keras dalam
kegiatan belajar mereka jika mereka meyakini bahwa usaha mereka akan terbayar,
jika mereka mengatribusikan penyebab kesuksesan dan kegagalan adalah kerja keras mereka.
Dari tiga asas di atas. Makalah ini akan banyak menyinggung asas
yang ketiga yaitu asas motivasi dengan dasar atribusi.
B.
ASAS PEMBELAJARAN
Teori asas motivasi belajar di atas sangat berhubungan dengan teori
asas pembelajaran. Dalam teori asas pembelajaran, disebutkan setidaknya delapan
asas yang berperan penting dalam suksesnya kegiatan pembelajaran[4].
Salah satunya adalah teori asas motivasi.
Asas pertama, adalah asas peragaan. Peragaan ialah suatu cara yang
dilakukan oleh guru dengan maksud memberikan kejelasan secara realita terhadap
pesan yang disampaikan sehingga dapat dimengerti dan dipahami oleh para siswa.
Dengan peragaan diharapkan proses pengajaran terhindar dari verbalisme, yaitu
siswa hanya tahu kata-kata yang diucapkan oleh guru tetapi tidak mengerti
maksudnya. Untuk itu sangat diperlukan peragaan dalam pengajaran terutama
terhadap siswa pada tingkat dasar. Peragaan meliputi semua pekerjaan
indera yang bertujuan untuk mencapai pengertian tentang sesuatu hal secara
tepat. Agar peragaan berkesan secara nyata, anak tidak hanya mengamati benda
atau model yang diperagakan terbatas pada luarnya saja, tetapi harus mencapai
berbagai segi, dianalisis, disusun, dan dibanding-bandingkan untuk memperoleh
gambaran yang jelas dan lengkap.
Asas kedua adalah Minat dan
Perhatian. Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar, tanpa
adanya perhatian tidak mungkin akan terjadi belajar, perhatian akan timbul dari
siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhanya. Minat dan perhatian
merupakan gejala jiwa yang selalu berkaitan, seorang siswa yang berminat dalam
belajar akan timbul perhatiannya terhadap pelajaran tersebut. Akan tetapi
terkadang perhatian siswa akan hilang jika tidak ada minat dalam pelajaran yang
diajarkan. Oleh karena itu diperlukan kecakapan seorang guru untuk
membangkitkan minat dan perhatian peserta didik.
Asas ketiga adalah Motivasi. Motivasi
bersal dari bahasa latin “movere”, yang berarti menggerakkan. Berdasarkan
pengertian ini, makna motivasi menjadi berkembang. Wlodkowski (1985)
menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan
perilaku tertentu, dan yang memberi arah serta ketahanan pada tingkah laku
tersebut. Sedangkan Imron (1996) menjelaskan, bahwa motivasi berasal dari
bahasa inggris motivation, yang berarti dorongan pengalasan dan motivasi.
Motivasi adalah dorongan bagi seseorang untuk kekuatan melakukan sesuatu dengan
penuh semangat, yang berasal dari diri sendiri disebut motivasi instrinsik,
kemudian dorongan dari luar disebut motivasi ekstrinsik. Motivasi inilah yang
akan banyak diungkap pada bagian selanjutnya makalah ini.
Asas keempat adalah apersepsi. Apersepsi
berasal dari kata apperception (Inggris), yang berarti menafsirkan buah
pikiran, menyatukan dan mengasimilasikan suatu pengamatan dengan pengalaman
yang telah dimiliki dan dengan demikian memahami dan menafsirkanya. Ahli
psikologi mendenifisikan apersepsi adalah bersatunya memori yang lama dengan
yang baru pada saat tertentu.
Asas kelima adalah korelasi dan konsentrasi.
Yang dimaksud dengan korelasi disini adalah hubungan antara mata pelajaran yang
satu dengan yang lainnya yang berfungsi untuk menguatkan pengetahuan yang
dimiliki oleh siswa, juga dapat menimbulkan minat dan perhatian siswa.
Hendaknya guru juga menghubungkan pelajaran dengan realita sehari-hari.
Asas keenam adalah kooperatif. Model
pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis
kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang dipimpin oleh guru atau diarahkan
oleh guru. Kooperatif menggambarkan makna yang lebih luas, yaitu menggambarkan
keseluruhan proses sosial dalam belajar dan mencangkup pula pengertian
kolaborasi. Adapun pengelompokan kelompok itu biasanya didasarkan pada : (1)
adanya alat pelajaran yang tidak mencukupi jumlahnya, (2) kemampuan belajar
siswa, (3) memperbesar partisipasi siswa, dan (4) pembagian tugas dan kerja
sama. Pembelajaran kooperatif merupakan proses atau metode yang tidak hanya
mengutamakan tercapainya kualitas siswa yang kognitif melainkan untuk
mengembangkan kemampuan lainnya seperti kesadaran siswa menyadari hakikat
dirinya sendiri, hakikat hubungannya dengan orang lain dan lingkungan.
Asas ketujuh adalah Individualisme. Asas
individualitas pada hakikatnya bukan lawan dari kooperasi. Asas ini
dilatarbelakangi oleh perbedaan siswa baik dalam menerima, memahami,
menghayati, menganalisis dan kecepatan mereka menerima pelajaran yang
disampaikan oleh seorang guru. Di samping itu para siswa juga berbeda dalam
bentuk fisik ataupun mental , oleh karena itu dalam proses belajar mengajar
guru menyesuaikan kondisi siswa dengan materi yang diajarkan. Untuk
menyesuaikan kondisi siswa dapat dilakukan pengelompokan, misalkan saja menjadi
tiga, kelompok A, B dan C. Guru membuat pengelompokan siswa atas dasar
kemampuan yang relatif sama, menerapakan cara belajar tuntas, mengembangkan
proses belajar mandiri.
Asas kedelapan adalah evaluasi. Yang
dimaksud evaluasi di sini adalah penilaian guru terhadap proses kegiatan
belajar-mengajar. Penilaian tersebut untuk mengetahui sejauh mana tujuan
pengajaran sudah tercapai, selain itu pula untuk mengetahui hambatan-hambatan
yang terjadi. Evaluasi tidak hanya dilaksanakan pada akhir semester saja tetapi
setiap jam juga bisa karena akan berguna untuk mengetahui kemajuan hasil
belajar. Pelaksanaan evaluasi berkenaan dengan dua aspek yaitu aspek guru dan
aspek belajar siswa.
C. MOTIVASI BERDASARKAN AFIKASI
Self efikasi
adalah sejenis pengharapan personal atau penilaian terhadap kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Shrunk (1991) mendefinisikan self
efikasi sebagai penilaian individual terhadap kemampuan dirinya untuk
menunaikan tugas-tugas yang dibebankan padanya. Bandura (1986) mendefinisikan
self efikasi sebagai penilaian masyarakat terhadap kemampuannya untuk
mengorganisasi dan mengeksekusi berbagai bentuk aksi yang dibutuhkan untuk
mencapai beberapa tipe penampilan yang diinginkan.
Self efikasi tidak
sama seperti konsep self (Marsh & Shavelson, 1985). Konsep self adalah
pandangan umum terhadap diri sendiri yang melintasi domain-domain; self efikasi
adalah pandangan spesifik dari kapasitas seseorang dalam domain-domain yang
melingkarinya. Konsep-self terdiri dari banyak dimensi, salah satunya adalah
kepercayaan diri, yang hampir mirip dengan self efikasi. Seperti contoh “ Saya
bukan orang yang pandai” berhubungan dengan konsep-self, sementara “saya yakin
bahwa saya bisa dapat nilai 90 untuk mata pelajaran matematika” berhubungan
dengan self-sefikasi
Mengapa self
efikasi penting? Siswa yang memiliki self efikasi dapat memainkan peranan yang
penting dalam peningkatan akadenik siswa. Schunk (1991) mengklaim bahwa “ada
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa self-efikasi mampu memprediksikan.
Peningkatan akademik.” Bandura (1977) berpendapat bahwa self efikasi
mempengaruhi jumlah dari usaha serta ketahanan seseorang yang ditujukan untuk
menyelesaikan tugas orang tersebut.
Gambar di bawah
ini merangkum teori self-efikasi yang diadaptasi dari Schunk (1989, 1991).
Dalam beberapa situasi pembelajaran, siswa bersinggungan dengan sense efikasi
ang didasarkan pada kemampuan alami mereka serta pengalaman dalam tugas yang
sama. Self efikasi siswa mempengaruhi apa yang mereka lakukan, seberapa keras
mereka berusaha, dan seberapa lama mereka dapat bertahan pada tugas tersebut.
Inilah yang oleh Schunk disebut sebagai “variable persinggungan tugas”
Teori self efikasi
memprediksikan bahwa siswa bekerja lebih keras dan lebih lama ketika mereka
menilai diri mereka. Ada dua prediksi spesifik yang dapat dilakukan oleh
self-efikasi; strategi belajar dan peningkatan belajar.
Prediksi pertama
dari teori self-efikasi menyebutkan bahwa siswa dengan semangat self-efikasi
terhadap tugas yang diberikan pada mereka ternyata terkait dengan cara mereka
untuk menyelesaikan tugas belajar, yaitu semakin percaya diri mereka terhadap
kapasitas belajar, semakin mereka menjadi aktif dalam proses pembelajaran.
Prediksi kedua terkait dengan perubahan pencapaian belajar mereka. Berdasarkan
teori ini, ketika self-efikasi ini dapat dimunculkan, penampilan akademik
mereka juga meningkat.
D. TEORI ATRIBUSI BERNARD WEINER
Bernard Weiner lahir pada tanggal 28 September 1935[5].
Ia dikenal sebagai seorang
psikolog sosial yang mengembangkan teori bentuk atribusi yang menjelaskan
entailment emosi dan motivasi terhadap keberhasilan dan kegagalan akademis.
Bernard Weiner mulai tertarik pada bidang atribusi setelah terlebih dahulu
mempelajari motivasi prestasi. Ia menggunakan teori atribusi untuk
mengidentifikasi perbedaan kebutuhan prestasi masyarakat dan kemudian beralih
ke studi individu tentang masalah yang dihadapi orang-orang ketika mereka
berpikir akan keberhasilan dan kegagalan mereka sendiri. Salah satu muridnya,
Linda Beckman adalah seseorang yang memberikan ide topik ini, dan sejak saat
itu, Bernard Weiner melakukan penelitian lebih lanjut terhadap proses kognitif
yang memiliki pengaruh terhadap motivasi[6].
Teori yang dikembangkan oleh Bernard
Weiner (1979,1980) menghubungkan dua minat utama dalam teori psikologi:
motivasi dan penelitian atribusi. Teori–teori yang mula–mula mengenai motivasi,
seperti halnya teori belajar, dikembangkan dari pandangan stimulus–respons yang
banyak dibahas pada pertengahan dasawarsa 1930-an. Konstruksi motivasi yang
berkembang pada saat itu adalah konsep dorongan (drive).
Terdapat tiga arah penelitian
menurut Weiner (1977), antara lain: (1) penggolongan penyebab
tingkah-laku menurut presepsi, (2) hukum umum yang membuahkan informasi
anteseden dengan struktur kognitif seseorang, (3) perkembangan persambungan antara
inferensi penyebab dan tingkah-laku kasat mata yang muncul berikutnya.
Perkembangan awal teori atribusi
Weiner bermula dengan pengenalan empat penyebab pokok yang khas dipilih
individu-individu untuk menjelaskan dicapainya keberhasilan dan dialaminya
kegagalan dan hubungan konseptual antara akibat–akibat, atau hasil-hasil kerja
yang dimilikinya dan tingkah-laku yang terjadi berikutnya. Ada empat penyebab
pokok yang menjadi inti dari teori Wainer, yaitu: (1) Ability yakni kemampuan, (2)
effort yakni usaha, (3) task difficulty yakni kesulitan tugas, dan (4) luck
yakni kemujuran/keberuntungan. yang kemudian dikenali sebagai penyebab
pokok atau berperan reaksi afektif sebagai motivator tingkah-laku[7].
a. Asumsi Dasar
Asumsi
dasar teori ini ada hubunganya dengan dua konsep umum. Konsep–konsep itu ialah
hakikat interensi penyebab (atribusi) dan hubungan antara infrensi-infrensi itu
dan tingkah-laku.
Suatu ciri yang penting dari
infrensi penyebab ialah hal itu terjadi dalam suatu ranah yang luas tentang
kegiatan manusia. Atribusi dikembangkan dalam ranah afilatif dan ranah
kekuasaan. Contohnya: “Mengapa ajakanku untuk makan bersama ditolak?” dan
“Mengapa aku kalah dalam pemilihan?” (Weiner, 1982, hlm 186)
Teori attribusi juga
dilandaskan pada pandangan satu dimensi
yang didasarkan pada asumsi bahwa penyebab tingkah-laku menurut presepsi
individu adalah berbeda. Kejadian itu disebabkan (diatribusikan) oleh atau pada
individu (diri) atau pada sifat lingkungan. Menurut pandanganya, presepsi
tentang penyebab tingkah-laku itu terletak pada suatu kontinuum antara dua
ujung, yaitu lokus kendali Internal dan lokus kendali eksternal. orang-orang
percaya bahwa penguatan bergantung pada tingkah-lakunya sendiri juga percaya
bahwa mereka mengendalikan jalan hidupnya sendiri.
Teori atribusi membahas masalah yang
berkenaan dengan analisis suatu dimensi. Atribusi yang terjadi dalam
dimensi yang sama, baik itu internal ataukah eksternal dapat menimbulkan beberapa
hasil atau akibat (Weiner,1972; Weiner, dkk., 1971). Berbagai pengharapan untuk hasil tindakan di waktu yang
akan datang dapat terjadi setelah terjadi proses atribusi. Jika nilai rendah
seorang siswa diatribusikan pada kurangnya keamampuan siswa tersebut, nilai
rendah tersebut dapat saja di dapat pada hari lainnya. Ini sedikit berbeda jika
atribusi yang dilakukan ditujukan pada kurangnya usaha siswa tersebut. Nilai
rendah yang diprediksikan didapat, malah tidak didapat karena siswa tersebut
telah meningkatkan usahanya sehingga nilainya berubah menjadi baik
(Weiner,1976).
Adanya konsekunsi yang berbeda
sebagai akibat dari artibusi dalam lokus penyebab yang sama (dalam hal ini
artibusi internal), telah menyebabkan para ahli melakukan analisis lebih
lanjut. Salah satu usaha analisis tersebut adalah usaha untuk mengenali
berbagai dimensi kepercayaan mengenai faktor-faktor penyebab kejadian yang
memprediksi akibat yang berlainan. Usaha analisis inilah yang menjadi landasan
teori Weiner.
Berdasar teori atribusi, manusia berusaha
mencari pemahaman sumber utama dari motivasi manusia (Weiner, 1979). Motivator
tindakan, pemahaman terhadap penyebab sesuatu adalah faktor utama yang
berpengaruh atas tingkah-laku (Weiner, 1979). Beberapa teori telah mengenali
adanya disposisi yang relatif mantap pada masyarakat dengan cara tertentu
sebagai sumber dan motivasi[8].
b. Komponen Proses Atribusi
Terdapat delapan belas komponen
proses atribusi. Komponen pertama adalah model atribusi. Model atribusi dapat
digambarkan sebagai suatu kejadian dari perbuatan atau tindakan yang
membawa hasil baik, atau kegagalan, ke tingkah-laku berikutnya (Weiner, 1979).
Komponen kedua adalah reaksi emosi.
Akibat tindakan yaitu keberhasilan atau kegagalan, menimbulkan reaksi emosi
yang tidak ada kaitannya dengan penyebab yang dipersepsi. Sebaliknya, kegagalan
menghasilkan perasaan tidak senang, tidak bahagia, dan kadang kala kesedihan
(Weiner, Rusell, & Lerman, 1978,1979).
Komponen ketiga adalah atribusi yang tipikal. Penyebab paling mungkin dipilih untuk
hasil perbuatan ialah kemampuan, usaha, tugas, dan kemujuran. Usaha siswa untuk
menjelaskan keberhasilan atau kegagalannya seringkali berasal dari perkiraan
mengenai tingkat kemampuan, banyaknya usaha, bagaimana sulitnya tugas, dan
derajat serta arah kemujuran yang ada dalam suatu situasi (Weiner, 1978).
Komponen keempat adalah soal
penerapan model. Model atribusi mengenali adanya hubungan antara hasil,
atribusi, dan konsekunsi yang datang mengikutinya. Ada tiga komponen penting
yang bisa membantu memahami hubungan-hubungan itu yaitu (1) macam
informasi antesenden yang digunakan individu dalam memilih atribusi penyebab,
(2) sifat atribusi penyebab, dan (3) peran reaksi yang berkenaan dengan tingkah
laku.
Komponen kelima adalah anteseden
inferensi penyebab. Sumber informasi yang didapat individu sebelum dilakukan
atribusi untuk suatu hasil disebut anteseden. Ada tiga jenis anteseden, yaitu
(1) pengisyarat penginformasi (seperti riwayat keberhasilan seseorang waktu
lampau). (2) struktur kognitif internal individu, disebut skema penyebab,
dan (3) paradisposisi individu.
Komponen keenam adalah pengisyarat penginformasian khusus. Riwayat keberhasilan
individu di waktu-waktu yang lampau merupakan penentu utama bagi memilih apakan
kemampuan yang merupakan atribusi (Weiner, 1974). Norma sosial dan
catatan unjuk perbuatan orang lain juga bisa memberikan informasi tentang
kemampuan. Jika seseorang berhasil mengerjakan suatu tugas yang orang lain
tidak bisa dilakukannya, maka orang itu kemungkinnya akan mengatakan dirinya
mampu (Weiner, 1974). Makin besar presentase terjadinya kegagalan dalam
menjalankan tugas. Makin besar kemungkinan terjadi inferensi atas kegagalan itu
berdasarkan sulitnya tugas (Weiner, 1974).
Komponen ketujuh adalah skema penyebab. Skema penyebab ialah struktur kognitif yang
agak tetap sifatnya, dan menggambarkan kepercayan umum individu mengenai
kejadian dan apa yang merupakan penyebab yang berkaitan denganya (Weiner,1977).
Skema penyebab yang lain adalah bergantung pada kemampuan dan usaha.
Komponen kedelapan adalah pradisposisi
perseorangan. Orang yang kebutuhan prestasinya tinggi cenderung mengatribusikan
keberhasilan dan buah kerja pada dirinya sendiri, artinya, keterampilan dan
usahanya. Orang yang kebutuha prestasinya rendah cenderung mencari
faktor-faktor luar yang menjadi penyebab keberhasilan (Weiner & Kukla,
1970).
Komponen kesembilan adalah ciri
infrensi penyebab. Suatu sumbangan penting model ini bagi memahami motivasi adalah
untuk mengetahui ciri-ciri atribusi yang menyebabkan reaksi yang tidak sama.
Weiner (1979, 1982 telah mengenali tiga dimensi itu :1. lokus penyebab (ciri
internal atau eksternal), 2. Kemantapan, 3. Hal dapat dikontrol.
Komponen kesepuluh adalah fungsi
dimensi penyebab. Dimensi pempunyai dua fungsi penting. (1) dengan cara
tertentu dimensi membantu individu dalam menetapkan tujuan dan pengharapan
untuk masa depan. (2) bahwa reaksi emosi tertentu itu ditimbulkan oleh dimensi
atribusi masing-masing.
Komponen kesebelas adalah lokus
penyebab. Dimensi ini berkenaan dengan sifat internal atau eksternal dari
atribusi. Kemampuanm, usaha, dan keindahan jasmani ialah atribusi-atribusi
internal, sedangkan taraf kesulitan tugas dan bantuan (atau rintangan) dai orang
lain merupakan atribusi-atribusi eksternal. Dimensi ini juga disebut pembedaan
asal mula dan motivasi intrisik atau ekstrinsik (Weiner,1982).
Komponen keduabelas adalah kemantapan. Pengaruh dimensi kemantapan akan hasil di waktu
yang akan datang. Jika suatu hasil tertentu dipercayai sebagai hasil yang
mantap., maka hasil sebelumnya akan dapat diramalkan . namun, atribusi pada
penyebab yantg tidak stabil (seperti kemujuran atau usaha) menimbulkan keraguan
apakah hasil itu akan terulang kembali (Weiner,1979).
Komponen ketigabelas adalah hal
pengendalian. Suasana hati dikatakan tidak intersional (disengaja). Dan usaha
dikatakan itersonal. Namun, Weiner (1979) memberikan batasan kembali mengenai
adanya perbedaan yang bersifat pokok seperti yang dilakukan berkenaan dengan
soal pengontrolan.
Komponen keempat belas adalah ikhtisiar tentang infrensi penyebab. Lokus penyebab terutama
berkaitan dengan rasa harga diri individu. Penyebab yang diatribusikan pada
diri pribadi bisa meningkatkan perasaan diri pribadi bisa meninggikan perasaan
diri berharga dan tidak menimbulkan cira diri yang negatif.
Komponen kelimabelas adalah reaksi
orang lain. Reaksi itu ada kaitanya dengan perilaku tertentu. Rasa belas
kasihan dan tingkah-laku mengharapkan pertolongan orang bisanya terjadi karena
kelemahan atau syarat-syarat keadaa yang diluar kendalui seseorang. Misalnya
sakit keras dan kecelakaan (Weiner, 1979,1982).
Komponen keenambelas adalah peran
reaksi afektif. Atribusi dikendalikan dengan tiga sumber (Weiner,1979). Satu
ialah akibat dari jenis hasil perbuatan sukses dan keberhasilan. Dua ialah
emosi yang jelas yang ada kaitanya dengan atribusi tertentu, misanya rasa
syukur, permusuhan, kujutan, dll. Tiga ialah ditimbulkan oleh ciri-ciri
atribusi dan reaksi afektif ini ada kaitanya dengan rasa harga diri. Contohnya
kebanggaan, kemahiran, dan malu.
Komponen ketujuhbelas adalah pengisyaratan
emosi dari orang lain. Reaksi dari orang lain dapat bertindak selaku
pengisyarat yang memberikan informasi atribusi mengikuti setelah unjuk kerja
yang berprestasi (Weiner, 1982). Secara khusus, rasa iba dan marah ialah
dua reaksi afekstif yang muncul dalam diri pengamat unuk penyebab-penyebab
prestasi yang tidak dapat dikendalikan
Komponen kedelapanbelas adalah model
hubungan afektif. Reaksi afektif guru bisa mempengaruhi tindakan, yang didalamnya
sendiri terkandung pesan tentang kemampuan.
E. APLIKASI TEORI ATRIBUSI DALAM PEMBELAJARAN
Teori Atribusi Weiner ini dapat
dijelaskan oleh beberapa ilustrasi berikut. Seorang siswa gagal dalam
mengerjakan ulangan matematika. Ia lantas berusaha mencari tahu alasan,
penyebab, atau pembenaran terhadap kegagalan anda ini. Ia mungkin sampai pada
sebuah kondisi dimana ia mengalamatkan/meletakkan (mengatribusikan) kegagalan ini
pada kondisinya sendiri yaitu kekurangmampuannya yang kurang dalam mengerjakan
ulangan. Ia bisa jadi mengatakan “Saya kurang bagus di matematika.” Di sisi
lain, ia juga mungkin mengatribusikan kegagalannya tersebut pada kurangnya ia
dalam berusaha mempersiapkan diri sebelum ulangan. Ia bisa jadi mengatakan “Saya belajarnya kurang.” Alternatif lainnya,
ia dapat mengatribusikan kegagalannya pada tingkat kesulitan soal dengan mengatakan
bahwa soal tersebut sangatlah sulit, kekurang beruntungan dia (saya tadi
menebak jawaban, tapi sayangnya salah), mood (aduh, hari ini saya semangat
banget belajar), atau hambatan dari
orang lain (anak yang di depan itu berisik sekali, saya tidak bisa
berkonsentrasi)[9].
Dalam situasi lain yang sedikit
berbeda dengan situasi pertama, ia mendapat pujian dari guru matematikanya
karena nilainya baik. Karena sifatnya yang selalu ingin tahu, ia berfikir dan
berusaha mengattribusikan keberhasilannya pada alasan-alasan yang melatar
belakangi keberhasilan tersebut, seperti kemampuannya (saya cukup pintar di
matematika), usahanya (saya pikir, kerja keras saya seminggu ini berhasil),
keberuntungannya (jawaban pertanyaan nomor sepuluh muncul begitu saja dalam
benak), moodnya (saya lagi semangat nih mengerjakan matematika), serta bantuan dari
pihak luar (pak guru tadi tumben tidak marah-marah dan malah tersenyum sehingga
aku dapat mengerjakan ulangan tanpa tertekan)
Sebab-sebab yang didapatkan dari
proses attribusi terhadap kegagalan dan keberhasilan siswa merupakan teori atribusi yang diaplikasikan pada
kegiatan pembelajaran (Weiner 1979, 1984, 1986, 1992). Berdasarkan teori
atribusi, siswa belajar untuk memahami dunia di sekitar mereka. Salah satunya
adalah mencari penyebab dari kegagalan maupun keberhasilan mereka dalam
mengerjakan tugas-tugas akademik. Dari proses memahami tersebut, siswa dapat
melekatkan/mengatribusikan kegagalan dan keberhasilan mereka pada beragam alasan seperti kemampuan mereka,
usaha mereka, tingkat kesulitan tugas mereka serta faktor keberuntungan. Gambar
berikut ini menjelaskan tentang alasan-alasan keberhasilan maupun kegagalan di
atas berhubungan dengan tiga dimensi pokok yaitu (1) lokus yang bermakna apakah
penyebab tersebut berasal dari dalam atau dari luar, (2) sabilitas yang mengacu
pada apakah penyebab itu konstan atau tidak, dan (3) kemampuan kontrol yang
mengacu pada apakah penyebab itu dipengaruhi oleh siswa ataukah tidak. Sebagai
contoh: kemampuan siswa adalah internal, stabil dan dapat dikontrol/dipengaruhi
siswa; usaha adalah eksternal, tidak stabil, dan tidak bisa dikontrol siswa;
tingkat kesulitan tugas adalah eksternal, stabil, dan tidak bisa dikontrol;
serta keberuntungan adalah ekksternal, tidak stabil, serta tidak dapat
dikontrol siswa[10].
Peristiwa
|
Atribusi
|
Contoh
|
Lokus
|
Stabilitas
|
Kemampuan
Kontrol
|
Kegagalan
|
Kemampuan
|
Saya
tidak cukup pintar
|
Internal
|
Stabil
|
Tidak
dapat dikontrol
|
Kegagalan
|
Usaha
|
Saya
kurang berusaha dengan keras
|
Internal
|
Tidak
Stabil
|
Dapat
dikontrol
|
Kegagalan
|
Tingkat
kesulitan pekerjaan
|
Tugas
ini terlalu sulit untuk saya
|
Eksternal
|
Stabil
|
Tidak
dapat dikontrol
|
Kegagalan
|
Keberuntungan
|
Saya
lagi apes
|
Eksternal
|
Tidak
stabil
|
Tidak
dapat dikontrol
|
Menurut teori atribusi, askripsi kasual
yang biasa di buat oleh seorang siswa biasanya berhubungan dengan motivasi
akademik. Pertama, marilah kita coba fokuskan pembahasan kita pada kemampuan
dan usaha. Jika seorang siswa mengatribusikan kegagalan pada penyebab yang
stabil seperti kemampuan pribadi (dengan mengatakan, saya tidak cukup pandai
mengerjakan tugas itu), atau tingkat kesulitan tugas (wah, tugasnya terlalu
sulit untuk kukerjakan), siswa tersebut sepertinya akan mudah menyerah dan dan
bersikap kurang tangguh jika dihadapkan pada tugas-tugas yang sama di masa yang
akan datang. Jika siswa tersebut mengatribusikan kegagalan tersebut pada
penyebab yang tidak stabil seperti usaha (aku akan kerja lebih keras lagi), atau
keberuntungan (jika keberuntunganku muncul lagi, aku pasti akan lulus), siswa
akan bersikap lebih tangguh bahkan dalam menghadapi kegagalan. Menurut Weiner
(1992), program perubahan prestasi telah dikembangkan dalam rangka untuk
mendorong siswa untuk memahami kegagalan sebagai suatu hasil dari kurangnya
kerja keras, dari pada disebabkan karena kemampuan mereka yang kurang.
Untuk mengetes teori ini, Borkowski,
Weyhing, dan Carr (1988) melakukan penelitian terhadap siswa mereka. Mereka
membuat dua grup siswa dan menyuruh dua grup tersebut melakukan pretes,
training membaca, dan melakukan posttes. Pretes dan posttes yang diberikan
adalah tes yang berkaitan dengan kemampuan siswa untuk membuat ringkasan terhadap
sebuah bacaan dan seberapa baikah mereka dalam memahami isi bacaan tersebut.
Setelah pretest, trainingpun dimulai. Satu kelompok mendapatkan materi training
terkait strategi membaca serta pelatihan atribusi, sedang kelompok satunya
hanya mendapatkan materi training membaca saja. Setelah beberapa waktu
kemudian, dua kelompok diminta mengerjakan postest. Dari penelitian tersebut
didapat hasil, kelompok siswa yang mendapatkan materi training strategi membaca
beserta training atribusi mendapatkan nilai lebih baik dari kelompok yang hanya
mendapatkan training membaca saja.
Kajian Teoritis menurut pandangan Islam
1.
Teori atribusi adalah teori tentang bagaimana manusia menerangkan
perilaku orang lain maupun perilakunya sendiri dan akibat dari perilakunya ,
seperti dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 39-40 :
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ ¨br&ur ¼çmu÷èy t$ôqy 3tã ÇÍÉÈ
39. dan bahwasanya
seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,
40. dan bahwasanya
usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
2.
tiga dimensi pokok yaitu (1) lokus
yang bermakna apakah penyebab tersebut berasal dari dalam atau dari luar, (2) sabilitas
yang mengacu pada apakah penyebab itu konstan atau tidak, dan (3) kemampuan kontrol
yang mengacu pada apakah penyebab itu dipengaruhi oleh siswa ataukah tidak.
Dalam al-Qur’an surat ar’Rad ayat 11 ;
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
11. bagi manusia ada malaikat-malaikat yang
selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa
Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat
yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah
Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan
mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
3.
Empat penyebab pokok yang menjadi
inti dari teori Wainer, yaitu: (1) Ability yakni kemampuan, (2) effort yakni
usaha, (3) task difficulty yakni kesulitan tugas, dan (4) luck yakni
kemujuran/keberuntungan. yang kemudian dikenali sebagai penyebab
pokok atau berperan reaksi afektif sebagai motivator tingkah-laku. Dalam
al-Quran surat al-Jaatsiyah ayat 15 :
ô`tB @ÏJtã $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $pkön=yèsù ( §NèO 4n<Î) óOä3În/u cqãèy_öè? ÇÊÎÈ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah
kamu dikembalikan.
Surat Fushshilat ayat 46 :
ô`¨B @ÏHxå $[sÎ=»|¹ ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù ( ô`tBur uä!$yr& $ygøn=yèsù 3 $tBur y7/u 5O»¯=sàÎ/ ÏÎ7yèù=Ïj9 ÇÍÏÈ
46. Barangsiapa yang mengerjakan amal yang
saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan
perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah
Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya.
KESIMPULAN
Atribusi adalah proses yang kompleks, sederetan teori telah lahir
demi menjelaskan berbagai proses lainnya. Salah seorang pakar teori ini adalah
Bernard Weiner. Tiga asas motivasi dalam belajar yaitu based interest
motivation, based on self-efficacy motivation, and based on attribution motivation.
Teori asas motivasi belajar di atas sangat berhubungan dengan teori asas
pembelajaran, setidaknya delapan asas yang berperan penting dalam suksesnya
kegiatan pembelajaran: asas peragaan, minat dan perhatian, motivasi, apersepsi, korelasi
dan kosentrasi, kooperatif, individualisme, evaluasi.
Dalam teori atribusi keberhasilan
maupun kegagalan di atas berhubungan dengan tiga dimensi pokok yaitu (1) lokus
yang bermakna apakah penyebab tersebut berasal dari dalam atau dari luar, (2) sabilitas
yang mengacu pada apakah penyebab itu konstan atau tidak, dan (3) kemampuan kontrol
yang mengacu pada apakah penyebab itu dipengaruhi oleh siswa ataukah tidak. Empat
penyebab pokok yang menjadi inti dari teori Wainer, yaitu: (1) Ability yakni kemampuan,
(2) effort yakni usaha, (3) task difficulty yakni kesulitan tugas, dan (4) luck
yakni kemujuran/keberuntungan. yang kemudian dikenali sebagai penyebab
pokok atau berperan reaksi afektif sebagai motivator tingkah-laku.
DAFTAR
PUSTAKA
Dimyati,
Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2010.
Gredler,
Margaret, Learning and Instruction theory into Practice, Columbus Ohio:
Pearson, 2009.
Komsiyah,
Indah, Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta, teras, 2012
Mayer,
Richard E, Research on learning and motivation, New York and London,
Routledge, 2011.
Mayer,
Richard E., Learning and Instruction, Colombus,Ohio, Merrill Prentice
Hall. 2003.