PEMIKIRAN AL-SHATIBI
TENTANG HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
Nama
al-Shatibi hampir selalu muncul disetiap wacana pembaharuan pemikiran hukum
Islam. Namanya belum terlalu popular ketika ia masih hidup. Mungkin disebabkan
karena selain lahir dari keluarga yang sederhana, ia juga hidup di dalam masa
transisi Cordova, kota Islam terakhir di Spanyol, menuju tahap kehancuran.
Sebetulnya ia dapat dikatakan sebagai mata rantai dari ilmuwan-ilmuwan besar
Islam dari wilayah barat sesudah Ibn Rushd (w. 594 H), Ibn Taimiyah (w. 661 H),
Ibn Khaldun (w. 732 H), dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H). Spanyol jatuh ke
tangan pemerintah Kristen daam tahun 892 H.[1]
Sebagaimana yang telah
kita ketahui bersama, bahwa Imam Shatibi terkenal dengan konsepnya Maqashid
al-Shari’ah yang juga akan sedikit dibahas dalam makalah ini pada bab
pembahasan. Makalah ini akan mengulas dengan singkat riwayat hidup al-Shatibi,
jaringan intelektualnya, pemikirannya dalam hukum Islam, dan juga pandangan
beberapa ulama’ terhadap konsep pemikiran al-Shatibi.
PEMBAHASAN
a.
Biografi
Kehidupan
Imam Shatibi seorang
ahli bahasa Arab, Usul fiqh, dan ulama’ terkemuka Mazhab Maliki. Nama lengkapnya
adalah Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Gharnati al-Shatibi.[2] Ada juga
yang menyebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin
Muhammad al-Lakhmi al-Shatibi.[3] Tampaknya ada sedikit perbedaan, namun hal
ini bukanlah menjadi masalah besar. Sebab itu
hanya sebagai penisbatan suku dan juga tempat tinggal. Tanggal dan tahun
kelahirannya tidak diketahui.[4] Namun ‘Abd
al-Rahman Adam ‘Ali menukil perkataan Muhammad Abu al-Ajfan yang memperkirakan
tahun kelahiran al-Shatibi pada tahun 720
H diambil dari tahun wafat gurunya al-Shatibi, yaitu Sheikh Abu Ja’far Ahmad
ibn al-Ziyat yang wafat pada tahun 728 H. ‘Abd al-Rahman mengganggap usia 8
tahun sudah memasuki usia dewasa.[5]
Adapun tentang latar
belakang kehidupan keluarga al-Shatibi juga belum banyak diketahui. Sejauh ini hanya dapat dilacak, bahwa ia berasal dari
keluarga Arab, suku Lakhmi. Al-Shatibi tumbuh dewasa di Granada. walaupun
sebutannya dikenal dengan al-Shatibi, namun diduga ia tidak lahir ataupun
tinggal di Shatibah (Xativa atau Jativa). Karena menurut kota tersebut telah
dikuasai orang Kristen dan umat Islam diusir dari sana pada tahun 645 H/1247M.[6]
Berbeda dengan tahun
kelahirannya yang tidak diketahui, tahun wafat al-Shatibi lebih banyak
diketahui dan disepakati tahun 790 H/1388 M, tepatnya pada hari selasa tanggal
8 Sha’ban di Granada.[7]
b.
Jaringan
Intelektual
Al-Shatibi memulai belajarnya sejak masih
kecil. Ia sangat tekun, ulet, rendah hati, jauh dari sikap keangkuhan
intelektual dan berpegang teguh pada sumber utama ajaran agama Islam (al-Qur’an
dan Sunnah). Sifat-sifatnya tersebut tampak dalam ungkapannya sendiri, yaitu :[8]
“Saya selalu
melatih berpikir sejak kecil dan berupaya mencari ilmu. Saya mendalami
ilmu-ilmu akidah, shari’ah, us}ul, dan furu’nya. Tidak saya batasi pada satu
cabang ilmu dengan mengabaikan ilmu yang lainnya, serta tidak memisahkannya
sesuai dengan tuntutan masa dan tempat. Bahkan saya terjun ke dalam samudera
untuk berusaha mampu berenang. Saya melangkah dalam dunia ilmu dengan penuh
keberanian, hamper saya lebur di kedalamannya, melupakan interaksi social yang
menyenangkan, sehingga harus saya jembatani. Saya hilang dari pembicaraan orang
baik yang senang maupun yang benci dan menghalangi, hingga Tuhan memberikan
karuniaNya. Tuhan memberikan kemampuan kepada saya untuk memahami
pengertian-pengertian shari’at yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Allah
SWT memberikan keyakinan dalam jiwa saya bahwa Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya
tidak dapat ditinggalkan bagi siapapun dalam mencari hidayah. Hidayah tidak
dapat ditemukan pada selain kedua sumber itu. Agam Islam telah sempurna,
kebahagiaan yang besar telah ditetapkannya dan apa yang dishari’atkan harus
diupayakan pencariannya. Selain dari yang demikian adalah sesat dan
kebohongan.”
Oleh
karena latar belakang keluarganya tidak banyak diketahui, maka hal itu sedikit
banyak menyulitkan untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang pendidikan
yang ditempuhnya. Namun yang jelas, seperti kebanykan ulama’, ia memperoleh
pendidikan secara trdisional. Akan tetapi itu tidak berarti Shatibi tidak
pernah terlibat dalam bentuk pengajaran formal –terutama pengabdian dalam
mengajar- dapat diduga dilakukannya bila dikaitkan dengan keberadaan
Universitas Granada masa itu.[9]
Suatu
hal yang sangat menguntungkan bagi al-Shatibi, ketekunannya melakukan
pendalaman ilmu didukung oleh suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di
Granada. Yang mana pada masa itu, Granada merupakan pusat kegiatan ilmiah
dengan adanya universitas Granada.[10] Sehinga
banyak ulama’ yang mendatangi kota Granada tersebut. Dan tidak heran jika imam
al-Shatibi menimba ilmu hanya di dalam kota Granada saja. Ia tidak pernah
melakukan perjalanan keluar dari Granada.[11] Namun
guru-gurunya ada yang terdapat dari luar kota Granada.
Imam
al-Shatibi memiliki guru yang sangat banyak, Sheikh ‘Abd
al-Rahman Adam ‘Ali menyebutkan guru-guru imam Shatibi
sebanyak 27 orang, baik yang berasal dari Granada maupun dari luar Granada. Beliau
adalah :
1.
Sheikh Ziyat
al-Kala’i
2.
Sheikh Ibn ‘Ali
al-Fakhkhar al-Birri (w. 754 H)
Beliau adalah seorang ahli dalam
tata bahasa Arab, sehingga ia dikenal sebagai sheikh al-nuhat di
Andalusia. Beliau mengajari al-Shatibi ilmu tata bahasa Arab dengan
mendalam dan teliti. Al-Shatibi tinggal bersama al-Fakhkhar, sampai beliau
meninggal pada tahun 754 H. Dan al-Shatibi menulis tentang gurunya ini
(al-Fakhhar) dalam buku al-Ifadat.[12]
3.
Sheikh Abu Abd
Allah al-‘Abdari (w. 756 H)
4.
Sheikh Abu
Ja’far al-Shaquri.
5.
Sheikh Abu
Sa’id Ibn Lubbi (w. 782 H)
Beliau adalah seorang mufti
kerajaan Nasr. Ia juga sebagai ketua khatib di masjid Granada dan mengajar di
madrasah Nasriyyah. Ibnu Lubb adalah seorang ahli di bidang fiqh dan mempunyai
peringkat sebagai al-ikhtiyar (ke putusan melalui seleksi) dalam bidang fatwa.
Pendidikan Shatibi dalam bidang fiqh, hamper seluruhnya diselesaikan bersama
Ibnu Lubb. [13]
6.
Sheikh Muhammad
al-Balansi (w. 782 H)
7.
Sheikh Ibn
Muhammad al-Yahsabi (w. 773 H)
8.
Sheikh Abu ‘Abd
Allah al-Maqarri (w. 759 H).
Beliau seorang ahli usul fiqh yang
dating ke kota Granada pada tahun 757 H.[14] Ia
pertama kali sebagai duta dalam diplomatic yang dikirim oleh Sultan Abu Inan
dari Banu Marin ke Granada. Setelah selasai menjalankan tugas diplomatnya, ia
ditunjuk oleh Abu Inan sebagai Qadi al-Jama’ah. Beliau adalah ulama’ yang
memperkenalkan Al-Shatibi dengan filsafat Razisme dalam bidang usul fiqh.[15]
9.
Sheikh Abu
al-Qasim al-Sabti (w. 760 H/ 1358 M)
Beliau adalah ulama’ yang ahli
dalam bidang tata bahasa Arab dan pernah menjabat sebagai ketua Qadi di kota
Granada pada tahun 760 H.[16]
10. Sheikh
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Maliki al-Tilimsani (w. 771 H)
Beliau adalah ahli fikih dan usul
fiqh yang bermazhab Maliki. Ia terkenal berpengetahuan luas tentang tasawuf dan
falsafah. Karya tulisnya di bidang usul fiqh adalah Miftah Al-Usul Ila Bina
Al-Furu’ ‘Ala Al-Usul. Melalui al-Tilimsani inilah, al-Shatibi mempelajari
jami’ al-sahih al-Bukhari dan al-Muwatta’.
11. Sheikh
Abu ‘Ali Mansur bin ‘Ali bin ‘Abd Allah al-Zawawi (w. 770H).
Beliau seorang ahli ilmu kalam dan
falsafah.
12. Sheikh
Shams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Marzuq
13. Sheikh
Abu Bakr Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali al-Qurshi al-Hashimi
14. Sheikh
Abu al-Qasim ibn Bina’ (w. 751 H). Beliau seorang ahli hadis.
15. Sheikh
Ibn Nazir
16. Sheikh
Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim al-Khaulani
17. Sheikh
Abu Ja’far
18. Sheikh
Ibn al-Buka’
19. Sheikh
Ibn al-Baqi (w. 791 H)
20. Al-Imam
Ahmad bin al-Rawiyah (w. 763 H)
21. Sheikh
al-Sururi (w. 781 H)
22. Sheikh
al-Shaquri (w. 749 H)
23. Sheikh
al-Balwa
24. Sheikh
al-Namiri (w. 777 H)
25. Sheikh
al-Kuhaili
26. Sheikh
al-Hafiz al-Qabab (w. 779 H). Beliau adalah penghafal hadis dan ahli dalam ilmu
fikih[17]
27. Sheikh
al-Hafar. Beliau adalah seorang mufti dan ahli hadis[18]
Pengembangan dan pendalaman
ilmu dilakukan oleh al-Shatibi tidak hanya dalam bentuk pertemuan langsung
dengan guru-gurunya, akan tetapi juga melalui hubungan surat menyurat yang
dikirim kepada ulama’- ulama’ tersohor. Cara ini ditempuh untuk menanyakan
permasalahan-permasalahan baik berkaitan dengan hukum maupun dengan bidang
lain. Ia pernah menulis surat kepada seorang ulama’ tasawuf, Abu ‘Abd Allah Ibn
Ibad al-Nafsi al-Rundi. Ia menanyakan beberapa permasalahan tentang tasawuf.
Jawaban atas pertanyaan tersebut dihimpun secara lengkap oleh al-Wanshirishi
dalam kitab al-Mi’yar.[19]
Pengembangan potensi
diri sebagai ilmuwan atau ulama’ besar pasca penyerapan ilmu, dilakukan oleh
al-Shatibi dengan mengajarkan ilmu itu kepada generasi-generasi yang lebih
muda. Tercatat ulama’-ulama’ yang pernah menimba ilmu kepada al-Shatibi adalah
:
1.
Abu Yahya bin
‘Asim (w. 813 H/1310 M)
2.
Abu Bakar bin
‘Asim (w. 829 H)
Dia
adalah saudara laki-laki Abu Yahya. Ia seorang ahli fikih yang ternama dan pernah menjabat sebagai ketua Qadi
(hakim) di Granada. Abu Bakar juga menulis ringkasan kitab al-Muwafaqat dengan
judul al-Muna fi ikhtisar al-Muwafaqat. Ia dikenl juga melalui karangannya Tuhfat
al-Hukkam yang menjadi rujukan para hakim di Granada.[20]
3.
Abu ‘Abd Allah
al-Bayani
4.
Abu ‘Abd Allah
al-Majari (w. 862 H)
5.
Abu Ja’far
al-Qisari
c.
Karya-karya
Ilmiah
Ketokohan al-Shatibi
sebagai ulama’, disamping terlihat dari kegiatan belajar mengajar yang diemban
dan keterlibtannya dalam memberi respon terhadap permasalahan-permasalahan
keagamaan yang muncul sesuai dengan disiplin keilmuan yang didalaminya, juga
terlihat dari warisan ilmiah berupa karya-karya ilmiah yang ditinggalkannya.[21]
Karya-karya ilmiah
al-Shatibi dapat dikeompokkan menjadi dua, yaitu[22] :
1.
Karya-karya
yang tidak diterbitkan dan dipublikasikan, yaitu :
Ø Sharh Jalil ‘ala
al-Khulasah fi al-Nahw
Ø Khiyar al-Majlis (Sharh kitab
jual beli dari sahih al-Bukhari)
Ø Sharh Rajz Ibn Malik fi al-Nahw
Ø ‘Unwan al-Ittifaq fi ‘Ilm al-Ishtiqaq
Ø Usul al-Nahw
2.
Karya-karya
yang diterbitkan dan dipublikasikan, yaitu :
Ø Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah.
Nama
asli kitab al-Muwafaqat adalah ‘Unwan al-Ta’rif bi Asrari al-Taklif. Kitab
ini merupakan karya besar al-Shatibi dalam bidang Usul fiqh. Sampai sekarang,
buku ini masih tersebar luas berbagai Negara muslim dan banyak digunakan sebagai
rujukan. Kitab al-Muwafaqat ini terdiri dari emapat jilid dengan lima pokok
pembahasan, yaitu[23] :
1. Mukaddimah
2. Hukum,
baik yang berkaitan dengan hukum wad’i atau taklifi
3. Maqashid
al-Shari’ah
4. Dalil-dalil
shara’
5. Ijtihad
Edisi
pertama kitab ini diterbitkan di Tunisia oleh percetakan Daulah Tunisia pada
tahun 1302 H/1884 M, yaitu sekitar 400 tahun setelah wafatnya al-Shatibi.[24]
Ø Al-I’tisam
Selain
al-Muwafaqat, karya al-Shatibi yang juga sangat monumental adalah kitab al-I’tisam.
Dalam al-I’tisam, al-Shatibi mengemukakan uraian secara mendalam tentang
bid’ah, mulai dari definisi bid’ah, ancaman pelaku bid’ah, sumber yang menjadi
pegangan pendukung bid’ah, macam-macam bid’ah, sampai pada perbedaan antara
bid’ah, al-Maslahah al-Mursalah, dan al-Ihtisan. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Rashid Rida dalam kata pengantar di cetakan kitab al-I’tisam ini,
bahwa kitab ini merupakan harta berharga yang tersembunyi yang tidak akan
didapatkan dibelahan bumi manapun, kecuali satu cetakan dengan khat Maghribi
(tulisan Maroco) pada kitab-kitab Sheikh Muhammad al-Shangqiti yang tersimpan
di penerbit buku Dar al-Kutub al-Khudaiwiyah.[25]
Ø Al-Ifadat wa al-Irshadat
Buku
ini berisi dua kandungan, yaitu :
1.
Al-Ifadat
yang berisi tentang catatan al-Shatibi dalam berbagai masalah termasuk yang
dihimpun dari guru-guru dan teman-teman dari kalangan ulama’ Spanyol.
2.
Al-Irshadat
yang merupakan kumpulan shair-shair dengan berbagai kandungan.
Buku
Al-Ifadat wa al-Irshadat pada tahun 1983 telah diedit oleh Muhammad Abu
al-Ajfan seorang dosen fakultas shari’ah dan usuludin di Universitas Tunisia.[26]
d.
Pemikiran
Hukum Islam
- Maqashid
al-Shari’ah
Dalam dunia keilmuan,
al-Shatibi lebih dikenal sebagai seorang pakar usul fiqh yang memiliki
ketajaman pandangan tersendiri. Ciri khas dari usul fiqh al-Shatibi terletak
pada ketajamannya dalam menganalisa setiap persoalan hukum. Al-Shatibi muncul
dengan pembahasan yang lebih luas, komprehensif, dan tajam mengenai aspek
maqashid al-shari’ah.[27] Dan
sejak diterbitkannya kitab al-Muwafaqat karya gemilang al-Shatibi, konsep
mashhur Shatibi (maqashid al-Shari’ah) menjadi suatu konsep baku dalam ilmu
usul fiqh yang berorientasi kepada tujuan hukum (shari’ah).
Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Khudari Bek, bahwa al-Shatibi muncul pada abad ke-8 H
memaparkan kajian usul fiqh dengan aspek kebahasaan dan aspek maqashid
al-shari’ah. Pernyataan Khudari Bek sesuai dengan pernyataan Abdullah Darraz,
bahwa perkembangan kajian usul fiqh ditandai dengan penekanan orientasi Maqashid
al-Shari’ah oleh al-Shatibi. Arti Maqashid al-Shariah dan landasan hukumnya
Sebenarnya pada zaman
Rasulullah saw, sudah tampak peranan penting maqashid al-shari’ah dalam
pembentukan hukum Islam. Misalnya dalam sebuah hadis, Nabi saw melarang ziarah
kubur, karena dikhawatirkan akan terjadi pemujaan yang berlebihan terhadap
ruh-ruh orang yang di kuburan, sehinga menjadikan umta Islam syirik. Tetapi
kemudian Rasulullah membolehkan umat Islam untuk berziarah kubur. Sebagaimana
hadis Nabi saw pada kitab Sahih Muslim no. 3651 :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ عَنْ أَبِي
سِنَانٍ و قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ضِرَارِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ مُحَارِبٍ عَنْ
ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ أَبُو
سِنَانٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا[28]
Selain itu dalam
hadis, Nabi saw melarang orang Islam di Madinah menyimpan daging kurban,
kecuali sekedar bekal tiga hari. Sebagaimana hadis Nabi saw pada kitab sahih
Muslim :
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عَلِيِّ
بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا أَنْ نَأْكُلَ مِنْ لُحُومِ نُسُكِنَا
بَعْدَ ثَلَاثٍ
Beberapa tahun kemudian, ada beberapa
sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah saw itu dengan menyimpan daging
lebih dari sekedar perbekalan untuk tiga hari. Peristiwa itu disampaikan kepada
Rasulullah saw, tapi Rasulullah saw membenarkannya serta menjelaskan bahwa
larangan itu untuk kepentingan al-daffah (para pendatang dari
perkampungan Badui yang dating ke Madinah yang membutuhkan daging kurban). Namun
karena sudah tidak ada lagi para tamu yang membutuhkannya maka diperbolehkan
menyimpan daging kurban itu tersebut. Sebagaimana hadis Nabi saw pada kitab
Sahih Muslim no. 3643
حَدَّثَنَا
إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا مَالِكٌ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَاقِدٍ قَالَ نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الضَّحَايَا
بَعْدَ ثَلَاثٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرَةَ
فَقَالَتْ صَدَقَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ دَفَّ أَهْلُ أَبْيَاتٍ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ
حَضْرَةَ الْأَضْحَى زَمَنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادَّخِرُوا ثَلَاثًا ثُمَّ تَصَدَّقُوا
بِمَا بَقِيَ فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ النَّاسَ
يَتَّخِذُونَ الْأَسْقِيَةَ مِنْ ضَحَايَاهُمْ وَيَجْمُلُونَ مِنْهَا الْوَدَكَ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا ذَاكَ قَالُوا نَهَيْتَ أَنْ
تُؤْكَلَ لُحُومُ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلَاثٍ فَقَالَ إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ
الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا[29]
Dari kedua peristiwa
tersebut, ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa ada petunjuk dan arti penting
maqashid al-shari’ah dalam penetapan hukum. Dalam persoalan daging kurban
diatas, larangan menyimpan daging kurban adalah untuk member kelapangan bagi
fakir miskin yang dating dari perkampungan Badui. Ini adalah maqashid
al-shari’ah dari larangan menyimpan daging kurban tersebut. Akan tetapi,
setelah orang-orang fakir dari perkampungan Badui itu tidak ada lagi yang
membutuhkan daging kurban, larangan menyimpan daging kurban pun tidak
diberlakukan lagi oleh Rasulullah saw. Seandainya suatu saat nanti orang-orang
Badui kembali membutuhkan daging kurban, maka ketentuan Rasulullah saw dalam
hadis diatas akan berlaku kembali.[30]
Begitu juga dalam
persoalan ziarah kubur, maqashid al-shari’ah dari ketentuan Rasulullah saw
bahwa tidak dibolehkan menziarahi kubur adalah agar tidak terjadi pemujaan yang
berlebihan atau menyucikan ruh-ruh orang yang dikubur tersebut. Namun ketika
kondisi keimanan umat Islam telah kuat, praktek ziarah kubur pun tidak lagi
dikhawatirkan akan membawa kepada pemujaan yang berlebihan terhadap kuburan,
sehingga larangan ziarah kubur pun dicabut oleh Rasulullah saw.[31]
Dalam perkembangan
pemikiran hukum Islam selanjutnya, walau masih tidak menyebut istilah maqashid
al-shari’ah, dapat diduga maqashid al-shari’ah dikembangkan dalam penerapan
konsep qiyas yakni dalam kaitan masalik al-‘illah. Corak seperti ini dapat ditelusuri seperti
dalam kitab al-Risalah karya al-Shafi’I, al-Burhan karya
al-Juwaini, al-Mustafa karya al-Ghozali, dan al-Mu’tamad karya
Abu al-Hasan al-Basri.[32]
Maka dapat dikatakan
bahwa maqashid al-shari’ah telah dipaparkan oleh para ulama’ usul fiqh, namun
tampaknya tidak menjadi focus utama. Kemudian
dalam perkembangan pemahaman dan perhatian terhadap maqashid al-shari’ah
cukup besar, muncul pada abad ke-8 H oleh al-Shatibi (w. 790 H) dengan karya
monumentalnya al-Muwafaqat.[33]
Sebelum al-Shatibi,
metode penalaran terhadap nash masih didominasi oleh dua teori, yaitu teori
keumuman lafal (‘umum al-lafaz) yang dipegang oleh jumhur ulama’ dan teori
kekhususan sebab ( khusus al-sabab) yang dipegang oleh ulama’ minoritas.
Jumhur ‘ulama’
menetapkan kaidah bahwa : “Yang dijadikan pegangan ialah redaksi lafal umum,
bukan sebab khusus (al-‘ibrah bi maqashid al-shari’ah, la bi ‘umum al-lafz
au bi khusus al-sabab)”. Maksudnya ialah jika suatu nas menggunakan redaksi
yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut.
Sekalipun nas tersebut itu turun untuk menangapi suatu peristiwa khusus.
Sedangkan ulama’
minoritas menetapkan kaidah bahwa : “Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan
sebab, bukan keumuman lafal (al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum
al-lafz)”. Maksudnya ialah jika suatu nas turun untuk menanggapi suatu
sebab khusus atau satu nas mempunyai riwayat asbab al-nuzul atau asbab
al-wurud, maka yang perlu dipegang adalah sebab khusus tersebut.
Sementara perdebatan
kedua kelompok itu belum selesai, al-Shatibi muncul dengan teori maqashid
al-shari’ah (yang dijadikan pegangan ialah apa yang sesungguhnya menjadi tujuan
Tuhan (Shari’) terhadap suatu nas). Al-Shatibi nampaknya kurang puas terhadap
kedua teori tersebut. Teori pertama terkesan tekstual, karena terlalu banyak
berkonsentrasi pada persoalan kebahasaan, sehingga mengecilkan arti dan peranan
asbab al-nuzul atau asbab al-wurud. Dengan demikian, hal ini
tampak kurang serius memikirkan apa sesungguhnya yang menjadi tujuan (maqashid)
dari nas itu. Dari sini, seolah-olah al-Shatibi secara implicit ingin
memperkenalkan kaidah bahwa “Yang dijadikan pegangan ialah maqashid
al-shari’ah, bukan lafal umum atau khusus (al-‘ibrah bi maqashid
al-shari’ah, la bi ‘umum al-lafz au bi khusus al-sabab)”.
Dapat dicontohkan bahwa
turunnya ayat 38 surat al-Maidah :
السارق والسارقة فاقطعواأيديهماجزاءبماكسبانكالامن
الله
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasam bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT.”
Menurut riwayat
‘Abdullah bin Amr, ayat ini turun untuk menanggapi kasus pencurian perhiasan
yang dilakukan seorang perempuan bernama Tu’mah. Yang menjadi persoalan adalah
ayat tersebut menggunakan bentuk isim mufrod yang dita’rifkan ( السارق / السارقة). Menurut kaidah, bentuk seperti ini
termasuk kategori lafal umum.
Jumhur ‘ulama’ langsung
dapat menerapkan ayat tersebut tanpa mempertimbangkan latar belakang dan
riwayat asbab al-nuzul karena ayat itu menggunakan redaksi yang bersifat
umum. Jadi para pencuri, baik laki-laki maupun perempuan dapat dijatuhkan
hukuman potong tangan hanya dengan berdasarkan ayat tersebut, setelah
persyaratan formalnya sudah tercukupi.
Adapun ‘ulama’
minoritas tidak langsung menerapkan ayat tersebut, ayat itu turun karena suatu
sebab khusus dan mempunyai riwayat asbab al-nuzul. Terhadap ayat seperti
ini, ‘ulama’ minoritas memperhatikan secara cermat riwayat itu, kemudian
melakukan analisis terhadap beberapa unsure, yaitu kualitas peristiwa, pelaku,
tempat, dan waktu. Jika dalam suatu peristiwa pencurian terjadi unsure-unsur
yang sama pada peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat itu, maka pencuri itu
dikenakan hukuman potong tangan. Mekanisme penerapan hukum bagi golongan ini
lebih banyak menggunakan metode qiyas. Alasan yang dikemukannya ialah
jika seandainya yang dimaksud Tuhan adalah kaidah lafal umum, mengapa Tuhan
menunda penjelasan-penjelasan hukumNya hingga terjadinya suatu peristiwa
tertentu.
Ditengah perdebatan
tersebut, al-Shatibi menyatakan bahwa kedua kaidah tersebut mempunyai makna,
fungsi, dan peranan yang sama pentingnya. Akan tetapi lebih dari itu, yang
lebih penting untuk diperhatikan iaalah maqashid al-shari’ah.
Dalam mengaplikasikan
toerinya, al-shatibi pertama kali melakukan penelitian yang mendalam (istiqro’)
tentang apa yang menjadi tujuan suatu ayat atau hadis. Al-Shatibi menetapkan
suatu kerangka acuan (frame work), yang merupakan tujuan esensial dari
shari’ah. Tujuan esensial tersebut bersifat universal dan subtansial, diperoleh
dan dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an, seperti menegakkan keadilan (QS.
Al-Nahl/16:90), memelihara amanah (QS. Al-Nisa’/4:58). Ayat-ayat subtansial
universal inilah yang akan didukung dan ditegakkan oleh ayat-ayat hukum yang
berbicara secara detail (muayyidat), seperti ayat pencurian diatas.
Menurut al-Shatibi
dalam kitab al-Muwafaqatnya, yang menjadi tujuan hukum (maqashid
al-shari’ah) bukan untuk memotong tangan pencuri, tetapi ayat pencurian
tersebut bertujuan untuk mewujudkan keamanan, keadilan, dan ketentraman dalam
masyarakat. Sarana untuk mewujudkan maqashid al-shari’ah,sebagaimanan tertuang
di dalam ayat-ayat subtansial universal, tidak mesti dengan memotong tangan
atau mengamalkan ayat-ayat muayyidat, tetapi dimungkinkan adanya
alternatif lain. Kalau ditelusuri logika al-Shatibi dalam kasus diatas, system
lembaga permasyarakatan dapat dibenarkan secara ilmu Usul al-fiqh. Dan jika
demikian adanya, maka metode penetapan (istinbat) hukum agak berbeda
dengan metode kedua pendapat tersebut diatas.[34]
Dalam kitab al-Muwafaqat,
al-Shatibi mempergunakan kata maqashid al-shari’ah dengan kata yang berbeda-beda.
Kata-kata tersebut adalah maqashid al-shari’ah, al-maqaashid al-shar’iyah fi
al-shari’ah, dan maqashid min shari’ al-hukm. Walaupun dengan kata-kata
yang berbeda, namun mengandung makna yang sama, yaitu tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT.[35]
Menurut al-Shatibi,
shariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Dan dalam ungkapan lain, hukum-hukum dishari’atkan untuk kemaslahatan hamba.
Jadi kandungan maqashid al-shari’ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat
manusia.[36]
Dalam pandangan
al-shatibi, tak satupun hukum yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak
mempunyai tujuan sama dengan taklif ma la yutaq (memberikan sesuatu yang
tidak dapat dilaksanakan). Dan hal ini tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum
Tuhan.[37] Menurut
Khalid Mas’ud, ajaran al-Shatibi tentang maqashid al-shari’ah merupakan upaya
memantapkan maslahat sebagai unsure penting dari tujuan-tujuan hukum.[38]
Penekanan maqashid
al-shari’ah yang dilakukan oleh al-Shatibi secara umum berlandaskan kepada kandungan
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung
kemaslahatan.[39]
Diantara ayat-ayat tersebut adalah :
-
Surat al-Nisa’
ayat 165 :
رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس
على الله حجة بعدالرسل
“Mereka kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pambawa peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah
sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”[40]
-
Surat al-Zariyat
ayat 56 :
وماخلقت الجن والإنس إلاليعبدون
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu.”[41]
-
Surat
al-‘Ankabut ayat 45 :
إن الصلاة تنهى عن الفحشاءوالمنكر
“Sesungguhnya
salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.”[42]
Berdasarkan ayat-ayat
diatas, al-Shatibi mengatakan bahwa maqashid al-shari’ah dalam arti
kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan.[43] Yakni,
apabila terdapat permasalahn-permasalahn hukum yang tidak ditemukan secara
jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui maqashid al-shari’ah
yang dilihat dari ruh shari’at dan tujuan umum dari agama Islam yang hanif.
Adapun dalam pembagian
maqashid al-shari’ah, Al-Shatibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan
dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu
agama, jiwa, akal, kturunan, dan harta. Dalam mewujudkan lima unsure pokok
tersebut, al-Shatibi membagi maqashid al-shari’ah atau tujuan shari’ah menjadi
tiga, yaitu:[44]
1.
Daruriyat
(hal yang pokok)
2.
Hajiyat
(bersifat kebutuhan)
3.
Tahsiniyat
(bersifat penyempurna)
Sebagai
contoh, dalam memelihara unsure agama, aspek daruriyatnya antara lain adalah
mendirikan shalat, keharusan mengahadap kiblat merupakan aspek hajiyat, dan
menutup aurat merupakan aspek tahsiniyat. Menurut al-Shatibi, tingkat hajiyat
adalah penyempurna tingkat daruriyat. Tingkat tahsiniyat penyempurna tingkat
hajiyat. Sedangkan tingkat daruriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat.
Jadi, usaha untuk mencapai pemeliharaan lima unsure pokok secara sempurna, maka
ketiga tingkat maqashid tersebut, tidak dapat dipisahkan.[45]
- Ijtihad
Maqashid al-shari’ah
memiliki peranan penting di dalam hal ijtihad. Sebagaimana yang telah
dicontohkan oleh Nabi saw tentang kebolehan ziarah kubur dan menyimpan daging
kurban diatas tiga hari. Al-Shatibi juga menyatakan bahwa ijtihad merupakan
upaya penggalian hukum shara’ secara optimal. Upaya penggalian hukum shara’ itu
akan berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqashid al-shari’ah.[46]
Bagi al-Shatibi
derajat ijtihad bisa dicapai apabila seseorang memiliki dua criteria, yaitu:[47]
1.
Dapat memahami
maqashid al-shari’ah secara sempurna
2.
Kemampuan
menarik kandungan hukum atas dasar pengetahuan dan dan pemahaman maqashid
al-shari’ah itu adalah dengan bantuan pengetahuan bahasa arab, al-Qur’an dan
Sunnah.
Pendapat al-Shatibi
ini berbeda dengan ulama’ lainnya. Bagi ulama’ yang lain, maqashid al-shari’ah
dengan sendirinya masuk dalam persyaratan umum memahami al-Qur’an dan Sunnah
serta pemahaman kaidah kulliyah. Maka maqashid al-shariah hanya sebagai
syarat takmiliyyah (penyempurna atau pelengkap).[48]
Sebagaimana pandangan
al-Shatibi yang menempatkan maqashid al-shari’ah sebagai syarat yang sangat
menetukan keberhasilan suatu ijtihad. Maka maqashid al-shari’ah juga memiliki
peranan penting dalam metode-metode ijtihad, seperti, qiyas, istihsan, al-masalih
al-mursalah, dan sad al-zari’ah.
e.
Pandangan
Ulama’ Terhadap Pemikiran Al-Shatibi
Abu
Ishaq al-Shatibi memiliki reputasi yang baik diantara ulama’ semasanya. Ia juga
mendapat tempat tersendiri dalam pandangan murid-muridnya. Kelebihan al-Shatibi
terlihat pada orang-orang yang meminta fatwa kepadanya. Bukan hanya dari
kalangan pemerintah dan masyarakat yang kurang mengetahui masalah-masalah
keagamaan, akan tetapi terdapat juga dari kalangan umum. Diantara ulama’ yang
meminta fatwa kepada beliau adalah ulama’ terkenal ahli fiqh dan hadis, Abu
‘Abd Allah al-Huffar (w. 880 H) dan ulama’ besar Spanyol, Abu al-Qasim Ibn
Siraj (w. 848 H).
Penonjolan
al-Shatibi dimasanya tidak hanya terbatas dalam bentuk
keterlibatan-keterliabatan ilmiah sesama ulama’, akan tetapi juga dalam bentuk
perdebatan ilmiah dan keagamaan –seperti masalah akidah- dengan para ahli kitab
di Granada. Beliau berhasil mematahkan argument-argumen yang dikemukan oleh
para pemimpin ahli kitab dengan dalil-dalil yang kuat. Oleh karena itu, tepat
sekali apabila muridnya, Abu ‘Abdullah al-Majari al-Andalusi, menyebut sebagai
maha guru terkenal dan sangat menonjol pada masanya.
Walaupun
al-Shatibi hidup pada abad ke-8 H/ke-14 M, dan lebih dikenal pada masanya di
dunia Islam belahan barat, tapi bukan berarti ketenarannya dibatasi oleh
batas-batas geografis. Pada rentang waktu berikut, terutama sejak abad ke-19,
ketokohan al-Shatibi dengan pemikiran-pemikiran hukumnya, mulai menjadi rujukan
kalangan pemikir pembaharuan dalam Islam. Antara lain para pemikir pembaharuan
dalam Islam itu adalah Sheikh Muhammad Abduh, Rashid Rida, Muhammad Iqbal, dan
Abu al-Ala al-Maududi.
Muhammad
Abduh (w. 1323 H/1905M) melihat al-Shatibi dengan al-Muwafaqatnya merupakan
mata rantai yang sangat penting bagi pengembangan pemikiran hukum dalam Islam.
Oleh karena itu Muhammad Abduh menganjurkan kepada para cendikiwan muslim untuk
melakukan telaah terhadap al-Muwafaqat dan menjadikannya sebagai rujukan dalam
usaha pengembangan aspek-aspek filsafi hukum Islam.[49]
Diantara cendikiawan muslim yang dianjurkan secara langsung oleh Muhammad Abduh
adalah Muhammad hudari Bek dan Abdullah Darraz. Hudari Bek telah memasukkan
pemikiran al-Shatibi dalam menyusun karya usul fiqhnya, sedangkan darraz telah
melakukan penukilan terhadap kitab al-Muwafaqat.
Adapun
menurut Rashid Rida, pemikiran hukum yang dikemukan oleh Shatibi dalam dua
karyanya, al-Muwafaqat dan al-I’tisam menempatkannya sederajat dengan Ibn
Khaldun. Rashid Rida memberikan kata pengantar yang menarik terhadap kitab
al-I’tisam dengan judul al-Ta’rif bi al-Kitab al-I’tisam (berkenalan
dengan kitab al-I’tisam).[50]
Al-shatibi
dengan pemikiran hukumnya mendapat tempat pula dalam pandangan pemikir pembaharuan dalam Islam di Pakistan.
Muhammad Iqbal (w. 1938), menyebut al-Shatibi sebagai seorang ahli hukum Islam
Spanyol yang besar. Pengaruh pemikiran hukum al-Shatibi juga tampak pada
cendikiawan atau pemikir pembaharuan setelah Iqbal, Abu al-A’la al-Maududi. Maududi
bahkan menganjurkan kitab al-Muwafaqat diterjemahkan. Hasil penerjemahan itu
dapat membantu usaha formulasi falsafah hukum Islam. Dalam menguraikan dinamika
hukum Islam bidang social kemasyarakatan. Maududi mengutip pemikiran al-Shatibi
untuk memperkuat pendapat-pendapatnya.[51]
Selain
Iqbal dan Maududi terdapat pula cendikiawan muslim Pakistan terkenal pada abad
ke-20 ini yang memberikan sorotan dan perhatiannya terhadap pemikiran
al-Shatibi. Dia adalah Fazl al-Rahman (w. 1988 M) dan Ziaudin Sardar.
Menurut
Fazl al-Rahman, al-Shatibi adalah seorang ahli hukum yang cemerlang pada abad
ke-8 H/14 M. ia adalah seorang ulama’ yang berusaha menciptakan fondasi-fondasi
rasional moral dan spiritual system hukum Islam.[52] Begitu
juga menurut Ziaudin Sardar, bahwa
al-Shatibi adalah ahli hukum abad ke-14 yang memusatkan perhatiannya kepada
kesinambungan dan perubahan dalam Islam. Ia juga seorang ahli hukum yang
percaya bahwa perubahan social dan perubahan hukum saling berkaitan. Dalam
pembahasan tentang shari’at sebagaimana tertuang dalam bukunya The Future of
Muslim civilization dan buku Islamic Future: The Shape of Ideas to Come,
Sardar banyak merujuk kepada pemikiran hukum al-Shatibi yang member penekanan
pada shari’at dan tujuan-tujuan yang dikandungnya.
Di
Indonesia, pemikiran hukum al-Shatibi kalau diteliti dengan cermat, tampak pada
tokoh Hasbi al-Shiddieqy (w. 1975), seorang tokoh fikih dan usul fiqh yang
selalu mendorong terbentuknya fikih Indonesia. Walaupun Hasbi ash-Shiddieqy
tidak memberikan komentar apapun terhadap ketokohan al-Shatibi, namun
pemikiran-pemikiran hukum tokoh usul fiqh Spanyol ini mendapat tempat
tersendiri di mata hasbi. Hal ini dapat ditelaah melalui karya-karya hasbi.
Antara lain yang paling menonjol dapat ditemukan dalam karyanya yang berjudul falsafah
hukum Islam.[53]
KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.
Konsep
pemikiran al-Shatibi tentang maqashid al-shari’ah memiliki pengaruh besat
terhadap para ulama’. Hal ini bisa dilihat dari komentar-komentar para ulama’
diatas
2.
Embrio maqashid
al-shari’ah sudah ada sejak zaman rasulullah dan sudah pernah di bahas oleh
beberapa ulama’ sebelum al-Shatibi. Namun pembahasan mereka tampak kurang
focus, sehingga bahasannya tidak terlalu dalam. Berbeda dengan al-Shatibi yang
membahas maqashid al-shari’ah dengan teliti dan jelas. Apalagi bahasan tentang
maqashid al-shari’ah ini dituangkan dalam karya ilmiahnya yaitu
al-Muwafaqat,
3.
Adanya ketidak
puasan al-Shatibi terhadap teori yang digunakan oleh jumhur ‘ulama’ dalam metode
penalaran terhadap nash yaitu teori keumuman lafal dengan kaidah al-‘ibrah
bi maqashid al-shari’ah, la bi ‘umum al-lafz au bi khusus al-sabab dan
teori yang digunakan ‘ulama’ minoritas yaitu teori kekhususan sebab dengan kaidah
al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafz. Maka al-Shatibi muncul
dengan toerinya yaitu teori maqashid
al-shari’ah dengan kaidah al-‘ibrah bi maqashid al-shari’ah, la bi ‘umum
al-lafz au bi khusus al-sabab.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali, ‘Abd
al-Rahman Adam, Al-Imam Al-Shatibi
‘Aqidatuhu wa Mauqifuhu min Al-Bida’I wa Ahlaha, Riyad : Maktabah al-Rushd,
1998.
Al-Shatibi, al-I’tisam, alih bahasa,
Salahudin Sabki, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Al-Shatibi, al-Muwafaqat fi usul al-Shari’ah,
Beirut : Dar
el-kutub el-‘Ilmiyah, t.t.
Al-Maududi, Abu al-A’la, The Islamic Law and
Constitution, Lahore : Islamic Publication, 1975.
Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah
Menurut Al-Syatibi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Dahlan, Abdul Azis [et al], Ensiklopedia
Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Depag RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Bandung : Al-Jumanatul Ali, 2004.
Masud, Muhammad Khalid, Islamic
Legal Philosophy, India : International Islamic Publishers, t.t.