PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IBNU TAIMIYAH
PENDAHULUAN
Dalam
perjalanan sejarah, ajaran Islam mengalami penyimpangan-penyimpangan yang
disebabkan oleh kesalahan dalam memahami dan mengamalkannya ataupun adanya
penolakan masyarakat untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip al-Qur’a>n
dan al-H{adith yang benar, sehingga mendorong munculnya usaha-usaha pemurnian
dan pembaharuan pemikiran Islam oleh pembaharu (mujaddid).
Dalam
konteks makna dan hakikat pembaharuan (tajdi>d) dan kenyataan empirik
yang terjadi polarisasi pemahaman Islam, sosok Ibn Taimiyyah adalah seorang
pembaharu dan pemurni Islam abad pertengahan yang memilki otoritas tinggi.
Sejarah telah mencatat bahwa Ibnu Tamiyyah bukan hanya sebagai pembaharu, tapi
juga sebagai da>’i yang tabah,
wara’, zuhud dan ahli ibadah, serta orang yang pemberani mengakkan
kebenaran. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kezaliman
musuh dengan pedangnya, seperti halnya beliau adalah pembela akidah umat dengan
lidah dan penanya.
Upaya yang dilakukan Ibnu Taimiyah
berangkat dari asumsi dasar bahwa kaum Muslimin generasi pertama maju dengan
pesat karena mereka berpegang kepada ajaran Islam dan menghormati al-Qur’an.
Sebaliknya, kaum muslimin pada masanya lemah dan kurang dihargai komunitas
agama lain karena mereka telah meninggalkan sumber ajarannya. Ia berkesimpulan
bahwa tugas utama yang harus dijalankannya adalah menyeru umat Islam untuk
kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunah, dengan menggunakan pemahaman kaum
muslimin generasi pertama untuk menguji madzhab-madzhab dan hasil pemikiran
kaum muslimin dari masa ke masa.[1]
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Taimiyah
Nama lengkap
Ibnu Taimiyyah[2]
adalah Ahmad Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas ibn al-Shaikh Shihab al-Din Abi
al-Mahasin 'Abd al-Halim ibn al-Shaikh Majid al-Din Abi al-Barokat 'Abd
al-Salam ibn Abi Muhammad ‘Abd Allah ibn Abi al-Qosim al-Khudr ibn Muhammad
al-Khudr ibn 'Ali ibn ‘Abd Allah.Ia lahir di kota Harran yang terletak di
daerah Mesopotamia, pada hari senin, tanggal 10 Rabi‘ul Awal 661 H / 22 Januari
1263 M.[3]Sebagian
ulama' menyebutkan bahwa beliau lahir tanggal 12 Rabi'ul Awal 661 H, karena
mereka bermaksud menetapkan tanggal kelahiran Ibnu Taimiyyah itu bertepatan dengan
kelahiran Nabi Muhammad SAW. yang akan meneruskan perjuangannya.[4]
Adapun ayah Ibn
Taimiyyah, Shihab al-Din Abi al-Mahasin 'Abd al-Halim ibn al-Shaikh Majid
al-Din Abi al-Barokat 'Abd al-Salam yang lahir di Harron 627 H, banyak
mendengarkan ilmu dari sang ayah dan juga ulama’ yang lain. Sampai ia pun mampu
menguasai ilmu-ilmunya dengan baik dan menjadi seorang ulama’, khotib dan juga
hakim di kotanya.[5]
Begitu pula
kakeknya, Shaikh Majid al-Din Abu al-Barokat ‘Abd al-Salam adalah seorang
ulama’ fiqih madzhab hanbali, ahli tafsir, hadith, ushul dan nahwu. Beliau juga
seorang hafidz al-Qur’an. Shaikh Majidduddin seorang pecinta ilmu. Beliau tidak
puas menimba ilmu di kotanya sendiri. Sehingga pada tahun 603 H, ia pun pergi
ke Baghdad untuk menambah ilmu dan pengetahuannya. Setelah 6 tahun di Baghdad,
syaikh majidduddin kembali ke Harran dan menjadi seorang ulama’ besar yang
dihormati banyak orang.[6]
Ketika Ibnu
Taimiyyah berumur 6 tahun dunia Islam Timur tengah diserang oleh pasukan
Tartar, sehingga kota Baghdad jatuh di tangan mereka dan banyak orang yang
melarikan diri. Dia dibawa lari oleh ayahnya bersama kedua saudaranya ke
Damaskus. Di tengah perjalanan, hampir saja mereka tertangkap oleh pasukan
Tartar, untungnya mereka bisa selamat dan bisa sampai tujuan.[7]
Di Damaskus,
suatu kota yang penuh dengan ulama' dan pusat ilmu pengetahuan, Ibnu Taimiyyah berkembang
dan maju dengan pesatnya. Suatu kelebihan yang diberikan Ibnu Taimiyyah adalah
cepat hafal dan sukar lupa. Para sahabat, murid dan ulama' seangkatnya
sama-sama mengakui kemampuan hafalannya. Sebagian mengatakan bahwa tak sehuruf
pun dari al-Qur'an maupun hadith atau sesuatu ilmu yang dia hafal lalu lupa.[8]
Dalam usia 7
tahun dia sudah hafal al-Qur'an dengan amat baik dan lancar. Selain itu,
penguasannya yang prima terhadap berbagai ilmu yang diperlukan untuk memahami
al-Qur'an menyebabkan ia tampil sebagi ahli tafsir, di samping juga ahli
hadith. Keahliannya dalam bidang hadith ini tampak terlihat sejak masa kecil.
Suatu ketika, salah seorang gurunya mendiktekan 11 matan hadith kepadanya.
Ketika ia disuruh mengulang hadith tersebut, ia telah menghafalnya dengan baik.[9]
Dalam
berbagai pertemuan, kuliah umum, dan pengajian, dia selalu hadir meskipun masih
muda dan berkumpul bersama para orang tua. Bahkan dalam berbagai kesempatan dia
mengadakan dialog dan berdiskusi dengan para ulama'. Pada usia 17 tahun
kegiatan ilmiahnya sudah mulai memberikan fatwa-fatwa dan mengarang. Dalam umur
21 tahun dia ditinggal pergi oleh ayahnya. Dia begitu sedih. Namun kesedihannya
dia palingkan pada suatu pekerjaan yang besar, yaitu menafsirkan al-Qur'an.[10]
Kamaluddin bin
al-Zamlakani dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa jika ahli-ahli fiqh
yang datang dari berbagai madzhab duduk bersamanya, mereka akan banyak
memperoleh ilmu tentang madzhabnya yang tidak diketahui dari Ibnu Taimiyyah.
Tak pernah sekali saja dia berdiskusi dengan seseorang lalu dia kalah. Dalam
hal tulis menulis, dia begitu indah memilih kata-kata, paparannya tepat pada
sasaran, pandai menyusun kerangka dan kata-kata.[11]
Banyak orang
yang menulis riwayat hidup Ibnu Taimiyyah dan juga memujinya. Mereka
menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyyah telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk
mencari ilmu dengan berbagai cabangnya. Dalam berbagai ilmu pengetahuan, dia
berada di depan di antara para ulama' yang ada dan hidup pada zamannya.
Selain
menulis, aktivitas ilmiah yang paling dia tekuni kurang lebih 20 tahun adalah
mengajar dan memberi fatwa-fatwa. Hal ini ia lakukan semenjak kurang dari usia
20 tahun[12].
Kematian ayahnya pada tahun 682 merupakan cambuk baginya untuk terus
melaksanakan cita-cita ayahnya. Dia mengajar dan memberi fatwa-fatwa lebih
tekun lagi, meskipun umurnya belum lagi 21 tahun.
Ibnu
Taimiyyah merupakan figur dari ulama' yang terkenal keberaniannya, sabar dan
pemaaf. Sejarah telah mencatat berbagai kejadian penting yang menyatakan
tentang keberanian Ibnu Taimiyyah dan kekerasannya dalam jiha>d fi>
sabi>lilla>h terutama melawan para ahli bid'ah dan khurafa>t.
Pemikiran Ibnu Taimiyyah sering menjadi ajang
polemik di kalangan para ulama', sejak zaman Ibnu Taimiyyah sendiri, dan
gara-gara itu dia sering keluar masuk penjara, terutama mengenai
masalah-masalah akidah dan fiqh. Keberanian Ibnu Taimiyyah ini tidak hanya
berbeda dengan para ulama di zamannya, namun Ibnu Taimiyah juga sering
menyalahi ijma'`. Itulah yang membuat ulama' di zamannya geram pada Ibnu
Taimiyyah. Akhirnya Ibnu Taimiyyah dituduh sesat dan dipenjara.
Mula-mula
meskipun dipenjara Ibnu Taimiyyah masih dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya
dengan menulis buku atau makalah, tetapi kemudian jiwanya sangat terpukul
ketika dipenjara Damaskus ia tidak diberi kertas dan tinta lagi. Dia tidak
tahan menerima penghinaan itu, dan akhirnya tutup usia pada tahun 728 H atau
1329 M, pada usia lebih kurang 66 tahun.[13]
B.
Perjalanan Intelektual Ibnu Taimiyyah
Sejak kecil,
Ibnu Taimiyyah memulai belajarnya dengan mendalami al-Qur’an dan hadith kepada sang ayah. Karena
adanya serangan pasukan Tatar ke negerinya Syam (Syiria), ia dan keluarganya
pindah ke Damaskus. Kota ini termasuk salah satu pusat ilmu tebesar pada masa
itu. Ibnu Taimiyyah seorang anak yang cerdik, hari-harinya ia sibukkan untuk
belajar. Ibnu Wardi mengatakan bahwa setelah ia mengusai ilmu khot, hisa>b (hitung), dan hafalan qur’an,
dengan segera ia mempelajari ilmu fiqih dan bahasa arab sampai ia pun unggul
dalam ilmu nahwu. Setelah itu, ia bergegas mempelajari ilmu tafsir secara
keseluruhan sampai selesai. Kemudian ia melanjutkan ke ilmu ushul fiqh. Semua
itu dilakukan oleh anak usia sekitar 10 tahun.[14]
Dengan kecerdasan dan ketekunannya ia mampu mendalami berbagai macam ilmu
agama,termasuk ilmu kalam dan filsafat dalam usia 19 tahun. Dan ia telah
dipercaya untuk mengeluarkan fatwa. Ketika menginjak usia 21 tahun, ia
menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal sebagai seorang ulama’ dan
hakim. Demikian Ibnu Taimiyyah tumbuh menjadi ulama’ besar terkemuka dan
berpandangan luas. Keulamaannya mencakup seluruh kajian keislaman sehingga
pantas mendapat gelar Syaikhul Islam.
Pada usia 30 tahun, usia yang relatif masih muda, Ibnu Taimiyyah sudah diakui
kapasitasnya sebagai ulama’ besar pada zamannya.[15]
Di antara
guru-guru Ibnu Taimiyyah, selain dari kalangan keluarganya, adalah sebagai
berikut :[16]
1.
Ibnu 'Abd al-Qawi (603-699 H.). Nama lengkapnya adalah
Muhammad ibn 'Abd al-Qawi ibn Badran ibn 'Abd Allah al-Maqdisi, julukannya (laqab
) Syams al-Din, dan nama panggilannya (kunyah) Abu 'Abd Allah. Ia ahli
dalam bidang hadith, fiqh, dan bahasa Arab. Di antara kitab yang disusunnya
adalah al-Furuq.
2.
Ibn 'Abd al-Da'im (577-678 H.). Nama lengkapnya adalah Ahmad
ibn 'Abd Da'im ibn Ni'mah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Ahmad ibn Bakr
al-Maqdisi. Ibnu Taimiyyah berguru hadith kepadanya. Di antara ulama yang meriwayatkan
hadith dari Ibn 'Abd al-Da'im adalah al-Syaikh Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibn
Daqiq al-'Id.
3.
Al-Munaja' ibn Uthman al-Tanukhi (611-195 H.). Beliau adalah
seorang faqih yang terkenal di Syam (Suriah) pada zamannya. Di samping itu, ia
dikenal sebagai ulama yang ahli dalam bidang tafsir dan bahasa Arab. Di samping
mengajar, kegiatannya adalah menulis. Di antara tulisannya adalah Sharh al-Mughni
(empat jilid), Tafsir al-Qur'an, dan Ikhtis}ar al-Mahs}ul. Ibnu
Taimiyyah belajar fikih kepadanya.
4.
Ibnu Qudamah (597-682 H.). Nama lengkapnya adalah 'Abd
al-Rahman ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Ia adalah pemimpin
madzhab yang cemerlang pada masanya.
Dari
gambaran di atas, dapatlah diketahui bahwa selain karena kepandaian,
kecerdasan, dan ketekunan, kealiman Ibnu Taimiyyah terdukung oleh situasi
lingkungannya, sehingga ia menjadi ulama' yang giat mengajarkan ilmu-ilmunya.
Sebagai
seorang ulama' yang sangat cerdas, Ibnu Taimiyyah banyak mencurahkan
perhatiannya untuk pengembangan ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan dari
karya-karya yang didasilkan dan murid-muridnya. Di antara beberapa murid Ibnu
Taimiyyah adalah sebagai berikut :[17]
1.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w.751 H.). Nama lengkapnya adalah
Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub ibn Sa'ad ibn Harith al-Zar'i al-Dimashqi Abu
'Abd Allah, julukannya adalah Syams al-Din. Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah. Karyanya tidak kurang dari 41 judul. Di antara kitabnya
yang banyak dijadikan rujukan adalah I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin.
Kaidah fiqh yang dibangunnya hingga sekarang ini masih dijadikan rujukan,
yaitu, kaidah "taghayyur al-fatwa bi hasab taghayyur al-azminah wa
al-amkinah wa al-ahwa>l wa al-niyya>t wa al-awa>'id".
2.
Al-Dzahabi (701-748 H.). Nama lengkapnya adalah Syams al-Din
Abi 'Abd Allah Muhammd ibn Ahmad ibn Uthman ibn Qaimaz al-Turkumani al-Dzahabi.
Di antara kitabnya yang terkenal adalah al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n
dan al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n.
3.
Ibnu Kathir (701-744 H.). Nama lengkapnya adalah 'Imad
al-Din Isma'il ibn 'Umar ibnu Kathir. Di antara karyanya yang terkenal adalah Tafsir
Ibn Kathir.
4.
Al-Thufi (lahir tahun 670-an). Nama lengkapnya adalah
Sulaiman ibn 'Abd al-Qawi ibn Sa'id al-Thufi. Ia dikenal sebagai seorang
penganut Syi'ah yang bermadzhab Hanbali.
C.
Karya-karya Ibnu Taimiyyah
Profesinya
sebagai seorang penulis ditekuninya sejak usia 20 tahun. Tulisan-tulisannya
banyak bernada kritik terhadap segala pendapat dan paham yang tidak sejalan dengan
pemikirannya, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan
hadith.
Abu Hasan
'Ali al-Nadwi menyimpulkan bahwa ada 4 macam keistimewaan yang ada di dalam
karya-karya Ibnu Taimiyyah. Pertama, karya-karyanya memberi kesan kepada
pembacanya bahwa dia adalah seorang yang memahami tujuan-tujuan syari'at dan
ruh agama. Hal ini berkaitan dengan penguasaannya yang sangat mendalam tentang
berbagai sisi dan dasar-dasar agama. Kedua, karya-karyanya terasa hidup dan
dinamis karena pada umumnya ditulis untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepadanya ataupun dalam rangka mengkritisi suatu masalah yang
berkembang. Ketiga, terkesan padat isi dan penuh keseriusan. Hal ini bisa
dilihat dari kebiasaannya yang selalu memberi rujukan bagi pandangan-pandangannya
baik pada al-Qur'an, al-Hadith, maupun pendapat-pendapat para ulama' khususnya
ulama' salaf. Keempat, pada umumnya ditulis dengan bahasa yang luas dan tegas.[18]
Sementara
itu, Nur Cholish Madjid berkomentar bahwa sebagian besar karyanya ditulis dalam
suasana dan gaya bahasa yang sangat polemis karena menghadapi berbagai pihak
yang menurut pandangannya telah menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Di
sisi lain, sangat kritis, analitis, polemis, hiperbolis dan bombastis, namun
menunjukkan kelebihan yang mengagumkan dalam penguasaan atas bahan pemikiran
Islam, disertai kesadaran historis yang luas dan mendalam.[19]
Adapun
karya-karyanya kurang lebih mencapai 500 jilid. Di antara karyanya tersebut
yang terkenal adalah :
1.
Kitab al-Radd ‘ala> al-Mant}iqiyyi>n (jawaban terhadap para ahli mantiq)
2.
Manhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah ( metode sunnah nabi)
3.
Majmu>' al-Fata>wa> (kumpulan fatwa)
4.
Baya>n Muwa>faqa>t S}ahi>h al-Ma’qu>l S}ari>h
al-Manqu>l
(uraian tentang kesesuaian pemikiran
yang benar dan dalil naqli yang jelas)
5.
Al-Radd 'ala> Hululiyyah wa al-Ittiha>diyyah (jawaban terhadap paham hulul dan
ittihad)
6.
Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r (pengantar mengenai dasar-dasar
tafsir)
7.
Al-Radd 'ala> Falsafah ibn Rushd (jawaban terhadap falsafah ibn rusyd)
8.
Al-Ikli>l fi> al-Mushabahah wa al-Ta’wi>l (suatu pembicaraan mengenai ayat
mutasyabih dan ta’wil)
9.
Al-jawa>b
al-Sahi>h li Man Baddala I>ma>n al-Masi>h (jawaban yang benar
terhadap orang-orang yang menggantikan iman terhadap al masih)
10.
Al-Radd ‘ala> al-Nusairiah (jawaban terhadap paham nusairiah)
11.
Risa>lah al-Qubrusiyyah (risalah tentang paham qubrusiyah)
12.
Ithba>t al-Ma’ad (menentukan tujuan)
13.
Thubu>t al-Nubuwwa>t (eksistensi kenabian)
14.
Ikhlas} al-Ra>’i wa Ra’iya>t (keikhlasan pemimpin dan yang
dipimpin)
15.
Al-Siya>sah al-Shar'iyyah fi> Is}la>h al-Ra>'i
wa al-Ra'iyah (politik
yang berdasarkan syari'ah bagi perbaikan penggembala dan gembala). Kitab ini
merupakan kitab yang sangat penting, karena
di dalam kitab ini menunjukkan bahwa tujuan gerakan Ibnu Taimiyyah
adalah memperbaiki moral dan sosial dari segala kerusakan sebagai akibat dari
malapetaka yang menimpa umat Islam karena perang dengan Krusades dan juga
serbuan dari bangsa Tatar.[20]
Masih banyak
lagi buah pena yang dihasilkan. Karangan-karangannya hampir semua berisikan
kritik terhadap segala paham aliran-aliran agama Islam yang menurutnya tidak
sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.[21]
D. Metode Pemikiran
Hukum Islam Ibnu Taimiyyah
Metode
berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam bukunya Majmu>'
al-Fata>wa> (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini, nampak sekali
komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat berpegang pada salaf. Metode
berfikirnya adalah metode salaf yang bersumber pada al-Qur'an dan hadith.
Karena itu, pendapat-pendapatnya sarat dengan al-Qur'an dan hadith.[22]
Setiap ahli
fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah kita kenal, masing-masing mempunyai
dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan tempat kembalinya di dalam pengambilan
hukum. Ibnu Taimiyyah bukanlah imam madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok,
sebagaimana keempat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali). Hukum-hukum
fiqh yang ia istinbatkan bersandar kepada imam madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin
Hanbal.[23]
Menurut
penyelidikan para sarjana ushul, fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hanbal didasarkan
atas dalil-dalil hukum meliputi:[24]
1.
Nash, yakni al-Qur'an dan hadith sebagai sumber hukum yang
utama dan pertama. Ia tidak membedakan antara derajat al-Qur'an dan hadith
sebagai sumber hukum Islam.
2.
Fatwa sahabat, yaitu fatwa-fatwa para sahabat Nabi, terutama
yang mereka sepakati. Jika imam Amad bin Hanbal mendapatkan fatwa sebagian
sahabat dan tidak mengetahui adanya sahabat lain yang menyalahi fatwa tersebut,
ia tidak akan berpaling pada yang lain. Ia tidak mau menyebut fatwa-fatwa
sahabat tersebut sebagai ijma', tetapi karena hati-hati, ia lebih senang
mengungkapkannya dalam kata-kata la> a'lam shai'an yadfa'uhu (aku
tidak mengetahui adanya seseorang yang menolaknya) atau dalam ungkapan-unkapan
lain yang senada.
3.
Hadith mursal dan hadith da'if. Ahmad bin Hanbal mengambil
hadith mursal dan hadith da'if sebagai dasar penetapan hukum bagi suatu masalah
selama tidak bertentangan dengan nash-nash al-Qur'an dan hadith yang sahih
serta fatwa para sahabat. Adapun yang dimaksud hadith da'if dalam pandangan
imam Ahmad bin Hanbal bukanlah hadith yang batil dan mungkar, melainkan apa
yang dikenal dengan sebutan hadith hasan dalam istilah ilmu hadith.
4.
Qiyas (analogi). Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan qiyas
sebagai dasar penetapan hukum dalam keadaan terpaksa, yaitu apabila ia
menghadapi suatu persoalan yang dasar hukumnya tidak ditemukan di dalam
al-Qur'an atau sunnah, tidak pula dijumpai dalam fatwa para sahabat atau salah
satu dari mereka, atau tidak ada hadith mursal atau hadith da'if.
Meskipun
secara umum ushul fiqh Ibnu Taimiyyah sama dengan ushul fiqh Imam Ahmad bin
Hanbal. Dalam beberapa hal, ada perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaab
tersebut adalah sebagi berikut:[25]
- Ibnu Taimiyyah meletakkan hadith sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur'an. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal fatwa sahabat
sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an dan sunnah.
- Ibnu Taimiyyah meletakkan ijma' sebagai sumber hukum
yang ketiga. Sedangkan sumber hukum yang ketiga bagi Imam Ahmad bin Hanbal
adalah hadith mursal dan hadith da'if. Ditempatkannya ijma' pada urutan
ketiga oleh Ibnu Taimiyyah bukan tanpa alasan. Ia merujuk pada beberapa
asar para sahabat Nabi, di antaranya ucapan Umar bin al-Khattab yang
berkata "Putuskanlah perkara itu menurut hukum yang ada dalam Kitab
Allah. Kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), putuskanlah sesuai dengan sunnah
Rasul, dan kalau tidak ada (dalam
sunnah Rasul), putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh
umat manusia".
- Sumber hukum yang keempat yang digunakan oleh Ibnu
Taimiyyah adalah qiyas. Ibnu Taimiyyah membagi qiyas dalam dua macam,
yaitu qiyas sahih (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang
jelas) dan qiyas fasid (analogi yang didasarkan pada illat yang
dibuat-buat).
Selanjutnya Dr.
Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya yang berjudul Ibnu Taimiyyah
menyebutkan bahwa ushul fiqh yang mewarnai fiqh dan hukum-hukum syar'i yang
diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut:[26]
1.
Kitab dan Sunnah
Al-Qur'an
dan hadith merupakan sumber utama dari pengambilan hukum Islam. Mengenai
hadith, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi tiga macam:
Pertama:
Sunnah Mutawatirah, yaitu sunnah Rasul yang menafsirkan al-Qur'an dan tidak
bertentangan dengan dhahirnya. Misalnya, mengenai jumlah shalat fardhu dan
rakaatnya sehari semalam, ukuran nisab zakat, manasik haji, dan lain
sebagainya.
Kedua: Sunnah
Mutawatirah tetapi tidak menjadi tafsiran dari al-Qur'an, atau yang pada
dhahirnya bertentangan dengannya, tapi membawa hukum baru, seperti
hadith-hadith yang mendatangkan hukum baru yang tidak terdapat dalam nash, tapi
tidak bertentangan pada dhahirnya. Misalnya, nisabnya mencuri, rajamnya bagi
pezina, dan lain sebagainya.
Ketiga:
khabar ahad yang sampai kepada kita melalui riwayat-riwayat yang kuat (thiqa>t)
dari riwayat-riwayat yang kuat pula. Ibnu Taimiyyah menganggap ini sebagai
hujjah atau salah satu dalil pokok dari ushul fiqh.
Ibnu
Taimiyyah benar-benar memperhatikan sunnah dan mengamalkannya sebaik mungkin
jika ia shahih, meskipun hadith itu berupa khabar ahad. Menurut Ibnu Taimiyyah,
menolak hadith tersebut berarti menentang keumuman al-Qur'an maupun dhahirnya. Pendapat ini senada dengan
Abu Hanifah, dan Imam Malik yang juga menambahkan bahwa menolak hadith tersebut
berarti menentang praktek penduduk Madinah.
2.
Ijma'
Ijma' yang
disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah ijma' yang dilakukan oleh para
sahabat. Ijma' yang dilakukan oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya
diragukan. Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Mengenai
ijma' yang datang setelah para sahabat ini, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa
jika para ulama' ijma' atas suatu hukum, maka tak seorang pun boleh keluar dari
ijma' itu karena suatu umat tidaklah berijma' atas sesuatu kesesatan. Namun
Ibnu Taimiyyah tak berhenti sampai di situ, ijma' itupun harus mempunyai
sandaran kembali dari nash al-Qur'an dan hadith. Ijma' yang seperti inilah yang
dia anggap patut dijadikan salah satu hujjah atau dalil hukum.
Bagaimana
jika terjadi pertentangan antara ijma' dengan nash yang datang dari Rasulullah,
apakah ijma' itu yang diambil dan menjadi nasikh bagi nash? Atau mengambil
nashnya dan meninggalkan hukum yang berdasar ijma'?.
Menurut Ibnu
Taimiyyah mustahil ada ijma' yang bertentangan dengan nash Rasul. Jika memang
ada nash yang bertentangan dengan ijma' maka di samping ijma' itu pasti ada
nash lain yang menerangkan penghapusan nash yang pertama.
Dalam kitab Ma'a>rij
al-Wus}u>l, Ibnu Taimiyyah menerangkan bahwa sunnah tidak pernah
menasakh hukum yang telah ditetapkan al-Qur'an, sebagaimana sunnah tak pernah
dinasakh oleh ijma'.
3.
Qiyas
Qiyas yang
dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang sesuai dengan nash, pernah
dilakukan oleh sahabat dalam pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah
serta menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat ada sahabat yang
melakukannya.
Dalam
risalahnya, Ibnu Taimiyyah menerangkan tentang qiyas yang benar, bentuk dan
syarat yang harus dimiliki dan didapat dalam qiyas itu, yaitu:
a.
'Illat hukum tasyri' yang terdapat dalam asal harus juga ada
di dalam cabang (furu'), tanpa ada pertentangan dalam cabang yang menjadi
penyebab terlarang penentuan hukum 'illah itu.
b.
Qiyas dengan pembatalan pembeda antara dua bentuk itu (asal
dan cabang). Antara keduanya, asal dan cabang tidak boleh ada pembeda yang
mempengaruhi syara'.
Menurut Ibnu
Taimiyyah, qiyas yang shahih adalah qiyas yang sejalan dengan nash. Nash tak
pernah bertentangan dengan qiyas. Sedangkan qiyas yang salah bisa bertentangan
dengan nash. Dalam syari'at tak ada suatu perkara yang bertentangan dengan
qiyas.
4.
Istishab
Menurut Ibnu
Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang pada hukum asal, selama hukum itu
belum diketahui tetap ada atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah
bagi ketidak-adaan ittifa>q.
Jika seorang
mujtahid dihadapkan pada suatu masalah yang sedang hangat terjadi di
masyarakatnya, kemudian dia diminta pendapatnya, dan tidak mendapatkan nash
dari al-Qur'an hukum masalah itu, mubah atau haram, maka dia harus memilih
mubahnya, sebab asal dari segala sesuatu itu mubah, kecuali yang sudah
diharamkan oleh syara'. Ibahah atau pembolehan itu merupakan keadaan yang
keseluruhan ciptaan Allah yang ada di atas bumi. Jika tak ada hukum syara' yang
menentukan perubahan ibahah itu, maka ia pun tetap berada dalam hukum mubah (hukum
asal).
5.
Mashlahah Mursalah
Ibnul
Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar memberikan perhatiannya yang tidak
sedikit kepada fiqh imam Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai
ushul fiqh, dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah, padahal
madzhab-madzhab yang lain membicarakannya.
Namun dalam
salah satu buku yang membicarakan tentang usul fiqh, Ibnu Taimiyyah
membicarakan pula maslahah mursalah. Namun dia ragu-ragu mengenai hakikat dan
kebenarannya, dan ragu-ragu menerimanya. Hal ini dikarenakan pada masanya penuh
dengan berbagai aliran pemikiran sesat, filsafat dan sufi, serta arus pemikiran
lain yang menentang Islam. Sebagian sultan dan raja mempergunakan pakain
tertentu dengan maksud dan keyakinan dapat menolak bahaya yang datang, dan lain
sebagainya.
Jumhur
ulama' menolak maslahah mursalah secara mutlak. Cuma Imam Malik yang
menerimanya secara mutlak. Hal ini sebenarnya cukup mengherankan, sebab Ibnu
Taimiyyah, Ibnul Qayyim, sama-sama menetapkan ushul hukum maslahah mursalah ini
dalam berbagai ketetapan hukum fiqh, seperti dapat kita baca dari
kitab-kitabnya.
E.
Pro dan Kontra atas Pemikiran Ibnu
Taimiyyah
Ibnu
Taimiyyah banyak mengetahui masalah fiqh Islam dari berbagai madzhab yang ada.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa pengetahuannya tentang fiqh berbagai madzhab
lebih luas dan mendalam daripada pengetahuan penganut-penganut madzhab itu
sendiri. Ia memahami dengan mendalam perbedaan pendapat ulama', mengetahui
masalah-masalah ushul dan furu'. Pengetahuannya tentang fiqh itu juga di barengi
penguasaan yang mendalam terhadap ushul fiqh. Hal ini terlihat dengan
kesanggupannya untuk tampil sebagai mufti sejak berumur 20 tahun.
Telah kita
ketahui bahwa Ibnu Taimiyyah adalah pengikut madzhab Hanbali. Namun dalam
berbagai pendapat fiqh dan ushulnya kita temukan ketidaksamaannya dengan
pendapat imamnya. Oleh karena itu pantaslah kalau dia disebut mujtahid baru.
Kamaluddin bin al-Zamlakani sebagai seorang ulama' di masanya juga mengatakan
bahwa Ibnu Taimiyyah telah memenuhi syarat-syarat ijtihad.[27]
Ibnu
Taimiyyah mempunyai banyak sekali pendapat tentang hukum Islam. Jika
diklarifikasikan, maka pendapat-pendapatnya itu dapat kita bagi dalam tiga
golongan:[28]
a.
Pendapat-pendapat yang berisikan Imam Ahmad bin Hanbal.
b.
Kumpulan pendapat yang tidak mencirikan suatu madzhab
tertentu, tapi menurut pemikiran Ibnu Taimiyyah sendiri.
c.
Pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat-pendapat
keseluruhan Imam madzhab Islam.
Penyusunan
pendapatnya ke dalam tiga klarifikasi ini merupakan suatu hal yang biasa
dilakukan oleh seorang manusia, di mana pada masa-masa permulaannya masih
begitu setia dengan imam madzhabnya, sehinga pikiran-pikiran sang imam menjadi
panutan, namun setelah lama pikiran-pikiran imamnya itu, dia pun mengetahui
kekurangan-kekurangan yang dimiliki sang imam. Pada fase berikutnya dia pun
menulis dengan ciri tersendiri, dan tidak heran kalau menyerang
pendapat-pendapat yang menyerangnya.
Berikut ini adalah
pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah yang berhubungan dengan masalah fiqh:
- Kedewasaan sebagai penghapus hak
ijbar[29]
Dalam salah
satu hadith dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:"الايم
احق بنفسها من وليها"
. Dari hadith ini, para ulama' di antaranya Daud al-Zhahiri berpendapat bahwa
wali mempunyai hak ijbar (memaksa) terhadap anak gadis, dan tidak mempunyai hak
ijbar terhadap anak yang sudah janda.
Ibnu
Taimiyyah tidak sependapat dengan pandangan di atas yang antara lain
dikemukakan oleh imam al-Zhahiri. Menurut Ibnu Taimiyyah. Hak ijbar tidak
terletak pada kegadisan dan kejandaan, meskipun dalam hadith secara eksplisit
dikatakan janda (al-ayyim), tetapi pada kedewasaan. Oleh karena itu hak
ijbar wali akan hilang apabila anak yang akan dinikahkannya sudah dewasa, baik
ia masih gadis maupun sudah pernah menikah. Sebaliknya, sekalipun ia pernah
menikah tetapi belum dewasa, wali masih memiliki hak ijbar terhadapnya. Kata al-ayyim
tidak dipahaminya secara tekstual. Ia memahaminya sebagai kedewasaan berfikir.
- Pengangkatan pemimpin termasuk
kewajiban agama[30]
Dalam kitab al-Siya>sah
al-Shar'iyyah fi> Is}la>h al-Ra>'i wa al-Ra'iyyah, Ibnu Taimiyyah
mengatakan bahwa mengangkat pemimpin merupakan salah satu kewajiban agama.
Sebab kemaslahatan manusia tidak akan sempurna kecuali bermasyarakat yang
antara satu dengan yang lainnya saling memerlukan. Karena bermasyarakat,
manusia wajib menjadikan salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.
Sabda Nabi:
اذاخرج
ثلا ثة في سفر فليؤمروا احدهم
Apabila tiga orang keluar dan dalam
perjalanan, salah seorang di antara mereka hendaklah diangkat menjadi pemimpin.
Tentang
kewajiban tersebut, di samping berlandaskan hadith di atas, Ibnu Taimiyyah juga
berdasarkan pada salah salah satu hadith yang berbunyi:
لايحل
لثلا ثة يكونون بفلاة من الارض الا امروا عليهم احدهم
Tidak halal bagi tiga orang yang berada
dalam satu tempat kecuali salah seorang di antara mereka diangkat menjadi
pemimpin.
Ketika
mengomentari hadith tersebut, ia berkata,"Nabi Muhammad SAW. mewajibkan
mengangkat pemimpin meskipun jumlah penduduk yang dipimpinnya sedikit seperti
dalam perjalanan. Itu merupakan tanbi>h bahwa berbagai masyarakat
diwajibkan mempunyai pemimpin, karena Allah memerintahkan kita untuk amar
ma'ru>f nahi munkar, jihad, menegakkan keadilan, menolong yang
teraniaya, dan menegakkan hudu>d. Perintah-perintah tersebut tidak
dapat dijalankan secara sempurna kecuali dengan kekuatan dan pemerintahan."
Dalam
pandangnnya, pemimpin adalah bayang-bayang atau wakil Tuhan di bumi. Di samping itu, menurutnya
keberadaan pemimpin yang tidak adil lebih maslahat daripada terjadi kekosongan
pemimpin.[31]
- Larangan jual beli dengan tujuan
ma'siat[32]
Seperti yang
kita ketahui bahwa akad akan menjadi sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi.
Namun salah seorang yang berakad kadang-kadang menjadikan akad itu sebagai suatu
alat untuk kepentingan pribadi yang keluar dari syara', tapi tidak haram, hanya
mubah. Apakah akad itu sah karena rukunnya lengkap, yaitu ada ijab dan qabul?
Atau tidak sah sebab untuk tujuan yang tidak disyari'atkan?.
Abu Hanifah
menganggap akad ini sudah sah, sebab sudah ada ijab dan qabulnya. Niat tujuan
yang tidak diperbolehkan menurut syara' sifatnya abstrak, dan hanya Allah yang
mengetahui. Pendapat Abu Hanifah ini pun disetujui oleh imam Syafi'i.
Namun
menurut imam Ahmad bin Hanbal, akad itu tidak sah meskipun ijab dan qabulnya
sudah lengkap, sebab tujuan akad dari jual beli itu sudah diketahui. Pendapat
ini disetujui oleh Ibnu Taimiyyah.
Bagi
pendapat yang pertama (Abu Hanifah dan Syafi'i), jual beli bahan-bahan
pembuatan arak atau minuman keras diperbolehkan. Tapi bagi pendapat yang kedua
(Ahmad dan Ibnu Taimiyyah) tidak sah.
Pendapat yang diikuti oleh Ibnu
Taimiyyah tampaknya lebih bersifat preventif dari terjangkitnya penyakit sosial
yang ditimbulkan oleh akibat minuman keras. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
bahwa segala sesuatu itu bergantung pada niatnya.
Menurut
al-Thahawi, kalau seseorang mempunyai bahan pembuat minuman keras boleh dijual.
Namun dia hendaknya jangan menjualnya kepada orang yang biasa membuat arak,
sebab bahan pembuat arak itu tidak diharamkan, maka menjualnya pun halal, yang
penjualnya tidak mengetahui atau ada tanda-tanda pada pembeli bahwa dia ingin
membuat sesuatu yang haram dengan bahan belian itu.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam mengambil sebuah keputusan Ibnu
Taimiyyah lebih menekankan kepada kemaslahatan umat.
F.
Gerakan Wahabi
Gerakan ini dinisbahkan kepada Muhammad bin Abdul Wahab, seorang yang
merasa betapa jauhnya kesesatan, bahkan kemusyrikan, pada prilaku keagamaan umat
Islam saat itu (abad ke-18). Gerakan ini bertujuan untuk memurnikan prilaku keagamaan
umat Islam yang telah menyimpang dari tuntunan agama yang sebenarnya.
Istilah Wahabi ini sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini.
Pengikut Abdul Wahab sendiri menyebut diri mereka dengan nama al-Muslimun atau
al-Muwahhidun, yang artinya pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan
Allah. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali.[33]
Inti ajaran yang dibawa oleh Abdul Wahab sangat dipengaruhi ajaran-ajaran
yang dibawa oleh Ibnu Taimiyyah.[34]
Cara persuasif yang dilakukan Ibnu Taimiyyah dalam mencetuskan ajarannya
dirasakan tidak efektif oleh Abdul Wahab. Maka ia mengambil sikap keras dengan
menggunakan kekuatan.
Ada dua inti ajarannya. Pertama, kembali kepada ajaran yang asli.
Maksudnya adalah ajaran Islam yang dianut dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad,
sahabat, dan para tabi'in. kedua prinsip yang berhubungan dengan tauhid.
Menurutnya, orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh
dibunuh. Hal-hal yang termasuk syirik adalah meminta pertolongan bukan lagi
kepada Allah tetapi kepada syaikh, wali, atau kekuatan gaib.[35]
Pada tahun 1804 dan 1806, gerakan
Wahabi ini hampir pudar karena raja kerajaan Usmani, sultan Mahmud II,
memberikan perintah kepada Muhammad Ali di Mesir, supaya mematahkan gerakan
Wahabi itu. Akan tetapi, tidaklah berarti ajaran Wahabi ikut melemah pula.
Ternyata, ajaran itu menyebar ke berbagai Negara seperti India, Sudan, Libya,
dan Indonesia. Di arab Saudi sendiri gerakan Wahabi itu mulai bangkit kembali
pada permulaan abad ke-20. Penyokongnya, Abdul Aziz Ibnu Sa'ud, dapat menduduki
Makkah pada tahun 1924, setahun kemudian juga Madinah dan Jiddah. Sejak itu
aliran dan kekuatan politik Wahabi mempunyai kedudukan yang kuat di Arab.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa aliran gerakan Wahabi itu lebih
tegas dan lebih keras daripada gerakan Ibnu Taimiyyah dalam hal jiha>d fi> sabi>lilla>h terutama melawan para ahli bid'ah
dan khurafa>t.
KESIMPULAN
Nama lengkap
Ibnu Taimiyyah adalah Ahmad Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas ibn al-Shaikh Shihab
al-Din Abi al-Mahasin 'Abd al-Halim ibn al-Shaikh Majid al-Din Abi al-Barokat
'Abd al-Salam ibn Abi Muhammad ‘Abd Allah ibn Abi al-Qosim al-Khudr ibn
Muhammad al-Khudr ibn 'Ali ibn ‘Abd Allah.Ia lahir di kota Harran yang terletak
di daerah Mesopotamia, pada hari senin, tanggal 10 Rabi‘ul Awal 661 H / 22
Januari 1263 M. Sebagian ulama' menyebutkan bahwa beliau lahir tanggal 12
Rabi'ul Awal 661 H, karena mereka bermaksud menetapkan tanggal kelahiran Ibnu
Taimiyyah itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. yang akan
meneruskan perjuangannya.
Metode Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyyah:
1.
Kitab dan Sunnah
2.
Ijma'
3.
Qiyas
4.
Istishab
5.
Mashlahah Mursalah
Pro dan
Kontra atas Pemikiran Ibnu Taimiyyah:
- Kedewasaan sebagai penghapus hak ijbar
- Pengangkatan pemimpin termasuk kewajiban agama
- Larangan jual beli dengan tujuan ma'siat
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Abdul Azis dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2000.
Jalil, Muhammad Sayyid, al-Imam Ibnu Taimiyyah wa Mauqifuhu Min
Qodiyati al-Taʹwil, Kairo: al-Jam‘iyah al-‘Ammah li Shu’uni al-Matabi’
al-Amiriyah, 1972.
Madjid,
Nur Cholish, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997.
Masyhud, “Pemikiran Ibnu Taimiyah
Tentang Metode Penafsiran Al-Qur’an Sebagai Upaya Pemurnian Pemahaman Terhadap
Al-Qur’an”, Jurnal Penelitian Agama,Vol. 9 No. 2 (Januari 2009).
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Musa, Muhammad Yusuf, Ibnu Taimiyyah Kairo : al-Mu’assasah
al-masriyah al-‘Ammah, 1962.
Nadwi,
al-, Abu al-Hasan Ali al-Husni, Rija>l al-Fikr wa al-Da'wah fi
al-Isla>m, Kuwait: Da>r al-Qalam, 1983.
Shaukani,
al-, Muhammad ibn Ali, Nail al-Aus}ar Sharh Muntaq al-Akhbar, Juz 1, Beirut: Da>r
al-Jail, 1995.
Sjaddzali, Munawir, Islam dan Tata
Negara, Jakarta: UI-Press, 2003.
Thaha,
Ahmadie, Ibnu Taimiah Hidup dan Pemikirannya, Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, 2007.
Zahrah,
Muhammad Abu, Ibnu Taimiyyah Hayatuhu wa 'As}ruhu, Ara>uh wa Fiqhuh, Kairo: Da>r
al-Fikr , 2000.
-----------,Ta>ri>kh
al-Madza>hib al-Fiqhiyyah, Kairo: Ma'had al-Dira>sa>t
al-Islamiyyah, tt.