PENDAHULUAN
Pada
dasarnya, pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap Muslim
wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Banyak nash al-Qur’an
maupun hadits Nabi yang menyebutkan juga keutamaan mencari ilmu dan orang-orang
yang berilmu. Seorang Muslim yang giat belajar karena terdorong oleh
keimanannya, bahwa Allah Swt sangat cinta dan memuliakan orang-orang yang mencari
ilmu dan berilmu di dunia dan di akhirat. Betapa pentingnya pendidikan, karena
hanya dengan proses pendidikanlah manusia dapat mempertahankan eksistensinya
sebagai manusia yang mulia, melalui pemberdayaan potensi dasar dan karunia yang
telah diberikan Allah. Apabila semua itu dilupakan dengan mengabaikan
pendidikan, manusia akan kehilangan jatidirinya.
Dalam
belajar ada proses mental yang aktif. Pada tingkat permulaan belajar aktivitas
itu masih belum teratur, banyak hasil-hasil yang belum terpisahkan dan masih
banyak kesalahan yang diperbuat. Tetapi dengan adanya usaha dan latihan yang
terus menerus, adanya kondisi belajar yang baik, adanya dorongan-dorongan yang
membantu, maka kesalahan-kesalahan itu makin lama makin berkurang, prosesnya
makin teratur, keraguan-keraguan makin hilang dan timbul ketetapan.[1]
Proses
belajar berlangsung di dalam pelajar dan sejauh itu, merupakan kejadian intern.
Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu rangkaian kejadian-kejadian yang
berlangsung secara berurutan. Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu
rangkaian fase-fase, yang bersama-sama membentuk proses belajar yang
berlangsung di dalam subyek. Di samping itu, kejadian-kejadian yang terjadi di
luar subyek berperan juga, dalam arti dapat menunjang atau menghambat proses
belajar yang berlangsung di dalam subyek (pelajar).
PEMBAHASAN
A.
Proses
Belajar dan Jalur Belajar
1. Pengertian Proses Belajar
Untuk menghindari ketidak lengkapan tersebut
penyusun akan melengkapi sebagian Definisi dengan komentar dan interprestasi
seperlunya. Proses dari bahasa latin “processus” yang berarti “berjalan
ke depan”. Menurut Chaplin, proses adalah suatu perubahan yang menyangkut
tingkah laku atau kejiwaan.[2]
Skiner, yang dikutip Barlow, dalam bukunya Educational
Psychology The Teaching-Learning Process, belajar adalah suatu proses
adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
Berdasarkan eksperimennya, B.F Skimer percaya bahwa proses adaptasi tersebut
akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforce)[3]
Chaplin, dalam Dictionary Of Psychology,
membatasi belajar dengan dua macam Rumusan. Rumusan pertama berbunyi belajar
adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat
latihan dan pengalaman. Rumusan keduanya, belajar adalah proses memperoleh
respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus[4]
Hintzman dalam bukunya menyatakan, belajar
adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia dan hewan)
disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme
tersebut. With dalam bukunya menyatakan, belajar adalah perubahan yang relatif
menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu
organisme sebagai hasil pengalaman.
Reber dalam kamus susunannya yang tergolong
modern, Dictionary Of Psychology, membatasi belajar dengan dua macam
definisi. Pertama, belajar adalah proses memperoleh pengetahuan, biasanya
sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif. Kedua, belajar adalah suatu
perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang
diperbuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam Istilah yang esensial dan
perlu disoroti untuk memahami proses belajar.
Dalam pengertian lainnya, belajar adalah
modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (leaning is defined
as the modification or strengthening of behavior though experiencing), menurut
pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu
hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari
itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan
melainkan pengubahan kelakuan.[5]
Dengan demikian belajar bukan hanya berupa
kegiatan mempelajari suatu mata pelajaran di rumah atau di sekolah secara
formal. Disamping itu belajar merupakan masalahnya setiap orang. Hampir semua
kecakapan, ketrampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap manusia
terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar. Kegiatan yang disebut
belajar dapat terjadi dimana-mana, baik di lingkungan keluarga, masyarakat
maupun di lembaga pendidikan formal. Di lembaga pendidikan formal usaha-usaha
dilakukan untuk menyajikan pengalaman belajar bagi anak didik agar mereka
belajar hal-hal yang relevan baik bagi kebudayaan maupun bagi diri masing-masing.
Sehingga dapat diketahui ciri-ciri kegiatan
yang disebut belajar yaitu :
a. Belajar adalah aktifitas yang menghasilkan
perubahan pada diri individu yang belajar (dalam arti behavioral changes), baik
aktual maupun potensial.
b. Perubahan itu pada pokoknya adalah
didapatkannya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
Belajar memainkan peran penting dalam
mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah
persiapan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih maju
karena belajar.
Dalam perspektif keagamaanpun belajar merupakan
kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga
derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam (QS. Al-Mujadalah ayat
11,)
Æìsùöt……… ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4………..
“……niscaya Allah akan meningkatkan beberapa
derajat kepada orang-orang yang beriman dan berilmu”.
Seorang
siswa yang menempuh proses belajar yang ideal yaitu ditandai munculnya
pengalaman-pengalaman psikologi baru yang positif yang diharapkan dapat
mengembangkan aneka ragam sikap, sifat dan kecakapan yang konstruktif, bukan
kecakapan destruktif (merusak).
Hilgard, berpendapat
bahwa belajar adalah suatu proses timbulnya atau berubahnya tingkah laku
melalui latihan dan dibedakan dari perubahan yang diakibatkan oleh
faktor-faktor yang bukan digolongkan latihan.[6].
Perubahan sebagai
hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti
berubah pengetahuan, pemahaman, sikap, tingkah laku, keterampilan, serta
perubahan lainnya.[7]
Ali al-Shabuny
mengatakan tentang ayat di atas bahwa
Allah akan mengangkat derajatnya orang-orang yang beriman yang mengerjakan
segala bentuk perintah yang datang dari Allah dan Rasulnya. Khusus bagi
orang-orang yang berilmu Allah akan memberi dan menempatkannya pada tingkat dan
derajat yang lebih tinggi.[8]
Adapun keistimewaan
yang lain dari orang yang berilmu adalah bahwa dia menyandang predikat sebagai
pewaris para nabi. Dan sebagaimana telah maklum bersama, bahwa warisan nabi
bukan berupa harta yang melimpah atau bahkan pangkat dan kedudukan melainkan
berupa ilmu dan agama (baca: al-Qur’an dan Hadits). Dan sudah dimaklumi, bahwa
tak ada pangkat di atas pangkat kenabian dan tidak ada kemuliaan di atas
kemuliaan yang mewarisi pangkat tersebut.[9]
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi, Rasul bersabda:
عن أبى الدرداء قال
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: فضل العالم على العابد كفضل القمر على
سائر الكواكب. وإن العلماء ورثة الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهاما إنما ورثوا
العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر. (رواه ابو داود والترمذي)
Artinya:
“Dari Abu Darda’: Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda: Kelebihan seorang alim dari seorang abid (orang yang suka beribadah)
seperti kelebihan bulan pada bintang-bintang, dan sesungguhnya para ulama itu
pewaris nabi-nabi, mereka (para nabi) tidak mewariskan dinar, tetapi mewarisi
ilmu, siapa yang mengambilnya, maka ambillah dengan bagian yang cukup.”
(H.R Abu Daud dan Turrmudzi).[10]
Dijelaskan oleh Nabi
bahwa seorang alim (baca: orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya) lebih
utama dari pada seorang yang gemar beribadah. Dan Rasul juga menjelaskan bahwa
orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris para nabi.
Paling tidak, ada dua
hal yang terkandung dalam hadits di atas; Pertama, bahwa orang yang alim
lebih utama dari seorang yang gemar beribadah. Ini artinya bahwa orang yang
berilmu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi bahkan melebihi seorang hamba
yang gemar beribadah namun tidak didasari dengan ilmu yang memadai. Yaitu hanya
sekedar mengandalkan ritual ibadah belaka dengan ukuran seberapa tebal berkas
hitam di dahi kita, seberapa besar jilbab yang kita kenakan.
Bertolak dari beberapa
definisi di atas, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan
tingkah laku yang relatif menetap yang terjadi sebagai hasil pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Dan karena itu,
perubahan tingkah laku yang disebabkan bukan oleh latihan dan pengalaman tidak
digolongkan sebagai belajar.
2. Fase-fase dalam proses belajar
Disebabkan belajar
merupakan kegiatan yang berproses, maka tahapan-tahapan yang terjadi dalam
belajar adalah niscaya. Adapun tahapan yang terjadi dalam belajar ibarat mata
rantai yang berkaitan antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya, dan begitu
seterusnya.
Menurut Jerome S.
Bruner, mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran, siswa menempuh tiga episode
atau fase, yaitu: fase informasi (tahap penerimaan materi), fase transformasi
(tahap pengubahan materi), dan tahap evaluasi (tahap penilaian materi).[11]
Wittig berpendapat
bahwa proses belajar itu selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: acquisition
(tahap perolehan/penerimaan informasi) storage (tahap penyimpanan
informasi) retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi).[12]
Bandura memeberikan
pemaparan yang sedikit berbeda dengan kedua tokoh di atas. Tahap-tahap belajar
menurut Bandura meliputi: perhatian, menyimpan dalam ingatan, reproduksi, dan
motivasi.[13]
Dari beberapa definisi
yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil sebuah pemahaman bahwa tahapan
dalam proses belajar adalah dimulai dengan penerimaan informasi yang kemudian
disimpan dalam memori ingatan dan pada gilirannya memori yang tersimpan itu diungkapkan
atau diaktifkan kembali sebagai respon dari stimulus yang sedang dihadapi.
B. Jalur-jalur belajar
1. Jalur belajar informasi verbal
Informasi verbal, yaitu kapabilitas
mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.
Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut
tidak memerlukan manipulasi symbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan.[14]
Sebagaimana yang firman Allah
ù&tø%$#
ÉOó$$Î/
y7În/u
Ï%©!$#
t,n=y{
ÇÊÈ
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, (S.Q. Al-alq ayat 1)
sangat
jelas yang di kemukakan dalam ayat diatas Peranan dan wujud dari beberapa fase
dalam jalur informasi verbal ataupun tekanan yang harus diberikan pada fase
tertentu:
1.
Fase motivasi
: cukup berperan bila siswa harus mempelajari banyak padanan kata-kata atau
banyak fakta.
2.
Fase
mengolah :
perlu mendapat tekanan dalam belajar fakta, karena dalam fase ini siswa
mengadakan organisasi yang pada dasarnya berwujud mencari makna atau arti, yang
kemudian dituangkan dalam suatu perumusan verbal. Dalam belajar padanan
kata-kata, “mengolah” mengambil wujud mengulang-ulang kembali dan hal ini
membutuhkan waktu. Fase mengolah kerap disebut “fiksasi” dan berperan sekali.
Makin baik fiksasinya, makin baik pula penyimpanannya dan makin sempurnalah
reproduksinya.
3.
Fase
menggali
: berperan sekali bila fakta yang telah dihafal, dimasukkan kembali ke dalam
LTM untuk dipelajari kembali (review) atau dihubungkan dengan fakta
baru. Dengan demikian, working memory memegang peranan pokok dalam
belajar informasi verbal.
4.
Fase
prestasi
: mengambil wujud menuangkan informasi yang dimiliki dalam perumusan verbal
yang tepat, sehingga orang lain dapat menagkapnya dengan jelas.[15]
2. Jalur belajar pengaturan kegiatan kognitif
Aspek kognitif adalah
kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah.
Ranah kognitif mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya
yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah
kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan
menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan
mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses
berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi.
Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
a. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge): Adalah kemampuan
seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang
nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan
untuk menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir
yang paling rendah.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-‘Ashar, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-‘Ashar, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.
b. Pemahaman (comprehension) : Adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat.
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat
melihatnya dari berbagai segi. Seseorang peserta didik dikatakan memahami
sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih
rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman
merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan
atau hafalan.
Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.
Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.
c. Penerapan (application): Adalah kesanggupan seseorang untuk
menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode,
prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang
baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat
lebih tinggi ketimbang pemahaman.[16]
Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.[17]
Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.[17]
d. Analisis (analysis) : Adalah kemampuan seseorang untuk merinci
atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih
kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor
yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih
tinggi ketimbang jenjang aplikasi.
Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa dirumah, disekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.
Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa dirumah, disekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.
e. Sintesis (syntesis) : Adalah kemampuan berfikir yang merupakan
kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang
memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma
menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru. Jenjang
sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah
satu jasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik
dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah
diajarkan oleh islam. Akal dapat diartikan sebagai daya pikir atau
potensi intelegensi. Akal sebagai sarana psikis belajar dijelaskan dalam surah
An-Nahl ayat 78 dengan kata af-idah. Menurut Quraish shihab af idah berarti ”
daya nalar”.
Surah
An-Nahl ayat 78
ª!$#ur
Nä3y_t÷zr&
.`ÏiB
ÈbqäÜç/
öNä3ÏF»yg¨Bé&
w cqßJn=÷ès?
$\«øx©
@yèy_ur
ãNä3s9
yìôJ¡¡9$#
t»|Áö/F{$#ur
noyÏ«øùF{$#ur
öNä3ª=yès9
crãä3ô±s?
ÇÐÑÈ
dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur (Surah An-Nahl ayat 78)
Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup
kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada
kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan
menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk
memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah
sub-taksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal
dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi .
Sasaran
belajar adalah pengaturan kegiatan kognitif dalam sisitematika arus pikiran
sendiri dan sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri (control process).
Untuk menunjuk pada pengaturan kegiatan kognitif dapat menggunakan
metakognitif, yaitu pengetahuan tentang kegiatan berpikir dan belajar serta
control terhadap kegiatan itu pada diri sendiri. [18]
Pengaturan
kegiatan kognitif merupakan suatu kemahiran tersendiri; orang yang memiliki
kemahiran ini, mampu mengontrol dan menyalurkan aktivitas kognitif yang
berlangsung dalam dirinya.
1. Fase
motivasi : untuk mendapat motivasi
siswa harus berupaya dengan memeras otaknya sendiri. Jika kadar motivasi lemah,
siswa akan cenderung membiarkan problem tetap menjadi problem dan terlalu susah
untuk memikirkan.
2. Fase
konsentrasi : siswa harus mengamati dengan cermat, kalau
penyelesaian masalah membutuhkan pengamatan.
3. Fase
pengolahan : siswa harus menggali dari ingatannya terhadap
siasat yang pernah digunakan untuk mengatasi hal serupa, mana yang cocok untuk
suatu problem. Jika tidak tersedia
siasat dalam ingatan, siswa harus menciptakan siasat baru dan ini membutuhkan
pikiran kreatif, paling sedikit pikiran terarah.
4. Fase
umpan balik : siswa mendapat konfirmasi tentang tepat tidaknya
penyelesaian yang ditemukannya. Konfirmasi ini dapat meningkatkan atau
menurunkan motivasi siswa untuk berusaha memeras otak lagi pada lain
kesempatan.[19]
3.
Jalur
belajar ketrampilan motorik
Belajar
ketrampilan motorik menuntut kemampuan untuk merangkaikan sejumlah gerak-gerik
jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
Peranan
dan wujud dari beberapa fase dalam belajar ketrampilan motorik atau tekanan
yang harus diberikan pada fase tertentu:
1. Fase
motivasi
: sangat berperan, apabila ketrampilan
yang dipelajari membutuhkan usaha kontinyu dan banyak waktu latihan.
2. Fase konsentrasi
: berperan dalam belajar keterampilan yang menuntut pengamatan terhadap
lingkungan untuk menentukan posisi badan dan memperkirakan jarak, seperti dalam
bermain sepak bola.
3. Fase
pengolahan : mempelajari
prosedur yang harus diikuti dan melatih diri, baik subketerampilan maupun
keseluruhan rangkaian gerak-gerik, disetai koordinasi.
4. Fase
menggali
: menggali “program mental” yang tersimpan dalam LTM (dari ingatan).
5. Fase
umpan balik : konfirmasi mengambil
wujud umpan balik intrinsik atau ekstrinsik.
4.
Proses
Belajar Afektif
Menurut Sunarto dalam kehidupan ada dua proses yang
beroperasi secara kontinum, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses
ini berlangsung secara saling bergantung satu sama lain. Keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang secara pilah berdiri sendiri-sendiri, akan
tetapi bisa dibedakan untuk maksud lebih memperjelas penggunaannya.[20]
Pertumbuhan berarti tahapan meningkatkan sesuatu dalam hal
jumlah, ukuran dan arti pentingnya. Dalam pengertian lain pertumbuhan berarti
perubahan kuantitatif yang mengacu pada jumlah, besar dan luas yang bersifat
konkret dan penambahan ukuran yang berangsur-angsur, seperti badan yang menjadi
besar dan tegap, kaki dan tangan semakin panjang. Sedangkan perkembangan adalah
proses tahapan pertumbuhan kearah yang lebih maju. Dalam pengertian lain, perkembangan
adalah rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia kearah yang lebih maju dan
sempurna. [21]
Allah
berfirman dalam surat Al-Mukmin ayat 67 sebagai berikut:
uqèd
Ï%©!$#
Nà6s)n=s{
`ÏiB
5>#tè?
§NèO
`ÏB
7pxÿõÜR
§NèO
ô`ÏB
7ps)n=tæ
§NèO
öNä3ã_Ìøä
WxøÿÏÛ
§NèO
(#þqäóè=ö7tFÏ9
öNà2£ä©r&
¢OèO
(#qçRqä3tFÏ9
%Y{qãä©
4 Nä3ZÏBur
`¨B
4¯ûuqtGã
`ÏB
ã@ö6s%
( (#þqäóè=ö7tFÏ9ur
Wxy_r&
wK|¡B
öNà6¯=yès9ur
cqè=É)÷ès?
ÇÏÐÈ
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air
mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu seorang anak,
kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa),
kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, diantara kamu ada yang
diwafatkan sebelum itu. (kami berbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal
yang ditentukan dan supaya kamu memahami (Nya)”.[22]
Dengan
demikian proses pertumbuhan dan perkembangan, berjalan beriringan sesuai dengan
bertambahnya usia manusia, namun perkembangan akan berlanjut terus hingga
manusia mengakhiri hayatnya. Sedangkan pertumbuhan terjadi sampai manusia
mencapai kematangan fisik. Artinya orang tak akan bertambah tinggi atau besar
jika batas pertumbuhan tubuhnya telah mencapai tingkat kematangan.
J.
Peaget dan L. Kohlberg, telah membagi tahap perkembangan nilai moral seseorang
kedalam empat tahap, yaitu:[23] tahap
pertama: usia 0-3 tahun (pra moral). Tahap kedua: usia 3-6
tahun (tahap egosentris). Tahap ketiga: usia 7-12 tahun (tahap heteronom)
atau disebut juga fase usia baligh. Tahap keempat: usia 12-17 tahun
(tahap otonom) atau fase pubertas.
Anak usia SMP tergolong pada
fase pubertas (tahap keempat) yaitu antara usia 12-17 tahun, dan fase ini
ditandai dengan terjadinya perubahan pada diri anak. Perubahan fisik ditandai
dengan mulai nampak sifat kelaki-lakiannya pada anak laki-laki dan kewanitaan
pada diri anak perempuan. Tubuhnya mulai kelihatan besar dan ia mulai berjalan
menuju rambu-rambu kesempurnaan dan kematangan diri.
Perubahan psikis ditandai
dengan mulai jelas kepribadian anak, baik laki-laki maupun perempuan, anak
mulai kelihatan mandiri, siap menerima segala resiko berat, berbangga diri
terhadap apa yang dimiliki. Bahkan, ia merasa dirinya paling cakep, paling
mempesona, paling luas wawasannya, paling hebat cara berfikirnya, paling baik
perilakunya, paling benar pendapatnya dibandingkan orang lain. Pada fase ini
seseorang mulai mengerti nilai-nilai dan mulai memakainya dengan caranya
sendiri. Moralitasnya ditandai dengan kooperatif, interaksi dengan teman
sebaya, diskusi, kritik diri, rasa persamaan, dan menghormati orang lain
merupakan faktor utama dalam tahap ini.[24]
Dalam tahap ini ada dua
potensi yang masing-masing dapat mendatangkan kebaikan dan sekaligus keburukan.
Artinya, jika pada fase pubertas ini anak diarahkan dengan pengarahan yang baik
dan benar, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Namun
sebaliknya, jika ia dibiarkan begitu saja tanpa diarahkan, dibimbing dan dibina
secara baik, maka ia akan mendapat kesengsaraan di dunia dan akhirat. Fase ini
merupakan tahap membina perilaku karena pada tahap ini merupakan masa peralihan dari suatu keadaan ke keadaan
lainnya yang selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan, yang
kadang-kadang berakibat sangat fatal.
Seiring dengan meningkatnya
umur anak, maka cara berpikir anak pun semakin berkembang disertai kedewasaan.
Hal ini menunjukkan dengan bertambahnya usia, persoalan juga bertambah rumit,
kemudian kedewasaan berpikir dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
C.
Analisis
Proses Belajar Menurut Agama Islam
Dari beberapa pandangan tokoh tentang proses
belajar baik itu dari barat maupun Islam sendiri itu tidak jauh bedanya dalam
mendifinisikan proses belajar, akan tetapi dalam Islam lebih menekankan kepada akidah.
Yusuf Al
Qadrawi, adalah aqidah yang berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan
penyerahan diri secara membabi buta. Hal ini tersirat dalam Firman Allah SWT,
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan Kecuali Allah” (Surat Muhammad: 19).
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) wÎ) ª!$# öÏÿøótGó$#ur Î7/Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3 ª!$#ur ãNn=÷èt öNä3t7¯=s)tGãB ö/ä31uq÷WtBur ÇÊÒÈ
Maka
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki
dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu
tinggal. (Q S. Muhammad: 19).
Allah
Berfirman, “
ö@è%.. ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGt (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ
….apakah sama orang-orang yang mengetahui
dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang yang
berakallah yang mampu menerima pelajaran” (Az-Zumar: 9).
Konsep adalah gambaran mental dari obyek, suatu
pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat kekongkritan, proses
ataupun yang diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal
lain. Sedangkan belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh
individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman
yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan
tertentu.
Pendidikan Islam yaitu suatu ide atau
gagasan untuk menciptakan manusia yang baik dan bertakwa yang menyembah
Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya
sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya
sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. Dengan cara menanamkan nilai-nilai
fundamental Islam kepada setiap muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun
yang akan dikaji.
Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di
sekolah. Kompleksitas belajar tersebut dapat dipandang dari dua subjek, yaitu
dari siswa dan dari guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu
proses. Mahasiswa mengalami proses mental dan menghadapi bahan belajar. Bahan
belajar tersebut berupa keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, dan
bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi pengajar,
proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang suatu hal.
Belajar merupakan proses internal dan kompleks. Yang terlibat dalam proses
internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif,
efektif, dan psikomotorik. Proses belajar yang mengaktualisasikan ranah-ranah
tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu.
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang
terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti
pernah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي
العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين
وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada
(mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya
dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang
nafasnya.”[25]
PENUTUP
Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia
dalam hubungannya dengan lingkungannya. Karena pendidikan Islam didasarkan pada sebuah
kesadaran bahwa setiap Muslim wajib menuntut Ilmu dan tidak boleh
mengabaikannya. Banyak nash al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menyebutkan juga
keutamaan mencari ilmu dan orang-orang yang berilmu. Seorang Muslim yang
giat belajar karena terdorong oleh keimanannya, bahwa Allah Swt sangat cinta
dan memuliakan orang-orang yang mencari ilmu dan berilmu di dunia dan di
akhirat. Dan kewajiban menuntut ilmu. Selain itu kami juga dapat
mengerti bagaimana waktu yang baik untuk belajar agar tidak menghabiskan waktu
seharian untuk belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abi Isa Muhammad bin Surah
at-Turmudzi, al-Jāmi’ al-Shahīh wa Huwa Sunan al-Turmuzī Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2000,.
Agus Soejanto, Bimbingan
ke Arah Belajar yang Sukses (Bandung: Aksara Baru, 1990,
Ali ash-Shabuny, Safwatu
al-Tafāsīr ,Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999
Ali,Muhammad, Guru Dalam Proses Belajar
Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004
Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan
Terjemahnya Jakarta: Gema Risalah Press, 1986
Djali, Psikologi Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2011
Ibrahim, Perencanaan Pengajaran, Jakarta:
Rineka Cipta, 2003
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Dīn,
terj. Ismail Yakub, Ihya’ Ulum ad-Din Semarang: Menara Kudus, 1979,
jilid 1,
Imam Ibnu Hambal Thabaqat Al-Hanabilah Al-‘Ilmu
Fadhluhu wa Syarafuhu (Bairut; Darul Fikr)
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Jakarta:
Rineka Cipta, 2003
Muhibbin syah, psikologi pendidikan .bandung:
remaja rosdakarya, 2004,
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam
Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989)
Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses
Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Suharsimi, Arikunto, Dasar-Dasar evaluasi Pendidikan, Jakarta,
Bumi Aksara 1995.
Tabroni, Muhammad, Belajar dan Pembelajaran,
Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011
Oemar
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara, 2004