Proses Belajar Dan Jalur Belajar


PENDAHULUAN
Pada dasarnya, pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap Muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Banyak nash al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menyebutkan juga keutamaan mencari ilmu dan orang-orang yang berilmu.   Seorang Muslim yang giat belajar karena terdorong oleh keimanannya, bahwa Allah Swt sangat cinta dan memuliakan orang-orang yang mencari ilmu dan berilmu di dunia dan di akhirat. Betapa pentingnya pendidikan, karena hanya dengan proses pendidikanlah manusia dapat mempertahankan eksistensinya sebagai manusia yang mulia, melalui pemberdayaan potensi dasar dan karunia yang telah diberikan Allah. Apabila semua itu dilupakan dengan mengabaikan pendidikan, manusia akan kehilangan jatidirinya.
Dalam belajar ada proses mental yang aktif. Pada tingkat permulaan belajar aktivitas itu masih belum teratur, banyak hasil-hasil yang belum terpisahkan dan masih banyak kesalahan yang diperbuat. Tetapi dengan adanya usaha dan latihan yang terus menerus, adanya kondisi belajar yang baik, adanya dorongan-dorongan yang membantu, maka kesalahan-kesalahan itu makin lama makin berkurang, prosesnya makin teratur, keraguan-keraguan makin hilang dan timbul ketetapan.[1]
Proses belajar berlangsung di dalam pelajar dan sejauh itu, merupakan kejadian intern. Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu rangkaian kejadian-kejadian yang berlangsung secara berurutan. Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu rangkaian fase-fase, yang bersama-sama membentuk proses belajar yang berlangsung di dalam subyek. Di samping itu, kejadian-kejadian yang terjadi di luar subyek berperan juga, dalam arti dapat menunjang atau menghambat proses belajar yang berlangsung di dalam subyek (pelajar).

PEMBAHASAN

A.    Proses Belajar dan Jalur Belajar
1.  Pengertian Proses Belajar
Untuk menghindari ketidak lengkapan tersebut penyusun akan melengkapi sebagian Definisi dengan komentar dan interprestasi seperlunya. Proses dari bahasa latin “processus” yang berarti “berjalan ke depan”. Menurut Chaplin, proses adalah suatu perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan.[2]
Skiner, yang dikutip Barlow, dalam bukunya Educational Psychology The Teaching-Learning Process, belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Berdasarkan eksperimennya, B.F Skimer percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforce)[3]
Chaplin, dalam Dictionary Of Psychology, membatasi belajar dengan dua macam Rumusan. Rumusan pertama berbunyi belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Rumusan keduanya, belajar adalah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus[4]
Hintzman dalam bukunya menyatakan, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia dan hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. With dalam bukunya menyatakan, belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.
Reber dalam kamus susunannya yang tergolong modern, Dictionary Of Psychology, membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar adalah proses memperoleh pengetahuan, biasanya sering dipakai dalam pembahasan psikologi kognitif. Kedua, belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperbuat. Dalam definisi ini terdapat empat macam Istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses belajar.
Dalam pengertian lainnya, belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman (leaning is defined as the modification or strengthening of behavior though experiencing), menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan.[5]
Dengan demikian belajar bukan hanya berupa kegiatan mempelajari suatu mata pelajaran di rumah atau di sekolah secara formal. Disamping itu belajar merupakan masalahnya setiap orang. Hampir semua kecakapan, ketrampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap manusia terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar. Kegiatan yang disebut belajar dapat terjadi dimana-mana, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di lembaga pendidikan formal. Di lembaga pendidikan formal usaha-usaha dilakukan untuk menyajikan pengalaman belajar bagi anak didik agar mereka belajar hal-hal yang relevan baik bagi kebudayaan maupun bagi diri masing-masing.
Sehingga dapat diketahui ciri-ciri kegiatan yang disebut belajar yaitu :
a.    Belajar adalah aktifitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar (dalam arti behavioral changes), baik aktual maupun potensial.
b.    Perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
Belajar memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persiapan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih maju karena belajar.
Dalam perspektif keagamaanpun belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga derajat kehidupannya meningkat. Hal ini dinyatakan dalam (QS. Al-Mujadalah ayat 11,)
Æìsùötƒ……… ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4………..  
 “……niscaya Allah akan meningkatkan beberapa derajat kepada orang-orang yang beriman dan berilmu”.
Seorang siswa yang menempuh proses belajar yang ideal yaitu ditandai munculnya pengalaman-pengalaman psikologi baru yang positif yang diharapkan dapat mengembangkan aneka ragam sikap, sifat dan kecakapan yang konstruktif, bukan kecakapan destruktif (merusak).
Hilgard, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses timbulnya atau berubahnya tingkah laku melalui latihan dan dibedakan dari perubahan yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang bukan digolongkan latihan.[6].
Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap, tingkah laku, keterampilan, serta perubahan lainnya.[7]
Ali al-Shabuny mengatakan  tentang ayat di atas bahwa Allah akan mengangkat derajatnya orang-orang yang beriman yang mengerjakan segala bentuk perintah yang datang dari Allah dan Rasulnya. Khusus bagi orang-orang yang berilmu Allah akan memberi dan menempatkannya pada tingkat dan derajat yang lebih tinggi.[8]
Adapun keistimewaan yang lain dari orang yang berilmu adalah bahwa dia menyandang predikat sebagai pewaris para nabi. Dan sebagaimana telah maklum bersama, bahwa warisan nabi bukan berupa harta yang melimpah atau bahkan pangkat dan kedudukan melainkan berupa ilmu dan agama (baca: al-Qur’an dan Hadits). Dan sudah dimaklumi, bahwa tak ada pangkat di atas pangkat kenabian dan tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan yang mewarisi pangkat tersebut.[9]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Tirmidzi, Rasul bersabda:
عن أبى الدرداء قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب. وإن العلماء ورثة الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهاما إنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر. (رواه ابو داود والترمذي)
Artinya:
“Dari Abu Darda’: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Kelebihan seorang alim dari seorang abid (orang yang suka beribadah) seperti kelebihan bulan pada bintang-bintang, dan sesungguhnya para ulama itu pewaris nabi-nabi, mereka (para nabi) tidak mewariskan dinar, tetapi mewarisi ilmu, siapa yang mengambilnya, maka ambillah dengan bagian yang cukup.” (H.R Abu Daud dan Turrmudzi).[10]

Dijelaskan oleh Nabi bahwa seorang alim (baca: orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya) lebih utama dari pada seorang yang gemar beribadah. Dan Rasul juga menjelaskan bahwa orang yang berilmu (ulama) adalah pewaris para nabi.
Paling tidak, ada dua hal yang terkandung dalam hadits di atas; Pertama, bahwa orang yang alim lebih utama dari seorang yang gemar beribadah. Ini artinya bahwa orang yang berilmu mempunyai kedudukan yang sangat tinggi bahkan melebihi seorang hamba yang gemar beribadah namun tidak didasari dengan ilmu yang memadai. Yaitu hanya sekedar mengandalkan ritual ibadah belaka dengan ukuran seberapa tebal berkas hitam di dahi kita, seberapa besar jilbab yang kita kenakan.
Bertolak dari beberapa definisi di atas, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang terjadi sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Dan karena itu, perubahan tingkah laku yang disebabkan bukan oleh latihan dan pengalaman tidak digolongkan sebagai belajar.

2.    Fase-fase dalam proses belajar
Disebabkan belajar merupakan kegiatan yang berproses, maka tahapan-tahapan yang terjadi dalam belajar adalah niscaya. Adapun tahapan yang terjadi dalam belajar ibarat mata rantai yang berkaitan antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya, dan begitu seterusnya.
Menurut Jerome S. Bruner, mengatakan bahwa dalam proses pembelajaran, siswa menempuh tiga episode atau fase, yaitu: fase informasi (tahap penerimaan materi), fase transformasi (tahap pengubahan materi), dan tahap evaluasi (tahap penilaian materi).[11]
Wittig berpendapat bahwa proses belajar itu selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: acquisition (tahap perolehan/penerimaan informasi) storage (tahap penyimpanan informasi) retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi).[12]
Bandura memeberikan pemaparan yang sedikit berbeda dengan kedua tokoh di atas. Tahap-tahap belajar menurut Bandura meliputi: perhatian, menyimpan dalam ingatan, reproduksi, dan motivasi.[13]
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil sebuah pemahaman bahwa tahapan dalam proses belajar adalah dimulai dengan penerimaan informasi yang kemudian disimpan dalam memori ingatan dan pada gilirannya memori yang tersimpan itu diungkapkan atau diaktifkan kembali sebagai respon dari stimulus yang sedang dihadapi.
B.     Jalur-jalur belajar     
1.    Jalur belajar informasi verbal
Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi symbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan.[14]
Sebagaimana yang firman Allah
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ  
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (S.Q. Al-alq ayat 1)

sangat jelas yang di kemukakan dalam ayat diatas Peranan dan wujud dari beberapa fase dalam jalur informasi verbal ataupun tekanan yang harus diberikan pada fase tertentu:
1.    Fase motivasi              : cukup berperan bila siswa harus mempelajari banyak padanan kata-kata atau banyak fakta.
2.    Fase mengolah            : perlu mendapat tekanan dalam belajar fakta, karena dalam fase ini siswa mengadakan organisasi yang pada dasarnya berwujud mencari makna atau arti, yang kemudian dituangkan dalam suatu perumusan verbal. Dalam belajar padanan kata-kata, “mengolah” mengambil wujud mengulang-ulang kembali dan hal ini membutuhkan waktu. Fase mengolah kerap disebut “fiksasi” dan berperan sekali. Makin baik fiksasinya, makin baik pula penyimpanannya dan makin sempurnalah reproduksinya.
3.     Fase menggali             : berperan sekali bila fakta yang telah dihafal, dimasukkan kembali ke dalam LTM untuk dipelajari kembali (review) atau dihubungkan dengan fakta baru. Dengan demikian, working memory memegang peranan pokok dalam belajar informasi verbal.
4.    Fase prestasi                : mengambil wujud menuangkan informasi yang dimiliki dalam perumusan verbal yang tepat, sehingga orang lain dapat menagkapnya dengan jelas.[15]

2.    Jalur belajar pengaturan kegiatan kognitif
Aspek kognitif adalah kemampuan intelektual siswa dalam berpikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Ranah kognitif mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
a.    Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge): Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, rumus-rumus, dan sebagainya, tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunkannya. Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah.
Salah satu contoh hasil belajar kognitif pada jenjang pengetahuan adalah dapat menghafal surat al-‘Ashar, menerjemahkan dan menuliskannya secara baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran kedisiplinan yang diberikan oleh guru Pendidikan Agama Islam di sekolah.
b.    Pemahaman (comprehension) : Adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Seseorang peserta didik dikatakan memahami sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Pemahaman merupakan jenjang kemampuan berfikir yang setingkat lebih tinggi dari ingatan atau hafalan.
Salah satu contoh hasil belajar ranah kognitif pada jenjang pemahaman ini misalnya: Peserta didik atas pertanyaan Guru Pendidikan Agama Islam dapat menguraikan tentang makna kedisiplinan yang terkandung dalam surat al-‘Ashar secara lancar dan jelas.
c.    Penerapan (application): Adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang baru dan kongkret. Penerapan ini adalah merupakan proses berfikir setingkat lebih tinggi ketimbang pemahaman.[16]
Salah satu contoh hasil belajar kognitif jenjang penerapan misalnya: Peserta didik mampu memikirkan tentang penerapan konsep kedisiplinan yang diajarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari baik dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.[17]
d.   Analisis (analysis) : Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian yang lebih kecil dan mampu memahami hubungan di antara bagian-bagian atau faktor-faktor yang satu dengan faktor-faktor lainnya. Jenjang analisis adalah setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang aplikasi.
Contoh: Peserta didik dapat merenung dan memikirkan dengan baik tentang wujud nyata dari kedisiplinan seorang siswa dirumah, disekolah, dan dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat, sebagai bagian dari ajaran Islam.
e.    Sintesis (syntesis) : Adalah kemampuan berfikir yang merupakan kebalikan dari proses berfikir analisis. Sisntesis merupakan suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis, sehingga menjelma menjadi suatu pola yang yang berstruktur atau bebrbentuk pola baru. Jenjang sintesis kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada jenjang analisis. Salah satu jasil belajar kognitif dari jenjang sintesis ini adalah: peserta didik dapat menulis karangan tentang pentingnya kedisiplinan sebagiamana telah diajarkan oleh islam. Akal dapat diartikan sebagai daya pikir atau potensi intelegensi. Akal sebagai sarana psikis belajar dijelaskan dalam surah An-Nahl ayat 78 dengan kata af-idah. Menurut Quraish shihab af idah berarti ” daya nalar”.
Surah An-Nahl ayat 78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
 dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur (Surah An-Nahl ayat 78)

Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah sub-taksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi .
Sasaran belajar adalah pengaturan kegiatan kognitif dalam sisitematika arus pikiran sendiri dan sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri (control process). Untuk menunjuk pada pengaturan kegiatan kognitif dapat menggunakan metakognitif, yaitu pengetahuan tentang kegiatan berpikir dan belajar serta control terhadap kegiatan itu pada diri sendiri. [18]
Pengaturan kegiatan kognitif merupakan suatu kemahiran tersendiri; orang yang memiliki kemahiran ini, mampu mengontrol dan menyalurkan aktivitas kognitif yang berlangsung dalam dirinya.
1.    Fase motivasi        : untuk mendapat motivasi siswa harus berupaya dengan memeras otaknya sendiri. Jika kadar motivasi lemah, siswa akan cenderung membiarkan problem tetap menjadi problem dan terlalu susah untuk memikirkan.
2.    Fase konsentrasi    : siswa harus mengamati dengan cermat, kalau penyelesaian masalah membutuhkan pengamatan. 
3.    Fase pengolahan    : siswa harus menggali dari ingatannya terhadap siasat yang pernah digunakan untuk mengatasi hal serupa, mana yang cocok untuk suatu problem.  Jika tidak tersedia siasat dalam ingatan, siswa harus menciptakan siasat baru dan ini membutuhkan pikiran kreatif, paling sedikit pikiran terarah.
4.    Fase umpan balik  : siswa mendapat konfirmasi tentang tepat tidaknya penyelesaian yang ditemukannya. Konfirmasi ini dapat meningkatkan atau menurunkan motivasi siswa untuk berusaha memeras otak lagi pada lain kesempatan.[19]

3.   Jalur belajar ketrampilan motorik
Belajar ketrampilan motorik menuntut kemampuan untuk merangkaikan sejumlah gerak-gerik jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
Peranan dan wujud dari beberapa fase dalam belajar ketrampilan motorik atau tekanan yang harus diberikan pada fase tertentu:
1.    Fase motivasi              : sangat berperan, apabila  ketrampilan yang dipelajari membutuhkan usaha kontinyu dan banyak waktu latihan.
2.    Fase konsentrasi          : berperan dalam belajar keterampilan yang menuntut pengamatan terhadap lingkungan untuk menentukan posisi badan dan memperkirakan jarak, seperti dalam bermain sepak bola.
3.    Fase pengolahan          : mempelajari prosedur yang harus diikuti dan melatih diri, baik subketerampilan maupun keseluruhan rangkaian gerak-gerik, disetai koordinasi.
4.    Fase menggali             : menggali “program mental” yang tersimpan dalam LTM (dari ingatan).
5.    Fase umpan balik        : konfirmasi mengambil wujud umpan balik intrinsik atau ekstrinsik.

4.   Proses Belajar Afektif
Menurut Sunarto dalam kehidupan ada dua proses yang beroperasi secara kontinum, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Kedua proses ini berlangsung secara saling bergantung satu sama lain. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam bentuk-bentuk yang secara pilah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi bisa dibedakan untuk maksud lebih memperjelas penggunaannya.[20]
Pertumbuhan berarti tahapan meningkatkan sesuatu dalam hal jumlah, ukuran dan arti pentingnya. Dalam pengertian lain pertumbuhan berarti perubahan kuantitatif yang mengacu pada jumlah, besar dan luas yang bersifat konkret dan penambahan ukuran yang berangsur-angsur, seperti badan yang menjadi besar dan tegap, kaki dan tangan semakin panjang. Sedangkan perkembangan adalah proses tahapan pertumbuhan kearah yang lebih maju. Dalam pengertian lain, perkembangan adalah rentetan perubahan jasmani dan rohani manusia kearah yang lebih maju dan sempurna. [21]
Allah berfirman dalam surat Al-Mukmin ayat 67 sebagai berikut:
uqèd Ï%©!$# Nà6s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜœR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ §NèO öNä3ã_̍øƒä WxøÿÏÛ §NèO (#þqäóè=ö7tFÏ9 öNà2£ä©r& ¢OèO (#qçRqä3tFÏ9 %Y{qãŠä© 4 Nä3ZÏBur `¨B 4¯ûuqtGム`ÏB ã@ö6s% ( (#þqäóè=ö7tFÏ9ur Wxy_r& wK|¡B öNà6¯=yès9ur šcqè=É)÷ès? ÇÏÐÈ  
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkan kamu seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, diantara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami berbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (Nya)”.[22]

Dengan demikian proses pertumbuhan dan perkembangan, berjalan beriringan sesuai dengan bertambahnya usia manusia, namun perkembangan akan berlanjut terus hingga manusia mengakhiri hayatnya. Sedangkan pertumbuhan terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik. Artinya orang tak akan bertambah tinggi atau besar jika batas pertumbuhan tubuhnya telah mencapai tingkat kematangan.
J. Peaget dan L. Kohlberg, telah membagi tahap perkembangan nilai moral seseorang kedalam empat tahap, yaitu:[23] tahap pertama: usia 0-3 tahun (pra moral). Tahap kedua: usia 3-6 tahun (tahap egosentris). Tahap ketiga: usia 7-12 tahun (tahap heteronom) atau disebut juga fase usia baligh. Tahap keempat: usia 12-17 tahun (tahap otonom) atau fase pubertas.
      Anak usia SMP tergolong pada fase pubertas (tahap keempat) yaitu antara usia 12-17 tahun, dan fase ini ditandai dengan terjadinya perubahan pada diri anak. Perubahan fisik ditandai dengan mulai nampak sifat kelaki-lakiannya pada anak laki-laki dan kewanitaan pada diri anak perempuan. Tubuhnya mulai kelihatan besar dan ia mulai berjalan menuju rambu-rambu kesempurnaan dan kematangan diri.
      Perubahan psikis ditandai dengan mulai jelas kepribadian anak, baik laki-laki maupun perempuan, anak mulai kelihatan mandiri, siap menerima segala resiko berat, berbangga diri terhadap apa yang dimiliki. Bahkan, ia merasa dirinya paling cakep, paling mempesona, paling luas wawasannya, paling hebat cara berfikirnya, paling baik perilakunya, paling benar pendapatnya dibandingkan orang lain. Pada fase ini seseorang mulai mengerti nilai-nilai dan mulai memakainya dengan caranya sendiri. Moralitasnya ditandai dengan kooperatif, interaksi dengan teman sebaya, diskusi, kritik diri, rasa persamaan, dan menghormati orang lain merupakan faktor utama dalam tahap ini.[24]
      Dalam tahap ini ada dua potensi yang masing-masing dapat mendatangkan kebaikan dan sekaligus keburukan. Artinya, jika pada fase pubertas ini anak diarahkan dengan pengarahan yang baik dan benar, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Namun sebaliknya, jika ia dibiarkan begitu saja tanpa diarahkan, dibimbing dan dibina secara baik, maka ia akan mendapat kesengsaraan di dunia dan akhirat. Fase ini merupakan tahap membina perilaku karena pada tahap ini merupakan  masa peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya yang selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan benturan, yang kadang-kadang berakibat sangat fatal.
      Seiring dengan meningkatnya umur anak, maka cara berpikir anak pun semakin berkembang disertai kedewasaan. Hal ini menunjukkan dengan bertambahnya usia, persoalan juga bertambah rumit, kemudian kedewasaan berpikir dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
C.      Analisis Proses Belajar Menurut Agama Islam

 Dari beberapa pandangan tokoh tentang proses belajar baik itu dari barat maupun Islam sendiri itu tidak jauh bedanya dalam mendifinisikan proses belajar, akan tetapi dalam Islam lebih menekankan kepada akidah.
Yusuf Al Qadrawi, adalah aqidah yang berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan penyerahan diri secara membabi buta. Hal ini tersirat dalam Firman Allah SWT, “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Tuhan Kecuali Allah” (Surat Muhammad: 19).
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) ª!$# öÏÿøótGó$#ur šÎ7/Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ öNä3t7¯=s)tGãB ö/ä31uq÷WtBur ÇÊÒÈ  
Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (Q S. Muhammad: 19).

Allah Berfirman, “
ö@è%.. ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  
….apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang mampu menerima pelajaran” (Az-Zumar: 9).
Konsep adalah gambaran mental dari obyek, suatu pemikiran, ide, suatu gagasan yang mempunyai derajat kekongkritan, proses ataupun yang diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Sedangkan  belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu.
Pendidikan Islam yaitu suatu ide atau gagasan  untuk menciptakan manusia yang baik dan bertakwa yang menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya  sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. Dengan cara menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap muslim terlepas  dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji.
Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Kompleksitas belajar tersebut dapat dipandang dari dua subjek, yaitu dari siswa dan dari guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Mahasiswa mengalami proses mental dan menghadapi bahan belajar. Bahan belajar tersebut berupa keadaan alam, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia, dan bahan yang telah terhimpun dalam buku-buku pelajaran. Dari segi pengajar, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang suatu hal. Belajar merupakan proses internal dan kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, efektif, dan psikomotorik. Proses belajar yang mengaktualisasikan ranah-ranah tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu.
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,
الناس إلي العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأنهم يحتاجون إليها في اليوم مرة أو مرتين وحاجتهم إلي العلم بعدد اأنفاسهم
“Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada (mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang nafasnya.”[25]

PENUTUP
Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Karena pendidikan Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap Muslim wajib menuntut Ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Banyak nash al-Qur’an maupun hadits Nabi yang menyebutkan juga keutamaan mencari ilmu dan orang-orang yang berilmu.   Seorang Muslim yang giat belajar karena terdorong oleh keimanannya, bahwa Allah Swt sangat cinta dan memuliakan orang-orang yang mencari ilmu dan berilmu di dunia dan di akhirat. Dan kewajiban menuntut ilmu. Selain itu kami juga dapat mengerti bagaimana waktu yang baik untuk belajar agar tidak menghabiskan waktu seharian untuk belajar.

DAFTAR  PUSTAKA
Abi Isa Muhammad bin Surah at-Turmudzi, al-Jāmi’ al-Shahīh wa Huwa Sunan al-Turmuzī Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000,.
Agus Soejanto, Bimbingan ke Arah Belajar yang Sukses (Bandung: Aksara Baru, 1990,
Ali ash-Shabuny, Safwatu al-Tafāsīr ,Beyrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999
Ali,Muhammad, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004
Chaplin, James P., Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Press, 2005.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya  Jakarta: Gema Risalah Press, 1986
Djali, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Ibrahim, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Dīn, terj. Ismail Yakub, Ihya’ Ulum ad-Din Semarang: Menara Kudus, 1979, jilid 1,
Imam Ibnu Hambal  Thabaqat Al-Hanabilah Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (Bairut; Darul Fikr)
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Muhibbin syah, psikologi pendidikan .bandung: remaja rosdakarya, 2004,
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru, 1989)
Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Suharsimi, Arikunto,  Dasar-Dasar evaluasi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara 1995.
Tabroni, Muhammad, Belajar dan Pembelajaran, Jogjakarata: Ar-Ruzz Media, 2011
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara, 2004


Postingan terkait: