MAKALAH PENGERTIAN, SEJARAH, DAN PERKEMBANGAN ILMU KALAM


BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
            Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga komponen utama rukun iman. Ketiga komponen itu, yaitu nuthqun bi al lisani (mengucapkan dengan lisan) , amalun bi al arkani (melaksanakan sesuai dengan rukun – rukun), dan tashdiqun bi al qolbi (membenarkan dengan hati). Agar keyakinan itu tumbuh dengan kukuhnya, para ulama dahulu telah melakukan kajian secara mendalam. Untuk menjadikan ucapan lisan secara meyakinkan dan kukuh diperlukan ilmunya, yaitu ilmu tauhid, ilmu yang membahas tentang masalah ketuhanan. Pada gilirannya dengan perkembangan situasi dan kondisi social yang berlaku pada saatnya, Ilmu tauhid telah berkembang menjadi ilmu kalam. Sementar itu, Ilmu yang dapat memperkukuh amalan amalan iman dinamakan ilmu fiqh. Ilmu fiqh menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan amalan – amalan seorang beriman agar keimanannya semakin kuat. Di antara amalan itu, yaitu amalan - amalan ibadah mahdhah, seperti salat, zakat, puasa, dan berhaji ke Tanah suci. Adapun ilmu yang membahas agar hati seorang mukmin dapat memperoleh keyakinan yang kuat, para ulama masa lalu mengajarkan ilmu tasawwuf. Dengan ilmu ini, diharapkan iman seorang mukmin mampu meresap ke dalam yang terdalam. 
            Ketiga komponen ilmu itu, dalam kajian ilmu – ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi kajian utamanya. Hanya, stressing-nya terkadang berbeda-beda antara satu wilayah atau Negara dengan wilayah lain atau Negara lain. Terkadang di satu wilayah atau Negara, ilmu fiqh dan ilmu kalam diperkuat, sementara ilmu tasawwufnya kurang berkembang. Di wilayah atau Negara lain, ilmu fiqh dengan ilmu tasawwuf yang lebih dikembangkan dengan kurang memperhatikan pengemangan ilmu kalam, atau berbagai model lainnya

BAB II 

PEMBAHASAN 

A. Pengertian Ilmu Kalam 

            Menurut ahli tata bahasa Arab, kalam adalah kata atau lafaz dengan bentuk majemuk (ketentuan atau perjanjian). Secara teknis, kalam adalah alasan atau argumen rasional untuk memperkuat perkataan. Secara tata bahasa, kalam merupakan kata umum tentang perkataan, sedikit atau banyak, yang dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan (likulli ma yatakallamu bihi); atau ekspresi suara yang berturut-turut hingga pesan-pesan suara itu jelas maksudnya. Dalam ayat 144 surah al-A’raf, menyebut bi kalami yang ditujukan kepada Nabi Musa AS, menurut al-Baidawi maksudnya bi kalami iyyaka (Aku berbicara langsung kepadamu). Dalam ayat 15 surah al-Fath, kalama Allah diartikan janji atau ketentuan Allah SWT yang harus diikuti oleh seluruh umat manusia.(Hoeve, 1994:345) 

            Sebagai kata benda dari kata taklim, kalam mengandung dua pengertian, yaitu berbicara dan hukum (undang-undang). Ayat 75 surah al-Baqarah, kalam berarti Allah SWT berbicara langsung kepada Nabi Musa AS atau hukum Allah SWT yang dikenal dengan din al-Islam. Ayat 6 surah at-Taubah, kalam adalah firman Allah SWT atau isi yang terkandung dalam agama Islam secara nyata dan menyeluruh. Kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam al-Quran yang artinya berbicara kepada seseorang yang dikenai perbuatan. Abu Hasan al-Asy’ari dalam al-Ibanah mengartikan kata taklim dengan al- Musyafahah bi al-Kalam (berbicara dengan pembicaraan tertentu). Kata kalam lainnya yang mempunyai pengertian yang netral yaitu berbicara, bercakap-cakap, dan diskusi yaitu la takallamu terdapat dalam surah Hud ayat 105, na takallamu dalam surah an-Nur ayat 16, dan ya takallamu dalam surah ar- Rum ayat 35 dan an-Naba ayat 38. (Hoeve, 1994:345) 

            Berkenaan dengan pengertian ilmu kalam, banyak ahli yang telah memberikan penjelasan. Musthafa Abd ar-Raziq menyebut ilmu kalam dengan beberapa nama, antara lain: ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena ilmu ini membahas tentang pokok-pokok agama. Sementara itu, ilmu tauhid adalah suatu ilmu yang di dalamnya dikaji tentang asma' (nama-nama) dan sifat yang wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, juga sifat yang wajib, mustahil dan ja'iz bagi Rasul-Nya. Ilmu tauhid juga membahas tentang keesaan Allah SWT., dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya. Sementara fiqhul akbar adalah ilmu yang membahas tentang keyakinan. Kondisi seperti ini menunujukkan kepada kita bahwa ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, hanya saja argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebab itu, sebagian teolog membedakan antara ilmu kalam dan ilmu tauhid. (Rozaq, 2007:3) 

            Ahmad Hanafi menyatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat- sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada- Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat- sifat yang mungkin terdapat padanya.(Hanafi,1974:3). Ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan mungkin ada padanya dan sifat- sifat yang mungkin terdapat padanya. bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama Islam) dengan bukti-bukti yang yakin. 

            Menurut Harun Nasution, teologi dalam Islam disebut `ilm al-Tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau Esa dan ke- Esaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang terpenting di antara segala sifat-sifat Tuhan. Teologi Islam disebut pula `ilm al-Kalam. Kalam adalah kata-kata, sehingga dengan pengertian kalam ini muncul dua pemahaman. Pertama, kalam ialah sabda Tuhan. Karena soal kalam sebagai sabda Tuhan atau al-Quran di kalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan ke sepuluh Masehi pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhanterhadap sesama muslim pada masa itu. Kedua, yang dimaksud kalam adalah kata-kata manusia, karena kaum teolog Islam bersilat lidah dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam dinamai dengan mutakallimun yaitu ahli debat yang pandai memakai kata- kata.(Nasution, 1978:ix) 

            Ilmu tauhid dengan ilmu kalam sebenarnya dimaksudkan untuk membedakan antara mutakallimun dengan filosof muslim. Mutakallimun dan filosof muslim mempertahankan atau memperkuat keyakinan mereka dengan menggunakan metode filsafat tetapi mereka berbeda dalam landasan awal berpijak. Mutakalimun lebih dahulu bertolak dari al-Quran dan Hadis (wahyu) yang diyakininya (diimani), kemudian disertakan pembuktian dalil-dalil rasional. Sementara filosof berpijak kepada logika. Artinya, mereka melakukan sebuah pembuktian secara rasional, kemudian meyakininya. Meskipun demikian, tujuan yang ingin dicapai adalah satu yaitu ke-Esaan Allah dan ke-Mahakuasaan Allah SWT.(Rohanda, 2006:3) 

            Menurut Nurcholish Madjid, ilmu kalam sering diterjemahkan sebagai teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian teologia dalam agama Kristen. Misalnya dalam pengertian teologi Kristen, ilmu fiqih dalam Islam termasuk teologi. Karena itu sebagian di kalangan ahli ada yang menghendaki pengertian yang lebih praktis untuk menerjemahkan ilmu kalam sebagai teologis dialektis atau teologi rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat khas dalam Islam.(Madjid, 1992:201- 202) 

Beberapa alasan penamaaan ilmu kalam adalah: 

 1. Persoalan terpenting di antara pembicaraan-pembicaraan masa-masa pertama Islam adalah firman Allah SWT, al- Quran, apakah azali atau baru. Oleh karena itu, keseluruhan isi ilmu kalam merupakan bagian yang penting sekali. 

            Dasar ilmu kalam yaitu dalil-dalil rasional yang pengaruhnya nampak nyata pada pembicaraan- pembicaraan para ulama Islam, sehingga kelihatan mereka sebagai ahli bicara. Dalil al-Quran dan Sunnah baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran suatu persoalan dari segi akal pikiran 

2. Pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dan filsafat. Pembuktian-pembuktian dengan logika disebut ilmu kalam. Orang yang ahli dalam ilmu kalam disebut mutakallim (jamaknya mutakallimin) (Ensiklopedi Islam, h.345-346). 

Istilah teologi Islam, ilmu kalam, dan ilmu tauhid pada intinya memiliki kesamaan pengertian, yaitu di sekitar masalah-masalah sebagai berikut: 

1. Kepercayaan tentang Tuhan dengan segala seginya, yang berarti termasuk di dalamnya soal-soal wujud-Nya, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan sebagainya. 

2. Pertalian-Nya dengan alam semesta, yang berarti termasuk di dalamnya persoalan terjadinya alam, keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, serta kada dan kadar. Pengutusan rasul-rasul juga termasuk di dalam persoalan pertalian manusia dengan Tuhan, yang meliputi juga soal penerimaan wahyu dan berita-berita alam gaib atau akhirat (Hoeve, 1999: 91).

B. Dasar Qurani 

Sebagai sumber ilmu kalam, al-Quran banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, di antaranya adalah: 

1. Q.S. al-Ikhlas (122): 3-4. Artinya: “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakan, serta tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang tampak sekutu (sejajar) dengan-Nya. 

2. Q.S. al-Furqan (25): 59. Artinya: “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy[1071],8 (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui(Muhammad) tentang Dia.” 

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang bertahta di atas "Arsy". Ia Pencipta langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya. 

3. Q.S. al-Fath (48): 10 Artinyai:“Bahwasannya orang-orang yang berjanji kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. Tangan Allah di atas tangan mereka[1397], maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberikan pahala yang besar.” 

Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai "tangan" yang selalu berada di atas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh dengan janji Allah SWT. 

4. Q.S. Thaha (20): 39. Artinya: “Yaitu, letakanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkan ia ke sungai (Nil),maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Firaun) musuh-Ku dan musuhnya. Dan Aku telah melimpahkan kasih sayang yang datang dari-Ku[916]; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.” 

Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai "mata" yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya. 5. Q.S. ar-Rahman (55): 27. Artinya: “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai "wajah" yang tidak akan rusak selama-lamanya.

            Masih banyak ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang ketuhanan di antaranya: Q.S an-Nisa (4): 125, ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan menurunkan aturan berupa agama. Seseorang akan dikatakan telah melaksanakan aturan agama apabila melaksanakan dengan ikhlas karena Allah. Q.S Luqman (31):22, Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah disebut sebagai muhsin. Q.S Ali Imran (3):83, ayat ini menunjukkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan penunjuk jalan kepada para Nabi.Q.S al-Anbiya (21):92, ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam berbagai suku, ras, atau etnis dan aga,a apapun adalah umat Tuhan yang satu. Oleh sebab itu, semua umat, dalam kondisi dan situasi apa pun, harus mengarahkan pengabdiannya hanya kepada-Nya. Q.S al-Hajj (22):78, ayat ini menujukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu kegiatan yang sungguh-sungguh akan dikatakan sebagai "jihad" kalau dilakukannya hanya karena Allah SWT. semata.

             Ayat-ayat di atas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan, tuntunan, dan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rincinya tidak diketemukan sehingga para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya. Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan itu disistematisasikan yang pada gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah Ilmu Kalam.  

C. Sumber Kajian IlmuKalam 

Akal manusia dalam mengenal Allah hanya mampu sampai pada batas mengetahui bahwa Allah Zat Tuhan Yang Maha Kuasa itu ada. Untuk mendalami lebih lanjut, manusia memerlukan wahyu. Sebab itulah, Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul untuk menjelaskan apa dan bagaiman Allah itu melalui sifat-sifat-Nya dan hal-hal yang berhubungan dengan bukti kebenaran, keesaan, dan kekuasaan-Nya.

             Para teolog/ mutakallimun mempunyai ciri khusus dalam membahas teologi, yaitu menggunakan akal. Dalam membahas persolan-persolan Tuhan dan hal-hal yang berhubungan dengan-Nya bersumber kepada wahyu (al-Quran dan as- Sunnah). Dengan tujuan agar akal manusia dapat menangkap ajaran-ajaran dan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam wahyu tersebut. Karena kalau akal tidak mendapat bimbingan dari kedua sumber tersebut, sangat mungkin akal akan memasauki perjalanan sesat dan menyesatkan, terutama dalam memahami keesaan dan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. 

            Menurut akal, keberadaan sesuatu dapat diamati, diteliti, dan dicapai oleh akal. Akal merupakan pemberian tertinggi dari Allah setelah iman (hidayah). Oleh karena itu, keyakinan dan akal bertemu dan menguatkan pemahaman seseorang tentang sesuatu.

D. Sejarah Munculnya Ilmu Kalam 

            Secara historis, di kalangan umat Islam telah terjadi perbedaan pedapat yang mengakibatkan lahirnya aliran-aliran kalam seperti: Khawarij, Syi'ah, dan Murji'ah. Lahirnya aliran kalam ini sebagai wujud implikasi adanya perbedaan politis tentang siapa yang berhak menjadi khalifah untuk mengganti Nabi Muhammad SAW setelah wafat (11 H).(Ibid) 

            Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri disebutkan untuk pertama kali pada masa khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun (w. 208 H), setelah ulama-ulama Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dipadukan dengan metode ilmu kalam. Sebelum masa al-Ma’mun, ilmu yang membicarakan masalah kepercayaan disebut al-Fiqh sebagai imbangan Fiqh fi al-„Ilmi, yaitu tentang hukum Islam. Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) menamakan bukunya al-Fiqh al-Akbar tentang kepercayaan agama. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah fiqh dikhususkan untuk ilmu yang membicarakan persoalan- persoalan hukum Islam. 

            Ilmu Kalam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Setelah ilmu- ilmu ke-Islaman satu persatu muncul dan banyak orang membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (metafisika), dalam ilmu ini terdapat berbagai golongan dan aliran. Dalam waktu kurang lebih tiga abad kaum muslimin melakukan berbagai perdebatan dengan sesama muslim maupun dengan pemeluk agama lain, akhirnya kaum muslimin mencapai ilmu yang membicarakan dasar-dasar aqidah dan rincian- rinciannya; baik oleh faktor yang datang dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri maupun faktor yang datang dari luar mereka, karena adanya kebudayaan-kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan Islam.( Ensiklopedi Islam 2, Op. Cit., h. 346; Ahmad Hanafi, Op. Cit., h. 6.) 

            Sejarah berdirinya ilmu kalam apabila dilihat dari faktor penyebab dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri, antara lain: 

1. Al-Quran sendiri di samping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad SAW., yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar, seperti golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan, menyembah bintang-bintang, bulan, matahari. Golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-nabi dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat setelah nanti. Adanya golongan-golongan tersebut di samping adanya perintah Tuhan sudah barang tentu membuka jalan bagi kaum muslimin untuk mengemukakan alasan-alasan kebenaran ajaran-ajaran agamanya di samping menunjukkan kesalahan-kesalahan golongan- golongan yang menentang kepercayaan-kepercayaan itu, dan dari kumpulan alasan-alasan itulah berdiri ilmu kalam. 

2. Ketika kaum Muslimin selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk Islam, mereka mulai tentram dan tenang fikirannya, di samping melimpah-ruahnya rizki. Di sinilah mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama yang kelihatannya saling bertentangan. Persoalan politik, contohnya ialah soal Khilafat (pimpinan pemerintahan). Ketika Rasulullah meninggal dunia, beliau tidak mengangkat seorang pengganti, tidak pula menentukan cara pemilihan penggantinya. Karena itu, antara sahabat Muhajirindan Ansharterdapat perselisihan, masing-masing menghendaki supaya pengganti Rasul dari pihaknya. Inilah sebenarnya yang merupakan cikal bakal awal lahirnya pemikiran politis-teologis di kalangan umat Islam. 

            Selain itu, ada faktor-faktor lain yang datangnya dari luar Islam dan kaum Muslimin, (Ahmad Hanafi, Op. Cit.) yaitu: 

1. Banyak di antara pemeluk-pemeluk Islam yang sebelumnya beragama Yahudi, Nasrani dan lain-lain yang memasukkan ajarannya ke dalam ajaran Islam. 

2. Golongan Islam yang dulu, terutama golongan Mu'tazilah, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. Salah satu senjata yang digunakan dalam perang pendapat yaitu filsafat. Dengan masuknya filsafat, semakin banyak pembicaraan ilmu kalam. 

3. Sebagai kelanjutan dari sebab tersebut, para mutakallimim hendak mengimbangi lawan-lawannya yang menggunakan filsafat sehingga mereka terpaksa mempelajari logika dari filsafat, terutama segi Ketuhanan. 

            Persoalan teologi Islam sebenarnya bermula dan lebih didominasi oleh pergolakan politik, lebih tepatnya masalah khilafah, dengan warna sentimen kelompok dan kesukuan yang cukup kental. Peralihan kekuasaan dari Nabi Muhammad SAW kepada Abu Bakar yang melewati perdebatan serius di Tsaqifah Bani Sa'idah salah satu bukti warna politik, khususnya masalah khilafah menjadi isu sentral. Persolan politik-teologi yang menyelubungi pembunuh Utsman bin Affan di Madinah pada tahun 656 M semakin memperuncing friksi umat Islam yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai politik agama. Peristiwa ini merupakan titik awal yang tepat untuk mengkaji pergulatan dialektika ajaran dan praktek-praktek keagamaan. Peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bermula dari lahirnya gerakan kelompok-kelompok yang tidak puas terhadap kebijakan politik yang diambilnya. 

            Ali sebagai Khalifah terpilih pengganti Utsman mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi Khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekah yang mendapat dukungan dari Aisyah. Mereka dikalahkan Ali pada perang Jamal (Harb al-Jamal/Battle of Camel) di Irak tahun 657 M. Thalhah dan Zubeir mati terbunuh, Ummul Mukminin Aisyah dikembalikan ke Madinah dikawal pasukan yang dipimpin saudaranya sendiri, yaitu Muhammad Ibn Abi Bakar. (Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 477-479.) 

            Selanjutnya Ali mendapat tantangan dari Muawiyah Ibn Abi Sufyan, gubernur Damaskus, yang tidak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Beliau menuntut agar Ali menghukum para pembunuh Utsman. Pertempuran antara pasukan Ali dan Muawiyah tidak bisa dihindarkan lagi sehingga terjadilah Perang Siffin pada bulan Shaffar 37 H/658 M. 

            Perang Shiffin diselesaikan dengan tahkim/arbitrase (perdamaian) ketika pasukan Muawiyah terdesak mundur. Pihak Ali yang mau memenangkan perang mengalami kerugian yakni diturunkan dari jabatan khalifah digantikan oleh Muawiyah. Walaupun demikian, Ali tetap mempertahankan jabatan khalifah hingga wafatnya tahun 661 M. Sebagia n tentara Ali yang tidak menyetujui penyelesaian perang dengan jalan tahkim, meninggalkan barisannya sehingga terkenal dengan nama al-Khawarij (orang yang ke luar dan memisahkan diri atau (seceders). Mereka menginginkan bahwa putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum- hukum yang ada dalam al-Quran. Mereka bersemboyan: La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pengantara selain dari Allah). 

            Khawarij memandang Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan orang-orang yang menerima arbitrase adalah kafir. Mereka merujuk kepada surat al-Maidah ayat 44 bahwa siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah adalah kafir. Oleh karena itu, keempat pemuka Islam itu telah dipandang kafir/telah keluar dari Islam (murtad/apostate) sehingga mesti dibunuh. Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh keempat pemuka Islam tersebut dan hanya Ali yang berhasil dibunuh. Selanjutnya Khawarij pecah menjadi beberapa sekte sehingga konsep kafir dalam Khawarij mengalami perubahan, yang dianggap kafir bukan hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al- Quran, tetapi orang yang berbuat dosa besar (murtakib al- Kaba‟ir/capital sinners) dipandang kafir pula. 

            Mengenai orang yang berbuat dosa besar tersebut mempunyai pengaruh dalam pertumbuhan teologi dalam Islam, apakah masih mukmin atau sudah menjadi kafir. Hal ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, ( Nasution, 1986:7 ) yaitu: 

1. Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. 

2. Aliran Murji'ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukanya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya. 

3. Aliran Mu'tazilah, tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).

            Dalam Islam, timbul pula dua aliran teologi yang terkenal dengan nama al-Qadariyah dan al-Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya (free will and free act). Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Dalam segala tingkah lakunya, manusia --menurut faham Jabariyah-- bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan, sehingga disebut faham predestination or fatalism.Selanjutnya, muncul aliran yang menentang Mu‟tazilah yakni Asy‟ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut aliran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah. Aliran Maturidiah banyak dianut umat Islam bermazhab Hanafi sedangkan aliran Asy’ariah umumnya dianut oleh umat Islam Sunni lainnya.

E. Perkembangan Ilmu Kalam 

Dalam pemetaan pemikiran Islam, karena tidak lepas dart perkembangan sejarah Islam, maka Harun Nasution membagi kedalam tiga periode besar: ( Nasution, H. 12-14 ) 

1. Periode Klasik (650-1250) 

 merupakan zaman kemajuan yang dibagi ke dalam dua fase: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M).Zaman inilah yang menghasilkan ulama-ulama besar seperti: Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'l, Imam Ibn Hambal. 

2. Periode pertengahan (1250-1800 M)

 juga dibagi menjadi dua fase: Fase kemunduran (1250-1500 M). Pada fase ini desentralisasi dan disintegrasi semakin meningkat.Yang kedua fase Tiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan itu adalah Kerajaan Utsmani di turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. 

3. Periode Modern (1800 M-seterusnya) 

merupakan zaman kebangkitan umat islam. 

BAB III 

PENUTUP 

A. Kesimpulan 

            Ilmu kalam adalah Ilmu yang membahas tentang masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Ilmu Kalam juga dinamakan ilmu aqaid atau ilmu ushuludin, karena persoalan kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya. 

Sumber-sumber ilmu kalam : 

a. Al Qur’an 

b. Hadist 

c. Pemikiran manusia 

d. Insting 

Pokok permasalahan Ilmu Kalam terletak pada tiga persoalan, yaitu Esensi Tuhan itu sendiri dengan segenap sifat-sifat-Nya, Qismul Nububiyah, hubungan yang memperhatikan antara Kholik dengan makhluk, Persoalan yang berkenaan dengan kehidupan sesudah mati nantinya yang disebut dengan Qismul Al-Sam’iyat. 

            Secara garis besar, penelitian ilmu kalam dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan pemula, dan kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada Al-Qur’an dan hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama. 

DAFTAR PUSTAKA 


Ensiklopedi Islam 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 345. 

Ensiklopedi Islam 2, Op. Cit., h. 345-346. 

Ensiklopedi Islam 2, Op. Cit., h. 346; Ahmad Hanafi, Op. Cit., h. 6. 

Ensiklopedi Islam 5, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 91. 

Hanafi, Ahmad. Op. Cit. h. 11-12. 

Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 3. 

Madjid, Nurcholis. Islam Doktrin dan Peradaban. Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,                     Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 201-202. 

Nasution, Harun. Op. Cit., (Jakarta: UI Press, 1986), h. 7. Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-aliran             Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI H-Press, 1978), h. 9. 

Rozak, Abdul. & Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 3. 

Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 477-479. 

WS, Rohanda . Op. Cit, h. 10; lihat pula Harun Nasution, Op. Cit., h. 4-6. 

WS, Rohanda. Ilmu Kalam dari Klasik sampai Kontemporer, (Bandung: Najwa Press, 2006), h.3

Postingan terkait: