PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, Islam mengatur seluruh
aspek dan sendi-sendi kehidupan para pemeluknya, hal itu tercakup dalam kitab
suci umat Islam yang menjadi pedoman dan rujukan terhadap setiap fenomena serta
permasalahan yang muncul, yakni al-Qur'an dan al-Hadis sebagai representative
dari al-Qur'an itu sendiri, namun aturan yang terdapat dalam al-Quran maupun al-Hadis
tersebut masih bersifat global belum menyentuh terhadap permasalahan yang
parsial, sehingga zaman sekarang ini banyak bermunculan permasalahan tentang
kebenaran hukum-hukum Islam, hal ini lebih disebabkan oleh adanya interpretasi
terhadap nash al-Qur'an maupun al-Hadis yang berbeda serta kemungkinan adanya
perbedaan metode intinba>t} hukum yang dilakukan.
Fenomena yang demikian itu, mengakibatkan munculnya
perdebatan-perdebatan di kalangan masyarakat yang fanatik terhadap aliran /
madzhab tertentu terhadap permasalahan yang hakikatnya bukan permasalahan
substansial.
Adapun yang perlu menjadi perhatian, bahwasanya para Imam
Mazhab memiliki metode istinba>t} hukum tersendiri dalam menetapkan
suatu hukum, walaupun dasar yang digunakan adalah sama, yakni al-Qur’an, as-Sunnah. namun apabila dalam
suatu masalah tidak ada penyelesaian hukum di dalam keseluruhan dasar hukum
tersebut, maka mereka berijtihad untuk mencari penyelesaian hal tersebut, maka
dalam ijtihad inilah terjadi penetapan hukum yang berbeda, dikarenakan
masing-masing Imam menggunakan metode yang berbeda.
Jadi, pembahasan
ini menjadi penting adanya sebagai bahan tela’ah serta khazanah pengetahuan
tentang metode serta gaya khas seorang ulama’ mazhab Sekaliber imam ahmad bin
hambal agar dimaksudkan pembaca mampu memahami corak serta style istinba>t}
yang dilakukannya.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Kehidupan
Nama lengkap
beliau adalah Abu> Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad
ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyain ibn Abdullah ibn Anas ibn Auf ibn Qasit ibn
Syaiban.[1] Beliau
lahir di Baghdad pada tahun 164 H.[2]Ayahnya
adalah seorang pejuang yang handal,[3]yang
kemudian meninggal ketika Imam Ahmad masih di bawah umur. Sedangkan kakeknya
adalah seorang gubernur di wilayah Sarkhas dalam jajahan Kharasan pada masa
pemerintahan Umawiyah, namun kakeknya ini bersimpati kepada golongan Abbasiyyin
hingga runtuhnya daulah Bani Umayyah,[4] maka Imam
Ahmadpun diasuh oleh ibunya.[5]
Selama hidupnya,
Ahmad ibn Hanbal terkenal wara’, pendiam, suka berfikir, peka terhadap kondisi
sosial, dan juga suka bertukar pendapat. Beliau mempunyai pikiran yang
cemerlang, wawasan yang luas dan kepribadian yang baik.
Pada saat itu,
Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan, sehingga beliau tidak melewatkan
kesempatan tersebut dengan memperdalam ilmu pengetahuan, beliau memulai dengan
belajar menghafal al-Quran, kemudian belajar bahas Arab, Hadis, sejarah nabi,
sahabat dan tabi’in.[6]
Ibnu Hanbal yang
hidup sebagai seorang yang miskin, karena bapaknya tidak meninggalkan warisan
apa-apa selain rumah kecil yang ditempatinya. Oleh karena itu beliau menempuh
kehidupan yang susah, sehingga beliau terpaksa bekerja untuk mencari kebutuhan
hidup. Dan sejak kecil beliau memang menunjukkan minat yang mendalam terhadap
ilmu pengetahuan, di samping beliau waktu itu adalah seorang anak yang rajin
belajar.
Ahmad bin Hanbal
meninggal dunia di Baghdad pada hari Jumat bulan Rabiul Awal tahun 241 H atau
bertepatan dengan 855 Masehi ketika berusia 77 tahun tidak lama selepas
dibebaskan dari penjara karena uzur yang berat akibat disiksa dalam penjara.
Jenazah beliau dikebumikan di Marwaz. Sebagian ulama’ menerangkan bahwa di saat
meninggal, jenazahnya diantarkan oleh 800.000 orang laki-laki dan 60.000 orang
perempuan dan disaat itu pula 20.000 orang dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi
masuk Islam. Oleh sebab itulah makam beliau paling banyak dikunjungi.[7]
B.
Jaringan Intelektual
Selama tujuh
tahun, mulai tahun 179 H hingga tahun 186 H, Ahmad ibn Hanbal memusatkan
perhatiannya pada sunnah dan hadis di Baghdad. Dan untuk pertama kalinya beliau
belajar hadis kepada Abu> Yu>suf.[8] Abu> Yu>suf adalah seorang ahl al-ra’yi dan
salah satu sahabat Abu> Hanifah. Abu> Yu>suf juga seorang hakim agung
pada pemerintahan Bani Abbasiyah. Ahmad ibn Hanbal salah seorang tokoh
terkemuka dalam sejarah Islam yang menguasai ilmu hadis sekaligus hukum.
Setelah itu ia
mulai mengembara ke Bashrah, Hijaz, Yaman, Kufah dan daerah-daerah lainnya
untuk belajar hadis.[9] Di Mekah
beliau bertemu dengan Imam al-Syafi’i untuk memperdalam ilmu fikih dan ushu
al-fikih. Ketertarikan Imam Ahmad untuk belajar kepada Imam al-Syafi’i yaitu
pada ketangkasan al-Syafi’i dalam bidang perumusan fikih, kaidah-kaidah
deduktif, dan metode-metode ijtihadnya. Inilah yang banyak mempengaruhi
pemikiran Imam Ahmad. Tidak benar jika tuduhan bahwa Imam Ahmad sebenarnya
bukan faqih, tetapi sekedar muhaddis.[10] Kekaguman
dan keterkaitannya terhadap pemikiran-pemikiran fikih Syafi’i adalah suatu
bukti bahwa beliau mempunyai perhatian besar terhadap masalah-masalah fikih.
Al-Khilal, seorang muridnya yang sangat berjasa menyebarkan fatwa-fatwanya,
pernah berkomentar, “Sebenarnya Ahmad telah menulis buku-buku fikih ra’y dan
menghafalnya, kemudian membiarkannya dan tidak pernah menyimaknya lagiˮ.[11]
Selama perantauannya
beliau banyak mendapat ujian dan kesulitan. Terkadang beliau harus berjalan
kaki, karena bekalnya habis dalam perjalanan, bahkan beliau pernah menjual jasa
untuk menjadi kuli para pedagang dengan upah agar beliau bisa sampai ke Yaman.[12]
Dalam menuntut
ilmu beliau lebih mengandalkan catatan dibandingkan dengan hafalan. Dalam
mengajarkan hadis, bisa jadi beliau menerangkannya berdasarkan hafalannya.
Namun, para muridnya tidak dibenarkan menuliskan suatu hadis sebelum dipastikan
dari catatannya. Beliau mengandalkan catatan, meskipun semua orang di masanya
mengakui keunggulan daya hafalannya.[13]
Dalam perjalanan
mencari hadis, beliau tidak cukup hanya menukil dari buku untuk kemudian
disampaikan lagi, tetapi harus bertemu langsung dengan mendengar dari perawinya
yang masih hidup untuk memastikan periwayatannya.
Oleh karena itu,
beliau tidak pernah peduli dengan kelelahan yang beliau alami demi mencapai
tujuannya, beliau pergi sambil memikul bukunya. Sampai suatu kali beliau
ditanya oleh seorang yang dikenalnya, “Apakah anda akan membawa tempat tinta ke
kuburan?” Imam Ahmad menjawab “Saya akan menuntut ilmu sampai saya masuk liang
kubur”.[14]
Kecenderungan Imam
Ahmad terhadap hadis dan periwayatannya telah memberi dampak yang besar baginya
untuk memperdalam fikih. Hal itu dapat dipahami dari banyaknya murid-muridnya
yang menulis fatwa-fatwa dan pendapatnya hingga tersusun suatu akumulasi
pemikiran-pemikiran fikih yang dinisbatkan kepadanya. Seandainya beliau hanya
memusatkan perhatiannya pada hadis, tentulah sangat sulit bagi kita untuk
mengkaji pendapat-pendapatnya dalam masalah fikih.
Pada bagian atas
telah disinggung bahwa beliau sering melakukan perjalanan dalam rangka
mempelajari hadis dan fikih. Dalam bidang fikih, beliau berguru kepada Imam
Syafi’i, dan Abu> Yu>suf. Dalam bidang hadis, beliau meriwayatkannya dari
Hasyim, Ibrahim ibn sa’ad, dan Sufyan ibn Uyainah. Dengan demikian guru-guru
Ahmad ibn Hanbal adalah (1) Abu> Yu>suf, (2) Muhammad ibn Idris
al-Syafi’i, (3) Hasyim, (4) Ibrahim ibn Sa’ad, (5) Sufyan ibn Uyainah.[15] Dalam
buku al-Syurbasi disebutkan juga guru Imam Ahmad yang yang lain adalah Yahya
ibn al-Qattan, Wakie’ dan lain-lain.[16]
Dalam rangka
menimba ilmu hadis, ketika berusia 39 tahun beliau mengadakan perjalanan dan
merantau ke Yaman selama setahun. Dalam perjalanan ilmiahnya itu, yang paling
diminatinya ialah bidang hadis sehingga menjadi tokoh hadis yang disegani.
Predikat yang diberikan kepada beliau sebagai muhadis (ahli hadis) tidak
kalah dengan predikatnya sebagai mujtahid pendiri mazhab Hanbali. Bagi beliau,
mendalami hadis berarti sekaligus mendalami hukum Islam. Oleh karena itu,
gelarnya sebagai ahli hadis tidak dapat dipisahkan dari gelarnya sebagai ahli
fikih, pendiri mazhab Hanbali.
Ketika berusia 40
tahun Imam Ahmad kembali ke Baghdad dan mulai berijtihad secara mandiri dan
mengajarkan hasil ijtihad dan ilmu yang diterimanya. Secara rutin setiap hari
pengajiannya terdiri dari dua sesi:[17] (1)
sesi pertama untuk umum, diadakan setelah salat ashar di sebuah masjid di tengah
kota Baghdad, dan (2) sesi kedua untuk orang-orang tingkat tertentu di
rumahnya.
Ahmad ibn Hanbal
juga mempunyai beberapa murid yang meneruskan dan mengembangkan ajarannya, di
antaranya adalah:[18]
1.
Shalih ibn Ahmad ibn Hanbal (anak Ahmad ibn Hanbal) w.
266 H.
2.
‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal (anak Ahmad ibn Hanbal) w.
290 H.
3.
Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu> Bakr al-Atsrami
(salah seorang teman Ahmad ibn Hanabal) w. 261 H.
4.
‘Abdul Malik ibn Abdul Hamid ibn Mahran al-Maimanui
(salah seorang sahabat Ahmad ibn Hanbal) w. 271 H.
5.
Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajaj atau lebih dikenal dengan
Abu> Bakar al-Marwazi w. 275 H.
Setelah mereka
datanglah dua imam besar yang mengafiliasikan diri pada mazhab Imam Ahmad,
yaitu Ahmad Taqiyuddin ibn Taimiyah (wafat 728 H.) dan Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyah (wafat 751 H.).[19]
Keduanya dikenal sebagai orang yang menisbahkan diri pada mazhab Hanbali, baik
dalam dasar dan kaidahnya.
C.
Karya-karyanya
Musnad adalah
kumpulan beberapa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Beliau menuliskannya
tidak beraturan dan tidak tersusun rapi dan ketika usianya sudah senja dan
takut ada yang hilang, kemudian beliau pun membacakannya kepada anak-anaknya
serta keluarganya secara tidak beraturan. Lalu datanglah ‘Abdullah anaknya yang
menyusunnya sesuai dengan klasifikasinya.
Dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanballah yang menyusun
kitab al-Musnad dan disusun berdasarkan sahabat Nabi Saw., hadis yang
diriwayatkan oleh Abu> Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan demikian seterusnya.
Pada umumnya hadis
ataupun fatwa-fatwa Imam Ahmad tidak dibukukannya sendiri. Seperti al-Musnad
yang dibukukan oleh anaknya sendiri ‘Abdullah, kitab ini berisi 40.000 hadis,
kurang lebih 10.000 diantaranya dengan berulang-ulang.[20] Subhi
al-Shalih menempatkan Musnad Ahmad pada peringkat kedua, sejajar dengan Jami’
al-Tirmizi dan Sunan Abu Dawud.[21]
Sedangkan
fatwa-fatwa beliau dicatat oleh muridnya dan dibukukan oleh pengikutnya. Salah
satu di antara mereka adalah Umar ibn Abi< Ali< al-Husain al-Hazmi (wafat
234 H.) yang menulis kitab monumental, Mukhtashar al-Khiraqi yang lebih
lanjut disyarahi oleh ibn Qudamah menjadi kitab al-Mughni.[22]
Karya terbesar
yang memuat Mazhab Hanbali adalah kitab al-Jami>’ al-Kabi>r karya
Ahmad ibn Muhammad al-Khalal (wafat 311 H.). Buku ini adalah hasil koleksi
al-Khalal setelah beberapa tahun mengadakan perjalanan ilmiah menemui
murid-murid Ahmad ibn Hanbal di berbagai negeri. Ada ulama yang mengatakan
bahwa buku ini terdiri dari dua ratus juz, namun masih dalam bentuk manuskrip.[23]
Buku-buku lainnya
yang berisi tentang hukum Islam hanya buku yang berjudul al-Manasi>k
al-Kubra> wa Sughra> dan al-Usyribah. Selain buku-buku yang sudah
disebutkan di atas ada buku lainnya yaitu, kitab al-S{ala>h, Fad}a>’il
al-S}ah}a>bah, al-‘Ilal wa al-Rija>l, al-Ima>n, dan al-Na>sikh
wa al-Mansu>kh, al-Zuhd.[24]
D.
Pemikiran Hukum Islam
Ahmad menganggap
Imam Syafi’i sebagai guru besarnya, oleh karena itu dalam pemikiran beliau
banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i. Hal ini juga bisa diketahui dari
kata-kata Ahmad ibn Hanbal ketika beliau sudah menjadi Imam yang besar. Apabila
saya ditanya tentang sesuatu yang tidak saya jumpai kabar (yakni hadis dan
atsar para sahabat) yang menjelaskannya, maka saya berpegang kepada pendapat
Imam Syafi’i. Imam Ahmad mendirikan mazhabnya atas lima dasar, yaitu:[25]
1.
Nash al-Qur'an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan
dalam al-Qur'an dan Sunnah, beliau berpendapat sesuai dengan makna yang
tersurat, makna yang tersiratnya beliau abaikan.
2.
Fatwa sahabat yang tidak ada pertentangannya. Apabila
dalam al-Qur'an dan Sunnah tidak beliau dapatkan, beliau memilih pendapat
sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3.
Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, beliau memilih salah
satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah.
4.
Menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if jika
tidak ada dalil lain yang menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas. Jika
tidak didapatkan hukum suatu masalah dalam fatwa-fatwa sahabat, maka hadis
mursal diterimanya dalam menentukan suatu hukum. Bukan saja hadis mursal s}ah}a>bi>,
tetapi juga hadis mursal al-ta>bi’i>. Bagi Imam Ahmad, kedua
bentuk hadis mursal tersebut dapat diterima sebagai sumber hukum bila
hukum suatu masalah tidak dapat ditemukan dalam sumber-sumber tersebut di
dalamnya. Adapun hadis daif menurut Imam Ahmad adalah perawinya yang belum
mencapai derajat tsiqah, tetapi tidak sampai dituduh berdusta. Dalam hal
ini ungkapannya yang terkenal adalah: ˮBerpegang kepada hadis daif
lebih aku sukai daripada berfatwa dengan mengandalkan rasioˮ. Beliau
berpegang kepada hadis daif selama tidak menyangkut masalah-masalah hukum,
tetapi beliau menerima hadis-hadis daif
yang berkaitan dengan keutamaan amaliah.
5.
Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan dalam al-Qur'an,
Sunnah, fatwa sahabat, hadis mursal dan hadis daif maka beliau menggunakan
qiyas. Dalam pandangannya, qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan
terpaksa.
Dari paparan di
atas dapat disimpulkan bahwa Imam Ahmad tidak menyebutkan ijma’, al-mashalih
al-musalah, istihsan, adz-dzari’ah, dan istishab yang
sudah sangat populer bagi semua fuqaha’ Hanabilah yang tersebut dalam buku-buku
mereka.
Imam Ahmad juga
merupakan salah satu imam kaum fundamentalis, terlihat dari pemikiran-pemikiran
fikihnya. Bahwa beliau orang yang berpegang teguh pada pokok ajaran Islam yaitu
al-Qur'an dan Sunnah secara ketat. Imam Ahmad berpikiran seperti itu karena
beliau mempunyai obsesi merombak pemahaman agama pada zamannya yang
terkotak-kotak dalam berbagai aliran dan sekte ke dalam pemahaman komprehensif
para sahabat.
E.
Pro Kontra atas Pemikirannya
Imam Ahmad ibn
Hanbal yang hidup pada masa pertengahan dinasti Abbasiyah, ketika unsur Persia
mendominasi unsur Arab. Pada periode ini seringkali timbul pergolakan, konflik,
dan pertentangan yang berkisar pada persoalan kedudukan putra mahkota dan
khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudaranya. Yang pada saat itu
paham Mu’tazilah mendapat sukses besar hingga menjadi mazhab resmi negara pada
masa pemerintahan al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, menerima pandangannya
sebagai akidah dan memaksakannya pada seluruh kaum muslim.
Sebagai reaksi,
para fuqah’ dan ulama meningkatkan perhatian mereka pada bidang hadis sehingga
ilmu hadis menjadi lebih memasyarakat. Para ulama menyetujui pembukuan
hadis-hadis sahih, terutama Ahmad ibn Hanbal. Bahkan perhatiannya yang demikian
besar pada bidang ini, predikat al-Faqih (al-fiqh) yang diberikan
kepadanya hampir tertutup oleh predikat al-muhaddis (ahli hadis).
Kebesaran dan
kemasyhuran nama Ibn Hanbal dikarenakan perlawanannya terhadap dogma-dogma agama
dan politik yang disebarkan oleh kekhalifahan Abbasiyah yang menurut Imam Ahmad
tidak berdasarkan pada al-Qur’an dan hadis. Bahkan para penguasa mengeksploitasi agama sebagai alat
untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak istimewa mereka dalam perekonomian.
Kaum Mu’tazilah adalah penasehat resmi otokrasi Abbasiyah. Formulasi teologis
dari doktrin penciptaan al-Qur’an secara politis digunakan untuk menekan para
tokoh masyarakat, buruh dan budak yang berada di bawah kekuasaan feodal. Ibn
Hanbal dan muhadditsin lain menolak mengakuinya.
Seperti yang
dikemukakan di atas bahwa sikap konsisten Ahmad ibn Hanbal pada hadis dan
kebenciannya terhadap Mu’tazilah menyebabkan beliau mendapat kesulitan besar
pada periode al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq. Al-Makmun sendiri adalah
seorang tokoh dan filosof yang beraliran Mu’tazilah. Ia ingin memaksakan
ideologi Mu’tazilah kepada para ulama, termasuk di dalamnya ide terpenting khalq
al-Qur'an (pandangan bahwa al-Qur'an adalah makhluk). Meskipun sebagian
besar para ulama menerimanya dengan terpaksa di bawah ancaman al-Makmun, namun
Ahmad ibn Hanbal termasuk salah seorang terkemuka pada zamannya yang secara
tegas menolaknya. Bahkan kemahlukan al-Qur'an menurut Ahmad ibn Hanbal adalah
bid’ah yang bertentangan dengan agama. Akibat dari sikapnya ini ia ditangkap
dan dijebloskan dalam penjara oleh al-Makmun, Beliau kemudian diadili. Sebelum
diadili, Ibn Hanbal diseret dari Bagdad ke Tharsus dalam keadaan terlilit
rantai besi.[26] Yang berlanjut sampai masa pemerintahan
al-Mu’tashim, penggantinya.
Di bawah khalifah
Mu’tashim, beliau tabah menerima hukuman fisik dan pemenjaraan. Khalifah
Mu’tashim berulangkali mendesak ibn Hanbal agar menerima akidah Mu’tazilah
dengan janji ia sendiri yang akan membuka rantainya dan akan mengikuti
langkahnya. Karena menolak tegas, Ibn Hanbal diinjak-injak pelayan Mu’tashim
hingga sebagian tulang sendinya lepas. Sesudah itu, sekelompok algojo tampil
dan masing-masing mencambuknya dua kali sekuat tenaga.[27] Sikap
penolakan Ahmad inilah yang membawa Ahmad menghadapi mihnah.[28] Banyak
ahli hadis, fuqaha, sarjana dan hakim dipaksa untuk tunduk pada dogma resmi
bahwa al-Qur’an adalah ciptaan dan bukan firman Allah.
Pada saat
pemerintahan al-Mutawakkil (232 H/846 M), ia menarik dekrit resmi mengenai khalq
al-Qur’an dan Ahmad pun dibebaskan dari penjara. Dan beliau kembali
memberikan kuliah kepada murid-muridnya setelah mengalami cobaan yang begitu
berat. Ahmad selalu berusaha menghindari kantor-kantor pemerintahan. Beliau
juga menolak bantuan apa pun dari pemerintah, tetapi al-Mutawakkil berkali-kali
menyodorkan uang kepada Ahmad ibn Hanbal. Sampai akhirnya beliau menerima
dengan terpaksa. Tetapi semua uang yang diterimanya disedekahkan kepada para
ulama dan pelajar yang fakir.
Dalam perjalanan
ilmiahnya, yang paling diminatinya ialah bidang hadis sehingga menjadi tokoh
hadis yang disegani. Predikat yang diberikan kepada beliau sebagai muh}addis
tidak kalah dengan predikatnya sebagai mujtahid pendiri mazhab Hanbali. Mazhab
berhaluan keras ini muncul pada abad ketiga Hijriyah.
Salah satu fatwa
dari mazhab ini adalah tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan.
Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang mesti dipenuhi adalah pencurinya
sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan bukan pemilik, meskipun syubhat.
Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan
mencapai nishab. Nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi
potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 dirham.[29]
Fatwa lainnya
dalam pelaksanaan akad nikah, menurutnya calon istri boleh membuat persyaratan,
misalnya ia hanya mau dinikahi jika tidak dimadu atau tidak dibawa pindah dari
rumah orang tuanya. Jika calon suami menyetujuinya, maka ia terikat dengan
persyaratan tersebut. Karenanya jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, istri
dibenarkan untuk menuntut fasakh.[30]
Selanjutnya contoh
lainnya dalam hal jual beli, pihak penjual boleh mensyaratkan bahwa ia bersedia
menjual benda yang dimilikinya dengan syarat jika nanti pihak pembeli mau
menjualnya, maka dirinyalah yang berhak membali. Pihak pembeli terikat dengan
persyaratan tersebut dan tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain
selama pihak penjual pertama menghendakinya.[31]
Contoh fatwa
lainnya adalah dalam bidang ibadah. Pertama, orang yang tertidur sambil
berdiri, , duduk, atau sedang rukuk sehingga tersungkur jatuh tidak batal
wudhunya. Kedua, untuk menyapu muka dan tangan melalui tayamum, cukup
dengan sekali tepukan tangan ke tanah sekaligus untuk disapukan kepada
keduanya. Ketiga, salat makmum (salat jamaah) di luar masjid dengan cara
mengikuti imam di dalam masjid adalah sah meskipun masjid dalam keadaan
tertutup.[32]
Mazhab Hanbali
adalah mazhab yang kurang berkembang di dunia Islam. Mula-mula dia berkembang
hanya di Baghdad. Kemudian di abad keempat baru melampaui perbatasan Irak, dan
di akhir abad keenam berkembang di Mesir. Dengan usaha Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi, dan di abad ke 12 H. dengan
kesungguhan Muhammad ibn Abdi al-Wahab (wafat 1201 H.), mazhab Hanbali menjadi
menjadi mazhab penduduk Najed, di masa pemerintahan raja Abd al-‘Azi>z
as-Su’udi. Sekarang mazhab Hanbali adalah mazhab resmi dari pemerintah Saudi
Arabia, dan mempunyai pengikut yang tersebar di seluruh jazirah Arab,
Palestina, Syria, dan Irak.[33]
Wahhabi adalah
sebuah sekte yang dominan di Saudi Arabia dan Qathar, pada awal abad ke-19
sekte ini mendapat tempat di India, Afrika dan sejumlah negeri lainnya.
Pengikut sekte ini disebut dengan nama pendirinya Muhammad ibn Abdul Wahhab (1115-1201/1703-1787).
Mereka sendiri lebih senang menamakan diri mereka sebagai muwahhidun
(orang-orang yang mengesakan Tuhan).
Wahhabisme merupakan
aliran fundamental yang menafsirkan Islam dengan berpegang teguh pada tradisi
Ibn Hanbal. Kalangan Wahhabi sering dimasukkan sebagai kelompok mazhab
Hanbaliyyah, tetapi terkadang dikatakan secara tegas bahwa mereka, sebagaimana
kalangan ahl al-hadith, bukanlah kelompok muqallidun (penurut),
dan tidak mengikat diri mereka sebagai pengikut satu mazhab tertentu, melebihi
apa yang telah dikerjakan oleh generasi muslim pertama.
Pendiri aliran
Wahhabi adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab, lahir di Uyaynah, arabia; termasuk
pada Khan Tamim dari cabang suku Bani Sinan. Setamat belajar di Madinah, ia
mengembara ke Irak dan Iran. Setelah kembali ke Arabia, ia pertama kali
menyebarkan ajarannya yang keras tersebut di kota asalnya, tetapi walaupun
kegiatannya tersebut mendapatkan perlawanan, ia bertahan di kota ini dengan
tetap mengembangkan seruannya sampai beberapa lama, hingga pada akhirnya ia
mendapatkan dukungan desa Dir’iyyah di padang pasir Najd, berdekatan dengan
kota yang sekarang bernama Riyadh. Di tempat inilah dogma-dogmanya disambut
baik oleh seorang Emir yang bernama Muhammad Ibn Sa’ud.
Ibn Abdul Wahhab
menuduh seluruh orang yang tidak sependapat dengan ajarannya sebagai ahl
al-bid'ah dan kafir, karena itulah ia membenarkan penggunaan kekerasan
dalam memaksakan ajarannya, dan kekuasaan politik dan suku-suku di sekitarnya
mendukung untuk melakukan strategi kekerasan tersebut. Paham yang demikian ini
mendorongnya untuk menyatakan “perang suci” (jihad), sedang pihak lainnya tidak
membenarkan pernyataan tersebut dalam peperangan sesama muslim. Untuk tujuan tersebut
Muhammad ibn Abdul Wahhab juga mengajarkan teknik menggunakan senjata api
sebagai ganti senjata tradisional padang pasir, pedang, tombak, dan lain-lain.
Persekutuan
Muhammad ibn abdul Wahhab sebagai pimpinan keagamaan dengan Muhammad ibn Sa’ud
sebagai kekuatan politik dan militer, semakin sempurna dengan perkawinan anak
perempuan Muhammad ibn Sa’ud dengan sang pendiri Wahabisme, yakni Muhammad ibn
Abdul Wahhab. Perkawinan ini menandai awal ekspansi militer yang dalam waktu
singkat membawa keberhasilan gemilang, di bawah kepemimpinan Abdul Aziz, putra
Muhammad ibn Sa’ud, sehingga ekspansi tersebut melampaui batas-batas wilayah
imperium Usmani. Pada tahun 1802 kalangan Wahhabi menguasai Karbal, makam suci
Husain ibn Ali, di Irak, dan pada tahun 1803 mereka berhasil merebut Makkah
yang ditandai dengan memasang kiswah merah pada Ka’bah.
Keyakinan aliran
Wahhabi terpusat pada sebuah prinsip yang dinamakan tawhid (ketetapan
keesaan Allah). Muhammad ibn Abdul Wahhab merampungkan penulisan sebuah buku
berjudul Tawhid ketika ia telah kembali ke Arabia dari pengembaraannya
ke luar negeri untuk belajar teologi. Tetapi apa yang ia pahami sebagai tawhid
pada dasarnya merupakan sebuah ketertutupan Realitas Tuhan, dan bukan merupakan
keesaan yang meliputi segala sesuatu yang merupakan makna yang umum dalam
pengertian metafisika Islam. Selain itu kalangan Wahhabi sama sekali tidak
mempertimbangkan secara doktrinal atas pandangan siapa pun selain apa yang
diungkapkan oleh generasi Nabi Muhammad dan generasi yang mengiringinya
(sahabat). Oleh karena itu mereka menutup kemungkinan terjadinya ijma’ sebagai
dasar syariah. Pendekatan hukum kalangan Wahhabi dalam banyak hal bersifat
unik, namun prinsip mereka secara dekat bersesuaian dengan mazhab Ibn Hanbal,
dan ia sering dipandang sebagai kelompok mazhab Hanbaliyyah, walaupun kalangan
Wahhabi sendiri menolak anggapan tersebut atau anggapan lainnya sebagai mazhab
gabungan. Tanda perubahan zaman di Saudi Arabia adalah munculnya era modern dan
paham pragmatis yang telah membuka pintu pengakuan atas mazhab-mazhab hukum
lainnya.
Kalangan Wahhabi memandang
sejumlah amalan generasi yang menggantikan generasi sahabat sebagai bid'ah
(menyimpang). Hal ini termasuk bangunan menara masjid (yang sekarang telah
diterima) dan pemberian tanda permanen di atas makam. Makam-makam di Makkah dan
khususnya di Madinah yang ditandai dengan beragam nisan seluruhnya dihancurkan
dan dijadikan rata dengan tanah oleh gerakan Wahhabi. Bahkan makam Nabi
Muhammad hampir-hampir saja dihancurkan oleh kelompok Wahhabi yang sangat
fanatik. Lantaran ketegaran raja Abdul Aziz dan lantaran adanya aksi protes
wakil-wakil diplomat dari negara-negara Islam, dan lantaran tujuan buruk
pasukan senjata Badui, maka makam Nabi terselamatkan, kalau tidak niscaya makam
tersebut akan menjadi rata dengan tanah.
Paham Wahhabi
secara keras menolak seluruh jenis ajaran esoteris (bathiniyyah) atau
ajaran mistisisme dan menolak gagasan tentang orang suci (wali), termasuk juga
praktik mengunjungi makamnya atau kunjungan terhadap makam siapa pun, kecuali
kunjungan penghormatan kepada makam Nabi Muhammad yang telah menjadi kebutuhan
dan kebiasaan universal.
Praktik memanggil
para wali (orang suci) untuk meminta perlindungan atau bantuannya dan bahkan
untuk mendapatkan “berkah”, telah membangkitkan kemarahan di dada kalangan
Wahhabi sebagai praktik yang tidak berbeda dengan syirik. Mereka menolak
seluruh anggapan kesucian (kekeramatan) barang atau tempat-tempat tertentu dan
menganggapnya sebagai tindakan yang mengurangi kesucian Tuhan dan menyalahi
ajaran tauhid. Sikap ini akan mudah dipahami secara komprehensif jika hal itu
ditujukan untuk mempertahankan kemutlakan Tuhan yang mana kalangan
fundamentalis merasakan sesuatu yang berbahaya jika hal-hal yang bersifat
sekunder tersebut diperbolehkan. Dibandingkan dengan Islam tradisional,
pandangan Wahhabi sangatlah “kering” dan cenderung mereduksikan agama menjadi
sebuah kumpulan peraturan.
Ciri muslim
Wahhabi adalah mutawwi’un (penegak ketaatan) yang mengakibatkan mereka
menjadi polisi agama. Di beberapa negara muslim yang makan secara terbuka di
siang hari Ramadhan dipandang sebagai tindakan yang memalukan atau perbuatan
yang melanggar, tetapi di kalangan masyarakat Wahhabi sikap pribadi yang tidak
berkaitan dengan peribadatan. Di Saudi Arabia, kalangan mutawwi’un turun
ke jalan-jalan untuk menghukum orang-orang muslim yang tidak mengerjakan shalat
atau dengan paksa mereka menutup toko-toko dengan segera ketika panggilan
shalat telah dikumandangkan. Mereka tetap menutup mata terhadap masalah yang di
tempat lain disandarkan kepada kesadaran pribadi bukan sebagai moralitas yang
umum. Di Riyadh, pada masa lalu, jika penegak moralitas mendapatkan aroma orang
yang merokok, mereka tidak segan-segan memasuki rumah perorangan untuk memukuli
pelanggarnya, namun sekarang kantin syisa, di mana seseorang dibolehkan
merokok, terdapat hampir di seluruh tempat.
Islam Wahhabi
sekarang menjadi lebih lunak dibanding dengan awal masa perkembangannya di Najd
dahulu. Sikap yang umum berkembang di negara-negara muslim lainnya pelan-pelan
masuk ke dalamnya, oleh karena itu kutukan yang keras sebagaimana dilakukan
oleh sang pendiri, ibn Abdul Wahhab, kini dijelaskan sebagai reaksi terhadap
penyelewengan sistem keberhalaan yang melekat pada mayoritas suku-suku Arabia
pada masa dua abad silam. Keturunan ibn abdul Wahhab sekarang dikenal sebagai
keluarga al-Syaikh, secara alamiah kehidupan mereka bersandar pada keluarga
al-Su’ud, hal ini merupakan komitmen dan persekutuan yang dilaksanakan di
Dir’iyyah pada akhir abad ke-18 antara Muhammad ibn Abdul Wahhab dengan
Muhammad ibn Sa’ud.
KESIMPULAN
Secara
garis besarnya, pemikiran Ahmad bin Hanbal dapat disimpulkan sebagai berikut:
Nama lengkapnya adalah Abu> Abdullah Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hayyain ibn
Abdullah ibn Anas ibn Auf ibn Qasit ibn Syaiban, lahir di Baghdad pada tahun
164 H. Sejak kecil sudah menjadi Yatim dan seorang yang miskin, tetapi
mempunyai semangat yang tinggi untuk memperdalam ilmu pengetahuan.
Langkah Imam ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
1.
Nash al-Qur'an dan Sunnah.
2.
Fatwa sahabat yang tidak ada pertentangannya.
3.
Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, beliau memilih salah
satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur'an dan Sunnah.
4.
Menggunakan hadis mursal dan hadis dha’if jika
tidak ada dalil lain yang menguatkannya dan didahulukan daripada qiyas.
5.
Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan dalam al-Qur'an,
Sunnah, fatwa sahabat, hadis mursal dan hadis daif maka beliau menggunakan
qiyas. Dalam pandangannya, qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan
terpaksa.
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad Mustafa. Memahami
Ilmu Hadis: Telaah Metodologi Literatur Hadis. Terj. Meth Kieraha. Jakarta : Lentera, 1995.
Haque, M. Ziaul. “Ahmad
ibn Hanbal: The Saint Scholar of Baghdad”. terj. Nurul Agustina. Jurnal
Studi-Studi Islam al-Hikmah. Bandung: Yayasan Muthahari, Maret-Juni 1992.
Khalil, Rasyad
Hasan. Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Terj. Nadirsyah
Hawari. Jakarta: Amzah, 2009.
Mubarok, Jaih. Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta
: lentera, 2008.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadist. Bandung:
Alma’arif, 1974.
al-Shalih, Subhi. Ulum
al-Hadis wa Musthalahuhu. Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Malayin, 1988.
al-Shiddieqy, Hasbi.
Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
al-Syurbasi,
Ahmad. Sejarah dan
Biografi Empat Imam Mazhab. terj. Sabil Huda dan Ahmadi. Jakarta: Bumi Aksara,
1991.
Zahrah, Muhammad
Abu.> Ibn Hanbal. Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi, 1997.
Zahw, Muhammad
Abu. al-Hadi>s wa al-Muhaddisu>n. Beirut: Da>r al-Kitab
al-‘Arabiy, 1984.
Ensiklopedi Hukum Islam. editor: Abdul Aziz Dahlan. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1996.
Glasse, Crill. Ensiklopedi
Islam (ringkas). Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1999.