PENDAHULUAN
Para
sejarawan muslim mengawali kajian sejarah hukum islam dari masa nabi walaupun
merka sadar bentuk formalnya sebagai subjek kajian yang berdiri sendiri baru
mulai beberapa waktu kemudian. [1] konon Pada
tahun 610-632 Masehi, Arab yang dikepung imperium Persia-Sassanian dan
Romawi-Byzantium dengan segala fenomenanya; barbarisme, sukuisme, kapitalisme
jahiliyyah, paganisme, perbudakan, dan aturan-aturan hukum adat seperti diyat,
qasamah, dhihar, ila`, poligami tanpa limit, konsep etik komunal muruwah
(qishash), dan lain sebagainya, merupakan konteks sosio-historis terbumikannya
'firman-firman Tuhan.[2]
Firman-firman tuhan tersebut senantiasa turun secara gradual memberikan sinaran
terhadap segala dimensi di Arab yang sedang mengalami dark age. Al-Qur`an dan
Sunnah Nabi, yang pada gilirannya akan menjadi basis Fikih, bukanlah entitas
yang berdiri sendiri dan terlepas dari realitas yang hidup dan senantiasa
berubah-ubah, melainkan bertalian dengan fakta-fakta historis Arab dengan
segala aspeknya; politik, sosial, dan budaya. Dialektika wahyu dengan realitas
di satu sisi, dan dialektikanya dengan umat Islam di sisi lain, kemudian
memunculkan inferensi hukum yang kelak disebut dengan nama ‘Fikih’. Pada era kenabian, otoritas tasyri’ sepenuhnya dipegang oleh
Rasul dengan bimbingan wahyu. Jika muncul problematika, baik bersifat
vertikal-teosentris maupun horisontal-antroposentris, para sahabat dapat
langsung mengadu kepada Rasulullah. Untuk merespon realitas tersebut, biasanya
wahyu turun. Pada periode Makkah, Rasul lebih berkonsentrasi menanamkan
monoteisme dan ajaran-ajaran universal. Seiring terus berlangsungnya 'firman
spiritual' yang turun secara gradual, visi dan misi Muhammad saw. terus
berevolusi pada periode Madinah yang ditandai dengan pembumian hukum-hukum
partikular-kontekstual.[3]
Harus
ditegaskan, peran Nabi dalam mengartikulasikan 'pesan Tuhan' pada saat itu
adalah jaminan mengapa para sahabat belum membutuhkan metodologi interpretasi
sejauh apa yang kelak diformulasikan oleh ushuliyyin. Modal utama untuk
menyeruput pesan Tuhan yang dimiliki sahabat hanyalah kompetensi linguistik dan
insting natural yang belum terformat secara metodologis-sistematis.
Ada beberapa
varian teori terkait penelitian hukum islam sebagai berikut:
1. Teropong sosio-historis. Upaya ini amat signifikan guna memotret
proses pembentukan formatif nalar Fikih dan perjalanan teks Fikih dari huruf ke
realitas, dari logos ke praksis, dan dari tekstual-a historis ke
kontekstual-historis. Mahmud Isma’il merupakan pemikir
kontemporer yang gigih mengaplikasikan teori ini.
2. dalam menganalisis historisitas
nalar Fikih ini, nampaknya ada beberapa pendekatan yang relevan. Albert Hourani
( penulis sejarah pemikiran liberal Arab), menawarkan dua opsi pendekatan:
pertama, pendekatan taksonomis, yakni uraian sejarah pemikiran berdasarkan
kecenderungan-kecenderungan tertentu. Di sini, fenomena pemikiran didekati
lewat klasifikasi-klasifikasi berdasarkan madzhab pemikiran kedua, pendekatan
biografis yang menitikberatkan pada sejarah pemikir.[4]
3. Abid al-Jabiri menawarkan
pendekatan ‘interkoneksi’ Pendekatan ini mengandaikan telaah sosio-historis terhadap
displin ilmu secara multi-disipliner. Sejarah Fikih harus dikaitkan dengan
sejarah gramatika Arab, hadits, teologi, filsafat, dan seterusnya, karena pada
kenyataan konkret seorang pakar hukum klasik sekaligus pakar linguistik, teolog,
pakar hadits, filosof, dan spesialisasi-spesialisasi lainnya. Seperti Ghazali
(450H-505 H/1058-1111 M), misalnya, ia adalah ahli hukumnya para filosof,
sementara Ibn Rusyd (Averroes, w. 1198 M) dan Ibn Hazm (w. 456 H/1064 M)
merupakan filosofnya para fuqaha.[5]
4.
pendekatan ‘sejarah epistemik’ Mohammed Arkoun, seorang pemikir
reformatif-dekonstruktif. Sebagai sejarahwan pemikir yang banyak terpengaruhi oleh
gerakan post-strukturalis Prancis, Arkoun menegaskan bahwa historiografi sejarah disiplin ilmu
seharusnya tidak menggunakan klasifikasi periodik (taqsim al-zamani), melainkan
memakai pelacakan arkeologis terhadap lapisan-lapisan geologis epistemologi pemikiran.
Penulisan sejarah pemikiran, tak terkecuali Fikih, seyogyanya memperhatikan
lompatan-lompatan epistemologi, sebab, dalam realitas teoretis-diskursif,
pemikiran bukahlah konstruksi yang rigid, statis, kaku dan kontinu, melainkan
senantiasa memiliki pergerakan-pergerakan, mutasi-mutasi,
pergeseran-pergeseran, dan ketidakajegan (diskontinuitas) episteme.
Salah satu varian
teori pendekatan adalah sosio-historis. Upaya ini amat
signifikan guna memotret proses pembentukan formatif nalar Fikih dan perjalanan
teks Fikih dari huruf ke realitas, dari logos ke praksis, dan dari tekstuala
historis ke kontekstual-historis. Agar supaya Fikih hanya akan bermakna secara objektif jika diposisikan
secara kontekstual. Ketika teks-teks Fikih terlepas dari author-nya, ia tidak
lagi bermakna kecuali sekadar bundelan kertas yang dikoleksi perpustakaan.
Untuk menghindari kumpulan teks-teks Fikih menjadi 'benda-benda arkeologis',
maka dalam perspektif ini, ia membutuhkan teropong sosio-historis. Upaya ini
amat signifikan guna memotret proses pembentukan formatif nalar Fikih dan
perjalanan teks Fikih dari huruf ke realitas, dari logos ke praksis, dan dari
tekstual-a historis ke kontekstual-historis.Pendekatan inilah yang
dijadikan pijakan dalam pembahasan ini. Dengan demikian, pembahasan makalah ini
bertujuan untuk mengkaji sejarah hidup dan pemikiran Imam malik.
PEMBAHASAN
A. Imam malik dan keluarganya
Mazhab malaiki didirikan
oleh imam Malik. Nama lengkapnya adalah : Malik bin Anas bin Amir al-Asbahi.[6] Al-asbahi merupakan nisbat terhadap suatu golongan dari
Yaman.[7]
Imam malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan
mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat al-Yafii dalam kitabnya
Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam Malik dilahirkan pada 94 H. Ibn Khalikan dan yang lain berpendapat
bahawa imam Malik dilahirkan pada 95 H. Sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan
imam Malik dilahirkan 90 H. Imam Yahya bin Bakir meriwayatkan bahwa ia
mendengar Malik berkata :"Aku dilahirkan pada 93 H". Dan inilah riwayat yang paling benar (menurut
al-Sam'ani dan ibn farhun).[8] Dalam kitab
al-muwaththa’ juga disebutkan bahwa Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H.[9]
Adapun Malikiah
adalah aliran terkemuka dalam hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik.[10]
Ayahnya berasal dari
kabilah dzi asbah yang ada di yaman sdangkan ibunya bernama aliyah binti
syuraik dari kabilah azdi.[11]
Dalam buku lain dikatakan bahwa nama ibu
imam malik adalah al-ghalit binti syarik bin Abdul rahman bin syarik
al-azdiyyah.[12]
Imam malik meninggal
dunia di madinah yaitu pada tanggal 14 rabiul awwal tahun 179 hijriyah ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa beliau meninggal pada 11, 13, dan 14 bulan rajab. Belau meninggal dunia
karna sakit selam 20 hari.[13]
B. Dunia Pendidikan Dan
Perjalanan Hidup Imam Malik
Imam Malik pada mulanya
bercita-cita sebagai penyanyi, namun ibunya melarangnya dan memina imam Malik agar
mempelajari ilmu fikih dan meninggalkan cita-citanya.[14]
Sebagian besar hidup Imam Malik
dilalui di Madinah dan sepanjang riwayat yang ada ia tidak pernah meninggalkan
kota itu. Karena itu dia hidup sesuai dengan lingkungan masyarakat Madinah dan
Hijaz, suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan berikut
berbagai problematika.[15]
Masa muda Imam Malik
disibukkan dengan menuntut ilmu, mula-mula ia menghafal sunnah dan fatwa
sahabat, sedemikian ketekunan Imam Malik dalam belajar hadist dan ilmu fiqih
sudah tampak sejak kecil, agaknya kehidupan Imam Malik di Madinah yang
sedemikian rupa itu yang menjadi faktor
penting sehingga ia lebih cenderung banyak menggunakan hadist dan
menjauhi rasio yang sampai batas tertentu maka ulama disini lebih mengetahui
hadist dibanding ulama di daerah lain.
Guru-guru Imam Malik diantaranya adalah: Abd al-Rohman ibn Hurmuz, Nafi’ Maulana ibn ‘Umar, Ibn Syihab al-Zuhri dan lain lain.
Sedangkan guru Imam
Malik dalam bidang hukum Islam adalah Robi’ah ibn ‘Abd al-Rohman atau dikenal
dengan Rabi’ah al-Ra’y. Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah termasuk salah seorang yang
ahli fikih dan ahli hadis, pada zamanya dialah ulama yang paling mengetahui Sunnah.
Imam Malik meriwayatkan hadist 132 dari Ibnu Syihab,
sedangkan dari Nafi’ Maula ibn ‘Umar yang terkenal sebagai ahli hadist, Imam
Malik meriwayatkan hadist sebanyak 80 hadist.[16]
Sedangkan di antara murid-murid Imam Malik adalah sebagai berikut:
Abdullah Ibn Wahab, Abd al-Rohman Ibn
Al-Qisim, Asyhab Abd Aziz, Abdullah Ibn Abd al-Hakam,[17]
Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi.[18]
D. Kondisi
Perpolitikan Dan Pemikiran Dimasa Imam Malik
Imam Malik tidak beda dengan Imam Abu Hanifah, beliau juga termasuk
ulama dua zaman, beliau lahir pada zaman Bani ‘Umayyah, tepatnya pada zaman
pemerintahan Al-Wahid ‘Abdul Al-Malik
(setelah ‘umar ibn ‘Abd al-Aziz), dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rosyid
(wafat pada tahun 169 H). Beliau
sempat merasakan masa pemerintahan ‘Umayyah selama 40 tahun, dan masa
pemerintahan Bani Abbas selama 46 tahun.[19] Imam Malik menyeru supaya berlemah lembut kepada
penduduk penduduk negeri Rasulullah. Karena mereka itu adalah tetangga pada
Rasulullah. Beliau sangat teguh dengan
kebenaran berani menyampaikan apa yang dipercayainya benar.
Kalau Abu Hanifah dikenal sebagai pelanjut ahl al-ra’y, maka Imam Malik dipandang
sebagai pelanjut ahl al-hadist. Setelah Guru-gurunya mengakui
bahwa beliau telah ahli dalam soal hadist dan fiqh baru Imam Malik berani
memberi fatwa dan meriwayatkan hadist. Beliau sendiri pernah berkata: “saya
tidak memberi fatwa dan meriwayatkan hadist sehingga 70 ulama membenarkan dan
mengakui”.[20]
Imam Malik menjadi mufti setelah
mendapat persetujuan dari tujuh puluh syaikh yang ahli ilmu. Dalam memberikan
fatwa imam Malik hanya akan menjawab masalah yang sudah terjadi dan tidak
melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada kemungkinan akan terjadi.
Imam Malik sangat berhati hati dalam memberi fatwa tidak mau menjawab
pertanyaan yang ia tidak tahu. [21]
Dalam hal perpolitikan imam Malik sangat
tidak suka terhadap cela mencela sahabat-sahabat Rasulullah beliau tidak
membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Imam Malik tidak menentukan
mana-mana keluarga yang harus dipilih menjadi khalifah. Beliau berpendapat
harus dipilih pengganti khalifah sebagaimana abu bakar memilih Umar sebagai
penggantinya, tetapi dengan syarat mendapat persetujuan orang banyak dan juga
harus memilih pengganti khalifah dari orang yang memiliki sifat yang lebih baik
dari orang lain dalam segala aspek dan memiliki sifat jujur dan adil. Beliau
sangat benci kepada pembuat fitnah atau huru hara dan memboikot khalifah.[22]
Namun dalam perjalanan sejarah, tepatnya
pada pemerintahan abu Ja’far al-Mansur imam Malik pernah disiksa lantaran:
pendapat beliau yang menyatakan tidak sah talak orang yang dipaksa beliau
menyandarkan argumennya terhadap hadis nabi. Rupanya khalifah Ja’far al-Mansur tidak
suka mendengar hadis tersebut dijadikan hujjah kepada pihak musuhnya. Sebab
dengan hadis itu pihak musuh akan menolak perjanjian (ba’jah) pelantikan al-Mansur
lantaran mereka dipaksa.[23]
Adapula yang mengatakan sebab imam Malik disiksa karena beliau berpendapat bahwa
nikah mutah itu haram sedangkan pendapat ibnu Abbas nikah mutah adalah boleh. Ibnu
Abbas adalah ketua keluarga khalifah Abbasiyah. Oleh karena itu orang-orang Abbasiyah
memusuhi imam Malik dan mengazabnya.[24]
Dan khalifah al-Mansyur berduka cita atsa penyiksaan terhadap imam Malik.
E Pokok/Corak Pemikiran Hukum Imam
Malik
Imam Malik merupakan imam ahli sunnah (hadis).
Beliau dianggap sebagai orang yang pertama kali menghimpun hadist yaitu kitab
al-Muwaththa’. Beliau termasuk orang yang tajam pikirannya. Beliau mengumpulkan
di dalam fiqhnya penjelasan yang pasti dengan nash al-qur’an, hadist dan fatwa
sahabat serta menjaga kemaslahatan manusia dalam segala fatwanya.[25] Abu
Qudamah berkata bahwa Malik adalah orang yang paling memelihara hafalannya pada
zamannya.[26]
Kadi Iyadh mengatakan bahwa: ” Bila anda
perhatikan dengan teliti, orang pertama yang menempuh jalan para imam mujtahid
dan metodologi pengambilan, dan ijtihad mereka dalam fiqh dan hukum, dialah
Imam Malik”.[27]
Adapun metode dan dasar-dasar istinbat Imam
Malik adalah:[28]
1.
Al-Qur’an
Seperti halnya imam madzhab yang lain, imam malik meletakkan al-Qur’an di
atas semua dalil karena al-Qur’an merupakan syariat dan hujjahnya. Imam Malik
mengambil dari:
·
Nas yang tegas yang tidak
menerima takwil dan mengambil bentuk lahirnya.
·
Mafhum muwafaqoh atau fahwa
al-khitab, yaitu hukum yang semakna dengan satu nas (al-qur’an dan hadis) yang
hukumnya sama dengan yang disebutkan oleh nas itu sendiri secara tegas.
·
Mafhum mukhalafah, yaitu
penetapan lawan hukum yang diambil dari dalil yang disebutkan dalam nas
(al-qur’an dan hadist) pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam nas
·
’Illat-’illat hukum(sesuatu
sebab yang menimbulkan adanya hukum).[29]
2.
Sunnah
Sunnah
yang diambil oleh Imam Malik adalah:
Ø Sunnah mutawatir
Ø Sunnah masyhur, baik pada masa tabi’in maupun tabi’ al-tabi’in. Tingkat
kemasyhuran setelah generasi ini tidak
dapat dipertimbangkan.
Ø Khabar(hadis) ahad yang didahului atas praktek penduduk Madinah dan kias.
Namun, kadang-kadang hadis ahad tertolak oleh kias dan maslahat.
3.
Praktek penduduk Madinah
Jika
praktek ini benar-benar dinukilkan dari Nabi SAW., maka hal ini dipandang
sebagai hujjah. Sehubungan dengan hal itu, praktek penduduk Madinah yang
dasarnya ra’yu (akal, penalaran)
bisa didahulukan atas khabar ahad. Menurut Imam Malik, perbuatan
penduduk Madinah termasuk sebagian dari sunnah mutawatir karena pewarisannya
melalui generasi ke generasi yang dilakukan secara massal sehingga menutup
kemungkinan untuk terjadi penyelewengan dari sunnah. Para sahabat yang berada
di Madinah bergaul dengan Nabi Muhammad Saw dan mengembangkan tradisi hidup
Nabi yang kemudian diwariskan kepada tabi’in dengan cara yang sama. Pewarisan
itu berlangsung secara berkesinambungan hingga sampai kepada tabi’i
al-tabi’in.[30]
4.
Fatwa sahabat
Fatwa ini dipandang
sebagai hadis yang wajib dilaksanakan. Dalam kaitan ini, Imam Malik
mendahulukan fatwa sebagian sahabat dalam soal manasik haji dan meninggalkan
sebagian yang lain, dengan alasan sahabat yang bersangkutan tidak
melaksanakannya karena tidak ada perintah dari Nabi SAW. Selain itu, Imam Malik
juga mengambil fatwa tabi’in besar, tetapi tidak disamakan kedudukannya dengan
fatwa sahabat.
5.
Kias, al-maslahah
al-mursalah, dan istihsan
Imam Malik
mengambil kias dalam pengertian umum yang merupakan penyamaan hukum perkara,
yakni hukum perkara yang tdak ditegaskan. Hal ini disebabkan adanya persamaan
sifat (’illat hukum). Sementara istihsan adalah memandang lebih kuat
ketetapan hukum berdasarkan maslahat juz’iyah atas ketetapan hukum berdasar
kias. Jika dalam kias ada keharusan menyamakan suatu hukum yang tidak tegas,
maka maslahat juz’iyah mengharuskan hukum lain dan ini yang diberlakukan, yang
kemudian dinamakan istihsan. Namun dalam madzhab Maliki, istihsan
itu sifatnya lebih umum yang mencakup setiap maslahat, yaitu hukum maslahat
yang tidak ada nas, baik dalam tema itu dapat diterapkan kias atau tidak,
sehingga pengertian istihsan itu mencakup al-maslahah al-mursalah.
Hal ini selaras dengan pendapat Iskandar Usman yang mengatakan bahwa istihsan
menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan
syari’at (kemaslahatan-kemaslahatan).[31]
Contoh: Dalil umum melarang aurat seseorang. Akan tetapi bila dalil umum ini
tetap diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka
hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil
itu, karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahsiniyyat (pelengkap).
Al maslahah al-mursalah artinya suatu
kemaslahatan yang tidak ada ketegasan nash al-Qur’an dan sunnah, tetapi
dirujukkan pada tujuan-tujuan moral dan pemahaman menyeluruh dari nash-nash
itu. Contoh dari penggunaan teori ini dapat dilihat pada tindakan Umar bin
Khattab terhadap beberapa orang Yaman yang membunuh satu orang. Ketika itu,
sekelompok orang Yaman mengadakan konsspirasi dalam pembunuhan satu orang.
Tidak ad nash yang menegaskan kasus ini, yang ada adalah ”an nafsu bin
nafsi”(satu jiwa dengan satu jiwa). Setelah mendikusikan masalah ini dengan Ali
bin Abi Thalib, umar memutuskan qisas terhadap orang-orang yang terlibat
dalam konspirasi itu. Sikap itu, kata Umar adalah suatu upaya mewujudkan
kemaslahatan kemanusiaan, yaitu mencegah pertumpahan darah dan terjadinya hukum
rimba. Kemaslahatan ini ini juga merupakan suatu kemaslahatan yang menjadi
sasaran utama Al-Qur’an. Sebab jka orang-orang yang terlibat itu tidak dibunuh,
maka cara konspirasi seprti itu akan dianggap sebagai cara paling aman untuk
menghindar dari qisas. Dan inilah
yang dimaksudkkan al-maslahah al-mursalah. [32]
6.
Az-Zara’i
Yaitu
sarana yang membawa pada hal-hal yang diharamkan maka akan menjadi haram pula,
sarana yang membawa pada hal-hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga,
dan sarana yang membawa pada kerusakan maka diharamkan juga.[33]
Sarana yang membawa kepada kerusakan dalam madzhab Maliki adalah: a.) Sarana
yang secara pasti membawa pada kerusakan, contohnya menggali sumur di belakang
rumah, b) sarana yang diduga kuat akan mengantarkan pada kerusakan contoh jual
beli anggur dengan dugaan akan dibuat khamar oleh pembelinya, c) sarana yang
jarang membawa kerusakan contoh menggali sumur di tempat yang tidak
membahayakan orang, d) sarana yang banyak mengantarkan pada kerusakan tapi
tidak dipandang umum, contoh jual beli dengan tenggang waktu yang dapat membawa
pada praktek riba.
Jaih Mubarok dalam bukunya mengatakan
bahwa langkah-langkah ijtihad Imam Malik hanya ada lima atau yang disebut ushul
al-khomsah yaitu al-qur’an, sunnah, perbuatan penduduk Madinah, fatwa
sahabat, kias dan istihsan tanpa az-zara’i.[34]
F. Kitab al-Muwaththa dan karya-karya yang lainnya
Berbicara sejarah imam Malik tentu
tidak boleh dilupakan karyanya yang sanget penomenal. Yaitu kitab al-Muwaththa.
Kitab ini mulai ditulis sejak pemerintahan
khalifah abi ja’far al-Mansur dan berhasil disempurnakan pada zaman
al-Mahdi. Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mencoba untuk menjadikan kitab ini
sebagai undang-undang resmi kehakiman negara, semua negri sama dan ditempelkan
di Ka’bah, namun imam Malik tidak mau.
kitab al-Muwaththa menghimpun berbagai masalah fikih, disusun dengan
urutan fikih, olh sebab itu kitab ini dinilai sebagai kitab hadis fikih.
Di antara
karya-karya Imam Malik adalah: (a) al-Muwat}t}a’, (b) Risa>lah
ila> ibn Wahb fi> al-Qadr, (c) Kitab Nujum, (d) Risa>lah
fi> al-Aqdhiyah, (e) Tafsi>r li> Gharib al-Qur’an, (f) Risa>lah
ila> al-Laits, (g) Risa>lah ila> Abu> Ghassan, (h) Kitab
al-Siyar, (i) Kitab al-Manasik. Nasib kebanyakan kitab-kitab
tersebut tidak diketahui. Namun, Malik dikenal karena pemikiran, kepribadisn,
keulamaan dan kitab al-Muwat}t}a’-nya.[35]
Tentang penamaan kitab al-Muwat}t}a’ adalah
orisinil berasal dari Imam Malik sendiri. Hanya saja tentang mengapa kitab
tersebut dinamakan dengan al-Muwat}t}a’ ada beberapa pendapat yang
muncul:
Pertama,
sebelum kitab itu disebarluaskan Imam Malik telah menyodorkan karyanya ini di
hadapan para 70 ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam
sebuah riwayat al-Suyuti menyatakan: “Imam Ma>lik berkata, Aku mengajukan
kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas
kitab tersebut, maka aku namai dengan al-Muwat}t}a’.[36]
Kedua,
pendapat yang menyatakan penamaan al-Muwat}t}a’, karena kitab tersebut
“memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup
dalam beraktivitas dan beragama.
Ketiga,
pendapat yang menyatakan penaman al-Muwat}t}a’, karena kitab al-Muwat}t}a’
merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqh sebelumnya.
Adapun
terkait metode
kitab dan kualitas hadis-hadisnya Kitab al-Muwat}t}a’ adalah kitab hadis
yang bersistematika Fiqh. Secara eksplisit, tidak ada pernyataan yang tegas
tentang metode yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al-Muwat}t}a’.
Namun secara implisit, dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, metode
yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasar klasikikasi hukum Islam (abwa>b
fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis marfu>’ (berasal dari Nabi),
mauqu>f (berasal dari sahabat) dan maqt}u>’ (berasal dari
tabi’in).[37]
Bahkan bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan
tahapan-tahapan berupa (a) penseleksian terhadap hadis-hadis yang
disandarkan kepada Nabi, (b) Atsar/fatwa sahabat,. (c) fatwa tabi’in, (d) Ijma’
ahli Madinah dan (e) pendapat Imam Malik sendiri.
Dalam
hal ini empat kriteria yang dikemukakan Imam Ma>lik dalam mengkritisi
periwayatan hadis adalah: (a) Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek (b)
Bukan ahli bid’ah (c) Bukan orang yang suka berdusta dalam hadis (d)
Bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.[38]
Meskipun
Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin dalam memfilter hadis-hadis yang
diterima untuk dihimpun, tetap saja para ulama hadis berbeda pendapat dalam
memberikan penilaian terhadap kualitas hadis-hadisnya:
a.
Sufyan ibn ‘Uyainah dan al-Suyuti mengatakan,
seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Ma>lik adalah shahih, karena
diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya.
b.
Abu Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadis
dalam al-Muwat}t}a’ sahih, 222 hadis mursal, 623 hadis mauqu>f
dan 285 hadis maqt}u>’.
c.
Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan bahwa hadis-hadis
yang termuat dalam al-Muwat}t}a’ adalah sahih menurut Imam Malik
dan pengikutnya.
d.
Ibn Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Mara>tib
al-Diyanah, ada 500 hadis musnad, 300 hadis mursal dan 70 hadis dha’if
yang ditinggalkan Im`am Malik. Sedang menurut Ibn Hajar di dalamnya
ada hadis yang mursal dan munqati’.
e.
al-Gafiqi berpendapat dalam al-Muwat}t}a’
ada 27 hadis mursal dan 15 hadis mauqu>f.[39]
f.
Hasbi ash-Shiddiqi menyatakan dalam al-Muwat}t}a’
ada hadis yang sahih, hasan dan dha’if.
G. Perkembangan
Dan Penyebaran Mazhab Maliki
Perkembangan
mazhab maliki tidak terlepas dari jasa para muridnya yang telah meriwayatkan
dan menyebarkan mazhabnya setelah beliau wafat. Mazhab maliki tersebar di
negeri hajajkarena disiulah ia lahir dan berekembang , juga tersebar di mesir
sezaman sang imam masih hidup, di Tunisia, Aljazair dan maroko, torablus dan
sudan, dan dominan dibasrah dan bagdad dari waktu ke waktu. Kitab al-muwathha
merupakan salah satu faktor utama bagi trsebarnya mazhab maliki di ngeri negeri
islam.[40]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di simpulakan
sebagai beriku:
1.
Imam Malik (lahir 97 H. Dan wafat 179 H) lahir di Madinah di zaman dinasti Umawiyah
dan Abbasiyah, tepatnya beliau lahir pada zaman
Bani ‘Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Wahid ‘Abdul Al-Malik (setelah ‘umar ibn ‘Abd al-Aziz),
dan meninggal pada zaman Harun Ar-Rosyid. Beliau sempat merasakan masa pemerintahan ‘Umayyah
selama 40 tahun, dan masa pemerintahan Bani Abbas selama 46 tahun. pada
saat itu terdapat dua arus besar pemikiran (ahli hadits dan ahli ra’yu), namun Madinah
pada saat itu lebih didominasi ahli hadis termasuk para guru imam Malik,
sehingga berpengaruh pada pemikiran imam Malik.
2.
Imam Malik adalah
seorang imam hadis yang paling kuat hafalannya dan tajam pikirannya. Karyanya yang paling tereknal adalah kitab
al-Muwaththa. hanya karena kedalaman
ilmunya sajalah ia dapat mengimbangi berbagai perkembangan yang terjadi saat
ini.
3. Sebagian besar kehidupan
Imam Malik lebih banyak dilaluinya di kota Madinah sehingga dari sinilah
merupakan faktor besar yang menjadikan alasan mengapa Imam Malik lebih
cenderung memakai hadist dibanding dengan rasio, dan memang kalau kita cermati
bahwa di kota Madinah memang lebih bersuasana kampung yang bersahaja, sebuah
kehidupan dimana yang membuat Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ sudah dapat dijadikan
sebagai dasar acuan keputusan untuk menyelesaikan masalah.
4. Metode-metode dan
dasar-dasar Imam Malik dalam berijtihad adalah al-Qur’an, sunnah, praktek
penduduk Madinah, fatwa sahabat, kias, al-maslahah mursalah, istihsan,
dan az-Zara’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Abid al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi,
Markaz Dirasah al-Wahdah al-‘Arabiyyah. tt. tt.
Ahmad as-Surbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, Jakarta:
Amzah, 2004.
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, The Press
Syndicate of The University of Cambridge, di alihbahasakan oleh Suparno dkk., dengan tajuk: Pemikiran Liberal
di Dunia Arab, Bandung: Mizan, 2004.
Ali Hasan Abd al-Qadir, Nadzrah ‘Ammah fi al-Tarîkh al-Fiqh
al-Islâmi, Dar al-Kutub al-Hadistah, cet. II, 1965
Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masalik ila Muwatta’
Malik. Beirut:
Da>r al-Fikr, 1989.
Iskandar
Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994
Jaih Mubarok, Sejarah &Pengembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000
Joseph Scacht,
Pengantar Hukum Islam, Jakarta:
Departemen Agama RI, 1985
Khalil Abd al-Karim, Judzûr Tarîkhiyyah
li Syari’at al-Islâmiyyah, Kairo: al-Sina li Nasyr, cet. I, 1990.
Malik bin Anas, al-Muwaththa’, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Muh. Ali al-Sayyis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum
Fiqh, Jakarta, raja Grafindo Persada, 1995
Muhammad Abu Zahw, al-Hadi>s wa al-Muhaddisu>n, Beirut: Da>r al-Kitab
al-‘Arabiy, 1984
Mun’im A.
Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Munim A Sirry,
Sejarah Fikih Islam, Surabaya:
Risalah Gusti, 1995
Mustafa Ali Yaqub, Kritik Hadis,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000Mustafa Azami, Memahami Ilmu Hadis, Telaah Metodologi Literatur
Hadis. Terj.
Meth Kieraha.Jakarta: Lentera, 1995
Musthafa Ibrahim az-Zulmi, As-Bab Al-Ikhtila Al-Fuqaha Fi Al-Islam,
da>r al-arabiya, 1976.
Qadry Aziz, Reformasi
Bermazhab, Jakarta: Teraju 2003.
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri Fi Al-Islam, Jakarta: Amzah,
2009.
Sulaiman fayadh, Aimmah Al-Islam Al-Arbi’ah, Mesir, Muassisah
Al-Ahram, 1996.
T.M Hasbi
Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Tim Penyusun, Ensiklopedia
Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1994