Etika Peserta Didik Dalam Konsep Ibn Jama’ah

Etika Peserta Didik Dalam Konsep Ibn Jama’ah
(Kajian Atas Kitab Tazkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim:
fi Adabi al-‘Alim wa al-Muta’allim)

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses yang dapat mengantarkan pertumbuhan dan perkembangan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan ruhani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya. Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia sangat diutamakan karena ia menjadi “subjek” dari pendidikan tersebut. Karena manusia menjadi subjek dalam pendidikan maka ia dituntut oleh suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik.[1] Oleh karena manusia sebagai peserta didik dalam kegiatan pendidikan dibebani suatu tanggung jawab yang berat demi tercapainya tujuan pendidikan, maka peserta didik harus memiliki etika-etika yang baik yang dapat menunjang keberhasilan belajarnya.
Pendidikan merupakan aktifitas yang sengaja dilakukan untuk mngembangkan individu secara penuh.  Karena itu, norma, etika dan nilai-nilai keutamaan menjadi penting dalam semua perencanaan pendidikan.[2] Dalam kegiatan formal pendidikan, peserta didik merupakan unsur yang sangat menentukan, di samping unsur pendidik. Karena keduanya merupakan aset hidup yang mampu mengelola dan melaksanakan unsur-unsur lainnya yang merupakan aset mati.  Di samping itu peserta didik adalah manusia yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang memerlukan pendidikan untuk mengaktualkan potensinya.[3]  Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan pendidikan, maka dilaksanakanlah kegiatan belajar-mengajar yang di dalamnya ada kegiatan penting yaitu belajar yang berarti suatu proses dari seseorang yang berupaya mencapai tujuan, yaitu suatu bentuk perubahan tingkah laku yang relatif stabil.[4]
Peserta didik adalah manusia yang mampu dididik dan membutuhkan pendidikan dalam rangka mengaktualkan potensi yang ada pada dirinya serta untuk mendapatkan ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagai bekal beribadah kepada Allah SWT.  Oleh karena ilmu merupakan sesuatu yang sangat berharga, maka seseorang yang menuntut ilmu sepantasnya membekali dirinya dengan akhlak yang mulia —sebagai bekal— demi keberhasilannya.
Tulisan ini berupaya memahami peserta didik dalam konsep Ibn Jama’ah berdasarkan pemahaman penulis terhadap karya Beliau yang berjudul Tadzkirah al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘alim wa al-Muta’allim dalam bab III, tentang etika peserta didik. Ibn Jama’ah menempatkan orang-orang yang berilmu pada posisi tinggi melebihi orang yang ahli ibadah, karena orang-orang yang berilmu adalah pewaris para Nabi.[5]  Ibn Jama’ah mendasarkan pemikiran ini pada Hadith Nabi:
. . . إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ . . .[6]

B. Sekilas Kehidupan Ibn Jama’ah Perspektif Sosiologis                
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Sa’dillah Ibn Jama’ah Ibn Hazim Ibn Shakhr Ibn Abdullah al-Kinaniy al-Hamwa al-Syafi’iy.[7] Beliau dilahirkan pada malam Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 639 H. bertepatan dengan  bulan Oktober 1241 M. di Hamwa,[8]  dan wafat pada malam Senin 21 Jumadil Ula 733H/1333 M. dalam usia 94 tahun, satu bulan dan beberapa hari. Beliau setelah dishalatkan di masjid Jami’ al-Nashiriy Mesir kemudian dimakamkan di Qirafah.[9]
Ibn Jama’ah termasuk salah satu dari beberapa pemikir Muslim termasyhur di Mesir pada masa itu.  Ibn Jama’ah hidup pada masa akhir pemerintahan dinasti Ayyubiyah dan pada masa dinasti Mamalik Bahriyah.[10] Dua dinasti ini merupakan dinasti yang berkuasa di Mesir. Jika dilihat dalam perjalanan sejarah, Mesir adalah negara yang selamat dari serangan Mongol maupun Timur Lenk.  Oleh karena negeri ini terhindar dari kehancuran, maka perkembangan peradabannya masih terus berlangsung, termasuk dalam dunia ilmu pengetahuan banyak berkembang dan melahirkan ilmuwan-ilmuwan terkenal pada masa itu. Tercatat nama-nama besar seperti; al-Razi, Ibn Taimiyah, ibn Khaldun, al-Suyuthi, al-Atsqalani, dan tokoh-tokoh lainnya.[11]  Patut pula diketahui bahwa pada masa ini metode berpikir “tradisional” sudah tertanam kuat sejak berkembangnya aliran teologi Asy’ariyah, sedangkan filsafat mendapat kecaman sejak pemikiran al-Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam. Hal yang penting lagi adalah karena Baghdad dengan fasilitas-fasilitas keilmuannya yang sebelumnya banyak memberikan inspirasi ke pusat-pusat peradaban Islam telah hancur.[12]
Ibn Jama’ah hidup di negeri yang memiliki kondisi sosial dan politik yang cukup baik dan stabil serta didukung penguasa yang sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan. Dukungan tersebut diwujudkan dengan pendirian madrasah-madrasah di berbagai tempat yang nantinya menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar ulama terkemuka pada masa itu dengan mengajarkan berbagai disiplin ilmu. Alasan lainnya adalah karena Ibn Jama’ah dibesarkan dalam  keluarga yang sangat mencintai ilmu, faqih, dan zuhud, maka beliau tumbuh dan besar menjadi tokoh dan ilmuwan yang sangat berpengaruh pada masa itu. 
Ibn Jama’ah memperoleh pendidikan awal dari ayahnya sendiri, Ibrahim Sa’dullah, yang dikenal sebagai ulama besar, ahli fiqh dan juga seorang sufi.  Selain itu ibn Jama’ah juga memperoleh pendidikan dari sejumlah ulama terkenal.  Ibn Jama’ah mulai belajar Hadith pada tahun 650 H. dari gurunya yang bernama Ibn ‘Izzun dan guru-guru lainnya di Hamwa.  Kemudian beliau belajar ke Damaskus untuk belajar ilmu-ilmu lainnya kepada beberapa ulama di antaranya Ibn Abi al-Yasar, Ibn Abdillah, Ibn Azraq, al-Najib, Ibn ‘Ilaq, al-Mu’in al-Dimasqi, dan lain-lain. Beliau juga menuntut ilmu ke Mesir, dan sebagian besar ilmunya dipelajari dari Taqiyyuddin Ibn Ruzain yang terkenal sebagai Qadli. 
Selanjutnya beliau juga belajar Nahwu kepada Jamaluddin Ibn Malik, al-Rasyid, al-‘Athar, Ibn Abi Umar, al-Taj al-Qasthalaniy, al-Majid Ibn al-Daqiq, al-‘Id, al-Bushiriy, Ibn Abi Salamah, Makiy Ibn ‘Ilan, Ismail al-‘Iraqi, dan masih banyak lagi guru-guru lainnya.[13] Ibn Jama’ah terkenal sebagai hakim yang adil, pendidik, khatib, dan juga sebagai mufti.  Beliau juga mempunyai banyak karya tulis dalam bidang Tafsir, Hadith, Fiqh, ilmu kalam, Nahwu, Adab, dan bidang pendidikan, serta bidang-bidang lainnya.
Adapun nama-nama kitab karya tulis beliau tersebut antara lain: al-Tibyan fi Mubhamat al-Quran, Ghurur al-Tibyan fi Man lan Yusamma fi al-Quran, Kasyf al-Ma’aniy an Mutasyabih min al-Matsaniy, al-Fawaid al-Laihah min Surah al-Fathihah,  al-Munhil al-Rawi fi Mukhtashar ‘Ulum al-Hadith al-Nabawiy, al-Masalik fi Ilm al-Manasik, al-Tha’ah fi Fadlilah Sholatil Jama’ah, al-Mukhtashar al-Kabir fi al- Sirah, Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al-‘Alim wa al-Muta’allim, dan masih banyak lagi karya tulis beliau lainnya.[14]  Di samping itu Ibn Jama’ah juga disibukkan dengan kegiatan mengajar di beberapa madrasah, dintaranya mengajar di madrasah Qimriyyah, Kamiliyyah, al-Nashiriyyah, Jami’ Ibn Thulun, al-Adiliyyah, al-Shalihiyyah, al-Zawiyah al-Mansubah li al-Syafi’i, dan madrasah-madrasah lainnya.[15]
Adapun kitab Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al-Alim wa al-Muta’allim adalah salah satu karya tulis Ibn Jama’ah yang  membahas tentang keutamaan ilmu dan orang-orang yang memilikinya, etika orang yang belajar dan mengajarkan ilmu, serta hal-hal lain yang berkaitan dengannya.[16]
         
C. Etika Peserta Didik dalam Konsep Ibn Jama’ah
Peserta didik adalah orang yang belajar dalam kegiatan belajar mengajar.[17] Ibn Jama’ah dalam pemikiran pendidikannya tampaknya sangat mengutamakan akhlak/ etika yang harus dimiliki oleh para pelaksana pendidikan. Menurut hemat penulis, hal ini cukup wajar jika dikaitkan dengan kondisi sosial masyarakat pada waktu itu secara umum, yakni kondisi masyarakat di luar Mesir yang sedang mengalami kemunduran dan kemerosotan moral seiring dengan mundur dan hancurnya pusat-pusat peradaban Islam, maka upaya pembinaan dan penataan kembali moral para pelajar sebagai generasi yang sangat dibutuhkan di masa berikutnya adalah menjadi sangat penting. Pemikiran Ibn Jama’ah tentang peserta didik sangat terkait dengan pemikirannya tentang ulama.  Menurutnya peserta didik yang baik adalah mereka yang memiliki karakter sebagaimana ulama.[18]
Peserta didik menurut Ibn Jama’ah harus memiliki tiga etika sebagai berikut:
1. Etika terhadap Diri
Menurut Ibn Jama’ah peserta didik sebagimana seorang pendidik, haruslah memenuhi syarat-syarat yang penting yang terkait dengan dirinya, motivasi, keinginan, dan kehendaknya. Syarat-syarat ini dikhususkan bagi para peserta didik yang menghendaki kedudukan tinggi yang berupa keutamaan dan kemuliaan yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berilmu. 
Oleh karena itu, peserta didik harus melakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Menyucikan hatinya dari sifat-sifat tercela, misalnya: sifat dengki, hasad, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Hal ini sangat penting bagi pelajar, karena hati yang tidak bersih atau suci tidak akan mampu menerima dan menghafalkan ilmu. Karena menuntut ilmu menurut sebagian ulama adalah sebagai ibadah hati, maka Ibn Jama’ah berpendapat bahwa sebagaimana shalat yang merupakan ibadah dhahir tidak sah kecuali bila dikerjakan dalam keadaan suci, maka begitu juga dengan menuntut ilmu juga harus ditempuh dengan hati yang suci dari segala kotoran (penyakit-penyakit hati), dan apabila hati itu bersih maka ia akan memperoleh keutamaan atau memperoleh fadlilah dari ilmu itu sendiri.[19]
b. Niat yang baik dan ikhlas dalam menuntut ilmu.  Karena niat adalah syarat pokok dalam setiap amal kebaikan, maka menurut ibn Jama’ah seorang peserta didik harus memulai belajarnya dengan niat yang baik, yaitu dengan niat menuntut ilmu karena Allah SWT., mengamalkannya, menegakkan syariat, menyinari hatinya, menghiasi batinnya, mendekatkan diri kepada Allah serta mengharapkan keridhaan Allah SWT.[20] Sejalan dengan pendapat Ibn Jama’ah ini, Suwito menyatakan bahwa karena ilmu termasuk sesuatu yang immateri maka harus disertai dengan niat yang benar agar tujuan dari menuntut ilmu itu dapat tercapai.[21] Apabila dalam menuntut ilmu tidak disertai dengan niat sebagaimana disebutkan di atas serta tidak dibarengi dengan semangat yang tinggi, maka peserta didik tersebut akan mengalami kegagalan dan kehilangan akan segala tujuan yang dicita-citakannya.
c. Segera menuntut ilmu sejak usia muda dan sampai akhir hayatnya. Ibn Jama’ah menganjurkan peserta didik agar segera menempuh ilmu segera pada waktu usia muda. Pada masa ini ia harus segera mempersiapkan dan melaksanakan belajarnya, karena menunda dan memperlambat akan berbahaya bagi peserta didik, maka ia wajib mempergunakan waktu muda itu dengan baik dengan meninggalkan kemalasan. Karena waktu akan terus berjalan dan setiap waktu yang telah dilewatkan dalam hidupnya tidak akan pernah kembali lagi.[22] Pendapat ini cukup dapat dikaitkan dengan teori yang mengatakan bahwa dalam belahan otak kiri dan otak kanan yang dimiliki manusia itu terdapat ratusan miliar sel otak yang disebut neuron, yang mencakup beberapa triliun jenis informasi dalam hidup manusia, tetapi menurut suatu penelitian sel sebanyak itu yang terpakai hanya sekitar lima persen saja, itupun hanya dapat tercapai jika sel-sel otak tersebut dikembangkan (melalui pendidikan) pada saat manusia itu berusia belasan tahun (pubertas), dan jika pengembangannya tidak dilakukan secara terus menerus maka sel-sel tersebut akan mati.[23] Untuk itulah maka seseorang sangat dianjurkan untuk segera menuntut ilmu, terutama ketika masih berusia muda.
d. Menghindarkan diri dari kesibukan dunia dan merasa cukup dengan apa yang ada. Ibn Jama’ah berpesan agar seorang peserta didik mau hidup sengsara, merasa puas, rela dengan harta yang sedikit, dan sabar terhadap kesulitan hidup, serta menghindari hal-hal yang dapat mengganggu pikirannya dalam menuntut ilmu.[24] Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa seseorang tidak akan memperoleh ilmu dengan limpahan harta sehingga ia berbahagia, akan tetapi orang yang menuntut ilmu hendaklah ia mengerahkan jiwa dan bersedia hidup kekurangan serta mendekati para ulama karena itu lebih membahagiakan. Karena menuntut ilmu tidak akan berjalan lancar kecuali bagi orang yang pailit, dan bukan bagi orang yang serba berkecukupan karena ia akan disibukkan untuk mengurusi harta dan melupakan menuntut ilmu.[25]
e. Mengatur waktunya untuk belajar dan mengajar. Peserta didik hendaknya membagi waktu -siang dan malam- sepanjang usianya untuk menuntut dan menyebarkan ilmu.  Di samping itu peserta didik hendaknya menghindari tempat-tempat yang dapat menggangu konsentrasinya dalam belajar, misalnya: di dekat taman, di dekat sungai, di tengah jalan, di dekat kebisingan, dan tempat-tempat lain yang dapat mengganggu kebebasan hati dalam memahami dan menerima suatu ilmu. Ibn Jama’ah menganjurkan peserta didik untuk disiplin dalam menggunakan waktu yang ada.  Beliau menganjurkan  pada peserta didik agar menggunakan waktu sahur untuk menghafal, waktu pagi untuk berdiskusi, siang hari untuk menulis, dan waktu malam untuk muthala’ah dan mudzakarah.[26]
f. Sedikit makan atau makan sekedar hanya untuk menjaga kesehatan bukan untuk berfoya-foya.[27] Ibn Jama’ah berpendapat seorang peserta didik hendaknya melakukan sesuatu yang dapat membantunya berhasil dalam belajar. Di antaranya dengan makan secukupnya, dan tidak memakan makanan yang dapat membahayakan badan karena hal itu dapat menjadi penghalang baginya meraih sukses dalam belajar. Karena dengan banyak makan dapat menyebabkan peserta didik menjadi mengantuk dan malas, sehingga kemampuannya dalam menghafal dan mengingat pelajaraannya menjadi berkurang.[28]
g. Peserta didik hendaknya memiliki sifat Wara’. Peserta didik hendaknya makan, minum, berpakaian serta bertempat tinggal dengan selalu berhati-hati dalam menentukan halal dan haramnya, karena sifat ini sangat menunjang keberhasilan belajarnya.[29]
h. Peserta didik hendaknya meninggalkan makanan yang menyebabkan ia mudah lupa dan susah dalam memahami dan menghafal pelajarannya.
i. Tidur dan istirahat secukupnya untuk menjaga kesehatan.  Ibn Jama’ah juga mengingatkan kepada peserta didik untuk memberikan hak pada badannya untuk istirahat. Beliau menganjurkan peserta didik untuk menggunakan sepertiga waktu (delapan Jam) dalam sehari untuk tidur dan istirahat.[30]  Teori ini menurut hemat penulis masih tetap sesuai jika diterapkan pada masa sekarang, walaupun tidak harus tepat selama delapan jam tetapi disesuaikan dengan kondisi peserta didik itu sendiri.
j. Mencari teman yang shaleh dan tidak bergaul dengan lawan jenis. Teman yang baik (shaleh) akan membantu peserta didik itu untuk memperoleh keutamaan dan akan terbawa pada keshalehannya. Di samping itu bila mencari teman, pilihlah teman yang cerdas, yang mempunyai sifat-sifat baik dan sedikit sifat buruknya.[31] Dari sini dapat dikatakan bahwa Ibn Jama’ah sangat memperhatikan terhadap lingkungan bagi seorang peserta didik. Menurutnya lingkungan yang baik adalah lingkungan yang di dalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan yang bebas.  Hal ini terlihat pada pendapat beliau bahwa peserta didik tidak boleh bergaul dengan lawan jenisnya. Sebab hal itu akan menjadikankan terbuangnya waktu dan menyia-nyiakan materi.  Orang yang dapat dijadikan teman pergaulan adalah orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dan ajaran agama.[32] Mengenai etika pergaulan ini tampaknya tidak harus diterapkan secara buta, karena bergaul dengan lawan jenis bisa dibenarkan jika pergaulan itu masih berkaitan dengan pengembangan ilmu dan tetap berpegang pada norma-norma agama.

2. Etika terhadap Pendidik
Oleh karena pendidik adalah orang yang mempunyai ilmu, maka beliau berhak mendapatkan kemuliaan dan keutamaan sebagaimana orang-orang alim atau ulama karena mereka adalah pewaris para Nabi.  Ibn Jama’ah memberikan nasihat-nasihat penting bagi peserta didik. Beliau berpendapat bahwa seorang peserta didik harus selalu taat dan tawadldlu’ kepada pendidiknya dalam segala urusan. Beliau mengibaratkan ketaatan tersebut dengan “orang sakit dengan dokter yang pandai”. Ini adalah salah satu cara  memuliakan pendidik sebgaimana beliau nasihatkan. Di samping itu peserta didik haruslah mengetahui hak-hak pendidik, mendoakan, menghormati dan mensyukurinya.[33] Ibn Jama’ah juga mengharuskan peserta didik untuk memilih seorang pendidik yang memiliki akhlak yang baik, mampu mengajar dengan baik, dan bertaqwa kepada Allah SWT. 
Sesuatu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa Ibn Jama’ah sangat menganjurkan peserta didik untuk selalu taat pada pendidik, walaupun pendidik itu salah, dan peserta didik juga dianjurkan untuk tetap sabar walaupun dimarahi oleh pendidik. Beliau menganggap kesalahan seorang pendidik itu masih dianggap baik daripada kebenaran seorang peserta didik. Padahal menurut penulis tidaklah harus demikian, karena seseorang harus selalu menegakkan kebenaran terhadap siapapun yang melakukan kesalahan tersebut, meskipun ia adalah pendidik. Karena Ibn Jama’ah dibesarkan dalam keluarga yang sufi, maka keadaan lingkungan yang demikian menurut penulis turut mempengaruhi pemikirannya tentang etika peserta didik terhadap pendidiknya. Begitu juga dalam masalah ini, Beliau melihat dari perspektif tasawuf yang menempatkan peserta didik sebagaimana murid –dalam kajian tasawuf- di hadapan gurunya.
Menurut penulis, pandangan Ibn Jama’ah di atas, untuk masa sekarang tentunya harus dikaji ulang. Saat ini, peserta didik harus dibawa pada kreativitas dan semangat dalam belajar. Apabila dikaitkan dengan pendapatnya Paulo Freire, maka pendidikan yang ditawarkan oleh Ibn Jama’ah termasuk dalam pendidikan yang bergaya bank, dimana ruang yang disediakan bagi para peserta didik hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan.[34] Sementara pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang mendorong pada pendidik dan peserta didik untuk sama-sama menjadi subjek dari proses pendidikan dengan menghilangkan sikap otoriter dan intelektualisme yang mengasingkan.[35]
Nabi Muhammad SAW juga memberdayakan para sahabat dan bahkan musuhnya. Nabi Muhammad memperlakukan para sahabatnya sebagai mitra sejajar, egaliter dan berada dalam posisi dan relasi yang demokratis. Sikap  Nabi yang demokratis ini sebagaimana terlihat dalam dialog Nabi dan Mu’ad bin Jabal  setelah diangkat sebagai Gubernur Yaman.[36] Namun terlepas dari masalah tersebut di atas, di satu sisi Ibn Jama’ah juga memberi kebebasan kepada peserta didik untuk memilih pendidik yang sesuai dengan ilmu yang dikehendakinya, dan memilih pendidik yang mempunyi akhlak yang luhur, memiliki jiwa kepemimpinan serta bertaqwa kepada Allah SWT.[37]

3. Etika terhadap Pelajaran, Halaqah, dan Teman Belajar
Peserta didik juga dituntut untuk menghormati pelajarannya agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.  Adapun etika yang harus dilakukan oleh peserta didik terhadap pelajarannya adalah:
a.    Pelajaran yang harus dikaji terlebih dahulu adalah al-Quran al-Karim dan al-Hadith serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya. Kemudian barulah dilanjutkan dengan ushul, nahwu, dan sharaf, karena ilmu-ilmu tersebut merupakan bidang kajian yang penting.[38] Ibn Jama’ah mensyaratkan mempelajari al-Quran terlebih dahulu karena dengan demikian peserta didik akan dapat lebih mendalam hafalannya, bersungguh-sungguh dalam mendalami tafsir al-Quran, serta seluruh ilmu karena al-Quran memuat sumber, cabang, dan ilmu-ilmu penting lainnya.[39] Sudah seyogyanya jika Ibn Jama’ah memprioritaskan al-Quran sebagai materi pertama yang harus dikaji oleh para peserta didik, karena di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang mampu menjadi motivator bagi pengembangan ilmu pengetahuan.  Karena al-Quran pula maka lahirlah ilmu-ilmu lain, seperti: Ulum al-Quran, Tafsir, Fiqh, dan semacamnya.[40] 
b.    Peserta didik harus waspada terhadap perbedaan pendapat para ulama dalam suatu masalah. Peserta didik yang berada dalam tahap awal, hendaknya jangan mempelajari pendapat-pendapat yang saling bertentangan dan jangan sampai terjebak pada masalah–masalah yang diperdebatkan ulama maupun manusia secara umum, karena hal ini dapat membingungkan akal. Peserta didik yang masih pemula seharusnya memegangi satu kitab saja yang mencakup suatu masalah atau beberapa kitab yang masih berkaitan dengan masalah tersebut dan harus disetujui oleh pendidiknya.[41]
c.     Peserta didik harus memahami, mengkaji, dan menelaah secara mendalam terhadap setiap mata pelajaran sebelum menghafalkannya, karena jika tidak demikian dikhawatirkan akan menimbulkan penyimpangan dan pengkaburan makna yang dikehendaki.[42]
d.    Pada tahapan selanjutnya peserta didik hendaknya mempelajari Hadith Nabi SAW, yakni diantaranya dengan mempelajari sanad, rijal, hukum-hukum, faedah-faedah, bahasa serta sejarah hadith.  Di samping itu beliau juga menganjurkan untuk mempelajari ilmu dirayah hadith, sifat-sifat dan tingkatan muhaddith. Ibn Jama’ah menganjurkan peserta didik untuk mempelajari kitab-kitab hadith yang dianggap/ telah dinyatakan Shahih, misalnya: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, al-Muwaththa’, Sunan Abu Daud, al-Nasai dan kitab-kitab shahih lainnya.[43] 
e.    Peserta didik harus melanjutkan mempelajari masalah lain yang lebih luas, untuk menunjukkan semangatnya yang tinggi dalam menuntut ilmu dan tidak merasa cukup dengan ilmu yang sedikit.[44]
f.      Peserta didik agar membiasakan diri untuk ber-halaqah dengan para pendidik dan juga dengan teman-temannya untuk mendalami pelajarannya serta agar memperoleh kebaikan, keberhasilan, dan keutamaan-keutamaan.
g.    Ketika mendatangi suatu majlis (forum belajar) pendidik hendaknya mengucapkan salam ketika datang, mengikutinya sampai selesai, memuliakan pendidik, menghormati teman-teman yang ada di sekitarnya, dan lain-lain.[45]
h.    Peserta didik hendaknya menghormati dan menghargai teman-teman yang ada dalam suatu majlis belajar.[46]
i.      Adanya komunikasi antara peserta didik dengan pendidik.  Seorang peserta didik hendaknya tidak malu dan enggan bertanya kepada pendidik terhadap masalah yang belum dipahaminya. Adapun dalam bertanya hendaknya peserta didik mendapat izin dari pendidik.[47]
j.      Bersungguh-sungguh dalam belajar, dan memulai belajarnya dengan doa, yaitu dengan membaca ta’awudz, basmalah, shalawat, serta mendoakan pendidik dan pengarang kitab yang dipelajarinya.
k.    Senang dalam mencapai keberhasilan.[48]
Berdasarkan paparan di atas, tampaknya Ibn Jama’ah sangat mendorong peserta didik untuk menuntut ilmu secara sistematis dan agar peserta didik beretika dan berakhlak mulia dalam belajar. Memang pada sebagian pemikirannya terdapat pendapat-pendapat yang kurang relevan dan dapat menjadikan peserta didik sebagai orang yang pasif dan mengalami ke-jumud-an dalam berpikir jika diterapkan dalam konsep pendidikan yang memberdayakan dan membebaskan terhadap proses berpikir para peserta didik, sebagaimana yang sedang digalakkan saat ini.
 
D. Kesimpulan
Konsep pendidikan Ibn Jama’ah merupakan konsep pendidikan yang cenderung memosisikan peserta didik sebagai objek dalam pendidikan, sehingga peserta didik kurang mendapat kesempatan untuk diberdayakan. Peserta didik hanya dipandang sebagai manusia yang menerima dan menyimpan segala pengetahuan yang diperolehnya dengan tanpa diberi kesempatan untuk bersikap aktif, kreatif dan inovatif.  Dalam hal ini, penulis dapat menggolongkan pemikiran Ibn Jama’ah mengenai peserta didik ini sebagai pemikiran pendidikan yang bersifat normatif-konvensional, karena pemikirannya hanya berdasar pada norma-norma yang cenderung teoretis dan dogmatis, yang orientasinya lebih pada tujuan keakhiratan dan kurang memperhatikan implementasinya secara riil. Oleh karena itu konsep ini kurang relevan jika diterapkan pada konsep pendidikan masa sekarang yang membutuhkan paradigma baru dengan memosisikan peserta didik sebagai subjek dalam kegiatan belajar-mengajar. 
Pemikiran Ibn Jama’ah mengenai ketaatan peserta didik kepada pendidik secara mutlak, akan berakibat pada terlahirnya orang-orang yang memiliki sifat inferior (minder). Apabila dihadapkan pada konsep pendidikan modern yang menekankan nuansa kemerdekaan berpendapat dan pemberdayaan peserta didik, maka akan terjadi kondisi yang kontraproduktif yang berakibat pada kondisi peserta didik yang pasif. Hal ini tidak kondusif bagi konteks pendidikan kontemporer.
Meski demikian, tidak semua pemikiran Ibn Jama’ah yang berkaitan dengan konsep pendidikan tidak sesuai dengan kondisi kekinian, karena sebagian konsep pendidikan yang ditawarkan masih relevan dan cocok jika diterapkan pada pelaksanaan pendidikan saat ini, misalnya, pemikirannya tentang keharusan peserta didik dalam menghiasi dirinya dengan akhlak mulia ketika menuntut ilmu. Etika (akhlak mulia) merupakan media self-control (pengawasan melekat) terhadap diri peserta didik yang dapat menghindarkannya dari hal-hal negatif, dimana hal ini berguna untuk mendukung kesuksesannya dalam belajar.



DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, No. Hadith 21152, CD ROM Mausū’ah al-Hadith al-Syarīf (Kuwait: Sakhr al-‘Alamiah Software, 1996).

Abd al-Jawad Khalaf, Al-Qādli Badruddin Ibn Jamā’ah Hayātuhu wa Atsaruhu, (Pakistan: Jami’ah al-Dirasah al-Islamiyyah, 1988).

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).

Abd. al-Amir Syamsuddin, al-Mazhab al-Tarbawiy ‘inda Ibn Jamā’ah (tt.: Dar Iqra’, tth.).

Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).

Ahmad Yusam Thobroni, “Etika Pelajar dalam Perspektif Ibn Jama’ah”, Jurnal PAI, Vol. 2 No. 2 November (Surabaya: FITK IAIN SA, 2013).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Departemen Agama RI., Al-Quran danTerjemahnya (Jakarta: PT. Bumi Restu, 1976).

Hasan Ibrahim Abd ‘Al, Al-Fikr al-Tarbawiy ‘inda Badruddin Ibn Jamā’ah dalam Min A’lām li al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Jilid III (tt.: Maktabah al-Tarbiyah al-‘Arabi li Dauli al-Khalij, tth.).

Ibn Jama’ah al-Kinaniy, Tazkirah al-Sāmi’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Ālim wa al-Muta’allim (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tth.).

Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999).

Mulyono Abdurrahman Intisari Kumpulan Artikel Psikologi Anak 2 (Jakarta: PT. Intisari Mediatama, 1999)

M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).

Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, diterjemahkan oleh Tim Redaksi LP3ES dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 2000).

Suwito, Pendidikan yang Memberdayakan, Dokumen Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2002).

Postingan terkait: